Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MANDIRI PBL SKENARIO 2

Yani Desi Yanti


1102007296

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma pelvis ( buli-buli ) dan Trauma Uretra

a. Trauma Pelvis ( buli-buli )


Penyebab
 Angka kejadian 2%.
 90% trauma tumpul akibat fraktur pelvis.
 Jika buli-buli penuh, maka akan mudah robek jika terdapat tekanan dari luar berupa
benturan. Buli-buli yang robek menyebabkan ekstravasasi urine ke intra/ekstra
peritoneum.
 Tindakan operasi : hysterektomi, operasi colon / rectum, operasi hernia / operasi vagina.

Klasifikasi
 Kontusio buli-buli. Hanya memar pada dinding buli-buli, mungkin ada hematoma
perivesikel tapi tidak ada ekstravasasi urine keluar.
 Cedera bili-buli ekstraperitoneal (45-60%)
 Cedera intraperitoneal (25-45%)

Gejala dan Tanda Klinis


 Umum : Shock, Hipotensi, Tachicardi, Demam
 Lokal: Peritonismus, bengkak dinding abdomen, Perdarahan uretra, Odem skrotum /
labium, Tidak bisa buang air kecil.
 Nyeri Suprasimfisis.
 Hematuria.
 Anuria.

Diagnosis
 Klinis: Riwayat tauma, tanda-tanda shock, tidak bisa buang air kecil, Hematuria.
 Radiology:
o Cystografi, terdapat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikel merupakan
tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras disela-sela usus berarti
ada robekan buli-buli intraperitoneal.
o foto polos abdomen dengan tanda-tanda fraktur pelvis.
o cystoscopy.

Terapi
 Tergantung klasifikasi trauma.
o Kontusio : pasang kateter untuk mengistirahatkan buli-buli & sembuh 7-10 hari.
o Cedera intraperitoneal : eksplorasi laparotomi, cari robekan, rongga abdomen di
drainase, dijahit 2 lapis, pasang kateter sistostomi.
o Cedera ekstraperitoneal dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari.
o Pemberian antibiotik.
o Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra,
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan cystografi guna melihat kemungkinan masih
adanya ekstravasasi urine.

Komplikasi
 Peritonitis.
 Infeksi Pelvis dan kandung kemih.
 Infeksi ginjal.
 Infeksi scrotum dan epididimis.
 Fistula.
 Osteitis pubis.

Trauma buli-buli

- Istirahat baring sampai hematuri makriskopik hilang.


- Minum banyak untuk meningkatkan diuresis. Bila penderita dapat miksi dengan lancar
berarti tidak ada ruptur buli-buli ataupun uretra.
- Bila hematuria berat dan menetap sampai 5-6 hari pasca trauma, buat sistrogram untuk
mencari penyebab lain.
- Obat- obatan : Antibiotik: Ampisilin 4x 250-500 mg/ hari per oral. Hemostatik: Adona AC-
17 per oral

Ruptur buli-buli

Pada jenis ekstraperitoneal akan timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi di daerah
suprapubik akibat masuknya urin ke kavum Retzii. Benjolan ini sukar dibedakan dari hematom
akibat patah tulang pelvis yang sering menyertai. Patah tulang pelvis dapat diketahui bila terasa
nyeri waktu diadakan penekanan pada kedua krista iliaka.

Bila dalam 24 jam nyeri di daerah suprapubik makin meningkat di samping adanya anuri,
diagnnosa ruptura buli-buli ekstraperitoneal dapat dibuat. Pada jenis intraperitoneal, urin masuk
ke rongga perut sehingga perut makin kembung dan timbul tanda rangsang peritoneum. Mungkin
juga terdapat nyeri suprapubik, tetapi tak terdapat benjolan dan perkusi pekak.

REPAIR BULI-BULI

a. Definisi

Suatu tindakan pembedahan untuk menjahit diskontinyuitas dinding buli-buli yang disebabkan
oleh trauma.

b. Ruang lingkup
Semua penderita yang dicurigai ruptur buli-buli, yaitu penderita dengan riwayat trauma yang
disertai dengan:

 Tidak keluar kencing atau tidak ingin kencing


 Kencing darah atau bercampur darah
 Nyeri didaerah supra symphysis/perut bagian bawah
 Nyeri tekan didaerah abdomen dan tegang (peritonismus)
 Sistografi: ada ekstravasasi kontras
 Test buli-buli: cairan yang keluar < cairan yang masuk  buli

Ruptur buli-buli adalah hilangnya kontinuitas dari dinding buli-buli, dapat disebabkan oleh
trauma tajam, trauma tumpul maupun iatrogenik.

c. Indikasi operasi

Ruptur buli-buli intraperitoneal

d. Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap, tes faal ginjal, sedimen urin, foto polos abdomen/pelvis, IVP, sistografi dan tes
buli-buli.

Teknik Operasi

 Posisi terlentang
 Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.
 Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
 Dengan pembiusan umum.
 Insisi kulit midline ± 10 cm, lapis demi lapis dan rawat perdarahan
 M. rektum abdominis dipisahkan pada linea alba (tengah-tengah)
 Lemak prevesikal disisihkan kearah kranial sehingga buli-buli  terlihat keseluruhannya
dengan jelas.
 Periksa dengan teliti seluruh dinding buli-buli, tentukan letak, jumlah, ukuran dan bentuk
robekannya :

-    Bila bentuk robekan tidak teratur, perlu dilakukan debridement pada tepi-tepinya.

-    Bila letak robekan di intraperitoneal, maka dilakukan repair trans peritoneal
 Pasang DK 16F per urethra sebelum dilakukan penjahitan buli-buli, dan pastikan DK
masuk di dalam buli (balon kateter jangan dikembangkan dulu, agar tidak tertusuk
sewaktu menjahit buli) pada kasus – kasus ruptura yang berat atau pertimbangan lain
perlu di pasang kateter sistostomi nomor 22 atau 24.
 Jahit robekan buli 2 lapis, yaitu :

-   Jahit mukosa-muskulari buli dengan plain cutgut  3-0 secara jelujur biasa

-   Jahit mukosa-muskularis dengan dexon 4-0, satu-satu

 Kembangkan balon kateter dengan larutan garam fisiologis ± 10cc


 Lakukan test buli-buli, untuk mengecek jahitan buli (bocor atau tidak)
 Cuci lapangan operasi dengan larutan garam fisiologis sampai bersih
 Pasang drain redon perivesikal (di cavum Retzii) dan fiksasi dengan silk 1-0 di kulit
 Tutup lapangan operasi lapis demi lapis

-    Dekatkan M. rektus abdominis dengan chromic 2-0 satu-satu

-    Jahit lemak subkutan dengan plain cat-gut 3-0 satu-satu

-    Jahit kulit dengan silk 3-0 satu-satu

e. Komplikasi operasi

Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan dan infeksi luka operasi.

f. Perawatan Pascabedah

 Lepas kateter pada hari ke 7


 Lepas drain redon setelah lepas kateter dan produksinya < 20 cc dalam 2 hari berturut-
turut.
 Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi.

g. Follow-up

Sesuai indikasi

Pemeriksaan Pembantu:

Tes Buli- buli


 Buli- buli dikosongkan dengan kateter, lalu dimsukkan 300 ml larutan garam faal yang
sedikit melebihi kapasitas buli- buli.
 Kateter di klem sebentar, lalu dibuka kembali, cairan yang keluar diukur kembali. Bila
selisihnya cukup besar mungkin terdapat ruptur buli- buli.

Kekurangan dari tes ini adalah:

 Hasil negatif palsu bil daerah ruptura tertutup bekuan darah, usus atau omentum.
 Hasil positif palsu bila muara kateter terlalu tinggi atau kateter tersumbat bekuan darah
sehingga selisih cairan tak bisa keluar.
 Sukar membedakan jenis ekstraperitoneal dengan intraperitoneal
 Bahaya infeksi dan peritonitis bila ada ruptur jenis intraperitoneal.

b. Trauma Uretra

Cedera uretra dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori besar berdasarkan lokasi anatomi
trauma. cedera uretra posterior terletak di uretra pars membranosa dan prostat. Cedera ini
yang paling sering berhubungan dengan trauma tumpul besar seperti tabrakan kendaraan
bermotor dan jatuh, dan sebagian besar kasus-kasus seperti yang disertai dengan patah tulang
panggul . Luka-luka ke uretra anterior terletak distal ke uretra bermembran. Kebanyakan
cedera uretra anterior disebabkan oleh trauma tumpul ke perineum (cedera kangkang), dan
banyak yang tertunda manifestasi, muncul tahun kemudian sebagai striktur uretra. Ketika
dihadapkan dengan trauma uretra, keputusan manajemen awal harus dilakukan dalam
konteks cedera lain dan stabilitas pasien. Pasien-pasien sering memiliki beberapa cedera, dan
manajemen harus dikoordinasikan dengan spesialis lain, biasanya trauma, perawatan kritis,
dan spesialis ortopedi. Cedera yang mengancam kehidupan harus dikoreksi pertama dalam
algoritma trauma. Intervensi tradisional untuk laki-laki dengan cedera uretra posterior
sekunder untuk fraktur panggul adalah penempatan kateter suprapubik untuk drainase
kandung kemih dan memperbaiki tertunda berikutnya. Ini adalah pendekatan yang paling
aman karena membangun drainase kemih dan tidak memerlukan manipulasi uretra serta
mencegah hematoma yang disebabkan oleh fraktur panggul. Hal ini memungkinkan
perbaikan formal yang akan dilaksanakan beberapa minggu kemudian dalam keadaan
terkendali dan setelah resolusi hematoma. Kateter suprapubik dapat dengan aman
ditempatkan baik percutaneously atau melalui pendekatan terbuka dengan sayatan kecil.
bimbingan USG dapat membantu dalam pendekatan perkutan. Luka penetrasi pada uretra
anterior harus diselidiki. Kerusakan hingga 2 cm dalam uretra bulbar dan hingga 1,5 cm pada
uretra penis dapat diperbaiki terutama melalui anastomosis langsung melalui kateter dengan
jahitan yang diserap. Ini adalah metode yang disukai untuk perbaikan luka-luka. Wanita yang
mengalami cedera uretra jarang tapi layak pertimbangan khusus. Mekanisme ini melibatkan
geser dari uretra jauh dari simfisis pubis oleh fraktur pelvis dan dapat dikaitkan dengan
signifikan vagina dan cedera kandung kemih. Darah sering ditemukan dalam kubah vagina
pada pemeriksaan panggul, dan bagian dari sebuah kateter uretra tidak mungkin atau tidak
menghasilkan urin. Urethrography sulit untuk memperoleh diagnosis sering klinis. Cedera
kandung kemih bersamaan harus sering dikesampingkan dengan cystography CT. Para
perempuan ini umumnya memiliki beberapa cedera, dan pendekatan manajemen harus
mencerminkan ini. Drainase kandung kemih harus ditetapkan, metode yang termudah dan
tercepat adalah penempatan kateter suprapubik yang diikuti oleh delayed evaluation dan
rekonstruksi. Jika pasien sedang dieksplorasi untuk luka lain atau jika kateter suprapubik
perkutan tidak dapat dengan aman ditempatkan, cystotomy dengan kateter uretra antegrade
dapat membantu memperbaiki definitif dini dan meminimalkan morbiditas lebih lanjut.
Penindak lanjutan dengan hati-hati sangt diperlukan untuk mengelola setiap inkontinensia
yang dihasilkan atau gangguan ginekologis.

Preoperative Rincian
Dalam semua cedera uretra, lokasi cedera harus dilokalisasi dengan urethrography (dilakukan
dengan pengulangan), cystogram antegrade melalui tabung suprapubik, dan cystoscopy, jika
diperlukan. Jika perbaikan perineum terbuka dilakukan, pasien harus ditempatkan dengan
posisi lithotomy. Akses ke kandung kemih melalui kateter suprapubik dapat digunakan.
Eksplorasi untuk cedera uretra penis dapat dilakukan dalam posisi telentang, walaupun
lithotomy juga dapat membantu jika pembedahan harus dilakukan ke dalam skrotum.

Intraoperative Rincian
Dalam rekonstruksi uretra terbuka, pembedahan uretra dengan hati-hati sangatlah penting.
Beranastomosis harus dilakukan secara mukosa-ke-mukosa untuk memastikan penyembuhan
yang tepat tanpa jaringan parut lebih lanjut. Mobilisasi yang berlebihan dari saluran kencing
harus dihindari untuk mencegah penarikan dari penis.

Dalam penyelarasan endoskopik, memiliki 2 urolog bekerja secara simultan dengan


fluoroskopi adalah lebih baik. Satu harus melewati sebuah lingkup transurethrally dan yang
lainnya harus bekerja melalui saluran suprapubik. Sering kali, cedera dianggap sebagai
gangguan yang lengkap namun yang justru ditemukan adalah gangguan parsial, dan mukosa
utuh dapat diikuti ke kandung kemih.

Pascaoperasi Rincian
Dalam perbaikan terbuka, kateter suprapubik dapat dilepaskan dengan segera, namun tetap
meninggalkan kateter uretra untuk drainase dan stenting. Antibiotik dipertahankan selama 2
minggu, dan kateter akan dilepas setelah 4 minggu. Pola yang sama diikuti untuk prosedur
endoskopik kecuali bahwa kateter urethral dibiarkan berdiamnya selama 6 minggu. Setelah
kedua jenis prosedur, urethrography retrograde dapat diindikasikan untuk memastikan
ekstravasasi tidak terjadi sebelum pelepasan kateter. Hal ini terutama berlaku bagi pasien
yang sulit dalam penyembuhan luka seperti penderita diabetes.

Tindak lanjut
Dalam semua kasus cedera uretra, tindak lanjut harus mencakup penilaian sejarah berkemih
pasien, status penahanan, dan potensi. Tidak diragukan lagi, tindak lanjut harus seumur
hidup, walaupun dalam populasi trauma hal ini sering sulit dilakukan. Ulangi
cystourethrography dan cystoscopy harus digunakan setiap kali terjadi perubahan berikut
rekonstruksi.
TRAUMA URETRA POSTERIOR

a) Immediate Management
Manajemen awal seharusnya terdiri dari cystostomy suprapubik untuk mendrainase urin.
Sebuah insisi garis tengah perut bagian bawah harus dilakukan, dengan hati-hati untuk
menghindari hematoma pelvis yang besar. Kandung kemih sering mengalami distensi karena
volume akumulasi urin yang besar selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin ini
jernih dan bebas dari darah, tapi gross hematuria mungkin hadir. Kandung kemih harus
dibuka di garis tengah dengan hati-hati dan diperiksa dengan seksama. Jika luka hadir,
kandung kemih harus ditutup dengan jahitan menyerap material dan dimasukkan cystostomy
tube untuk drainase kemih. The cystostomy suprapubik dipertahankan di tempat selama
sekitar 3 bulan. Ini memungkinkan resolusi hematoma panggul, dan prostat dan kandung
kemih perlahan-lahan akan kembali ke posisi anatomis mereka.

b) Delayed urethral reconstruction


rekonstruksi uretra pada gangguan prostat dapat dilakukan setelah dalam waktu 3 bulan,
dengan asumsi tidak ada abses panggul atau infeksi panggul persisten. Sebelum
rekonstruksi,sebuah cystogram gabungan dan urethrogram harus dilakukan untuk
menentukan panjang yang tepat dari uretra yang dihasilkan striktur. Penyempitan ini
biasanya 1-2 cm dan terletak di posterior tulang kemaluan. Pendekatan yang umum
dilakukan adalah rekonstruksi tahap tunggal dari ruptur uretra adalah dengan eksisi langsung
dari area striktur dan anastomosis dari bulbus uretra langsung ke puncak prostat. Sebuah
silikon kateter uretra 16f harus dibiarkan di tempat bersama dengan cystostomy suprapubik.
Kateter dikeluarkan dalam waktu satu bulan

c) Immediate Urethral Ligament


d) Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk menyetel kembali uretra segera. Insiden striktur,
impotensi, dan inkontinensia tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan cystostomy segera
dan rekonstruksi tertunda. Namun, beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan
penataan kembali uretra segera.

TRAUMA URETRA ANTERIOR


Pengobatan
A. Tindakan Umum
Kehilangan banyak darah biasanya tidak terjadi. Jika pendarahan berat tidak terjadi, maka
tekanan lokal untuk pengendalian dan diikuti oleh resusitasi diperlukan.
B. TINDAKAN SPESIFIK
1) Urethral Contusion
Pasien dengan luka memar uretra menunjukkan tidak ada bukti pengeluaran darah, dan
uretra tetap utuh. Setelah urethrography, pasien diperbolehkan untuk buang air; dan jika
buang air terjadi seperti biasanya, tanpa rasa sakit atau pendarahan, tidak ada perlakuan
tambahan diperlukan. Jika pendarahan terus berlanjut, drainase kateter uretra dapat
dilakukan.
2) Urethral Laceration
Sebuah irisan kecil garis tengah di daerah suprapubik dengan mudah mengekspose kubah
kandung kemih sehingga tabung suprapubik cystostomy dapat disisipkan, sehingga
memungkinkan pengalihan kemih lengkap dimana sementara itu terjadi menyembuhkan
luka uretra. Percutaneous cystostomy mungkin juga dapat digunakan dalam luka tersebut.
Penyembuhan pada tempat cedera dapat menghasilkan pembentukan striktur. Sebagian
besar striktur tidak parah dan tidak membutuhkan bedah rekonstruksi. kateter cystostomy
suprapubik mungkin dilepaskan jika tidak ada ekstravasasi yang terjadi. Tindak lanjut
dengan dokumentasi dari laju aliran kemih akan menunjukkan apakah terjadi obstruksi
uretra akibat striktur.

3) Urethral Laceration with extensive urinary extravasation


Setelah luka besar, pengeluaran darah mungkin melibatkan perineum, skrotum, dan perut
bagian bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Suprapubik cystostomy untuk
pengalihan kemih diperlukan. Infeksi dan pembentukan abses umum terjadi dan
membutuhkan terapi antibiotik.
4) Immediate Repair
Perbaikan segera luka uretra dapat dilakukan, tetapi prosedur ini sulit dan insiden
timbulnya striktur tinggi.

Trias ruptur uretra anterior


 Bloddy discharge
 Retensio urine
 Hematome/jejas peritoneal/ urine infiltrate
Trias ruptur uretra posterior
 Bloody discharge
 Retensio urine
 Floating prostat
 lab. : urinalisis eritrosit positip
 Radiologis : uretrografi, AP pelvic foto

2. Memahami dan Menjelaskan Kesadaran


Otak merupakan pusat sistem saraf. Otak dapat dibagi menjadi korteks serebral, ganglia
basalis, talamus dan hipotalamus, mesencephalon, pons, serebelum. Kortex serebral tersusun
menjadi dua hemisfer yang masing-masing dibagi menjadi empat lobus yaitu: lobus frontal,
parietal, occipital, dan temporal. Serebrum bertanggung jawab untuk fungsi motorik,
asosiatif, dan fungsi mental. Ganglia basalis terdiri dari nukleus caudatus dan lentikularis,
kapsula interna, dan amigdala yang merupakan struktur extrapiramidal. Struktur ini berfungsi
untuk modulasi gerakan volunter tubuh, perubahan sikap tubuh, dan integrasi otonom.
Ganglia basal berperan khusus dalam gerakan extremitas secara halus. Kerusakan ganglia
basal akan mengakibatkan kaku dan tremor.
Talamus merupakan stasiun pemancar impuls sensorik dan motorik yang berjalan dari dan ke
otak. Talamus berperan dalam kontrol respon primitif seperti rasa takut, perlindungan diri,
pusat persepsi nyeri, dan suhu. Hipotalamus terletak dibawah talamus terdiri dari kiasma
optikum dan neurohipofisis. Neurohipofisis bertanggungjawab pada pengaturan suhu, cairan,
nutrisi, dan tingkahlaku seksual.
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Interaksi antara hemisfer serebri dan
formatio retikularis yang konstan dan efektif diperlukan untuk mempertahankan fungsi
kesadaran. Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran, yaitu:
a. Kompos mentis: keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi
sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visual, auditorik, dan sensorik.
b. Apatis: sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.
c. Delirium: kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti
disorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik,sering timbul ilusi dan
halusinasi.
d. Somnolen: penderita mudah dibangunkan, dapat bereaksi secara motorik maupun
verbal yang layak, terlena saat rangsang dihentikan.
e. Sopor (stupor): penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh
rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.
f. Koma: tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang hebat sekalipun.
Penilaian kemampuan kesadaran dapat dilihat dari pemeriksaan kemampuan orientasi,
pertimbangan, abstraksi, kosa kata, dan daya ingat. GCS (Glasgow Coma Scale) adalah cara
untuk menilai tingkat kesadaran berdasar respon mata, bicara, motorik.
Respon mata nilai
 Membuka mata spontan (4)
 Membuka mata terhadap suara (3)
 Membuka mata terhadap nyeri (2)
 Menutup mata terhadap segala rangsang (1)
Respon verbal
 Berorientasi baik (5)
 Disorientasi/ bingung (4)
 Bisa membentuk kata, tidak mampu mengucap kalimat (3)
 Mengeluarkan suara yang tak punya arti (2)
 Tak bersuara (1)
Respon motorik
 Menurut perintah (6)
 Dapat melokalisir rangsang nyeri (5)
 Menolak rangsang nyeri pada anggota gerak (withdrawal) (4)
 Rangsang flexsi spontan (3)
 Rangsang extensi spontan (2)
 Tak ada gerakan (1)
Kriteria: kesadaran baik/ normal –> GCS 13-15
kesadaran turun –> GCS 9-12
koma –> GCS <8
Bagian neurologi tidak menjumlahkan hasil GCS melainkan misal: GCS E3V3M2.

Derajat kesadaran yang paling rendah yaitu koma. Koma terbagi dalam :
 Koma supratentorial diensephalik : merupakan semua proses supratentorial yang
mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalon yang
menimbulkan koma.
Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
- Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam ruang intracranial supratentorial
secara akut.
- Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.
- Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang
otak.
 Koma infratentorial diensefalik, disini terdapat 2 macam proses patologik yang
menimbulkan koma :
o Proses patologik dalam batang otak yang merusak substansia retikularis.
o Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia
retikularis.
Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon
mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat
perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis dari
pada mesensefalon.
 Koma bihemisferik difus : terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium
terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa hemiparesis,
hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia, serta gangguan kualitas
kesadaran.

Derajat kesadaran lainnya yaitu tidur. Tidur merupakan suatu derajat kesadaran yang berada
dibawah keadaan awas-waspada dan merupakan fisiologik yang ditentukan oleh aktivitas bagian-
bagian tertentu dari substansia retikularis. Tidur secara patologis yaitu keadaan tidur dan
berbagai mecam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi dibawah derajat awas-waspada,
diantaranya letargi, mutismus akinetik, stupor, dan koma.
Gangguan tidur terdiri atas hipersomnia dan insomnia :
a) Hipersomnia (kebanyakan tidur) merupakan gejala keadaan patologik yang dibedakan
dalam :
o Hipersomnia karena proses patologik diotak, seperti ensefalitis dan tumor serebri.
o Hipersomnia karena proses patologik sistemik, seperti hiperglikemia atau uremia.
b) Insomnia (tidak bisa tidur) merupakan gejala sekunder beberapa jenis psikoneurosis yang
dapat timbul sebagai :
 Insomnia primer, yaitu penderita tidur tapi tidak merasa tidur.
 Insomnia sekunder akibat psikoneurosis yang umumnya punya banyak keluhan non
organic, sakit kepala, perut kembung, badan pegal, dll.
 Insomnia sekunder akibat penyakit organic, yaitu penderita tidak bisa tidur karena
saat tertidur, ia diganggu oleh penderitaan organic. Misalnya seperti penderita
diabetes mellitus yang sering terbangun karena sering kencing, atau penderita ulkus
duodeni yang sering terbangun karena mules dan lapar pada tengah malam, atau
penderita arthritis reumatika yang mudah terbangun oleh nyeri yang timbul pada
setiap perubahan sikap badan.

Selain dari gangguan tidur diatas, ada juga gangguan tidur fungsional, yaitu diantaranya :
 Somnambulisme, yaitu berjalan dalam keadaan tidur.
 Sleep automatism, yaitu berjalan sambil melakukan suatu perbuatan yang bertujuan dalam
keadaan tidur. Misalnya membereskan koper seperti orang yang ingin bepergian tapi
dalam keadaan tidur.
 Kekau, yaitu berbicara dalam keadaan tidur yang biasanya terkait dengan mimpi.
 Kejang nokturnus atau mioklonus nokturnus, yaitu saat tidur, ia terbangun kembali karena
anggota geraknya berkejang sejenak.
 Paralisis nokturnus, yaitu perasaan lumpuh seluruh tubuh yang dialami sebagai kenyataan
dan menghilang serentak saat mata dapat dibuka.

3. Memahami dan Menjelaskan Kegawatdaruratan Mata

Kegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan menjadi


tiga macam, yaitu:
1. gawat sangat,
2. gawat, dan
3. semi gawat.

Berikut ini akan kami uraikan secara singkat dan padat.


I. Gawat Sangat
Yang dimaksud dengan keadaan "gawat sangat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit.
Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)
II. Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan
penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau
beberapa jam.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
1. Laserasi kelopak mata
2. Konjungtivitis gonorhoe
3. Erosi kornea
4. Laserasi kornea
5. Benda asing di kornea
6. Descemetokel
7. Tukak kornea
Tukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea.
8. Hifema
Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
9. Skleritis (peradangan pada sklera)
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata.
Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan
pelindung bola mata.
10. Iridosiklitis akut
11. Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh
jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma
tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (misalnya:
ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis adalah
penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.
12. Glaukoma kongestif
13. Glaukoma sekunder
14. Ablasi retina (retinal detachment)
Yaitu suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan
sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).
15. Selulitis orbita
16. Trauma tembus mata
17. Trauma radiasi

III. Semi Gawat


Yang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau
minggu.

Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
1. Defisiensi (kekurangan) vitamin A.
Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.
2. Trakoma yang disertai dengan entropion.
Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan,
terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada kelopak atas.
3. Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan
didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea
lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.
4. Katarak congenital
Yaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu penyebab
kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria (bercak putih),
fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus (juling), nystagmus
(pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar
kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).
5. Glaukoma congenital
6. Glaukoma simpleks
7. Perdarahan badan kaca
8. Retinoblastoma (tumor ganas retina) yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari
neuroretina (sel kerucut dan batang).
9. Neuritis optika / papilitis
10. Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat
menutup sempurna).
11. Tumor intraorbita
12. Perdarahan retrobulbar

Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata (Hifema).  Hifema adalah darah dalam bilik mata depan
sebagai akibat pecahnya pembuluh darah pada iris, akar iris dan badan silia.

Tanda dan Gejala


• Mata merah
• Rasa sakit
• Mual dan muntah karena kenaikan Tekanan Intra Okuler (TIO).
• Penglihatan kabur
• Penurunan visus
• Infeksi konjunctiva
• Pada anak-anak sering terjadi somnolen

Patofisiologi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris,
akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris
bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan
menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta
merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul
dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior
posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral
sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena
adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi
jernih kembali.

Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (tes fungsi hati, prothombin, trombosit dan waktu perdarahan)
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan lampu celah
- Pemeriksaaan goneoskopi (untuk mencari pembuluh darah yang rusak dan resesif sudut)

Manajemen Terapi
Sampai sekarang masih terdapat konsep yang berbeda tapi yang penting dalam penaganan
hifema memberi pertolongan dan pengobatan secara cepat dan tepat sehingga dapat mencegah
atau mengurangi komplikasi. Istirahat total selama 5 hari untuk melihat terjadinya hifema
ulangan.
Posisi berbaring 30-45° akan menyebabkan darah berkumpul di bawah dan akan menurunkan
tekanan darah sistemik sehingga mengurangi resiko hifema ulangan.
Pemberian tetes mata:
1. Xicloplegi (obat parasimpatolitik).
2. Medriatikum
3. Miotik lebih baik dihindari karena menyebabkan inflamasi
4. Tetes mata steroid untuk mengurangi rasa tidak enak akibat evitis dan untuk mencegah
terjadinya hifema ulangan.
5. Pencucian bilik mata depan dianjurkan jika TIO naik lebih dari 24 jam.
6. Tindakan operatif (untuk mencegah kenaikan TIO).

Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata (Hifema)


Pengkajian
a. Subjektif

 Pasien mengatakan matanya terasa sakit (cekot-cekot)


 Pasien mengatakan penglihatannya kabur

b. Objektif

 Mata merah (palpebra, sklera, conjunctiva)


 Peningkatan TIO
 Penurunan visus
 COA (Camera Ocula Anterior) pendarahan

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut
2. Gangguan persepsi sensori: penglihatan .
3. Cemas 
4. PK : Peningkatan TIO
5. PK:Perdarahan
6. Risiko Infeksi

A. DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.
Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi.
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan
kehilangan mata.

B. JENIS-JENIS TRAUMA

TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk kegawatdaruratan
mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7. Beberapa zat asam yang sering
mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat, hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena
zat kimia bersifat asam maka akan terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya tidak
berat. Asam akan menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini
menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung membatasi penetrasi
dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan basa yang mampu menembus jaringan mata
dan akan terus menimbulkan kerusakan lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi juga
menyebabkan kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam masa penyembuhan setelah terkena zat
kimia asam akan terjadi perlekatan antara konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang
disebut simblefaron.(Susanto, 2004; Vaughan, 2000)
Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan menggunakan salin isotonic
steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas indicator di
forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7. (Vaughan, 2000).

TRAUMA BASA
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari
luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu
kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi anterior, dan sampai retina dengan
cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan
kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai
dengan dehidrasi.

Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:

 Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata


 Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
 Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
 Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik
selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit setelah trauma.
Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1
minggu trauma basa, diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh.
Penyulit yang dapat terjadi adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi
kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola mata.

TRAUMA TEMBUS
Adalah suatu trauma dimana sebagian atau seluruh lapisan cornea dan sclera mengalami
keruskan.

Etiologi
Terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bulbus oculi:
 Logam: magnit, bukan magnit
 Non logam

Manifestasi Klinis
- Visus turun
- Tekanan intra ocular rendah
- Angulus iridocornealis dangkal
- Bentuk dan letak pupil berubah
- Terlihatnya ada rupture pada cornea atau sclera
- Terdapat jaringan yang prolaps (lepas), seperti: iris, lens, retina
- Konjungtiva chemosis

Patofisiologi

Benda asing dengan kecepatan tinggi (trauma karena suatu ledakan) akan menembus seluruh
lapisan sclera atau cornea serta jaringan lain dalam bulbus oculi sampai ke segmen posterior
kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat mengenai os orbita. Dalam hal ini akan ditemukan
suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps (lepasnya) iris, lens, ataupun corpus vitreus.
Perdarahan intraocular dapat terjadi apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema atau
henophthalmia.

Komplikasi

Endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, haemorraghic intraocular, dan ftisis bulbi.

Penatalaksanaan

Diberikan antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim pada dokter mata untuk dilakukan
pembedahan. Diberikan antibiotik sistemik secara oral atau intravena, anti tetanus profilaktik,
analgesik, dan sedatif bila perlu. tidak boleh diberikan steroid local dan bebat tidak boleh
menekan bola mata. Pengeluaran benda asing sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas yang memadai.

TRAUMA TUMPUL
1. Trauma tumpul palpebra
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan merusak
struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur
mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola
mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks menutup. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh
darah yang rusak pada trauma tersebut
2. Trauma tumpul lensa
a. Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
b. Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah
tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada
zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa
iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan
menjadi cembung, dan maata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik
mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma sekunder.
c. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma
maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik
mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga
akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh
penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah
dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema korne, lensa di dalam
bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata
sangat tinggi.
d. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi
lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga
lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus
okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia.
Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan
dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat
menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik
e. Katarak Trauma. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius merupakan cincin
berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma,
yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah suatu trauma,
seperti suatu stempel jari.

3. Trauma tumpul cornea


Abrasi Kornea adalah keadaan dimana epitel dari kornea terlepas yang bisa diakibatkan oleh
trauma tumpul, trauma tajam dan trauma kimia dan juga benda asing subtarsal. Abrasi kornea
bisa berulang dan menyebabkan rasa sakit yang hebat, dimana abrasi kornea merupakan
suatu kegawatdaruratan pada mata yang bisa menyebabkan ulserasi dan oedema kornea yang
akan menganggu visus. Diagnosis bisa ditunjang dengan uji flourosensi dimana akan terlihat
warna hijau bila terjadi kerusakan pada epitel kornea. Abrasi dapat terjadi pada berbagai
lapisan, bila terjadi pada epitel akah sembuh dalam waktu 1-2 hari, sedangkan bila kerusakan
sudah mencapai stroma akan terdapat jaringan parut permanen yang mengganggu visus.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian antibiotik topikal dan midriatikum
untuk merelaksasi iris dan mengurangi rasa sakit. Pastikan juga tidak terdapat benda asing
yang dapat menganggu proses penyembuhan.Masa penyembuhan tergantung pada luasnya
kerusakan, dan juga adakah infeksi, benda asing dan mata kering yang bisa menyebabkan
kegagalan terapi. Mata kemudian di tutup dengan penutup yang membuat pasien merasa
lebih nyaman, tetapi tidak disarankan pada anak-anak karena dengan mudah dapat membuka
penutupnya. Pada pasien anak dan abrasi yang lebih dari 30% dari permukaan kornea harus
di konsultasikan kepada dokter spesialis mata.

4. Trauma fundus oculi


Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina, koroid, dan
saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan retina, ablasi
retina, maupun atrofi saraf optik. Jika dijumpai penderita dengan trauma tumpul dan
penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian kacamata,
sedangkan keadaan media mata jernih, maka dapat diperkirakan adanya kelainan di fundus
atau di belakang bola mata (Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2002). Diagnosis
banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah trauma retina, perdarahan
corpus vitreous, dan trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optikus (Ilyas,
2009).

Jika terjadi ablasi retina akibat trauma tumpul mata, maka penderita harus cepat dirawat
untuk kemudian dikirim ke dokter spesialis. Pemeriksaan oftalmoskopi menunjukkan adanya
retina yang abu-abu dan pembuluh darah yang tampak terangkat dan berkelok-kelok. Jika
terjadi atrofi saraf optik, maka tajam penglihatan akan sangat menurun, bahkan sampai buta.
Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan atrofi saraf optik terletak di belakang bola mata
seperti adanya perdarahan retrobulbar, fraktur dinding orbita, atau fraktur basis cranii
(Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2002).
Fundus harus diperiksa dengan oftalmoskopi direk setelah midriasis penuh dilakukan. Jika
tidak terlihat detil struktur mata, maka hal ini menunjukkan terjadinya perdarahan vitreous.
Perdarahan vitreous terabsosrbsi dalam waktu beberapa minggu atau mungkin diperlukan
pengangkatan dengan virektomi. Daerah perdarahan retina dan daerah berwarna putih
(edema) dapat dilihat. Koroid juga bisa robek dan menyebabkan perdarahan subretina yang
kemudian diikuti oleh parut subretina (James, 2006)

Daftar Pustaka

http://suarademartha.blogspot.com/2010/06/neurologi-gangguan-kesadaran.html

Tanagho, EA. Smith’s General Urology. New York: Mc Graw Hill. 2008.

http://dokterrizy.blogspot.com/2010/06/bedah-pada-trauma-uretra.html

http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/evaluasi-neurologik-disabity.html

Anda mungkin juga menyukai