Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KAJIAN FENOMENOLOGI

tentang

KEHIDUPAN AYAM KAMPUS

OLEH

RIZAYU PARADITA
070708028

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan atas segala rahmat dan hidayah yang telah
diberikan Allah SWT sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan sebuah karya penelitian
bejudul Kajian Fenomenologi tentang Kehidupan Ayam Kampus.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas akhir semester mata kuliah Pengantar
Penelitian Kebudayaan, sekaligus sebagai bahan bacaan bagi rekan-rekan yang memerlukan.
Makalah ini akan membahas tentang suatu fenomena kehidupan segelintir mahasiswi
yang memiliki „pekerjaan sampingan‟ sebagai pelacur. Atas dasar apa dia mau melakukannya?
Terima kasih untuk yang pertama sekali untuk dosen mata kuliah Pengantar Penelitian
Kebudayaan, yang selama satu semester ini sudah memberikan arahan tentang cara mengerjakan
sebuah penelitian. Selanjutnya untuk mama dan papa yang senantiasa membimbing saya,
sahabat-sahabat satu stambuk, dan semuanya !
Namun demikian, penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga dengan
segala kerendahan hati saya menampung segala kritik maupun saran agar makalah ini menjadi
lebih baik.

Medan, 1 Desember 2009

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelacuran telah menjelma menjadi sebuah hal yang sulit ditebak. Pergerakan mereka
sangatlah dinamis seiring berkembangnya jaman. Masalah wanita Tuna susila ( WTS )
merupakan masalah sosial karena perbuatan tersebut menyimpang dari norma-norma atau nilai-
nilai masyarakat. Adapun kegiatan WTS adalah melakukan hubungan hubungan seksual dengan
laki-laki diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, serta untuk melakukanya menerima
imbalan uang atau bentuk material yang lain: Adapun pengertian WTS menurut Soedjono D.
(1977) adalah sebagai berikut. “Wanita Tuna Susila atau wanita pelacur adalah wanita yang
mejual tubuhnya untuk memuaskan seksual laki – laki siapapun yang menginginkannya, dimana
wanita tersebut menerima sejumlah uang atau barang (umumnya dengan uang dari laki-laki
pemakainya).
Namun ironisnya prostitusi tidak hanya berlaku bagi orang miskin atau kaum
pengangguran saja. Kaum intelektual muda yang berada di kalangan akademisi pun dapat terjerat
ke dalam bisnis terselubung ini. Mahasiswa yang seyogianya meupakan kalangan „cerdas‟ pun
tidak sedikit yang terjebak masuk. Mereka lah yang disebut ayam kampus.
Ayam kampus adalah sebutan bagi mahasiswi yang punya “double job” menjadi pelacur
di dunia kampus. Sepak terjang ayam kampus atau yang di luar negeri disebut juga college call
girls ini lebih susah ditebak dibanding dengan pelacur-pelacur yang biasa berjejer dikawasan
prostitusi dan lokalisasi. Bahkan jika diperhatikan penampilan dan kesehariannya dikampus,
mereka terlihat sama dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. Pasar merekapun lebih modern
dengan memanfaatkan dunia online dalam menjajakan kenikmatan seks mereka.
Ayam kampus ada di setiap kampus di Indonesia. Inilah fenomena yang harus kita
cermati bersama. Jangan sampai tingkat pendidikan tertinggi kita itu menjadi layaknya lokalisasi
pelacuran. Peningkatan sistem keamanan dan monitoring harus dilakukan oleh setiap kampus di
Indonesia agar kualitas pendidikan kita semakin bersaing.
Ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai beban moral untuk mahasiswi-mahasiswi yang
masuk kejurang pelacuran ini. Jangan pandang mereka sebagai seorang pesakitan, namun ke
arifan kita untuk memberikan sebuah solusi terbaik bagi merekalah yang diperlukan. Kiranya
gambaran ini semua dapat membuka cakrawala berfikir kita mengenai fenomena ayam kampus
di dunia kampus Indonesia

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah penelitian yang akan
dirumuskan adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana karakteristik ayam kampus
2) Apa yang mendorong mahasiswi tersebut menjajakan diri.
3) Upaya penanganan yang dapat diberikan terhadap masalah pelacuran di kalangan akademisi.

1.3. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai pengayaan bagi yang membacanya
sekaligus menjadi tugas mata kuliah Pengantar Penelitian Kebudayaan Semester V Jurusan
Sastra Jepang USU.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Maman


(2002; 3) penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat
studi.

1.5. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian teoritis
yang mendukung penelitian lebih lanjut dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya tentang fenomena prostitusi di kalangan akademisi.
2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh masyarakat dalam
mengembangkan kesadaran bahwa ada lingkungan negatif yang sangat dekat dengan kita, oleh
karena itu semua pihak harus waspada, baik orang tua maupun kalangan pelajar.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Karakteristik Ayam Kampus


Ayam kampus memang sulit dideteksi karena sehari-hari para ayam kampus beraktivitas
sebagaimana layaknya mahasiswi biasa. Tampilan casual, buku, diktat, tas simpel, make up tipis,
yang menjadi ciri khas ' ayam kampus ' tidak bisa dibedakan dengan mahasiswa biasa. Mereka
hanya akan melakukan tugasnya sebagai ayam kampus bila ada pesanan atau panggilan.
Ayam kampus bias mencari langganannya sendiri. Perkembangan teknologi mungkin
berpengaruh positif terhadap perkembangan karir si ayam kampus. Mereka tak ketinggalan ikut
berkecimpung di dunia internet. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi
ayam-ayam kampus menjajakan diri. Ada yang lewat chat di Yahoo Messenger ataupun
membuat profil di Facebook agar si calon pemakai jasa persetubuhan mereka dapat langsung
melihat foto maupun jati diri si ayam kampus. Namun hal ini pun tetap saja dilakukan secara
terselubung.
Selain cara di atas, ayam kampus juga memiliki supplier, biasanya merupakan teman
dekat. Pemakai jasa terlebih dahulu menghubungi supplier untuk kemudian si supplier
mengkontak ayam kampus. Jika perjanjian mengenai lokasi atau harga sudah deal, maka supplier
bias mempertemukan kedua belah pihak. Ayam kampus biasanya terlihat nongkrong di tempat-
tempat elit, seperti coffee shop, karaoke atau mall.
Adapula ayam kampus yang tujuan utama nya bukanlah sekedar kebutuhan akan uang.
Mereka baru berniat menjadi ayam kampus jika kebutuhan pribadinya sudah tidak terpenuhi lagi.
Jalan termudah adalah menjalin hubungan dengan para petualang cinta yang memiliki tingkat
finansial berlebih. Kadang hanya sekedar menemani makan atau karaoke, ngobrol di kafe,
dapatlah sedikit uang untuk beli buku. Jika tingkatan sudah ke arah sex, tentunya fee yang
diperoleh bias lebih besar lagi.
Ayam kampus relatif well educated, berwawasan luas, nyambung jika diajak ngobrol. Hal ini lah
yang menyebabkan harga mereka lebih mahal ketimbang pelacur-pelacur yang biasa mangkal di
pinggiran jalan. Harga untuk setiap bookingan ayam kampus bermacam-macam tergantung
dimana dia menuntut ilmu. Ayam kampus dari universitas yang terkenal pasti lebih mahal jika di
banding dengan kampus swasta yang biasa-biasa saja. Namun itu semua tergantung dari cara
ayam kampus itu memuaskan pelanggannya. Semakin ayam kampus itu memberikan servis yang
memuaskan maka, namanya akan semakin melambung seiring harganya yang juga melambung
tinggi.

2.2. Faktor yang Membuat Mahasiswi Terjebak ke Dalam Dunia Prostitusi


Alasan utama yang menyebabkan mereka terjerumus dalam bisnis esek-esek ini sangat
klise yaitu: ekonomi. Mengapa banyak para wanita muda yang sejatinya tujuan utama mereka
adalah belajar di kampus tetapi mempunyai fungsi ganda? Selain ekonomi yang menjadi alasan
utama, masih banyak alasan untuk menjustifikasi perbuatan mereka. Dan tentu alasan satu
dengan yang lain sangat berbeda, walau secara umum menurut sumber yang sama, dikatakan
pula, seringkali yang menjadi alasan adalah : mereka harus membayar uang kuliah sendiri,
kecewa dengan pacar ataupun korban pemerkosaan saat masih duduk di bangku sekolah dan
lain-lain. Di sini ada faktor dendam berperan. Sebetulnya faktor ekonomi tidak bisa dijadikan
alasan untuk membenarkan praktek prostitusi terselubung di kalangan kampus. Karena jika
dilihat dari latar belakang ekonomi keluarga mereka, bisa dikatakan bahwa dari sekian ratus
yang terlibat dalam prostitusi di kampus, tidak saja mereka yang berasal dari ekonomi kurang
mampu melainkan banyak pula yang berasal dari keluarga yang tidak kekurangan secara
ekonomi. Rata rata mereka berasal dari keluarga mampu.
Menurut sumber, faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ayam kampus adalah
keinginan mereka untuk tampil lebih prestige. Dengan uang yang gampang di dapat, mereka
dapat membeli segenggam Blackberry mahal atau tas Gucci original. Tuntutan yang menjadikan
mereka menjadi hedonis lah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, menjadi ayam
kampus.

2.3. Upaya Penanganan terhadap Masalah Pelacuran

a. Kebijakan Kampus
Walaupun ayam kampus tidak melancarkan aksinya di lingkungan kampus, namun sudah
sepantasnya kampus berperan aktif dalam hal penyuluhan. Mengingat usia ayam kampus
merupakan usia-usia di saat mereka kuliah di universitas. Mendirikan organisasi kemahasiswaan
yang berhubungan dengan pencegahan sex pra-nikah misalnya. Hal ini dapat meningkatkan
wawasan dan pola pikir mahasiswa akan bahaya atau akibat yang timbul jika melakukan sex pra-
nikah.

b. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak
perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Apabila
demikian adanya, lalu apakah Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas
gagasan legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah bagaimana gagasan
“dekriminalisasi prostitusi” dapat diwacanakan kepada publik dan diimplementasikan dalam
regulasi pemerintah.

Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral. Jika
dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita sebaiknya
tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya. Apakah
kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi dipandang dari
dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya
dibuktikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan termotivasi untuk memberdayakan
norma dan nilai agama dalam mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara
sistematis melalui sebuah proses jangka panjang.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang, belum
ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi
semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya
sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, hal itu justru
akan mendorong prostitusi berlangsung secara “bawah tanah”, terbukti dengan munculnya ayam-
ayam kampus.

c. Bentuk Penanganan

Ayam kampus merupakan masalah sosial yang mesti ditangani. Peraturan pemerintah
yang selama ini kita ketahui cenderung diskriminatif karena yang menjadi sasaran penertiban
kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum.
Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan
penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak
lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering
tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal,
agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang
seharusnya justru dibimbing yang benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat
“kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena
HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan
di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan.
Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan
semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa
setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki
yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain
dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo
atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum.

d. Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi
terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama
ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu
ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik,
seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah.
Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan
pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang
memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata
rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan
penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para
polisi pamong praja atau aparat lain.

Kedua, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah


masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus
dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga
termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

e. Upaya Pendekatan Keagamaan

Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya ayam kampus, diharapkan
beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada
Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini
belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-jangan omongan imtaq
menjadi tabir asap untuk menghindar dari menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada.
Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat
kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang lupa akan kodratnya
sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan mentaati segala perintah dan
menjauhi segala larangan dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya
berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau dikembangkan,
dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu diri dan omongan tentang imtaq malah
menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan
dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya, tidak
mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara beradab, solidaritas nyata
dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat
kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.

f. Upaya Penghapusan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak
dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia
sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan
bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk
menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan „absurd‟. Namun bukan
berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.

pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu
penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk
menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi
tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral
semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, polit ik
serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan
agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya,


ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan
prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan
perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan
perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak
memanfaatkannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi
melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi
(perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan
kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh
faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan
kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang
akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk menjadi
ayam kampus.

B. Saran

Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang
berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti
kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang
berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari
apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-
nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut
dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam
memakan uang rakyat banyak.

masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu
melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Alam. A.S DR. 1984, Pelacuran dan Pemerasan. Bandung : Alumni


Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial. Bandung : CV Rajawali
Referensi internet

Anda mungkin juga menyukai