Anda di halaman 1dari 2

Fithri Adila Nur Amalia

240210080023
Bahasa Indonesia

Tempat Ini
Sudah hampir genap empat bulan aku menghabiskan waktu efektifku di
tempat ini. Berangkat dari rumahku di Bandung satu setengah jam lebih awal dari
waktu yang telah ditentukan, menunggu bis yang hanya muncul sekitar 25 menit
sekali, berdesak – desakkan di dalam bis, bahkan tidak mendapatkan tempat duduk
hampir selalu aku alami. Entah sudah berapa juta keluhan yang aku utarakan atas
keadaan ini. Tapi aku tetap pergi ke tempat ini. Tidak pernah sedikitpun terbesit di
otakku untuk mengganti tujuanku.
Tempat inilah yang selalu menjadi tujuanku setiap harinya. Untuk bisa sampai
ke tempat ini, aku harus menempuh jarak kira – kira 21 kilometer, dengan waktu
tempuh total satu jam. Tapi apa yang aku dapatkan disini? Terik matahari yang begitu
menyengat, debu – debu hampir tidak pernah absen singgah di tubuhku, hawa panas
yang selalu membuat wajahku lusuh, para tukang ojek yang selalu menghalangi
langkahku, dan hal - hal lain yang terasa begitu tidak menyenangkan. Tapi sekali lagi,
aku tidak berniat mengganti tujuanku untuk esok hari.
Sudah hampir genap empat bulan aku datang dan singgah di tempat ini. Masih
terik matahari dan debu – debu jalanan pula yang selalu setia menyambutku setiap
harinya. Tapi itu justru membuat keluhanku semakin berkurang. Aku mempelajari
banyak hal dari tempat ini. Terasa begitu menyengatnya sinar matahari ini pasti
disebabkan tidak adanya pohon – pohon yang bisa menaungi jalan dan membuat
jalanan setidaknya terasa lebih teduh. Debu – debu itu pasti berasal dari kendaraan –
kendaraan kecil ataupun besar yang selalu meramaikan jalan – jalan di tempat ini.
Atau mungkin karena sedang dibangunnya jalan yang menurut orang – orang diatas
itu merupakan tindakan alternatif, yang justru menurutku malah membuat tempat ini
semakin semrawut. Hawa panas yang selalu membuat lusuh wajahku ini pasti lagi –
lagi dikarenakan tidak adanya pohon – pohon besar yang menurut teori bisa
mengubah gas karbondioksida menjadi gas oksigen sehingga membuat suasana
menjadi lebih sejuk. Dan yang terakhir aku sadari adalah ada satu hal lagi yang selalu
menyambutku setiap aku tiba di tempat ini. Bau sampah yang begitu menyengat
indera penciumanku. Tapi tetap saja keesokkan harinya aku datang ke tempat ini.
Tapi tidak semua hal yang ada di tempat ini merupakan hal yang tidak
menyenangkan. Karena ada beberapa hal dari tempat ini yang bisa membuatku tidak
mengeluh. Tempat ini ternyata bisa menyatukan Indonesia yang terdiri atas berjuta –
juta daerah dalam kepengapannya. Aku heran mengapa bisa begitu. Padahal tempat
ini tidak memiliki pantai yang indah seperti pantai Sanur di Pulau Bali. Tempat ini
tidak memiliki bangunan bersejarah layaknya candi Borobudur di Magelang. Tempat
ini bahkan tidak memiliki paling tidak udara yang segar untuk kita hirup. Tapi
kenyataannya, tempat ini berhasil membuat mereka benar – benar ada dan menemani
aku menghabiskan waktu efektifku selama berada di tempat ini. Dan aku tidak akan
mengeluh untuk hal itu.
Sudah hampir genap empat bulan aku mengenal tempat ini. Mengenal apa dan
siapa yang berada disini. Mengenal betapa panasnya tempat ini ketika siang hari,
betapa dinginnya tempat ini ketika malam tiba, bahkan mengenal bagaimana tempat
ini berubah menjadi seperti kolam ikan setiap kali hujan telah mengguyur tempat ini.
Dan sekali lagi, aku tidak mengeluh untuk hal itu. Karena aku melewati semua proses
pengenalan ini bersama mereka yang aku temui di tempat ini. Aku benar – benar
tidak akan mengeluh untuk hal itu.
Terik matahari, hawa panas, debu dan polusi, bau sampah yang menyengat,
dan keramaian jalan menjadi gambaran yang langsung terbesit di otakku setiap kali
aku mengingat tempat ini. Tapi aku rasa aku menyukai semua itu. Ya, aku menyukai
Jatinangor-ku.

Anda mungkin juga menyukai