Klasifikasi
Kontusio buli-buli. Hanya memar pada dinding buli-buli, mungkin ada hematoma
perivesikel tapi tidak ada ekstravasasi urine keluar.
Cedera bili-buli ekstraperitoneal (45-60%)
Cedera intraperitoneal (25-45%)
Diagnosis
Klinis: Riwayat tauma, tanda-tanda shock, tidak bisa buang air kecil, Hematuria.
Radiology:
o Cystografi, terdapat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikel merupakan
tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras disela-sela usus berarti
ada robekan buli-buli intraperitoneal.
o foto polos abdomen dengan tanda-tanda fraktur pelvis.
o cystoscopy.
Terapi
Tergantung klasifikasi trauma.
o Kontusio : pasang kateter untuk mengistirahatkan buli-buli & sembuh 7-10 hari.
o Cedera intraperitoneal : eksplorasi laparotomi, cari robekan, rongga abdomen di
drainase, dijahit 2 lapis, pasang kateter sistostomi.
o Cedera ekstraperitoneal dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari.
o Pemberian antibiotik.
o Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra,
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan cystografi guna melihat kemungkinan masih
adanya ekstravasasi urine.
Komplikasi
Peritonitis.
Infeksi Pelvis dan kandung kemih.
Infeksi ginjal.
Infeksi scrotum dan epididimis.
Fistula.
Osteitis pubis.
Trauma buli-buli
Ruptur buli-buli
Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi di daerah
suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar dibedakan dari hematom
akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah tulang pelvis dapat diketahui bila terasa
nyeri waktu diadakan penekanan pada kedua krista iliaka.
Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapubik makin meningkat di samping adanya anuri,
diagnnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jenis intraperitoneal, urin masuk
ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan timbul tanda rangsang peritoneum. Mungkin
juga terdapat nyeri suprapubik, tetapi tak terdapat benjolan dan perkusi pekak.
REPAIR BULI-BULI
a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan untuk menjahit diskontinyuitas dinding buli-buli yang disebabkan
oleh trauma.
b. Ruang lingkup
Semua penderita yang dicurigai ruptur buli-buli, yaitu penderita dengan riwayat trauma yang
disertai dengan:
Ruptur buli-buli adalah hilangnya kontinuitas dari dinding buli-buli, dapat disebabkan oleh
trauma tajam, trauma tumpul maupun iatrogenik.
c. Indikasi operasi
d. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap, tes faal ginjal, sedimen urin, foto polos abdomen/pelvis, IVP, sistografi dan tes
buli-buli.
Teknik Operasi
Posisi terlentang
Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.
Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
Dengan pembiusan umum.
Insisi kulit midline ± 10 cm, lapis demi lapis dan rawat perdarahan
M. rektum abdominis dipisahkan pada linea alba (tengah-tengah)
Lemak prevesikal disisihkan kearah kranial sehingga buli-buli terlihat keseluruhannya
dengan jelas.
Periksa dengan teliti seluruh dinding buli-buli, tentukan letak, jumlah, ukuran dan bentuk
robekannya :
- Bila bentuk robekan tidak teratur, perlu dilakukan debridement pada tepi-tepinya.
- Bila letak robekan di intraperitoneal, maka dilakukan repair trans peritoneal
Pasang DK 16F per urethra sebelum dilakukan penjahitan buli-buli, dan pastikan DK
masuk di dalam buli (balon kateter jangan dikembangkan dulu, agar tidak tertusuk
sewaktu menjahit buli) pada kasus – kasus ruptura yang berat atau pertimbangan lain
perlu di pasang kateter sistostomi nomor 22 atau 24.
Jahit robekan buli 2 lapis, yaitu :
- Jahit mukosa-muskulari buli dengan plain cutgut 3-0 secara jelujur biasa
e. Komplikasi operasi
f. Perawatan Pascabedah
g. Follow-up
Sesuai indikasi
Pemeriksaan Pembantu:
Hasil negatif palsu bil daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus atau omentum.
Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter tersumbat bekuan darah
sehingga selisih cairan tak bisa keluar.
Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal
Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptur jenis intraperitoneal.
b. Trauma Uretra
Cedera uretra dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori besar berdasarkan lokasi anatomi
trauma. cedera uretra posterior terletak di uretra pars membranosa dan prostat. Cedera ini
yang paling sering berhubungan dengan trauma tumpul besar seperti tabrakan kendaraan
bermotor dan jatuh, dan sebagian besar kasus-kasus seperti yang disertai dengan patah tulang
panggul . Luka-luka ke uretra anterior terletak distal ke uretra bermembran. Kebanyakan
cedera uretra anterior disebabkan oleh trauma tumpul ke perineum (cedera kangkang), dan
banyak yang tertunda manifestasi, muncul tahun kemudian sebagai striktur uretra. Ketika
dihadapkan dengan trauma uretra, keputusan manajemen awal harus dilakukan dalam
konteks cedera lain dan stabilitas pasien. Pasien-pasien sering memiliki beberapa cedera, dan
manajemen harus dikoordinasikan dengan spesialis lain, biasanya trauma, perawatan kritis,
dan spesialis ortopedi. Cedera yang mengancam kehidupan harus dikoreksi pertama dalam
algoritma trauma. Intervensi tradisional untuk laki-laki dengan cedera uretra posterior
sekunder untuk fraktur panggul adalah penempatan kateter suprapubik untuk drainase
kandung kemih dan memperbaiki tertunda berikutnya. Ini adalah pendekatan yang paling
aman karena membangun drainase kemih dan tidak memerlukan manipulasi uretra serta
mencegah hematoma yang disebabkan oleh fraktur panggul. Hal ini memungkinkan
perbaikan formal yang akan dilaksanakan beberapa minggu kemudian dalam keadaan
terkendali dan setelah resolusi hematoma. Kateter suprapubik dapat dengan aman
ditempatkan baik percutaneously atau melalui pendekatan terbuka dengan sayatan kecil.
bimbingan USG dapat membantu dalam pendekatan perkutan. Luka penetrasi pada uretra
anterior harus diselidiki. Kerusakan hingga 2 cm dalam uretra bulbar dan hingga 1,5 cm pada
uretra penis dapat diperbaiki terutama melalui anastomosis langsung melalui kateter dengan
jahitan yang diserap. Ini adalah metode yang disukai untuk perbaikan luka-luka. Wanita yang
mengalami cedera uretra jarang tapi layak pertimbangan khusus. Mekanisme ini melibatkan
geser dari uretra jauh dari simfisis pubis oleh fraktur pelvis dan dapat dikaitkan dengan
signifikan vagina dan cedera kandung kemih. Darah sering ditemukan dalam kubah vagina
pada pemeriksaan panggul, dan bagian dari sebuah kateter uretra tidak mungkin atau tidak
menghasilkan urin. Urethrography sulit untuk memperoleh diagnosis sering klinis. Cedera
kandung kemih bersamaan harus sering dikesampingkan dengan cystography CT. Para
perempuan ini umumnya memiliki beberapa cedera, dan pendekatan manajemen harus
mencerminkan ini. Drainase kandung kemih harus ditetapkan, metode yang termudah dan
tercepat adalah penempatan kateter suprapubik yang diikuti oleh delayed evaluation dan
rekonstruksi. Jika pasien sedang dieksplorasi untuk luka lain atau jika kateter suprapubik
perkutan tidak dapat dengan aman ditempatkan, cystotomy dengan kateter uretra antegrade
dapat membantu memperbaiki definitif dini dan meminimalkan morbiditas lebih lanjut.
Penindak lanjutan dengan hati-hati sangt diperlukan untuk mengelola setiap inkontinensia
yang dihasilkan atau gangguan ginekologis.
Preoperative Rincian
Dalam semua cedera uretra, lokasi cedera harus dilokalisasi dengan urethrography (dilakukan
dengan pengulangan), cystogram antegrade melalui tabung suprapubik, dan cystoscopy, jika
diperlukan. Jika perbaikan perineum terbuka dilakukan, pasien harus ditempatkan dengan
posisi lithotomy. Akses ke kandung kemih melalui kateter suprapubik dapat digunakan.
Eksplorasi untuk cedera uretra penis dapat dilakukan dalam posisi telentang, walaupun
lithotomy juga dapat membantu jika pembedahan harus dilakukan ke dalam skrotum.
Intraoperative Rincian
Dalam rekonstruksi uretra terbuka, pembedahan uretra dengan hati-hati sangatlah penting.
Beranastomosis harus dilakukan secara mukosa-ke-mukosa untuk memastikan penyembuhan
yang tepat tanpa jaringan parut lebih lanjut. Mobilisasi yang berlebihan dari saluran kencing
harus dihindari untuk mencegah penarikan dari penis.
Pascaoperasi Rincian
Dalam perbaikan terbuka, kateter suprapubik dapat dilepaskan dengan segera, namun tetap
meninggalkan kateter uretra untuk drainase dan stenting. Antibiotik dipertahankan selama 2
minggu, dan kateter akan dilepas setelah 4 minggu. Pola yang sama diikuti untuk prosedur
endoskopik kecuali bahwa kateter urethral dibiarkan berdiamnya selama 6 minggu. Setelah
kedua jenis prosedur, urethrography retrograde dapat diindikasikan untuk memastikan
ekstravasasi tidak terjadi sebelum pelepasan kateter. Hal ini terutama berlaku bagi pasien
yang sulit dalam penyembuhan luka seperti penderita diabetes.
Tindak lanjut
Dalam semua kasus cedera uretra, tindak lanjut harus mencakup penilaian sejarah berkemih
pasien, status penahanan, dan potensi. Tidak diragukan lagi, tindak lanjut harus seumur
hidup, walaupun dalam populasi trauma hal ini sering sulit dilakukan. Ulangi
cystourethrography dan cystoscopy harus digunakan setiap kali terjadi perubahan berikut
rekonstruksi.
TRAUMA URETRA POSTERIOR
a) Immediate Management
Manajemen awal seharusnya terdiri dari cystostomy suprapubik untuk mendrainase urin.
Sebuah insisi garis tengah perut bagian bawah harus dilakukan, dengan hati-hati untuk
menghindari hematoma pelvis yang besar. Kandung kemih sering mengalami distensi karena
volume akumulasi urin yang besar selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin ini
jernih dan bebas dari darah, tapi gross hematuria mungkin hadir. Kandung kemih harus
dibuka di garis tengah dengan hati-hati dan diperiksa dengan seksama. Jika luka hadir,
kandung kemih harus ditutup dengan jahitan menyerap material dan dimasukkan cystostomy
tube untuk drainase kemih. The cystostomy suprapubik dipertahankan di tempat selama
sekitar 3 bulan. Ini memungkinkan resolusi hematoma panggul, dan prostat dan kandung
kemih perlahan-lahan akan kembali ke posisi anatomis mereka.
Derajat kesadaran yang paling rendah yaitu koma. Koma terbagi dalam :
Koma supratentorial diensephalik : merupakan semua proses supratentorial yang
mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalon yang
menimbulkan koma.
Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
- Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam ruang intracranial supratentorial
secara akut.
- Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.
- Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang
otak.
Koma infratentorial diensefalik, disini terdapat 2 macam proses patologik yang
menimbulkan koma :
o Proses patologik dalam batang otak yang merusak substansia retikularis.
o Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia
retikularis.
Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon
mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat
perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis dari
pada mesensefalon.
Koma bihemisferik difus : terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium
terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa hemiparesis,
hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia, serta gangguan kualitas
kesadaran.
Derajat kesadaran lainnya yaitu tidur. Tidur merupakan suatu derajat kesadaran yang berada
dibawah keadaan awas-waspada dan merupakan fisiologik yang ditentukan oleh aktivitas bagian-
bagian tertentu dari substansia retikularis. Tidur secara patologis yaitu keadaan tidur dan
berbagai mecam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi dibawah derajat awas-waspada,
diantaranya letargi, mutismus akinetik, stupor, dan koma.
Gangguan tidur terdiri atas hipersomnia dan insomnia :
a) Hipersomnia (kebanyakan tidur) merupakan gejala keadaan patologik yang dibedakan
dalam :
o Hipersomnia karena proses patologik diotak, seperti ensefalitis dan tumor serebri.
o Hipersomnia karena proses patologik sistemik, seperti hiperglikemia atau uremia.
b) Insomnia (tidak bisa tidur) merupakan gejala sekunder beberapa jenis psikoneurosis yang
dapat timbul sebagai :
Insomnia primer, yaitu penderita tidur tapi tidak merasa tidur.
Insomnia sekunder akibat psikoneurosis yang umumnya punya banyak keluhan non
organic, sakit kepala, perut kembung, badan pegal, dll.
Insomnia sekunder akibat penyakit organic, yaitu penderita tidak bisa tidur karena
saat tertidur, ia diganggu oleh penderitaan organic. Misalnya seperti penderita
diabetes mellitus yang sering terbangun karena sering kencing, atau penderita ulkus
duodeni yang sering terbangun karena mules dan lapar pada tengah malam, atau
penderita arthritis reumatika yang mudah terbangun oleh nyeri yang timbul pada
setiap perubahan sikap badan.
Selain dari gangguan tidur diatas, ada juga gangguan tidur fungsional, yaitu diantaranya :
Somnambulisme, yaitu berjalan dalam keadaan tidur.
Sleep automatism, yaitu berjalan sambil melakukan suatu perbuatan yang bertujuan dalam
keadaan tidur. Misalnya membereskan koper seperti orang yang ingin bepergian tapi
dalam keadaan tidur.
Kekau, yaitu berbicara dalam keadaan tidur yang biasanya terkait dengan mimpi.
Kejang nokturnus atau mioklonus nokturnus, yaitu saat tidur, ia terbangun kembali karena
anggota geraknya berkejang sejenak.
Paralisis nokturnus, yaitu perasaan lumpuh seluruh tubuh yang dialami sebagai kenyataan
dan menghilang serentak saat mata dapat dibuka.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
1. Defisiensi (kekurangan) vitamin A.
Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.
2. Trakoma yang disertai dengan entropion.
Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan,
terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada kelopak atas.
3. Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan
didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea
lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.
4. Katarak congenital
Yaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu penyebab
kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria (bercak putih),
fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus (juling), nystagmus
(pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar
kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).
5. Glaukoma congenital
6. Glaukoma simpleks
7. Perdarahan badan kaca
8. Retinoblastoma (tumor ganas retina) yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari
neuroretina (sel kerucut dan batang).
9. Neuritis optika / papilitis
10. Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat
menutup sempurna).
11. Tumor intraorbita
12. Perdarahan retrobulbar
Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata (Hifema). Hifema adalah darah dalam bilik mata depan
sebagai akibat pecahnya pembuluh darah pada iris, akar iris dan badan silia.
Patofisiologi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris,
akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris
bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan
menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta
merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul
dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior
posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral
sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena
adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi
jernih kembali.
Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (tes fungsi hati, prothombin, trombosit dan waktu perdarahan)
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan lampu celah
- Pemeriksaaan goneoskopi (untuk mencari pembuluh darah yang rusak dan resesif sudut)
Manajemen Terapi
Sampai sekarang masih terdapat konsep yang berbeda tapi yang penting dalam penaganan
hifema memberi pertolongan dan pengobatan secara cepat dan tepat sehingga dapat mencegah
atau mengurangi komplikasi. Istirahat total selama 5 hari untuk melihat terjadinya hifema
ulangan.
Posisi berbaring 30-45° akan menyebabkan darah berkumpul di bawah dan akan menurunkan
tekanan darah sistemik sehingga mengurangi resiko hifema ulangan.
Pemberian tetes mata:
1. Xicloplegi (obat parasimpatolitik).
2. Medriatikum
3. Miotik lebih baik dihindari karena menyebabkan inflamasi
4. Tetes mata steroid untuk mengurangi rasa tidak enak akibat evitis dan untuk mencegah
terjadinya hifema ulangan.
5. Pencucian bilik mata depan dianjurkan jika TIO naik lebih dari 24 jam.
6. Tindakan operatif (untuk mencegah kenaikan TIO).
b. Objektif
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Gangguan persepsi sensori: penglihatan .
3. Cemas
4. PK : Peningkatan TIO
5. PK:Perdarahan
6. Risiko Infeksi
A. DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.
Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi.
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan
kehilangan mata.
B. JENIS-JENIS TRAUMA
TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk kegawatdaruratan
mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7. Beberapa zat asam yang sering
mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat, hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena
zat kimia bersifat asam maka akan terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya tidak
berat. Asam akan menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini
menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung membatasi penetrasi
dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan basa yang mampu menembus jaringan mata
dan akan terus menimbulkan kerusakan lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi juga
menyebabkan kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam masa penyembuhan setelah terkena zat
kimia asam akan terjadi perlekatan antara konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang
disebut simblefaron.(Susanto, 2004; Vaughan, 2000)
Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan menggunakan salin isotonic
steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas indicator di
forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7. (Vaughan, 2000).
TRAUMA BASA
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari
luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu
kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi anterior, dan sampai retina dengan
cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan
kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai
dengan dehidrasi.
TRAUMA TEMBUS
Adalah suatu trauma dimana sebagian atau seluruh lapisan cornea dan sclera mengalami
keruskan.
Etiologi
Terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bulbus oculi:
Logam: magnit, bukan magnit
Non logam
Manifestasi Klinis
- Visus turun
- Tekanan intra ocular rendah
- Angulus iridocornealis dangkal
- Bentuk dan letak pupil berubah
- Terlihatnya ada rupture pada cornea atau sclera
- Terdapat jaringan yang prolaps (lepas), seperti: iris, lens, retina
- Konjungtiva chemosis
Patofisiologi
Benda asing dengan kecepatan tinggi (trauma karena suatu ledakan) akan menembus seluruh
lapisan sclera atau cornea serta jaringan lain dalam bulbus oculi sampai ke segmen posterior
kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat mengenai os orbita. Dalam hal ini akan ditemukan
suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps (lepasnya) iris, lens, ataupun corpus vitreus.
Perdarahan intraocular dapat terjadi apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema atau
henophthalmia.
Komplikasi
Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim pada dokter mata untuk dilakukan
pembedahan. Diberikan antibiotik sistemik secara oral atau intravena, anti tetanus profilaktik,
analgesik, dan sedatif bila perlu. tidak boleh diberikan steroid local dan bebat tidak boleh
menekan bola mata. Pengeluaran benda asing sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas yang memadai.
TRAUMA TUMPUL
1. Trauma tumpul palpebra
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan merusak
struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur
mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola
mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks menutup. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh
darah yang rusak pada trauma tersebut
2. Trauma tumpul lensa
a. Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
b. Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah
tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada
zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa
iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan
menjadi cembung, dan maata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik
mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma sekunder.
c. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma
maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik
mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga
akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh
penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah
dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema korne, lensa di dalam
bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata
sangat tinggi.
d. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi
lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga
lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus
okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia.
Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan
dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat
menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik
e. Katarak Trauma. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius merupakan cincin
berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma,
yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah suatu trauma,
seperti suatu stempel jari.
Jika terjadi ablasi retina akibat trauma tumpul mata, maka penderita harus cepat dirawat
untuk kemudian dikirim ke dokter spesialis. Pemeriksaan oftalmoskopi menunjukkan adanya
retina yang abu-abu dan pembuluh darah yang tampak terangkat dan berkelok-kelok. Jika
terjadi atrofi saraf optik, maka tajam penglihatan akan sangat menurun, bahkan sampai buta.
Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan atrofi saraf optik terletak di belakang bola mata
seperti adanya perdarahan retrobulbar, fraktur dinding orbita, atau fraktur basis cranii
(Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2002).
Fundus harus diperiksa dengan oftalmoskopi direk setelah midriasis penuh dilakukan. Jika
tidak terlihat detil struktur mata, maka hal ini menunjukkan terjadinya perdarahan vitreous.
Perdarahan vitreous terabsosrbsi dalam waktu beberapa minggu atau mungkin diperlukan
pengangkatan dengan virektomi. Daerah perdarahan retina dan daerah berwarna putih
(edema) dapat dilihat. Koroid juga bisa robek dan menyebabkan perdarahan subretina yang
kemudian diikuti oleh parut subretina (James, 2006)
Daftar Pustaka
http://suarademartha.blogspot.com/2010/06/neurologi-gangguan-kesadaran.html
Tanagho, EA. Smith’s General Urology. New York: Mc Graw Hill. 2008.
http://dokterrizy.blogspot.com/2010/06/bedah-pada-trauma-uretra.html
http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/evaluasi-neurologik-disabity.html