Anda di halaman 1dari 24

BENTUK DAN POLA ARSITEKTUR DI ERA PANCOSMISM

Era pancosmism adalah era dimana manusia menyatu dengan alam. Manusia tidak bisa hidup tanpa
bergantung pada alam . Ciri era ini adalah masyarakat menciptakan aturan agar hubungannya serasi
dengan alam.

Contoh-contoh bentuk dan pola arsitektur era pancosmism yang ada di Indonesia

1. Arsitektur Kampung Naga, Sumedang, Jawa Barat

Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya
yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Luas tanah Kampung Naga yang ada
seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam,
dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Warga kampung naga merupakan masyarakat yang sangat menghormati alam. Untuk itu
mereka memberlakukan hukum adat yang dipatuhi oleh warganya dan memberlakukan hukum
tabu atau pantangan.
Pada arsitektur kampung naga secara mikro, masih dikenal pembagian ruang yang tegas
antara zona maskulin dan feminine. Untuk pembangunannya pun masih menggunakan tradisi
adat yang masih dijaga. Pembangunan rumah menggunakan material yang berasal dari alam dan
diambil dengan cara dan waktu tertentu. Material alam dipilih untuk menghormati warisan
leluhur dan menghormati alam. Penggunaan material selain material yang ditentukan dianggap
tabu dan menentang hukum alam.
Secara Mezo, kampung naga juga diatur dengan arsitektur yang dekat dengan alam.
Pembagian zona yang jelas dan penggunaan teknologi kehidupan yang bersahabat dengan alam.

1
Denah rumah kampung naga
Sumber: Padma Adry, Kampung naga,2001
Keterangan gambar :

1. Tepas, Ruang kosong beralaskan tikar. Tepas dipergunakan untuk tempat


bersitirahat dan mengobrol dengan tetangga dan juga tempat mengerjakan
anyaman bamboo seperti boboko, tolombong, dan hihid.
2. Pangkeng, Ruang tidur
3. Tengah Imah, Ruang keluarga, tetapi dapat juga digunakan sebagai ruang makan
dan ruang tidur apabila dibutuhkan.
4. Pawon, Dapur, digunakan sebagai tempat memasak, akan tetapi sering pula
digunakan sebagai tempat makan dan tempat menghangatkan badan. Selain itu,
ruangan ini juga sering digunakan untuk mengobrol dan menerima tamu yang
sudah akrab.
4a. Hawu, Tungku tanah liat
5. Goah, Tempat penyimpanan padi, baik yang sudah ditumbuk maupun belum.
Merupakan ruangan utama dalam rumah suku naga. Pada hari selasa dan jumat di
dalam goah diletakan sesaji sebagai bentuk penghormatan terhadap dewi sri.
Goah diletakkan disisi barat atau timur sesuai dengan weton istri pemilik rumah.
6. Golodog, digunakan untuk berbagai keperluan. Ruang di depan tepas yang berupa
undakan memanjang terbuat dari mabmu atau kayu ini menjadi tempat
mengerjakan pekerjaan sampingan, mengobrol, atau tempat anak-anak bermain.

2
Rumah naga terbuat dari berbagai bahan alami local, seperti kayu, bamboo, ijuk, dan
datum tepus, yang kekeuatan dan ketahanannya telah teruji oleh alam. Sedikitnya Polusi yang
dihasilkan, ringannya beban bahan bangunan yang harus ditopang, dan efisiennya biaya dalam
jangka panjang adalah nilai tambah dari bahan-bahan ini. Pemakaian bahan alami local
merupakan upaya yang digariskan leluhur dalam mengadaptasi potensi dan daya dukung alam
sekitar.

Detail Rumah Kampung Naga


Sumber: Padma Adry, Kampung naga,2001

Keterangan Gambar:

1. Tanduk, berfungsi untuk menyalurkan air sehingga tidak merembes ke dalam para (langit-langit
rumah)
2. Atap, Berbentuk sulah nyandah dengan penutup atap berupa daun eurih yaitu sebangsa ilalang,
atau daun tepus yang lalu ditutupi oleh ijuk. Bahan ini memungkinkan pergantian udara ke
dalam rumah melalui atap. Masyarakat Naga percaya bahwa mempergunakan atap genteng
adalah tabu. Selain itu, penggunaan ijuk jauh lebih awet daripada genteng.

3
3. Dinding, mempunyai rangka dari kayu albasia berukuran 5x10cm. untuk penutup dipergunakan
anyaman sasag, anyaman bilik, dan papan kayu. Jenis bamboo yang untuk bahan dinding adalah
bamboo tali (awi tali). Sebelum digunakan, semua bahan bamboo dijemur terlebih dahulu untuk
meningkatkan keawetannya.
4. Tiang / tihang, Terbuat dari kayu albasia yang dipotong 10x10cm. supaya lebih awet, tiang dan
bahan kayu lain direndam dalam lumpur minimal 40 hari, dibersihkan, dan dijemur. Untuk
menghindari kelembaban tanah, tiang (tihang) tidak diletakkan langsung diatas tanah melainkan
diberi alas batu yang disebut tatapakan.
5. Pintu / panto, Letak pintu berdasarkan perhitungan weton (hari lahir) istri pemilik rumah. Lebar
pintu sekitar 70cm dengan ketinggian 150-170cm. umumnya dibuat dari kayu dengan tebal 4cm
dan kaca sebagai tambahan. Khusus untuk pintu dapur diwajibkan penggunaan anyaman sasag
vertical.
6. Jendela, daun jendela umumnya terbuat dari kayu suren atau albasia. Ukuran jendela berkisar
antara 40x60cm atau 50x70cm
7. Lantai, Terbuat dari papan kayu memanjang, lebarnya 15-20cm. kadang dialasi tikar untuk
duduk-duduk. Dapur menggunakan lantai palupuh. Bamboo yang digunakan untuk membuat
palupuh adalah jenis awi surat berdiameter ±20cm.
8. Golodog, Ruang peralihan sebelum masuk ke dalam rumah ini terbuat dari kayu dan bamboo
dengan bentuk empat persegi panjang. Ketinggiannya tergantung pondasi sehingga dapat
mempunyai satu atau dua undakan.
9. Batu Pondasi/ tatapakan, ada dua jenis tatapakan, yaitu tatapakan jangkung dengan
permukaan atas 20cx20cm dan permukaan bawah 25x25cm, dan tatapakan buleud (bundar).
Gaya berat rumah tersalur ke dalam tanah melalui banyak titik tatapakan, yaitu 5 titik disisi
panjang (palayu) dan 4 titik di sisi pendek (pongpok).

4
Kampung Naga dikeliling sekaligus dibatasi oleh batas alam, yaitu Sungai Ciwulan, Balong-
balong, lereng bukit, dan sawah. Semua bangunan memiliki bumbungan atap yang memanjang ke arah
barat-timur, dengan pintu di bagian panjang bangunan, yaitu sisi utara-selatan sehingga secara
keseluruhan orientasi atap ini membuat kampung seolah-olah menghadap kea rah timur. Arah hadap ini
merupaka usaha untuk menghindarkan diri dari sinar matahari langsung.

Di lereng bukit sebelah barat permukiman terdapat kompleks pemakaman yang menempati
area tersendiri, yang terdiri, yang terdiri dari makam leluhur yang dikeramatkan, daerah makam orang
dewasa dan daerah makam anak-anak. Area ini berada diluar area kandang jaga. Didalam kandang jaga
terdapat pemukiman yang dikelilingi anyaman bamboo dua lapis. Selain itu didalam kandang jaga juga
terdapat bekas langgar yang merupakan area yang dikeramatkan. Deretan rumah penduduk kampung
naga rapat satu sama lain sehingga tercipta lorong-lorong sempit sebagai jalur sirkulasi antar deretan
rumah. Kontras dengan lorong sempit ini, didepan masjid dan bale patemon terdapat sebuah ruang
terbuka yang cukup luas tepat berhadapan dengan pintu masuk kampung. Ruang terbuka ini digunakan
sebagai tempat kegiatan ritual kampung dan kegiatan lainnya seperti menjemur padi hasil panen. Area
lain diluar kandang jaga adalah area kotor, yaitu area yang berhubungan dengan air dan memiliki sifat
basah. Area ini menempati sisi timur pemukiman. Di dalamnya terdapat sawah, kumpulan balong
(tempat memelihara ikan, berupa genangan air di dalam lubang yang digali), saung lisung (bangunan
kecil yang terbuat dari kayu tanpa dinding untuk tempat menumbuk padi, terletak diatas balong), serta
jamban (tempat membuang hajat, letaknya diatas balong).

Sebagian lahan kampung naga mempunyai kemiringan yang cukup curam sehingga rawan
longsor. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengked batu menjadi cara untuk menghadapi
kondisi tersebut.

5
2. Arsitektur tradisional Papua

Arsitektur tradisional papua pada era pancosmism adalah rumah honai. Rumah Honai
terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai
sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa
dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah
rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai
terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan
kandang babi (disebut Wamai).

Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang. Rumah Honai dalam satu
bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan
bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang ternak. Rumah Honai pada umumnya terbagi
menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para
pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.

6
3. Arsitektur tradisional jawa

Pendapa adalah salah satu bagian dari bangunan rumah tradisional Indonesia (khususnya jawa)
yang terletak di muka bangunan utama. Secara etimology, Pendapa (atau dibaca pendopo dalam
bahasa Jawa), pengejaan Jawa: pendåpå, berasal dari kata 'mandapa' dari bahasa Sanskerta yang artinya
bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. Seorang peneliti
dan penulis dari Belanda, Multatuli dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar mendiskripsikan
pendapa sebagai "next to a broad-rimmed hat, an umbrella or a hollow tree”, sebuah topi kayu dengan
tepian,sebuah paying atau pohon peneduh. Selain itu, multatuli juga menulis “ a pendopo is
undoubtedly the simplest representation there is of the concept of 'roof'", pendapa adalah perwujudan
paling sederhana dan mutlak dari konsep atap. Bangunan ini berfungsi sebagai penerima tamu, atau
tempat bermusyawarah. Walaupun merupakan bagian dari bangunan rumah, keberadaan pendapa
tidak mutlak ada pada bangunan tradisional jawa. Bangunan pendapa hanya ada pada rumah kaum
bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya
saja. Bentuk dan detail pada pendapa pun sangat tergantung dari status social pemiliknya.

Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar dengan elemen pembentuk
bangunan berupa 4 tiang utama yang disebut saka guru yang ditopang oleh pondasi batu yang
berbentuk umpak. Atap pendopo berbentuk atap joglo dengan naungan atau tajuk yang lebar. Atap
bangunan terbagi menjadi 2 bagian (seperti pada atap joglo pada umumnya) , yaitu brunjungan yang
disangga oleh blandar bersusun yang di sebut tumpangsari dan atap pananggap yang disangga oleh
tiang pananggap (tiang pengikut). Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin
melebar. Jumlah blandar dalam tumpang sari tergantung dari status social pemilik rumah (biasanya
berjumlah ganjil). Ornamen arsitektur pada bangunan pendapa lebih rumit dan detail dibandingkan
dengan bagian rumah yang lain. Bentuk ornamen dan motifnya tergantung dari tingkat social pemilik
rumah dan lokasi tempat rumah itu berdiri (regional). Ornament yang terdapat pada bangunan pendapa
biasanya keris-kerisan yang diletakkan pada pinggiran teras atau pada listplang atap (pada rumah jawa,
khususnya jawa tengah).

7
Furniture yang terdapat didalam pedapa sedikit berubah dari waktu kewaktu. Pada awalnya
pendapa hanya berisi furniture utama yang difungsikan untuk pemilik rumah (berupa kursi berlengan
dan dersandaran dengan ornament-ornamen penghias) dan beberapa furniture tambahan yang
difungsikan sebagai tempat duduk abdi dalem atau tamu kehormatan pemilik rumah ( biasanya berupa
dingklik atau kursi tanpa lengan dan tanpa sandaran dan tanpa ornament). Tapi pada perkembangnnya
furniture yang diletakkan pada pendapa lebih berupa furniture penerima tamu lengkap tanpa
perbedaan yang mencolok antara furniture untuk pemilik rumah dan tamu.

Diantara bangunan utama dan bangunan pendapa terdapat sekat berupa gebyok, yaitu sekat yang
terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan ukiran khas daerah. Ukiran pada gebyok tergantung dari status
social pemilik rumah. Semakin tinggi statusnya semakin rumit dan mewah ukurannya. Semakin rendah
statusnya, semakin sederhana ukiran dalam gebyok. Dalam perkembangannya, pendapa memiliki
beberapa bentuk, tergantung dari bentuk atap yang melingkupinya, yaitu atap joglo yang dalam
perkembangannya berubah menjadi beberapa macam sesuai dengan fungsinya, diantaranya joglo
jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan, joglo
pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah apitan, joglo
hageng, dan joglo mangkurat.

Bangunan rumah dalam arsitektur tradisional jawa di bedakan menjadi 3 bagian besar, yaitu
kaki, badan, dan kepala. Pada bangunan pendapa, bagian kaki direpresentasikan oleh umpak yang
menopang keseluruhan bangunan, sesuai dengan namanya, yaitu umpak yang diambil dari bahasa jawa
tumpak yang berarti pijakan. Umpak bisa diartikan tempat pijakan bangunan, pondasi dari keseluruhan
bangunan. umpak biasanya terbuat dari batu persegi yang berwarna gelap. Batu yang dipilih sebagai
umpak pun batu khusus yaitu batu gunung melambangkan bahwa umpak merupakan bagian terkuat
dari bangunan. Ini melambangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, pondasi kehidupan, baik itu
dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi, pondasi haruslah merupakan bagian
yang terkuat. Dalam kehidupan pribadi, yang dimaksud pondasi adalah kepercayaan dan kekuatan
mental diri, identitas dan dasar pemikiran. Dalam kehidupan bermasyarakat, terutama masyarakat jawa
kuno, pondasi dari masyarakat adalah hukum, baik itu hukum adat maupun hukum yang dibuat oleh
pemilik kekuasaan. Walaupun umpak memiliki bentuk dan tampilan yang sederhana, yaitu persegi
dengan warna lebih gelap dan tanpa ornament-ornamen yang rumit, tapi umpak memiliki fungsi yang
sangat penting dalam bangunan. Hal ini melambangkan bahwa pada level terendah, bentuk dan
tampilan tidaklah diperlukan, yang lebih diperlukan adalah kekuatan karena level ini adalah level yang
jarang dipandang oleh orang. Kekuatan lebih diperlukan karena bagian ini menopang seluruh struktur
diatasnya. Bila bagian ini lemah, akan mengakibatkan seluruh bagian bangunan menjadi lemah. Dalam
social masyarakat pun diterapkan prinsip-prinsip semacam ini. Pada kehidupan pribadi, pondasi yang
berupa kepercayaan dan mental haruslah kuat untuk menghadapi semua masalah yang timbul. Tanpa
kekuatan seorang pribadi akan mudah terombang-ambing dan mudah dipengaruhi, baik oleh orang lain
atau lingkungan, menjadikannya sosok yang mudah berubah pikiran, tidak tegar dan bisa dikendalikan
oleh orang lain. Dalam kehidupan social yang pondasi kehidupannya adalah hukum, sangat jelas
diperlukan kekuatan. Tanpa kekuatan tidak ada pengikat antara satu unsure dengan unsure lainya
sehingga mudah terpecah belah dan tidak tercipta keserasian dalam kehidupan. Dalam pewujudan yang
lebih gambling, umpak atau pondasi dalam sebuah struktur pemerintahan jawa sering diartikan juga

8
dengan kawulo alit, atau rakyat jelata. Dalam konteks ini rakyat tidak dituntut untuk mewah dan
berpenampilan menarik. Mereka hanya dituntut untuk kuat dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh
susuhunan atau pangeran mereka. Konteks ini sering diterapkan pada pemerintahan kuno yang kadang
mengakibatkan pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaan mereka sewenang-wenang terhadap orang
dibawahnya. Mereka sering tidak memperhatikan sisi kemanusiaan sehingga kadang level terendah ini
melawan dan mengakibatkan hancurnya seluruh kerajaan.

Bagian badan bangunan disimbolkan dengan tiang atau saka , baik itu saka guru maupun saka-
saka tambahan dan ruang yang terbentuk diantaranya. Badan dalah arti harafiah diartikan sebagai
bagian tubuh yang berfungsi melakukan kegiatan. Pada bangunan pendapa, badan, atau ruang yang
terdapat diantara atap dan lantai ini difungsikan sebagai tempat terjadinya kegiatan. Kegiatan yang
terjadi didalamnnya dipilah-pilah berdasarkan tingkat kesakralan ruangan. Semakin ketengah, semakin
sacral kegiatan dan unsure yang terdapat didalamnya dengan puncaknya di tengah ruangan, diantara 4
saka guru atau 4 tiang utama, tepat dibawah bumbungan atap brunjungan. Bagian ini adalah bagian
paling privat dari bangunan pendapa. Disini biasanya pemilik rumah menerima tamu dan melakukan
kegiatan musyawarah. Semakin keluar, semakin berkurang kesakralannya. Hal ini apabila di tampilkan
dalam kehidupan sehari-hari diartikan dengan tingkat kepemimpinan. Seorang pemimpin selalu berada
di tengah dan dikelilingi oleh para abdi yang menjaganya dari gangguan luar. Lingkaran abdi yang
mengelilingi pemimpin atau pangeran pun berjenjang, dengan abdi yang paling dipercaa dan penting di
dekat pemimpin dan semakin berkurang kepentingannya semakin keluar. Pada saat musyawarahpun,
system ini diterapkan. Pemilik rumah biasanya berada tepat ditengah, dikelilingi oleh orang kepercayaan
dan tamu kehormatan. Pada lingkaran terluar biasanya diisi oleh abdi, baik itu abdi pemilik rumah
maupun abdi tamu. Unsure lain pada kaki adalah lantai yang sering diimplementasikan dengan segara
(segoro) atau laut. Segara merupakan salah satu unsure dalam kebudayaan dan kepercayaan
masyarakat jawa kuno. Segara dianggap sebagai tempat tinggal para dewi, oleh karena itu segara sering
disamakan dengan wanita, atau dewi itu sendiri.

Atap melambangkan kepala, bagian yang paling penting dalam sebuah bangunan. Selain itu,
atap pada pendapa juga sangat mencerminkan status social dari pemilik rumah. Semakin megah dan
rumit bangunan atap pendapa menandakan semakin tingginya status social pemilik rumah dalam
masyarakat. Terbagi menjadi 2 bagian, yaitu atap brunjungan dan atap penanggap, atap pada bangunan
pendapa sering disebut juga dengan pangayoman atau pengayom. Hal ini sesuai dengan fungsinya yang
meneduhkan bangunan pendapa, melingkupi bangunan dan kegiatan dibawahnya dari terik dan hujan.
Atap melambangkan pemimpin atau pangeran. Seorang pemimpin, penentu kebijakan haruslah mampu
mengayomi seluruh orang dibawahnya, karena tanpa orang-orang dibawahnya, seorang pemimpin tidak
dapat berdiri. Bentuk atap yang menjulang diartikan juga sebagai gunungan, implementasi masyarakat
jawa kuno terhadap gunung, salah satu elemen penting dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat
jawa. Gunung di samakan dengan laki-laki, atau dewa. Gunung sering juga diartikan sebagai paku bumi,
cagaking kahyangan. Paku bumi yang dimaksud disini mengacu pada gunung merapi dalam kisah babad
tanah jawa. Gunung merapi dan beberapa gunung besar di pulau jawa disebut sebagaai paku yang
mengikat pulau jawa agar tidak tenggelam ke dalam laut.

9
Perletakan pendapa selalu berada di muka bangunan utama. Perletakan ini bermaksud menjaga
keprivatan bangunan utama. Semua kegiatan pemilik rumah yang berhubungan dengan dunia luar
dimulai dari pendapa, sebagai filter. Lantai pendapa yang cenderung lebih tinggi dari pada pelataran
juga memberikan privasi dan keamana pada bangunan utama.

Secara arsitektural bentuk, susunan dan detail pada pendapa sangat sesuai dengan iklim tropis
yang merupakan iklim tempat bangunan ini berdiri. Bentuk atap yang menjulang menciptakan ruang
yang cukup luas dibawahnya, sehingga tercipta penghawaan udara yang baik dan bersih. Dengan
bentang atap yang relative lebar, kualitas udara yang masuk kedalam, terutama bagian inti bangunan,
yaitu diantara saka guru, menjadi lebih bersih dan relative lebih sejuk. Bangunan yang terbentuk hanya
dari tiang tanpa pengisi membuat sirkulasi udara dalam bangunan mudah dan sehat karena udara cepat
berganti sehingga tidak terjadi kejenuhan ruangan. Tiang- tiang yang biasanya terbuat dari material kayu
juga membantu mendinginkan ruangan. Sifat kayu yang relative dingin menetralisir udara panas yang
masuk sehingga menjadi lebih sejuk. Lantai serta umpak yang terbuat dari material keras alam seperti
batu dan marmer sangat berperan sebagai temperatur control atau pengatur suhu. Material batu dan
marmer cenderung tetap dingin walaupun udara di sekitarnya berubah menjadi panas. Dengan bantuan
dari atap pendapa dan sirkulasi udara yang baik karena ruangan tanpa sekat, lantai pendapa berfungsi
maksimal sebagai pembawa kesejukan.

10
Lantai dan umpak juga berfungsi sebagai unsure akustik yang penting. Material batu membuat
suara dan getaran yang bergerak menjadi lebih optimal. Didukung oleh factor atap yang melingkupi
bangunan dan ruangan tanpa sekat, suara dalam pendapa menjadi lebih mudah didengar dan lebih jelas.
Selain itu suara dari luar sulit masuk karena terhalang oleh bentuk tritisan yang lebar. Suara dari dalam
pun sulit didengar dari luar ruangan pendapa dikarenakan bentuk atap. Hal ini menunjang fungsi utama
bangunan pendapa, yaitu sebagai tampat penerima tamu dan bermusyawarah. Dengan akustik yang
baik, musyawaran dan percakapan menjadi lebih mudah dan tidak perlu mengeluarkan tenaga yang
terlalu banyak untuk berbicara.

4. Arsitektur Bali

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat
Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari
zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar
Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi
yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan
dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan,
palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek
tersebut atau yang biasa disebut ‘’Tri Hita Karana’’. Pawongan merupakan para penghuni rumah.
Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Dalam
pembangunannya, arsitektural tradisional bali dipraktekan oleh arsitek local yang disebut undagi.
Undagi adalah sebutan bagi arsitek tradisional Bali. Seorang undagi tidak hanya membekali dirinya
dengan ilmu rancang bangun, namun juga harus mempelajari serta memahami seni, budaya, adat dan
agama. Hal tersebut wajib dikuasai oleh seorang undagi agar dalam proses perancangan dan penciptaan
karya bangunan selaras dan sejalan dengan konsep Tri Hita Karana.

11
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:

 Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala


Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi,
yang berhubungan dengan materialisme
Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu
menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
Sumbu natural: Gunung dan Laut
Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya Dapur, karena berhubungan
dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan
dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. dan Karena Sumur
menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada.
 Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
 Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga
merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.
a. Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat
tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang
digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
b. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela,
dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia..
c. Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya
diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai
penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari
batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup
rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu
gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir
nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu
 Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah :
Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.
sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan
kebudayan tersebut.

12
agemel acengkang aguli akacing

alek amusti
Atapak batis Atapak batis ngandang

Duang nyari Petang nyari sahasta Tapang lima

Atengan depa agung

Atengan depa alit

Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom
terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan
dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang
disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah
bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom.
Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah
sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale
dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4.
Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12
sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

13
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang
yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan
sumbu Gunung Agung.
Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam
pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang
tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat
pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini,
haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara,
selatan, timur, dan barat.
Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi
utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan
tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Berikut bagian-bagian ruang pada
rumah tinggal tradisional Bali.

1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu
sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod.
2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan
agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh
kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.

14
4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada
perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya
di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga
posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang
diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota
keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau
merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil
kebun lainnya.

15
5. Arsitektur Minangkabau

Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suatu suku bangsa
yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah.
Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung),
mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang
membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.

Arsitektur Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah alam
takambang jadi guru , mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga
dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut bakarano bakajadian
(bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya
yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu.

Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke
atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah
Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas
(trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika
merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi
empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke
arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup
mereka.

Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya
kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang
meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan
bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis
yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan

16
segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang
lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan
yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar
ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi
memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun
berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari
serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut
syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan,
kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya
kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau
rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjon runcing menjulang. Jika
menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang.
Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan
lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga
disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat
disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.
Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah
diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut
juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Sedangkan rumah dan aliran Bodi Caniago lazimnya
disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran
Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Rumah kaum yang
tidak termasuk aliran keduanya, seperti yang tertera dalam kisah tambo bahwa ada kaum yang tidak di
bawah pimpinan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, yakni daRI aliran Datuk Nan
Sakelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.

Rumah gadang kaum ini menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada
kedua ujung rumahnya. Sedangkan sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah
gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai
panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap.
Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan
kewaspadaannya. Rumah di daerah Cupak dan Salayo, di Luhak Kubuang Tigo Baleh yang merupakan
wilayah kekuasaan raja, disebut rumah basurambi (rumah berserambi). Bagian depannya diberi serambi
sebagai tempat penghulu menerima tamu yang berurusan dengannya. Jika menurut gaya luhak, tiap
luhak mempunyai gaya dengan namanya yang tersendiri. Rumah gadang Luhak Tanah Datar dinamakan
gajah maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya rumah baanjuang karena luhak itu menganut
aliran Kelarasan Koto Piliang. Rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek (serambi pepat)
yang bentuknya bagai dipepat pada kedua belah ujungnya. Sedangkan rumah gadang Luhak Lima Puluh
Koto dinamakan rajo babandiang (raja berbanding) yang bentuknya seperti rumah Luhak Tanah Datar
yang tidak beranjung). Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di
bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang.

17
Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan
rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di
depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak
tangganya di depan dan di bagian tengah. Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang
didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah.
Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui
tangga rumah.

Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena
fungsinya. Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang
kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan
melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri.

Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda
memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis
memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur.
Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua,
duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru
di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian

18
pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan
fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.

Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota
kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama. Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah
gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di
sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai
keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka
hormati. Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap
laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan
dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke
pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu
mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya. Umumnya
rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain
akan dibangun di sebelahnya.

Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang
lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang. Fungsi Bagian Rumah Rumah gadang terbagi atas
bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan
ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh
tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan
ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar
tergantung pada besar rumah, bias dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara
tiga dan sebelas. Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk
kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu
umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk
bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin
dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat
yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat
untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar
untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang
di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda.
Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau
rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung
sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai
upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti
penyimpanan barang berharga milik kaum.

Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar.
Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu
ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah
berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia
digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau

19
tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni
kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain
yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani
dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian
dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah.

Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan
ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini
ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang
lazimnya menupakan tiang yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding
depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila
diadakan perjamuan.

Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain
untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian
tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang
terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke
belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu
sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi
papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan
ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung
tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si
pangkal (tuan rumah). Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau
juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.

20
Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong
sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang
bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau
koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang
bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.

Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau
kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing. Pendirian rumah gadang itu dimulai
dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu
dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta
ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku.
Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada
penghulu suku yang lain.

Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum
oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum
secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum
dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana.
Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela
kayu).

Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk
balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti
agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan
papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari. Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak
tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus
untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang
dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut
kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab,
setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat.

Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak
tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan
balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang
patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudokudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun
diadakan lagi dengan maksud yang sama. Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki
rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada
waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara
syukuran dan terima kasih kepada semua orang.

Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu.
Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada
paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi

21
dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang
yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.

Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran
nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu
merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan
merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran.
Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambungmenyambung. Cabang atau ranting akar itu
berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang
berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah. OIeh karena rambatan akar itu
bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemberian nama itu tergantung pada garis yang
dominan pada ukiran itu. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah seperti berikut.

1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ula gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk
ular yang sedang melingkar.

2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau
serhubungan satu sama lain.

3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena
menyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.

4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar
ganda yang parallel dinamakan kambang (kembang = mekar).

5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).

6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran
itu sama atau tidak sama.

Dari motif pokok itu dapat dibuat berbagai variasi antara lain ialah seperti berikut.

1. Mengkombinasikannya motif segi empat.

2. Menyusun dalam kombinasi rangkap.

3. Memperbesar atau mempertebal bagian-bagian hingga lebih menonjol dari yang lain

4. Memutar atau membalikkan komposisi.

Di samping motif akar dengan berbagai pola itu, ada lagi motif akar yang tidak memakai pola. Ukirannya
mengisi seluruh bidang yang salah satu bagian sisinya bergaris relung.

Motif lainnya ialah motif geometri bersegi tiga, empat, dan genjang. Motif ini dapat dicampur dengan
motif akar, juga bidangnya dapat diisi ukiran atau dihias ukiran pada bagian luarnya.

22
Motif daun, bunga, atau buah dapat juga diukir tersendiri, secara benjajaran. Ada kalanya dihubungkan
oleh akar yang halus, disusun berlapis dua, atau berselang-seling berlawanan arah, atau berselang-seling
dengan motif lainnya.

Oleh karena banyak variasi dan kombinasi, serta banyak pula komposisinya yang saling berbeda
maka masing-masing diberi nama yang berfungsi sebagai kode untuk membedakan yang satu dengan
yang lain.

Nama bagi motif daun, bunga, dan buah boleh dikatakan semua menggunakan nama daun,
bunga, dan buah yang dipakai sebagai model ukiran, seperti daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan
bodi. Dalam hal bunga ialah cengkih, mentimun, lada, kundur, kapeh. Dalam hal buah ialah manggis,
keladi, rumbia, rambai. Ada kalanya hiasan ukiran pengganti bunga atau buah itu dipakai motif dan
benda perhiasan lainnya, seperti manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang; dan kipas. Ada kalanya
pula motif daun dinama dengan nama hewan, seperti itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).

Nama ukiran geometri bersegitiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung atau si tinjau
lauik. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga dan si tinjau
laut mengingatkan pada atap rumah gadang dengan nama yang sama jika dilihat dari samping. Ukiran
segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya
seperti potongan gelamai yang disayat genjang. Nama yang diberikan pada ukiran yang bermotif akar
disesuaikan dengan polanya. Setiap nama umumnya terdiri dari dua kata, seperti akar cina (akar terikat),
akar berpilin, akar berayun, akar segagang, akar dua gagang. Akar dua gagang lazim pula disebut
kembang manis. Akar yang berjalin dinamakan seperti alat penangkap hewan, yakni seperti jala terkakar
(terhampar), jerat terkakar atau tangguk terkakar. Akar yang saling berkaitan dinamakan seluk laka
karena bentuknya sebagai laka yang berupa alat untuk tempat belanga yang berisi masakan. Nama
ukiran yang dibuat bervanasi dengan berbagai kombinasi dan perubahan komposisi dan penonjolan
bagianbagiannya umumnya memakai nama hewan, seperti tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan rama-
rama. Nama hewan itu Iazimnya ditambah dengan suatu kata yang melukiskan keadaan, seperti rama-
rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah badorong, kelelawar bergayut.

Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah
gadang. Pada papan yang tersusun secara vertikal, motif yang digunakan ialah ukiran akar. Pada papan
yang dipasang secara horisontal, digunakan ukiran geometris. Pada bingkai pintu, jendela, dan pelapis
sambungan antara tiang dan bendul serta paran, dipakai ukiran yang bermotif lepas. Sedangkan pada
bidang yang salah satu sisinya berelung, dipakai motif ukiran akar bebas. Ada kalanya dipakai motif
kumbang, mahkota, dan lain lainnya sebagai hiasan pusat.

Pemberian nama tampaknya tidak mempunyai pola yang jelas. Umpamanya, motif yang sama
tetapi berbeda jenis ukiran yang mengisi bidangnya akan memperoleh nama yang tidak ada
hubungannya sama sekali, seperti antara singo mandongkak (singa mendongkak) dan pisang sasikek
(pisang sesisir). Ukiran yang bernama kaluak paku (keluk pakis) jika disalin melalui lantunan kaca akan
berubah namanya menjadi kijang balari. Demikian pula ukiran yang bernama ramo-ramo (rama-rama)
jika disalin melalui lantunan kaca namanya berubah menjadi tangguak lamah (tangguk lemah).

23
6. Arsitektur Toraja

Tongkonan adalah rumah adat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas
susunan kayu. Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat
tidur dan dapur. Bahkan tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat.

Kesimpulan

Pola arsitektur pada era pancosmism di indonesia bersifat seragam sesuai dengan lokasinya. Pola ini
dipengaruhi oleh factor geografis dan ekologis setempat.

24

Anda mungkin juga menyukai