Anda di halaman 1dari 2

Islam dan Pengentasan Kemiskinan

Oleh : Fadhli Yafas

Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan dan Pekerja di Institusi Pertanian Nirlaba

Ditengah kondisi sulit kehidupan masyarakat pada tahun 2007, pemerintah, sebagaimana yang
ditulis Tajuk Republika (28/2), tidak menurunkan target penurunan angka kemiskinan. Pemerintah tetap
berkeinginan untuk menurunkan angka kemiskinan sampai pada angka 14 persen pada tahun ini. Sebuah
harapan yang mulia tentunya. Namun melihat berbagai kondisi yang terjadi saat ini dan terutama kondisi
APBN yang berulang kali mengalami revisi berbagai asumsinya, terlihat pemerintah terlalu optimis, kalau
tidak mau dikatakan bermimpi.

Kenapa orang jadi miskin? Tidak seorang rasanya ada yang mau jadi miskin. Namun yang paling
sering disalahkan sebagai biang keladi kemiskinan ini adalah orang miskin itu sendiri. Tuduhan seperti
malas dan kebodohan adalah model umpatan populer yang sering dialamatkan kepada orang-orang miskin.
Tidak cukup sampai disitu, beberapa kalangan juga menjadikan ajaran agama sebagai kambing hitam
penyebab kemiskinan. Konsep zuhud dan qadha sering dicurigai berada dibalik semakin banyaknya orang
yang miskin.

Tentu saja tudingan kemalasan dan kebodohan sebagai penyebab kemiskinan terlalu berlebihan
untuk diarahkan kepada hampir 40 juta orang miskin di negeri ini, karena permasalahan kemiskinan yang
terjadi di negeri ini merupakan problem sosial, bukan lagi problem individual. Secara sederhana Jalaludin
Rahmat dalam buku Rekayasa Sosial memaparkan ketika suatu masalah menimpa rakyat secara luas maka
masalah tersebut telah terkategori sebagai problem sosial bukan lagi problem individual, dan dijelaskan
bahwa sikap mental seperti kemalasan, kebodohan dan sejenisnya merupakan penyebab bagi problem
individu. Kemiskinan yang sifatnya massal seperti saat ini bukanlah produk budaya, agama dan mental
individual.

Dalam bahasa lain, kemiskinan sebagai problem sosial merupakan kemiskinan sistemik,
kemiskinan yang diakibatkan berbagai regulasi keliru dari kompenen sistem pemerintahan dan pelakunya.
Kenaikan BBM misalnya, walaupun pemerintah telah berupaya berkilah dengan menyebutkan kenaikan
BBM tidak menyebabkan semakin bertambahnya orang miskin, namun pertambahan angka kemiskinan
pasca kenaikan BBM adalah fakta yang sulit terbatahkan. Maka sesungguhnya sebagian besar orang miskin
di negeri ini adalah korban, korban dari kekeliruan dalam menjalankan negara. Semakin besar angka
kemiskinan sesungguhnya bisa dijadikan indikasi semakin kelirunya negara ini dikelola oleh para
penguasanya.

Menjadi miskin sendiri sebenarnya bukanlah suatu azab. Kemiskinan menjadi masalah ketika
menyebabkan berbagai kesulitan dalam memenuhi berbagai kebutuhan pokok (primer). Ada ada dua jenis
kebutuhan primer. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu rakyat seperti pangan,
sandang dan perumahan. Kedua, kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan seperti
kesehatan, keamanan dan pendidikan. Jika Amertya Sen menyebutkan seseorang disebut miskin karena tak
punya akses untuk memenuhi kebutuhannya, maka terakses atau tidaknya dua model kebutuhan primer
inilah kiranya yang dapat menegaskan seseorang miskin atau tidak.

Paradigma yang dipakai pemerintah saat ini adalah pola fikir ekonomi kapitalisme dimana hanya
mengandalkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai cara pemberantasan kemiskinan, karena
pertumbuhan ekonomi diasumsikan sebagai bertambahnya gerak ekonomi yang membuka kemungkinan
peluang kerja. Namun asumsi ini menurut Ivan A. Hadar (2007) terbukti keliru karena pertumbuhan
ekonomi lebih ditunjang investasi padat modal yang tidak butuh terlalu banyak tenaga kerja. Selain itu
pertumbuhan ini ditunjang pula oleh investasi non riil yang tidak membuka lapangan kerja sama sekali.
Dan biasanya untuk menambal ketidakmampuan sistemnya, para ekonom kapitalisme menggunakan
program-program instan yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan secara permanen seperti bantuan
tunai langsung, jaring pengaman sosial, bantuan sosial dan program sejenis lainnya.

Penuntasan kemiskinan memang bukan hal yang gampang, tapi sebagai perbandingan ada beberapa
langkah praktis yang terdapat politik ekonomi Islam:

Pertama, dalam Islam lelaki yang mampu diwajibkan bekerja. Laki-lakilah nanti yang menanggung nafkah
bagi orang tua, wanita dan anak-anak dalam keluarganya. Jika seorang laki-laki tidak mampu bekerja maka
dia menjadi tanggung jawab keluarga dan ahli warisnya. Dan jika keluarganya juga tergolong tidak mampu
maka kewajiban ini beralih kepada negara.

Kedua, negara wajib mengupayakan tersedianya lapangan kerja. Dalam hal ini negara harus memudahkan
setiap investasi yang riil dibidang yang halal untuk diusahakan. Dalam Islam investasi non riil tidak
diperkenan ada.

Ketiga, negara harus mengupayakan kemudahan untuk aktivitas pertanian, perdagangan dan nelayan.
Untuk pertanian, sangat mendesak dilakukan redistribusi lahan, penggunaan pola pertanian organik untuk
mensiasati semakin mahalnya pupuk dan racun anorganik dan pembiayaan dengan pola bagi hasil bukan
dengan kredit. Untuk perdagangan, perlu dipromosikan pembiayaan usaha dengan bagi hasil, sehingga para
pemain baru dalam perdagangan tidak perlu risau terhadap permodalan. Untuk nelayan perlu segera
disediakan bantuan tanpa bunga untuk mendapatkan berbagai sarana melaut seperti kapal, trawl, dan mesin.

Keempat, negara harus memastikan bahwa seluruh rakyat mendapat akses yang murah bahkan gratis untuk
kesehatan, keamanan dan pendidikan. Pembiayaan untuk tiga kebutuhan tersebut sangat mungkin dilakukan
oleh negara dengan pola efisiensi anggaran baik ditingkat pusat maupun daerah. Bukan rahasia lagi
penggunaan anggaran baik APBN maupun APBD banyak yang tidak efisien. Sumber pembiayaan lain bisa
didapat dari hasil sumber daya alam seperti migas dan mineral lain. Jika pemerintah berani bersikap untuk
mengambil alih pengelolaan tambang-tambang mineral tersebut, maka kita akan memiliki sumber
pembiayaan pembangunan yang sangat memadai.

Walaupun seakan-akan menemui jalan buntu, sebenarnya kemiskinan dapat diselesaikan, asalkan
diterapkan paradigma dan konsep yang jelas dan tepat. Pemerintah sering menyebut bahwa keterbatas dana
adalah masalah dalam penyelesaian kemiskinan. Namun sesungguhnya yang menjadi masalah bagi
pemerintah adalah keterbatasan paradigma dan konsep riil.

Anda mungkin juga menyukai