Ayam Aduan
Hasil tidak seragam, dan kualitas mutunya lambat laun terasa semakin menurun…
Kebanyakan peternak di Indonesia sangat fanatik dgn trah juara. Juara VS Juara, tapi anakannya tidak
ada yg juara… Ini menimbulkan pertanyaan tersendiri...
Salah satu penyebabnya mungkin krn indukan kita geno-typenya tidak seragam alias acak-acakan.
Itulah sebabnya diperlukan ternak dgn "rekayasa genetik" untuk menyeragamkan geno-type melalui
proses ternak yg lebih terpadu, tersistematis atau terpola dengan baik. Bukan sekedar ayam menangan
saja.
Buat rekan2 sekalian, ini ada sedikit artikel mengenai teknik2 breeding (beternak) dgn cara yg lebih
sistematis sehingga bisa juga disebut sebagai ‘Rekayasa Genetika’.
Mungkin saja diantara teman2 ada yg lebih berpengalaman dan menemukan cara ternak yg lebih baik.
Tapi minimal, artikel ini bisa menjadi sebuah wawasan baru mengenai bagaimana cara beternak yg
baik dgn teknik modern sesuai dgn teori genetika.
Sebelum dilanjut, ada baiknya kita mengenal dulu beberapa kosa kata yg ada dalam artikel ini agar tdk
terjadi salah penafsiran.
Inbreed : Perkawinan antara dua individu yg memiliki hubungan darah sangat dekat. Yaitu : Ibu dgn
anak, bapak dgn anak dan anak vs anak.
Line breed : Perkawinan dua individu yg memiliki hubungan darah tidak terlalu jauh. Contoh : Kakek
vs cucu, paman vs keponakan, dll.
Cross breed : Perkawinan antara 2 individu yg tidak memiliki hubungan darah. Atau minimal hubungan
darahnya terlalu jauh.
Super breed : Individu yang selalu mampu menurunkan sifat2 terbaik pada keturunannya.
Artikel ini ditulis oleh Steven van Breemen, sesuai dgn pengalamannya beternak merpati pos di Eropa
sana. Dituangkan dalam buku berjudul Mini Course The Art of Breeding.
Meskipun hewan yg digunakan adalah merpati, tapi saya rasa bisa diterapkan pada Ayam. Mengingat
kedua spesies ini banyak memiliki kesamaan.
Berikut ringkasannya :
Steven Van Breemen mengembangkan sebuah metode ternak yang disebut : "population genetics".
Tujuan metode ini adalah membangun suatu populasi yang ada dalam kandang dengan ciri-ciri genetika
yang kurang lebih sama (homogen). Misalnya, kalau kita punya 50 ayam di kandang, maka semuanya
mempunyai ciri kualitas karakter yang relatif sama (tentu tidak 100 % sama, tapi kalaupun berbeda
tidak terlalu jauh). Dari kesamaan karakter ini, kita akan mampu memunculkan hasil ternak yang selalu
stabil mutunya. Artinya, kita bisa mendapatkan stok super breeder unggulan yang pada akhirnya
mampu memunculkan super fight.
Metode ini merupakan pengembangan dari teori Gregory Mendel yg dimodifikasi. Aplikasinya dengan
menggunakan prinsip Cross Breed, Inbreed dan Line breed secara sistematis dan tercatat dgn detail.
Menurut Mr. Steven, bila kita sukses mengembangkan metode ini, maka kita akan ongkang2 kaki bisa
menikmati hasilnya selama 20 tahun lebih…!!
Teori population genetics hanya cocok diterapkan oleh breeder yang serius, konsisten dan mempunyai
visi jauh ke depan. Jadi harus diawali dengan suatu angan-angan tentang kualitas ayam yg nantinya
ingin kita hasilkan.
1. Cross breed I -----> 2. inbreed -----> 3. line breed -----> 4. cross breed II
1. Cross breed I
Sebelum mulai ternak, kita harus berkhayal dulu. Berkhayal tentang seperti apa typical karakter ayam
terbaik yang kita idam2kan. Bukan sekedar ikut2an hanya melihat ayam juara yang ada. Ayam juara
belum tentu sempurna. Maka khayalan kita harus jauh lebih bagus dari sekedar juara. Agak idealis
kelihatannya, tapi inilah cita cita yang harus dicapai, bagaimanapun sulitnya.
Untuk cross breed I, carilah pasangan indukan sesuai dgn kriteria khayalan kita tsb. Memakai ayam
juara lebih dianjurkan. Tapi jangan asal comot!!!. Ayam juara banyak ragam typikal kerjanya. Misalkan
ingin punya ayam dgn pukul keras, maka carilah ayam juara yg tipikal kerjanya pukul keras. Kemudian
cari juga pasangan betinanya yg keturunan ayam pukul keras.
Hasil dari cross breed 1 ini diharapkan muncul ayam2 dgn karakter pukul keras secara merata pada
anakannya.
Cross breed 1 ini dianggap tahap yg paling penting utk pondasi tahapan breeding berikutnya. Hasil
anakan 75% harus rata karakternya. Ini untuk menghindari resiko besar pada tahapan breeding
selanjutnya (inbreed), dan menghindari set back yg bisa membuang waktu percuma.
2. Inbreed :
Tujuan inbreed adlh mencetak breeder (parental stock) yg menyatukan sifat2 positif yg dimiliki agar
lebih kuat daya turun ke anaknya (dominan).
Hasil inilah yg disebut 'investasi', modal dasar dan aset ternakan kita yg sangat berharga. Anakan hasil
inbreed, biasanya tidak memiliki ‘vitalitas’. Yaitu rentan terhadap penyakit, dan fisik/staminanya loyo.
Ini tidak menjadi masalah, karena tujuan utamanya adalah untuk parental stock, bukan untuk dijadikan
fighter. Sukur2 kalo ternyata hasilnya bisa jadi petarung. Pada akhirnya, kurangnya vitalitas ini dapat
diperbaiki melalui tahapan berikutnya.
3. Line breed :
Setelah dapat 'modal' dari inbreed, diperkuat lagi dgn line breed. Bila dipasangkan (misalnya) dgn
paman yg punya pukul keras, hasilnya sudah bisa dipastikan : ayam dgn karakter pukul sempurna yg
sangat dominan. Mungkin inilah yg dimaksud oleh Steven sebagai 'super breed'. Yaitu ayam yg
memiliki daya turun breeding yg kuat thdp anak2nya.
4. Cross breed 2 :
Super breed ini boleh dicoba utk disilang dgn ayam dari trah lain (cross breed ke 2). Tujuannya utk
menambah daya vitalitas dan menyempurnakan karakter. Kalau di cross dgn ayam lain yg pukul keras,
hasilnya pasti ayam dgn pukulan sempurna. Kalau di cross dgn ayam yg sifatnya agak berbeda, -teknik
bagus misalnya- maka pukul kerasnya tidak akan hilang. Justru kita berharap ayam dgn tipikal pukul
keras dan teknik bagus. Inilah yang dimaksud Mr. Steven sebagai ‘Super fighter’.
1. Tujuan utama teori population genetics adalah untuk melestarikan karakter/sifat-sifat unggul dari
indukan (untuk mudahnya kita pake saja istilah "geno-type") , bukan mempertahankan ciri-ciri fisik
(feno-type). Dgn kata lain, tujuan teori ini adlh menciptakan ‘super ‘breeder’.
2. Inbreeding pada prinsipnya adalah upaya menggabungkan sifat-sifat/ karakter 2 individu yang
berbeda, baik karakter yang positif maupun negatif. (Ingat, tidak ada ayam yg sempurna). Oleh
karenanya rumus inbreeding adalah "the best vs the best". Mr. Breemen memakai istilah super breeder
vs super breeder. Yang kedua, super breeder harus mempunyai karakteristik yg dapat mendukung
"khayalan" kualitas ayam yg ingin dihasilkan dari ternak kita. Misalnya kalau kita menghayalkan
bahwa hasil ternakan kita harus teknik bagus, maka cari indukan yg teknik bagus. Kalau sekarang
belum memiliki atau belum mampu memiliki indukan yg "ideal", menurut saya tidak perlu khawatir
karena kualitas indukan dapat diperbaiki melalui cross-breeding.
Mungkin ada yg bertanya, kalau kita sudah punya "super breeder" kenapa tidak itu saja diternak dan
nggak perlu repot-repot pake teori population genetics??
jawab : Kalau tujuan kita ternak hanya jangka pendek memang teori population genetics tidak perlu,
tapi seperti dijelaskan sebelumnya, tujuan kita adalah jangka panjang. Perlu diingat bahwa super
breeder yg kita punya suatu saat akan mati, mandul, atau sakit. Kalau ini terjadi maka kita kehilangan
modal. Itu sebabnya banyak peternak besar yg gagal mempertahankan standard kualitasnya dan terus
menurun. Dan banyak ayam2 juara yg terputus generasinya.
3. Cross-breeding yg pertama adalah pada saat awal memulai ternak dimana indukan berasal dari dua
darah (strain) yg berbeda sedangkan cross-breeding yg kedua dilakukan dengan dua tujuan, yaitu
apabila kita ingin memproduksi petarung dan untuk memperbaiki kualitas darah yg sudah ada
(menambahkan elemen baru atau "additive characteristics" yg sudah ada).
4. Aplikasi teori population genetics menuntut adanya sistem seleksi yg ekstra ketat. Beberapa waktu
yg lalu ada pendapat yg mengatakan untuk bisa memakai sistem inbreeding, maka kita harus menjadi
ahli "membunuh". Istilah ini sebenarnya hanya untuk memberikan tekanan bahwa anakan yg akan
melanjutkan generasi indukan harus diseleksi secara ketat. Pilihlah anak betina yg mirip bapaknya dan
anak jantan yg mirip ibunya. Yang perlu dipahami, pengertian "mirip" disini bukan mirip secara fisik,
tapi yg lebih penting adalah karakternya (tetapi kalau secara fisik juga mirip ya tidak apa-apa). Di sini
lagi-lagi diperlukan "feeling" dan keahlian dalam melakukan seleksi. Agar kita bisa melakukan seleksi,
misalnya untuk mengambil 1 pasang pada setiap generasi kita tetaskan 3 X, lalu dari situ dilakukan
seleksi untuk menentukan 1 pasang yg akan melanjutkan karakter moyangnya (ancestors). Semakin
banyak pilihan yg akan diseleksi, akan semakin bagus.
5. Hasil inbreeding selalu ditandai dengan ciri-ciri kehilangan vitalitas (ayam hasil inbreeding
menunjukkan gejala penurunan vitalitas). Prof. Anker bahkan menegaskan bahwa semakin besar
hilangnya vitalitas pada ayam hasil in-breeding berarti effek dari inbreeding itu lebih bagus ( confused
confused ).
Ayam hasil inbreeding tidak cocok untuk tarung, tapi hanya cocok untuk menjadi indukan (orang eropa
biasanya beli burung bukan untuk dimainkan tapi untuk breeding). Turunanya nanti yang dimainkan.
Vitalitas yang hilang itu akan didapatkan kembali apabila hasil inbreeding di-cross dengan ayam lain.
Inbreeding dimaksudkan untuk membangun sifat-sifat yang akan selalu diturunkan kepada turunannya
(offspring), sedangkan cross-breeding untuk menambah sifat-sifat/ karakter yang sudah ada seperti
menambah vitalitas, karakter dan kekuatan.
Dengan in-breeding kita bisa memperbaiki kualitas yang jelek. In-breeding adalah pengurangan variasi
atau keragaman. Semakin banyak/sering suatu darah tertentu (strain) dilakukan in-breed maka
turunannya akan mirip satu sama lain.
Menjodohkan bapak dan anaknya yg cewek atau ibu dengan anaknya yg cowok lebih efektif hasilnya
dari pada menjodohkan kakak dengan adiknya (meskipun sama-sama in-breeding tapi sepertinya
dampaknya berbeda).
semoga bermanfaat
salam