Anda di halaman 1dari 7

EPIDEMIOLOGI

Global Environmental Change and Human Health

Nama : Sucipta Laksono


NPM : 0806459601
Nilai :
Tanda Tangan :

Departemen Teknik Sipil


Universitas Indonesia
2010
Pendahuluan

Setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai
masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah
(dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan Global Environmental Change
(GEC) atau perubahan lingkungan global. Kesehatan populasi manusia manapun, jika ditinjau secara mendasar,
terkait dengan kondisi sosial dan lingkungan. Sementara itu selama berabad-abad masyarakat manusia memperolah
keuntungan tetapi juga kerugian dari perubahan-perubahan yang mereka lakukan terhadap lingkungan sekitarnya.
Nampaknya serangan berbagai wabah penyakit menuntun kita untuk lebih arif memperhatikan dan memperlakukan
lingkungan sekeliling. Bagi para peneliti, kondisi ini menjadi tantangan ilmiah sekaligus tantangan kemanusiaan,
sampai sejauh mana aktifitas penelitian mampu menjawab permasalahan kesehatan masyarakat, satu masalah riil
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Seperti ketahui, akhir-akhir ini diskusi tentang global change banyak diangkat. Berbagai perubahan sosial,
ekonomi, budaya, teknologi dan politik mengharuskan jalinan hubungan di antara masyarakat manusia di seluruh
dunia. Fenomena ini dirangkum dalam terminologi globalisation. Ditengah riuh rendah globalisasi inilah muncul
wacana GEC. GEC sendiri diartikan sebagai perubahan dalam skala besar pada sistem bio-fisik dan ekologi yang
disebabkan aktifitas manusia. Perubahan ini terkait erat dengan sistem penunjang kehidupan planet bumi (life-
support system). Ini terjadi melalui proses historis panjang dan merupakan agregasi pengaruh kehidupan manusia
terhadap lingkungan, yang tergambar misalnya pada angka populasi yang terus meningkat, aktifitas ekonomi, dan
pilihan-pilihan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan
hidup sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan terhadap Sistem Bumi kita.
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat manusia sangat bervariasi dalam tingkat kerentanan terhadap
serangan kesehatan. Kerentanan ini merupakan fungsi dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim dan lingkungan. Kerentanan juga bergantung pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk,
tingkat ekonomi, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi kesehatannya itu sendiri, dan kualitas
serta ketersediaan fasilitas kesehatan publik.
Wabah demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa rentannya kondisi kesehatan-
lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi terhadap wabah, kesigapan peanggulangannya
sampai pada penanganan para penderita yang kurang mampu. Merebaknya wabah di kawasan urban juga
menyiratkan kerentanan kondisi lingkungan dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini terkait dengan patron
penggunaan lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya kemiskinan di kawasan urban, selain faktor lain
seperti rendahnya pemberantasan nyamuk vektor penyakit sejak dini, atau resistensi nyamuk sampai kemungkinan
munculnya strain atau jenis virus baru.
Pada dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh perubahan iklim global terhadap
kesehatan dapat dirangkum dalam tiga katagori besar. Pertama, studi-studi empiris untuk mencari saling-hubungan
antara kecenderungan dan variasi iklim dengan keadaan kesehatan. Kedua, studi-studi untuk mengumpulkan bukti-
bukti munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan iklim. Ketiga, studi-studi pemodelan kondisi
kesehatan di masa depan. Penelitian empiris jenis pertama dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan
pengetahuan serta memperkirakan kondisi kesehatan sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim dan lingkungan

Berikut ini adalah penjelasan mengenai faktor-faktor yang saling memiliki hubungan dalam Global Environmental
Change and Human Health:

Perubahan cuaca dan lautan dapat berupa peningkatan temperatur secara global (panas) yang dapat
mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian, terutama
pada orang tua, anak-anak dan penyakit kronis. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut
akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam
(banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan
perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi,
defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Berikut perubahan iklim yang terjadi:
 Meningkatnya pemanasan : Sebelas dari dua belas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat
dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun
terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar
0.74oC selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan.
 Jumlah karbondioksida yang lebih banyak di atmosfer : Karbondioksida adalah penyebab paling
dominan terhadap adanya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di atmosfer telah naik dari masa pra-
industri yaitu 278 ppm (parts-permillion) menjadi 379 ppm pada tahun 2005.
 Lebih banyak air, tetapi penyebarannya tidak merata : Adanya peningkatan presipitasi pada beberapa
dekade terakhir telah diamati di bagian Timur dari Amerika Utara dan Amerika Selatan, Eropa Utara, Asia
Utara serta Asia Tengah. Tetapi pada daerah Sahel, Mediteranian, Afrika Selatan dan sebagian Asia Selatan
mengalami pengurangan presipitasi. Sejak tahun 1970 telah terjadi kekeringan yang lebih kuat dan lebih
lama.
 Kenaikan permukaan Laut : Saat ini dilaporkan tengah terjadi kenaikan muka laut dari abad ke-19
hingga abad ke-20, dan kenaikannya pada abad 20 adalah sebesar 0.17 meter. Pengamatan geologi
mengindikasikan bahwa kenaikan muka laut pada 2000 tahun sebelumnya jauh lebih sedikit daripada
kenaikan muka laut pada abad 20. Temperatur rata-rata laut global telah meningkat pada kedalaman paling
sedikit 3000 meter.
 Pengurangan tutupan salju : Tutupan salju semakin sedikit di beberapa daerah, terutama pada saat musim
semi. Sejak 1900, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang
sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara dan sungai-sungai akan lebih lambat membeku (5.8 hari lebih lambat
daripada satu abad yang lalu) dan mencair lebih cepat 6.5 hari.
 Gletser yang mencair : Pegunungan gletser dan tutupan salju rata-rata berkurang pada kedua belahan
bumi dan memiliki kontribusi terhadap kenaikan muka laut sebesar 0.77 milimeter per tahun sejak 1993 –
2003. Berkurangnya lapisan es di Greenland dan Antartika berkontribusi sebesar 0.4 mm pertahun untuk
kenaikan muka laut (antara 1993 – 2003).
 Benua Arktik menghangat : Temperatur rata-rata Benua Arktik mengalami peningkatan hingga mencapai
dua kali lipat dari temperatur rata-rata seratus tahun terakhir. Data satelit yang diambil sejak 1978
menunjukkan bahwa luasan laut es rata-rata di Arktik telah berkurang sebesar 2.7% per dekade.
Proyeksi pemanasan pada lingkungan
 Emisi gas rumah kaca (GRK) yang kontinu pada atau di atas tingkat kecepatannya saat ini akan
menyebabkan pemanasan lebih lanjut dan memicu perubahan-perubahan lain pada sistem iklim global
selama abad ke-21 yang dampaknya lebih besar daripada yang diamati pada abad ke-20.
 Tingkat pemanasan bergantung kepada tingkat emisi : Jika konsentrasi karbondioksida stabil pada 550 ppm
dua kali lipat dari masa pra-industri pemanasan rata-rata diperkirakan mencapai 2-4.5 oC, dengan perkiraan
terbaik adalah 3oC atau 5.4oF. Untuk dua dekade ke depan diperkirakan tingkat pemanasan sebesar 0.2 oC
per dekade dengan skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.
 GRK lain turut berperan dalam pemanasan dan jika dampak dari kombinasi GRK tersebut setara dengan
dampak karbondioksida 650 ppm, iklim global akan memanas sebesar 3.6 oC, sedangkan angka 750 ppm
akan mengakibatkan terjadinya pemanasan sebesar 4.3oC. Proyeksi bergantung kepada beberapa faktor
seperti pertumbuhan ekonomi, populasi, perkembangan teknologi dan faktor lainnya.
 Temperatur global yang lebih panas telah menyebabkan perubahan besar pada sistem alami bumi. Sekitar
20-30% spesies tumbuhan dan hewan terancam punah jika peningkatan temperatur rata-rata global
melebihi 1.5 – 2.5oC.
 Peningkatan temperatur sebesar 3oC selama abad ini akan memberikan dampak negatif bagi
keanekaragaman ekosistem (biodiversity) yang berperan dalam kehidupan manusia seperti penyediaan
makanan dan air.
 Temperatur yang lebih panas menyebabkan musim semi yang datang lebih awal, peningkatan runoff dan
debit sungai yang bersumber dari gletser/salju, “penghijauan” vegetasi dan migrasi burung-burung. Banyak
hewan serta tumbuhan yang berpindah ke lintang yang lebih tinggi.
 Bertambahnya presipitasi di daerah-daerah lintang tinggi : Peningkatan presipitasi lebih banyak terjadi pada
daerah lintang tinggi sedangkan pengurangan presipitasi banyak terjadi di daratan-daratan subtropis.
 Perhitungan model untuk kenaikan muka laut akibat perluasan lautan dan melelehnya gletser pada akhir
abad ini (dibandingkan dengan nilai pada 1989-1999) telah berkurang dari perhitungan awal menjadi 18-
58cm. Bagaimanapun, angka yang besar tidak dapat dikeluarkan apabila pengamatan menunjukkan adanya
peningkatan jumlah lapisan es seiring dengan peningkatan temperatur.
 Penyusutan/pengurangan lapisan es di Greenland diproyeksi akan berkontribusi terhadap naiknya muka laut
pada abad ke-22 dan lapisan es tersebut akan habis/hilang jika pemanasan global rata-rata sebesar 1.9-4.6 oC
terus berlangsung selama 10 abad. Hal ini akan menyebabkan kenaikan muka laut sebesar 7 meter.

Pada gambar di bawah, kita dapat melihat bagaimana pemanasan global akan mempengaruhi perubahan
lingkungan seperti: perubahan cuaca dan lautan, pergeseran ekosistem dan degradasi lingkungan meliputi
degradasi tanah.
Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Fungsi Ekosistem

Pergeseran Ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases)
maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Contoh meningkatnya kejadian Demam
Berdarah. Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan berkembang biak pada daerah
panas. Hal itulah yang menyebabkan penyakit ini banyak berkembang di daerah perkotaan yang panas dibandingkan
dengan daerah pegunungan yang dingin. Namun dengan terjadinya Global Warming, dimana terjadi pemanasan
secara global, maka daerah pegunungan pun mulai meningkat suhunya sehingga memberikan ruang (ekosistem)
baru untuk nyamuk ini berkembang biak. yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi
pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik
yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma,
alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain. Penyebab utama penurunan
keanekaragaman hayati kontemporer habitat perusakan dan degradasi, didorong oleh ekspansi manusia populasi dan
kegiatan.
Hilangnya habitat adalah penyebab utama membahayakan untuk 85 persen dari spesies yang terdaftar di
bawah Endangered Species Act (ESA), undang-undang federal utama yang mengatur perlindungan dan pengelolaan
keanekaragaman hayati. Sering hasil dari perkotaan pembangunan, polusi, atau fragmentasi oleh skala kecil
mengganggu Keanekaragaman hayati . Toleransi dari berbagai kondisi lingkungan, tingginya tingkat reproduksi dan
penyebaran, dan kurangnya predator alami dalam komunitas baru adalah ciri-ciri yang membantu spesies nonnative
berkembang di habitat baru. Aktivitas manusia juga menimbulkan polusi kimia dan kontaminasi sistem alam.
Sebagai contoh, perkotaan, pertanian, dan sumber industrial sering pelepasan nitrat dalam jumlah besar dan Fosfat
ke sistem perairan, di mana mereka menyebabkan ganggang bunga yang tersedak oksigen dan keteduhan spesies
lain. Namun, peraturan beracun polutan di Amerika Serikat telah menurunkan konsentrasi banyak industri polutan
dari titik sumber ke tingkat terendah sejak pengukuran dimulai. Perubahan iklim global, yang disebabkan oleh
akumulasi atmosfer manusia yang dihasilkan gas rumah kaca, mungkin juga substansial hilangnya keanekaragaman
hayati.
Meskipun banyak spesies mempunyai kemampuan untuk beradaptasi perubahan lingkungan, perubahan iklim
mungkin akan terjadi lebih santai daripada sebelumnya, perubahan iklim alam. Pergeseran suhu dan curah hujan bisa
memiliki berbagai dampak terhadap keanekaragaman hayati, termasuk perubahan dalam pola migrasi dan
pembiakan; ekspansi atau kontraksi rentang spesies alam, kenaikan permukaan laut, suhu, dan keasaman;
peningkatan penularan penyakit dan hama, dan tak terduga dalam populasi dan fluktuasi habitat. Kekuatan adaptif
beberapa spesies ini kemungkinan besar akan kewalahan oleh tekanan-tekanan baru ini, terutama bila
dikombinasikan dengan penurunan konektivitas habitat, dan menekankan bahwa siap mengancam banyak spesies
dan dapat menciptakan hambatan tambahan penyesuaian terhadap perubahan kondisi. Contoh yang paling terkenal
dari spesies seperti beruang kutub, yang baru-baru ini ditambahkan ke daftar spesies, dan secara serius terancam
oleh perkiraan perubahan es laut yang terkait dengan perubahan iklim.

Degradasi Sumber Daya Tanah/Lahan

Tanah permukaan (biasa disebut lahan) merupakan tempat sebagian besar makhluk hidup berada dan
beraktivitas sesuai dengan kodratnya masing-masing pada lingkungan “habitat” yang berbeda-beda. Kerusakan
tanah/lahan akan berpengaruh terhadap habitat semua makhluk hidup yang ada di dalamnya dan kerusakan habitat
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang disangganya. Dalam rangka rehabilitasi lahan-lahan
kritis yang luasnya semakin besar di Indonesia serta meningkatnya produktivitas untuk keperluan pertanian,
perkebunan, kehutanan dan pelestarian alam, maka perlu dilakuakan upaya-upaya yang dapat yang dapat
memodifikasi lingkungan tersebut (Subiksa, 2002). Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas
tanah. Kehilanagn produktivitas dicirikan dengan terjadinya erosi akibat tanah terdegradasi diperkirakan 272 juta
Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi tahun 1996 (Lal, 2000).
Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia dan maupun biologi memiliki
pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada lahan semi kitis, 32 % pada lahan kritis, dan
diperkirakan sekitar 38% pada lahan sangat kritis. Sedangkan untuk kacang tanah mengalami penurunan sekitar 9%,
46%, 58% masing-masing pada tanah semi kritis, kritis dan tanah yang sangat kritis. Sifat tanah yang berkorelasi
nyata terhadap produksi padi adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik (Sudirman dan Vadari, 2000).
Perbaikan terhadap lahan yang terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup
tanah yang cepat tumbuh, serta dengan penggunaan pupuk organik dan anorganik. Rehabilitasi pada tanah
terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan
kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik sebagai agen
resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak 10 Mg/ha dapat memperbaiki sifat-sifat tanah,
yaitu meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H20, meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF
(mendorong pembentukan bahan anoganik tanah yang bersifat amorf), meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel
yang tergantung pH, menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Aldd  selain disebabkan oleh
kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga disebabkan karena pengkhelatan
senyawa humit. Peranan asam fulvik dalam menghelat Al jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik sekitar tiga
kalinya
Dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada masa bera dapat meningkatkan produktivitas
tanah berliat aktivitas rendah di tropika basah diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg/N dari atmosfir selama siklus 2
tahun. Penelitian lainnya yang menggunakan tanaman penutup tinggi ybahwa Leucochepphala dan Acacia
leptocarpa merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan regenerasi tanah  di
tropika basah. Tingginya polifenol yang dihasilkan dari serasah daum mampu mengikat protein selama dekomposisi
daun, sehingga terjadi immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan organik tanah
dan peningkatan N pada tanah terdegradasi.
Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit
yang banyak diluar pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa tandan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mg/ha
mampu meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg, dan KTK tanah, serta meningkatkan produksi tandan buah
segar 16,3%. Widhiastuti (2002) pemanfaatan limbah cair kelapa swit atau POME (Palm Oil Mill Efflunt)
meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan makin lama limbah diaplikasikan kandungan
C-mic makin meningkat.

Beberapa indikator kerusakan tanah/lahan :

 Semakin banyaknya lubang-lubang bekas galian mineral tambang atau bekas galian tanah untuk pembuatan
“bata” dan genting yang dibiarkan tanpa upaya reklamasi.Semakin banyaknya areal semak-semak belukar
dan tanah gundul bekas penebangan hutan ilegal dan peladangan bakar yang tidak dihijaukan kembali.
 Semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah/lahan untuk budidaya pertanian, karena siklus pemanfaatan
lahan yang terlalu intensif tanpa upaya penyuburan kembali (refertilization).
 Semakin banyaknya terjadi tanah longsor di daerah kemiringan tinggi (pegunungan/perbukitan), dan tanah
terbuka bekas penggalian tambang permukaan (emas, timah, batubara dan lain-lain).

Degradasi Sumber Daya Air

Menurut Hidrologi sepertiga bumi berisi air yang secara kuantitas (jumlah) tidak berubah & berkurang hanya
lokasi nya saja yang berpindah-pindah. Namun yang harus dikritisi jumlah penduduk terus bertambah, yang
kebutuhan akan air bersih juga terus bertambah seiring meningkatnya taraf ekonomi, pemahaman & gaya hidup,
sementara ketersediaan air bersih terus berkurang meski jumlah secara keseluruhan Volume air secara umum dibumi
tetap. Karena terkontaminasi polutan hasil kegiatan kehidupan manusia sehingga “air tidak lagi bersih” untuk layak
dikonsumsi manusia. Air hujan sebagai air bersih hasil treatmen – pengolahan - alam juga sudah tidak bisa lagi
ditangkap & disimpan oleh alam, hutan & lahan hijau sebagai daerah tangkapan air hujan sudah tidak lagi memiliki
lapisan pori penyerap, sehingga setiap air hujan turun akan mengalir diatas permukaan tanah yang tandus yang akir
nya menyebabkan longsor ditepi hutan, lereng bukit dan berkumpul menjadi bajir ditepi sungai & di pemukiman
padat penduduk.

Berikut ini adalah hal yang mengakibatkan penurunan sumber daya air :
 Semakin kecilnya debit air sungai dari tahun ke tahun.
 Semakin besarnya perbedaan debit air sungai pada musim hujan dengan musim kemarau.
 Semakin dalamnya permukaan air tanah dan mengeringnya sumur penduduk di daerah ketinggian.Adanya
penetrasi air asin pada sumur penduduk di beberapa kota pantai/pesisir.
 Semakin kecilnya “Catchment Water Areas” (daya serap lahan terhadap curahan air hujan).
 Semakin tingginya pencemaran air sungai
Penipisan Lapisan Ozon
Berkurangnya konsentrasi ozon akan menyebabkan semakin tingginya tingkat radiasi UV-B yang dapat mencapai
permukaan Bumi. Pancaran radiasi UV-B yang merupakan bagian dari sinar matahari sebenarnya tidak berubah,
namun semakin berkurangnya ozon maka berkurang pula perlindungan sehingga lebih banyak lagi radiasi UV-B
yang bisa mencapai permukaan Bumi. Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat radiasi UV-B yang diukur di
permukaan Bumi di daerah Antartika (Kutub Selatan) meningkat dua kali lipat bersamaan dengan kehadiran lubang
ozon di atas Antartika. Studi lain mengkonfirmasikan terdapat hubungan yang nyata antara berkurangnya ozon
dengan meningkatnya radiasi UV-B di Kanada selama beberapa tahun yang lalu.

Dampak terhadap makhluk hidup:


 Hasil studi laboratorium dan epidemiologis menunjukkan bahwa UV-B menyebabkan kanker kulit
nonmelanoma dan memainkan peran utama dalam perkembangan malignant melanoma. Disamping itu,
UV-B juga dapat menyebabkan katarak. Seluruh sinar matahari sebenarnya mengnadung UV-B, sekalipun
dalam kondisi ozon yang natural.
 Proses fisiologis dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh radiasi UV-B. Terlepas dari mekanisme
untuk mengurangi atau memperbaiki dampak tersebut dan terbatasnya kemampuan untuk beradaptasi
terhadap meningkatnya tingkat UV-B, pertumbuhan tanaman dapat secara langsung dipengaruhi oleh
radiasi UV-B. Perubahan tidak langsung yang disebabkan oleh UV-B seperti perubahan bentuk tanaman,
perubahan distribusi nutrisi di dalam tanaman, perubahan waktu fase pertumbuhan dan metabolisme
sekunder, barangkali bisa sama pentingnya atau bahkan lebih penting dari kerusakan tanaman akibat radiasi
UV-B. Perubahan tersebut dapat berimplikasi penting terhadap keseimbangan kompetitif dari tanaman ,
penyakit tanaman, dan siklus biogeokimia.
 Phytoplankton membentuk fondasi rantai makanan di perairan. Produktivitas phytoplankton terbatas pada
zona euphotic, yaitu lapisan atas dari kolom air dimana cukup tersedia sinar matahari untuk mendukung
produktivitas neto. Posisi dari or ganisme di zona euphotic dipengaruhi oleh prilaku angin dan gelombang.
Disamping itu terdapat juga phytoplankton yang mampu secara aktif bergerak sehingga dapat
meningkatkan produktivitasnya, sehingga mereka mampu bertahan. Paparan langsung terhadap radiasi UV-
B matahari berpengaruh baik terhadap mekanisme orientasi dan motilitas di dalam phytoplankton,
menyebabkan menurunnya tingkat hidup dari organisme ini. Para peneliti telah mendemonstrasikan adanya
suatu hubungan langsung di dalam produksi phytoplankton akibat penipisan lapisan ozon yang mengarah
pada peningkatan radiasi UV-B. Sebuah studi telah menunjukkan terjadinya penurunan sebesar 6 - 12% di
daerah yang miskin ozon.
 Radiasi UV-B juga telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan pada tahap pertumbuhan awal ikan,
udang, kepiting, jenis ampibi dan binatang lainnya. Dampak yang paling buruk adalah menurunnya
kapasitas reproduksi dan pertumbuhan larva. Dalam keadaan normalpun radiasi UVB matahari merupakan
faktor pembatas, dan peningkatan sedikit saja paparan langsung terhadap radiasi UVB dapat memiliki
dampak yang signifikan terhadap polpulasi binatang perairan.
 Meningkatnya radiasi UV matahari dapat mempengaruhi siklus biogeokimia di daratan dan di perairan,
dengan demikian akan merubah baik sumber (sources) dan rosot (sinks) dari gas rumah kaca dan gas
telusur penting lainnya seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), carbonyl sulfide (COS)
dan gas-gas lainnya termasuk ozon. Kemungkinan terjadi perubahan seperti ini akan berkontribusi terhadap
biosphere-atmosphere feedbacks yang memperlemah atau memperkuat pembentukan gas-gas tersebut
atmosfir

Dalam menyikapi perubahan iklim dan kesehatan manusia, kita mengetahui bahwa faktor-faktor penyebab
kerusakan ini berkesinambungan dan memiliki efek yang berbahaya bagi kita manusia. Lapisan ozon mengakibatkan
kanker, perubahan iklim mengakibatkan timbulnya penyakit, Degradasi tanah mengakibatkan tumbuhan tidak dapat
tumbuh atau sulit tumbuh padahal tumbuhan merupakan penghasil oksigen dan makanan bagi manusia serta hewan,
sedangkan keterbatasan air bersih adalah yang paling berbahaya karena makhluk hidup terdiri dari air apabila air
bersih tidak ada maka sulit bagi manusia untuk bertahan hidup, dan yang terakhir adalah keanekaragaman hayati
menunjukkan bahwa di biosfer kita yaitu bumi terdapat berbagai makhluk hidup yang saling mendukung satu sama
lain. Sebagai mahasiswa kita harus lebih memperhatikan hal yang terlihat mudah tetapi berakibat sangat fatal bagi
kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai