Sejak awal, ide-ide sekuler-liberal memang tidak sesuai dengan kepribadian diri
masyarakat Indonesia pada umumnya. Memang benar, sebagaimana bangsa-bangsa
lainnya, bangsa Indonesia pun tidak semuanya taat pada agama yang dipeluknya
masing-masing. Tapi umumnya memiliki keyakinan religius yang kuat. Oleh karena
itu, ide-ide sekuler-liberal perlu mengambil bentuk yang lebih ‘ramah’ agar lebih
mudah diterima di tanah air.
Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sejenisnya yang kita jumpai sekarang ini
adalah hasil dari kaderisasi bertahun-tahun. Prosesnya cukup rapi dan terencana,
dibantu oleh sumber dana yang kuat.
Fase awal dari infiltrasi pemikiran ini dimulai dengan gerakan misionarisme dan
penyebaran pemikiran kaum orientalis. Misi ini mendapat sokongan penuh dari
pemerintah kolonial. Tentu saja, penjajah memiliki kepentingan tersendiri untuk
memisahkan umat Islam dari agamanya. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya dengan mempertentangkan Islam dengan adat-istiadat.
Pertentangan antara adat dan agama bisa dilihat pada fenomena yang banyak terjadi di
Jawa. Prof. Rasjidi, Menteri Agama RI yang pertama, pernah meneliti kitab-kitab
seperti Darmogandul dan Gatoloco; keduanya adalah kitab yang dikenal luas di
kalangan masyarakat Jawa. Menurut hasil penelitian beliau, kedua kitab tersebut
sangat kental sekali rekayasanya, karena penuh caci maki terhadap Islam dan juga
mengandung sisipan ajaran Kristen. Sebagai hasil dari propaganda bertahun-tahun,
adat Jawa cenderung sulit dipersatukan dengan Islam, meski masyarakatnya tidak
menentang secara frontal. Pada saat yang bersamaan, kristenisasi juga marak terjadi
di Jawa. Susiyanto, seorang peneliti muda, telah membicarakan masalah ini dalam
bukunya yang berjudul Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa.
Kita juga melihat rekayasa sejarah yang menampilkan seolah-olah di Jawa tidak ada
pahlawan yang kuat latar belakang keislamannya. Contoh terbaik dalam hal ini adalah
Pangeran Diponegoro. Menurut ‘pakem’ dalam sejarah yang dikenal sekarang ini,
beliau disebut-sebut melawan Belanda karena tanah leluhurnya diambil paksa. Hamka
sudah lama menyanggah pendapat ini.
Menurut beliau, Pangeran Diponegoro adalah Raja Jawa yang berjuang menegakkan
syariat Islam. Bukti gampangnya adalah bahwa beliau tak pernah digambarkan
sebagai sosok lain selain dengan jubah dan sorbannya. Hingga kini pun kita tak
menjumpai Raja-raja Jawa yang berpakaian seperti demikian. Jelaslah bahwa
identitas Pangeran Diponegoro yang paling utama adalah sebagai ulama.
Pada masa penjajahan Belanda, pemikiran ala orientalis dicekokkan kepada bangsa
Indonesia. Sekolah-sekolah Islam dihambat, sementara pada saat yang bersamaan
Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum yang ‘netral agama’, atau dengan kata
lain tidak mengajarkan pelajaran agama. Di sisi lain, sekolah-sekolah Kristen justru
banyak berdiri dan mendapatkan dana dari pemerintah kolonial.
Tidak semua lulusan sekolah bikinan Belanda terjangkit virus pemikiran orientalis.
Ada orang-orang seperti Moh. Natsir, yang hingga akhir hayatnya tetap
memperjuangkan dakwah Islam. Bagaimana pun, efeknya pada masa Orde Lama
cukup terasa, misalnya pada kasus penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Penggugatan ini kental dengan nuansa politis yang anti-Islam, karena tujuh kata
tersebut dikesankan hendak mengancam umat beragama lainnya, padahal tidak.
Klimaks dari kekeruhan hubungan antara pemerintah dan umat Islam pada era Orde
Baru terjadi pada saat komunisme berkuasa, yang baru berakhir bersamaan dengan
jatuhnya Presiden Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Di masa Orde Baru, sekularisme mengambil bentuk lain lagi. Jika tadinya sangat
frontal terhadap Islam, kini sekularisme menggunakan topeng yang lebih ‘ramah’.
Judulnya: toleransi. ‘Toleransi’ tersebut, antara lain, menghasilkan sebuah himbauan
agar umat Islam sudi merayakan Natal bersama-sama umat Kristiani. ‘Toleransi’ yang
sama juga pernah berbuah kecaman atas tafsir Surah Al-Ikhlash yang termuat dalam
buku pelajaran sekolah, karena dianggap tidak toleran terhadap iman Kristen.
Sebuah lingkar diskusi tertutup juga layak untuk disebut dalam sejarah gerakan
sekuler-liberal di Indonesia. Namanya adalah “Limited Group”, yang beranggotakan
antara lain Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan
lain-lain.
Di antara nama-nama itu, Ahmad Wahib cukup menonjol, meskipun mungkin paling
sedikit dikenal orang di masa kini. Pengaruhnya sangat kuat, meskipun ia meninggal
di usia sangat muda.
Buku harian Ahmad Wahib disadur menjadi sebuah buku berjudul Pergolakan
Pemikiran Islam; semacam ‘kitab suci’ buat kalangan liberal. Di dalamnya, Wahib
secara vulgar menyatakan pendapat-pendapat kontroversialnya tentang Islam,
agamanya sendiri.
Wahib adalah seorang mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), namun
pernah hidup bersama dua orang Romo Kristen. Dalam catatan hariannya, Wahib
bertanya-tanya apakah Allah kelak akan tega menjebloskan kedua Romo-nya ke
neraka. Setelah Wahib meninggal, buku hariannya inilah yang kemudian
disebarluaskan oleh rekan-rekannya.
Selain Wahib, Nurcholish Madjid juga patut mendapat catatan tertentu. Namanya
cukup dikenal di kalangan aktifis Muslim. Sebagian kalangan pernah menyematkan
sebutan “Natsir Muda” kepadanya. Ironisnya, setelah kembali dari kuliah di Chicago,
ia justru menyebarkan pemikiran yang sangat ditentang oleh Moh. Natsir, yaitu
sekularisasi.
Tokoh penting lainnya dalam sejarah infiltrasi pemikiran liberal adalah Harun
Nasution. Beliau adalah tokoh besar di kalangan IAIN/UIN. Harun akrab dengan
pemikiran-pemikiran orientalis terutama saat berkuliah di Universitas McGill,Canada.
Beberapa pendapatnya yang sangat kontroversial adalah dukungannya terhadap
Mu’tazilah, yang telah dinyatakan sesat oleh para ulama, penolakannya pada iman
terhadap qadha’ dan qadar, dan pemikirannya yang menyamakan antara monoteisme
dengan tauhid, sehingga Islam disebutnya bukan satu-satunya agama tauhid. Setelah
diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pemikiran Harun
tersebar luas dengan cepat di kalangan IAIN. Prof. Rasjidi telah memberikan
peringatan kepada Menag untuk mewaspadai pemikiran yang dibawanya, namun
peringatan ini diabaikan begitu saja hingga detik ini.
wajah pluralisme. Adapun di kalangan warga Muhammadiyah, isu yang dijual adalah
progresifitas, penafsiran Islam sesuai jaman dan pembaharuan (tajdid). Istilah-istilah
seperti ini umumnya tidak bermasalah, hanya saja penggunaannya memang
problematis. Sebagai contoh, jika ‘sesuai jaman’ artinya ajaran Islam berbuah sesuai
selera manusia pada jamannya, maka ini adalah sebuah penyimpangan.
Kita juga lihat dalam promosi film Sang Pencerah belakangan ini seringkali
digunakan kosa kata seperti “progresif”. Jika kata ini dinisbatkan pada pemikiran
seseorang, maka ia bisa dibenarkan. Akan tetapi jika ia dinisbatkan kepada Islam,
maka ini jelas keliru. Sebab Islam tidak berubah. Apa yang dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan boleh saja disebut modernisasi atau pembaharuan, akan tetapi
landasannya adalah purifikasi. Artinya, umat Islam diajak maju justru dengan kembali
pada ajaran Islam yang sebenarnya, bukan dengan membuat ajaran-ajaran baru yang
keluar dari kerangka Islam. Sebab, ajaran Islam yang benar itulah yang memberi
ruang gerak pada manusia untuk mencapai kemajuan. Adapun kultur bikinan manusia,
jika ia tidak dilandasi oleh ajaran Islam yang lurus, maka pastilah cenderung
mengekang kemajuan.
Infiltrasi pemikiran belakangan ini juga dilakukan dengan membawa-bawa nama
ulama ke dalam wacana sekuler-liberal. Moh. Natsir dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi,
misalnya, adalah dua nama yang diseret dalam wacana Islam liberal. Buya Hamka
juga tidak luput dari siasat yang sama, yaitu dengan menyeret-nyeret namanya ke
dalam wacana pluralisme.