Anda di halaman 1dari 15

POLA DIVERGENSI DAN KONVERGENSI : Karakter Gerakan

Oleh Rum Rosyid, Pendidikan Sosiologi, Untan Pontianak


Pendahuluan
Pada masa orde baru berdasarkan fusi partai hanya ada dua partai politik plus satu
orsospol yang menjadi peserta pemilu, sehingga akses untuk terlibat didalamnya sangat
terbatas dan tidak kondusif, dimana selama tiga dasawarsa sistem politik menjadi carut-
marut akibat rekayasa politik orde baru yang memberlakukan sistem kepartaian
hegemonik (hegemonic party system). Era reformasi Indonesia, memberi andil dalam
banyak perubahan tatanan bernegara (state) dan berbangsa (nation), terutama di bidang
politik dalam kerangka bangunan sistem politik, yang ikut bersinggungan saling
mempengaruhi perubahan tatanan budaya dan prilaku politik. Pemilihan umum dengan
sistem multi partai misalnya selain Pemilu 1955 kembali diberlakukan pada pelaksanaan
Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik. Dan pada Pemilu 2004, berdasarkan kebijakan
KPU menurutnya peserta pemilu sebelumnya berjumlah besar jumlah partai politik
diperkecil , yang kemudian hanya diikuti 24 kontestan. Berdirinya partai politik dalam
jumlah cukup banyak dibanding sebelumnya memberi dampak positif pada teraksesnya
sejumlah kader-kader potensil untuk terlibat menjadi praktisi politik.

Kecenderungan perpecahan internal partai-partai politik kita belakangan ini, antara lain
disebabkan oleh melemahnya orientasi partai-partai politik pada nilai-nilai, dan di sisi
lain, ironisnya orientasi pragmatisme-kekuasaan semakin menguat. Partai-partai politik
kita, kerap terjebak pada hal-hal yang bersifat pragmatis dalam berebut kekuasaan, dan
lupa pada orientasi nilai, yang menjadi idealisme mereka. Partai politik seolah hanya
terfokus pada pengedepanan fungsi rekruitmen politik, tetapi tidak mengembangkan
fungsi pengembangan kader, sosialisasi dan pendidikan politik, serta manajemen konflik.
Akibatnya mereka cenderung gagal menampilkan figur-figur berkualitas, tetapi di sisi
lain yang muncul justru menguatnya pragmatisme politik di dalamnya. Tentu saja, hal ini
membutuhkan perhatian kita bersama.
Di era reformasi sekarang ini, kader-kader potensil saatnya memiliki ruang lapang dan
sudah tersedianya wadah untuk dapat mengartikulasikan gagasan-gagasan dan pemikiran
politiknya, untuk membangun tatanan politik ke-Indonesia-an dalam sistem kepartaian
yang kompetitif (competitive party system). Keterlibatan sejumlah kader-kader potensil
itu, sebagian besar diantaranya sekurang-kurangnya oleh sejumlah kalangan
mengetahuinya sebagai orang-orang profesional, kaum intelektual, cerdik-cendekia dan
memiliki “jam terbang” tinggi sebagai idealis disejumlah kelembagaan masyarakat,
termasuk diantaranya mereka golongan berusia muda. Maka oleh banyak elemen
kemasyarakatan meletakkan harapan dipundak mereka, akan adanya suatu tatanan sistem
dan budaya politik yang lebih baik di masa datang.

Di Indonesia, paling tidak ada 2 fenomena yang sangat mencolok dalam pola persaingan
dan kerjasama partai. Dapat dikatakan, parpol-parpol Indonesia sesungguhnya tengah
mencari bentuk. Dalam jangka panjang kelihatannya akan berpola divergensi
(penggabungan atau merger), tetapi dalam jangka pendek yang terlihat justru fenomena
konvergensi (penyebaran alias perpecahan). Masalahnya karena sampai saat ini, mereka
diperhadapkan pada dua situasi yang memiliki kekuatan tarik menarik yang sama
kuatnya, dan memiliki pengikut atas pahamnya masing-masing. Pertama, yaitu antara
mereka yang sadar atau tidak masih berparadigma lama untuk menjaga status quo,
berhadapan dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai kaum reformis. Pada pihak
pertama, terjebak pada prilaku dan sikap pragmatis berdasarkan ukuran lama dimasa orde
baru. Mereka ini, tidak semata eksponen dari salah satu partai politik lama, tetapi juga di
partai baru yang memahami politik secara parsial. Pada pihak kedua, mereka yang
memiliki komitmen pembaharuan, selalu berdaya-upaya mendorong perubahan tatanan
politik secara cepat, untuk memberdayakan peranan partai politik sesuai tujuan dan
fungsinya demi terbangunnya demokratisasi dan masyarakat madani (civil society),
meskipun disadari tidak berpengalaman dalam praktek politik sebagai kekurangannya.

Kedua, antara penganut paham stuktural yang memandang bahwa perubahan tatanan
politik, hanya mungkin dicapai melalui perbaikan sistem politik. Dan penganut paham
kultural lainnya, yang berkesimpulan bahwa justru budaya politklah yang seharusnya
menjadi dasar dalam membijaksanai pemberlakuan suatu sistem politik. Ditengah realitas
ini, politik dan kekuasaan harus berorientasi pada nilai, bukan pada kekuasaan itu sendiri.
Ketika membahas tentang hakikat kekuasaan, Filsuf Bertrand Russell, mengajak kita
untuk merenungkan perbedaan antara manusia dan binatang (Russell, 1988). Binatang,
kata Russell, sudah merasa puas dengan keberadaan dan reproduksinya. Sementara
manusia, adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas. Keinginan-keingannya hanya
dibatasi oleh apa yang dianggap mungkin oleh imajinasi. Kata Russell: Setiap orang ingin
menjadi Tuhan, jika mungkin.

Di antara keinginan-keinginan manusia yang tidak terhingga itu, menurut Russell, adalah
keinginan untuk memperoleh kekuasaan dan keagungan. Wajar kiranya bila manusia
menginginkan kekuasaan dan keagungan, mengingat di dalam kekuasaan dan keagungan
tersebut tersimpan kenikmatan yang terkadang membuat manusia menjadi terlena.
Kekuasaan dan keagungan, kemudian, diperebutkan. Orang berlomba-lomba untuk
menggapai dan merebut kekuasaan, dari pihak yang sedang berkuasa. Sementara bagi
mereka yang berkuasa dengan segala upaya mempertahankan, agar genggaman
kekuasaan yang ada tidak jatuh ke pihak lain. Maka muncullah persaingan dalam
memperebutkan kekuasaan (political competition).

Bahwa kita tidak ingin melihat partai-partai politik kita lemah, hanya karena persoalan-
persoalan yang bersifat pragmatis, dan melupakan fungsi utama partai, khususnya dalam
pendidikan politik, memberikan pencerahan dan mengupayakan keadilan sosial dan
kesejahteraan rakyat. Kita membutuhkan penguatan institusi, termasuk partai politik
untuk menjamin terwujudnya sistem politik yang dapat diandalkan, di mana pada
gilirannya mampu memperkuat mekanisme “checks and balances”. Kekuasaan
membutuhkan keseimbangan. Hal ini diperlukan agar kekuasaan tidak diselewengkan,
dan terjebak ke dalam pusaran otoritarianisme. Adagium Lord Acton selalu
mengingatkan, tentang makna kekuasaan “Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely” : kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak sudah
pasti korup. Dalam konteks inilah, diperlukan demokrasi, yang secara substansial
mengandung nilai-nilai: kedaulatan rakyat; jaminan hak asasi manusia; persamaan di
depan hukum; toleransi; pembatasan pemerintahan secara konstitusional; kebebasan
umum; perdamaian; kemakmuran; dan “check and balances” (Dahl, 2001; USIA, 1991).

Selama 1998-2005 saja telah terjadi banyak peristiwa pecahnya parpol, dari satu menjadi
banyak. Bahkan terdapat semacam tren bahwa kalau ada beda pendapat diinternal parpol,
solusinya adalah mendirikan parpol baru. Tetapi, semakin hari semakin disadari
berdasarkan pengalaman membentuk parpol baru amat susah, di samping butuh modal
(uang) yang amat banyak, juga apalagi pendukung, yang belum tentu solid. Mendirikan
parpol baru seperti orang bermain judi. Dalam kasus Partai Demokrat, ia seolah memiliki
garis tangan alias nasib politik yang baik. Dan hal ini terlihat jelas dalam pengamatan
empiris. Pertama, politik kepartaian di Indonesia memperlihatkan munculnya persaingan
sekaligus kerjasama partai. Menjelang digelarnya pemilu 1999, kita dapat dengan mudah
memperlihatkan bahwa politik elektoral memperlihatkan suatu persaingan nyata di antara
partai-partai politik. Semua partai politik memiliki kebebasan untuk menegaskan warna
ideologis mereka; dan para pemilih tidak lagi diintimidasi dalam memilih partai pilihan
mereka.

Penegasan Ideologis : politik bagian kebudayaan


Penegasan ideologis menjadi norma dari politik elektoral dalam suatu usaha untuk
mendapatkan suara. Masing-masing partai mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah partai
Islam atau partai sekular. Di titik inilah persoalan muncul: apakah politik yang
hakikatnya bagian dari kebudayaan, patuh pada nilai-nilai, ataukah sebaliknya politik
tidak menyandarkan diri pada nilai-nilai. Pemikir dan filsuf Italia Nicollo Machiavelli,
berabad yang lalu mencemaskan hal ini. Ia lantas menuangkan gagasan-gagasannya, yang
kemudian di sampaikan pada Raja Medici. Dalam bukunya berjudul Il Principe atau Sang
Pangeran, Machiavelli menimbang bagaimana seorang penguasa bertindak demi
kelanggengan kekuasaannya walaupun untuk itu ia harus mengorbankan banyak hal,
terutama sekali suara rakyat dan moralitas (Zainuddin, 2005).

Apabila direfleksikan lebih jauh, pendapat tersebut merekomendasikan agar kekuasaan


direbut dan dipertahankan “dengan segala cara”. Ini salah satu pendapatnya saja,
mengingat dibukunya yang lain Discoursi, Machiavelli cukup memberi tempat pada
rakyat sebagai entitas politik yang terhormat. Demokrasi memberikan kebebasan, tetapi
juga memberikan kesempatan kontrol atas kekuasaan. Oleh karena itu, sudah menjadi
kewajiban kita untuk melakukan proses pendidikan politik, agar proses demokrasi kita
berjalan secara berkualitas. Tidak hanya partai-partai politik, tetapi elemen-elemen lain,
seperti TNI/Polri, Organisasi sosial kemasyarakatan (ormas), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), pers (media massa), serta “kekuatan-kekuatan politik” yang lain,
sama-sama memiliki kewajiban moral untuk mengedepankan aspek pendidikan politik
bangsa, dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Dari Machiavelli kekuasaan dipandang secara amat pragmatis: ia harus dicapai dan
dipertahankan dengan segala cara, atau menghalalkan segala cara. Konsekuensinya,
politik dijalankan dengan orientasi semata-mata demi kekuasaan an sich, jauh
meninggalkan nilai-nilai. Sebaliknya, kebanyakan kaum moralis menghendaki agar,
dalam berpolitik tidak menghalalkan segala cara. Para moralis itu mengingatkan, agar
dalam berpolitik, dikedepankan etika dan fatsoen politik. Tanpa adanya fatsoen politik,
maka, pertarungan politik hanyalah, sebagaimana disimbolisasikan oleh Gaetano Mosca,
dalam teori elite-nya, merupakan pertarungan antara “srigala” dan “singa”. Masing-
masing saling bertarung secara fisik, dan menggunakan segala cara untuk menghabisi
lawannya. Tanpa fatsoen politik, maka cepat atau lambat hancurlah peradaban politik
suatu bangsa.

Fenomena perpolitikan nasional menunjukkan, ketika menyangkut proses pembentukan


pemerintahan, persaingan politik tersebut seperti berhenti. Perbedaan-perbedaan
ideologis di antara berbagai partai tampak sebagai non-faktor dalam proses pembentukan
pemerintahan tersebut. Dengan mengambil nama Persatuan Nasional, kabinet yang
kemudian terbentuk tersusun dari semua partai di DPR yang mencakup partai Islam dan
sekular. Pengamatan kedua pada pemilu 2004 memperlihatkan suatu pola yang serupa.
Partai-partai politik dengan berbagai pandangan politik bersaing keras dalam pemilu
legislatif dan presiden. Ketika pemilu itu berakhir, partai-partai politik tersebut seperti
membuang watak-bersaing mereka, dan umumnya mengabaikan hasil-hasil pemilu, untuk
membentuk sebuah pemerintahan yang mencakup semua pihak. Dengan mengambil
nama yang serupa, Kabinet Persatuan Indonesia, partai-partai Islam dan sekular
bergabung ke dalam kabinet tersebut. Sekali lagi, ideologi partai tampak sebagai non-
faktor dalam pembentukan kabinet tersebut, dan akibatnya tidak ada partai-partai oposisi
di panggung politik.

Pengamatan berikutnya, pengamatan ketiga, semakin memperbesar keanehan sistem


kepartaian Indonesia. Memasuki pemilu 2004, dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak
semakin ke kanan. Mereka menjadi lebih konservatif, dan memperlihatkan tingkat
Islamisme yang lebih tinggi, serta mendorong dimasukkannya syariah atau hukum Islam
dalam konstitusi. Mereka membedakan diri dari partai-partai yang lain. Terlepas dari
kenyataan ini, partai-partai sekular merangkul mereka dalam koalisi untuk pemilu
presiden, mengakomodasi mereka dalam kabinet, dan mengajak mereka dalam sebuah
kaukus parlementer seolah-olah tidak ada perbedaan ideologis antara partai-partai Islam
dan sekular tersebut.

Seperti kata North, ideologi sebagai institusi informal dan demokrasi sebagai institusi
formal selalu berbanding terbalik. Ketika masih bernama PK, institusi formal (sistem
demokrasi) yang ada pada waktu itu belum stabil. Karena itu, PK cenderung berperilaku
ideologis. Namun, ketika sistem demokrasi makin berjalan baik dan aturan main politik
makin stabil –dengan berbagai amandemen UUD serta penyempurnaan UU Pemilu dan
Pemilihan Presiden, UU tentang Fungsi dan Kedudukan DPR, UU Partai Politik, dan
lain-lain– partai dakwah yang kemudian bernama PKS pun cenderung berperilaku
mengikuti institusi formal: rasional, taktis, pragmatis.

Sesungguhnya politik begitu dekat dengan persoalan moral atau etika, baik dalam
konteks moralitas individual maupun moralitas publik. Dalam konteks moralitas
individual, Filsuf Imammuel Kant, misalnya berpendapat bahwa di dalam setiap individu
politik terdapat kekuatan “ular” sebagai simbol kelicikan dan “merpati” sebagai simbol
ketulusan. Apabila individu politik tersebut, tidak berorientasi pada ketulusan merpati,
dan semata bersandar pada kelicikan ular, maka sungguh politisi demikian, adalah politisi
tidak bermoral dari kacamata pandang moralitas individual. Dari kacamata moralitas
publik, dikaitkan dengan konteks kebudayaan, maka politik tidak semata-mata jalan atau
upaya untuk mencapai tujuan yang tidak dibebani oleh nilai-nilai. Apabila politik
berorientasi pada nilai-nilai, maka tentunya ia tidak berhenti hanya sekedar meraih dan
mempertahankan kekuasaan, melainkan mengupayakan terwujudnya tujuan-tujuan mulia,
antara lain keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Kalau kita cermati lebih dekat, akan terlihat bahwa meskipun partai PKS berubah cukup
drastis dari idealis di zaman PK menjadi pragmatis di zaman PKS ia tidak pernah
mengubah rumusan ideologinya. Ia tetap partai Islamis yang evolutif ala Ikhwanul
Muslimin, yang bercita-cita memperjuangkan terbentuknya masyarakat Islami melalui
pembentukan jaringan kader untuk menumbuhkan individu-individu Islami.
Individu-individu ini nantinya membangun unit-unit keluarga Islami, yang akan
melahirkan dan mendidik generasi Islami. Ketika sudah terbentuk generasi Islami, akan
terbentuk masyarakat Islami. Jika sampai di sini, tuntutan akan sistem politik dan
kebijakan yang Islami hanya menunggu waktu.

Puncak prestasi budaya politik kita adalah, apabila mampu menampilkan dan menjaga
proses demokrasi di tanah air secara berkualitas, sehingga praktik-praktik demokrasi
prosedural betul-betul merupakan implementasi dari nilai-nilai yang tercakup dalam
demokrasi substansial. Sehingga demokrasi betul-betul mampu menjadi pintu masuk bagi
masa depan Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan bermartabat. Inilah pekerjaan rumah
kita sebagai warga bangsa: sebuah pekerjaan yang tidak ringan.

Lalu, apa yang membuat partai yang memiliki reputasi bersih ini seolah berubah pikiran
menjadi pragmatis? Di satu sisi, ada sebagian komentator mengungkapkan bahwa
pragmatisme PKS tidak lebih dari sekadar kamuflase untuk menutupi agenda mereka
yang sebenarnya. Mereka ingin terlihat moderat untuk mendapatkan dukungan massa
sebanyak-banyaknya. Setelah mereka memenangkan kekuasaan, menurut pendapat ini,
PKS baru akan menunjukkan wajah aslinya yang Islamis. Di sisi lain, ada pula yang
berpendapat bahwa politisi PKS sebenarnya tidak beda dari politisi pada umumnya, yang
berorientasi kekuasaan. Menurut pandangan ini, pimpinan PKS baru menyadari bahwa
politik memang harus pragmatis.

Empat Karakter Gerakan : kekuatan Islam


Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca
runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara
umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu
kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki
ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode
pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut
antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang
dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara
Indonesia, presiden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah
Orde Baru runtuh.
Menurut Ahmad Su’aedy , empat kekuatan Islam menjelang Pemilu 2009, yang
merupakan cermin dari pemikiran dan gerakan Islam(Ahmad Su’aedy, 2008). Meskipun
masing-masing kekuatan ini cukup kompleks untuk dijelaskan secara komprehensif,
dengan cara sederhana akan dijelaskan, yakni dengan menunjukkan simbol sentral dan
karakter utama dari pemikiran atau gerakan, atau idealisasi dan para pendukungnya.

Pertama , kekuatan Megawati dengan PDI-P-nya. Selama ini PDI-P dianggap sebagai
kekuatan nasionalis yang, dalam peta politik tradisional, Orde Lama dan Orde Baru,
diperhadapkan dengan arus politik atau partai Islam. PDI-P tidak bisa lagi dipandang
partai nasionalis vis-a-vis Islam. PDI-P dengan simbol Megawati-nya adalah partai yang
juga setidaknya didukung oleh sebagian besar pemeluk agama Islam.

Yang menjadi ciri keislaman PDI-P, adalah bahwa Islam bukan sebagai dasar bertindak
dan hampir tidak memiliki basis intelektual keislaman. Dan secara given mereka
meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Paham ini bukan hanya datang dari paham
sekuler Barat, melainkan juga datang dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, itu
sendiri dengan apa yang oleh Woodward di atas disebut sebagai indigenized Islam.
Namun secara argumentatif, kelompok ini akan mengalami kesulitan untuk menjawab
tuntutan dari kelompok Islam lain, seandainya ada tuntutan tertentu dari mereka, karena
tidak memiliki basis intelektual Islam untuk menjawab mereka. Sehingga, kelompok ini
akan lebih memainkan kekuasaan untuk menjawab tuntutan tersebut ketimbang
argumentatif. Akibatnya, ia akan bergantung pada kekuatan negosiasi. Jika negosisasi
kalah dan akan mengganggu kekuasaan, maka mereka akan memilih mempertahankan
kekuasaan dengan mengakomodasi tuntutan, betapa pun prinsipnya tuntutan tersebut.

Kedua, Golkar. Kita belum tahu siapa simbol figur sentral partai warisan Soeharto ini.
Namun bisa diduga, calon presiden Golkar akan berasal dari Islam yang berpandangan
modern atau modernis dalam kategori akademik lama. Ciri model ini adalah pragmatis.
Apapun tuntutan mayoritas anggota maupun masyarakat, akan menjadi acuan
pengambilan keputusan asalkan partai ini tetap bisa meraih atau mempertahankan
kakuasaan. Partai ini memiliki banyak intelektual, termasuk intelektual Islam, tetapi
orientasinya sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Ini bisa dilihat dari berbeda-
bedanya orientasi partai ini dari daerah satu ke daerah lain, tergantung tuntutan utama
mayoritas muslim di tempat tersebut. Sehingga seperti juga pada kekuatan pertama,
negosiasi akan menjadi senjata utama kekuatan ini, bahkan dalam hal yang sangat
prinsipil sekalipun.

Ketiga, kekuatan Gus Dur. Dari sudut partai, kekuatan Gus Dur tidak sebesar dua
kekuatan sebelumnya. Namun dukungan terhadap pemikiran dan gerakan tokoh ini
merata di hampir semua kelompok dan kekuatan, kecuali kelompok yang benar-benar
Islamis yang menolak pandangan pluralisme atau kepelbagaian dan anti toleransi.
Banyak orang yang mengakui kebenaran pandangan dan gerakan Gus Dur, meskipun
banyak yang kuatir dan takut mengikuti ideal Gus Dur, karena dia sering mengabaikan
keuntungan material dan politik serta tidak peduli dengan citra diri demi
mempertahankan prinsip. Ciri dari kekuatan ini adalah di samping basis intelektual ke-
islaman yang tinggi juga memiliki prinsip keindonesiaan yang sangat kuat. Jika dirunut
dari geneologi pemikiran dan gerakan ini, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin
inilah tradisi yang paling otentik dari Islam-Indonesia. Ia berbasis pada pandangan tradisi
Islam nusantara, tetapi memiliki geneologi yang kuat pada sejarah Islam paling awal
sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di tangan kelompok ini, Islam terus berkembang tanpa meninggalkan nilai intrinsik dan
keasliannya. Keterpanggilan seseorang untuk berpolitik, dengan demikian seharusnya
bukan untuk kepentingan dan kesenangan pribadi yang bersifat jangka pendek, tetapi, ada
idealisme tersendiri, yakni disamping konsisten pada orientasi nilai, juga agar
berkesempatan untuk melakukan upaya-upaya tercapainya keadilan sosial dan
kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itulah, seharusnya kekuatan-kekuatan politik apa pun,
berorientasi nilai. Ada idealisme yang diperjuangkan, bukan semata-mata secara
pragmatis, merebut dan mempertahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan
kelompok demi kekuasaan itu sendiri, serta mengabaikan tujuan-tujuan mulia dalam
politik. Seharusnya semua kekuatan-kekuatan politik yang ada adalah kekuatan-kekuatan
kebaikan.

Kenyataannya kekuatan ini sulit berkompromi dengan masalah-masalah yang idiil


menyangkut ke-Islam-Indonesia-an: ada di dalamnya unsur-unsur penghormatan terhadap
tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat serta hak-hak intrinsik warganegara,
seperti misalnya hak untuk beragama dan berkeyakinan serta hak untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Kelompok ini sangat ideal sebagai sebuah cita-cita, namun sangat
sulit memenangkan pertarungan di masa yang sangat pragmatis dan serta jalan pintas
seperti sekarang ini. Dalam ekonomi, kalau kita boleh bercermin pada kepresidenan Gus
Dur waktu lalu, maka mungkn Gus Dur bukan orang yang anti neoliberal, namun
cenderung ingin membangun kekuatan ekonomi baru seperti poros India-China-Indonesia
demi kemandirian rakyat di kawasan ini tanpa harus menimbulkan ketegangan yang
berlebihan.

Keempat, kekuatan SBY. Karena SBY sedang berkuasa, maka lebih mudah dinilai.
Melihat sepak terjangnya sebagai presiden, maka dengan mudah bisa dilihat, bahwa dari
sudut agama ia mewakili arus kanan atau islamis dan agen paling telanjang dari
neoliberal dari sudut ekonomi. Adalah bukan kebetulan, bahwa SBY dalam agama
mengikuti arus MUI yang anti toleransi dan anti pluralisme, bukan pula kebetulan
mengangkat KH. Ma’ruf Amin, juru bicara paling vokal anti pluralisme dan aliran sesat,
sebagai anggota Wantimpres bidang agama. Kasus Ahmadiyah dan Tragedi Monas
berdarah memperlihatkan pandangan yang diderivasi menjadi kebijakan presiden SBY,
bahwa SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, misalnya, dikeluarkan pada saat istana
dikepung oleh kaum proponen Rizieq Shihab, ketua Umum FPI yang anti pluralisme dan
toleransi.

Apabila dikaitkan dengan realitas-obyektif yang ada, maka justru yang berkembang
adalah hal-hal yang bersifat pragmatis. Kalau sikap pragmatisme sudah berjangkit dan
dominan, maka lambat laun sebuah kekuatan politik akan menjadi kekuatan kejahatan.
Dari sini bolehlah saya mengutip pendapat Sayidina Ali, “kejahatan yang
terorganisasikan dengan baik, ia dapat mengalahkan kekuatan kebaikan”. Apabila sebuah
kekuatan politik didominasi oleh sekelompok orang atau elite yang menciptakan sistem
yang jahat, maka ia segera menjadi kekuatan kejahatan. Mereka adalah para pembajak
dan penyeleweng, yang menjauhkan politik dari orientasi nilai-nilai kebaikan.

Bisa dikatakan, dalam kasus SKB Ahmadiyah, SBY bertekuk lutut di bawah tuntutan
Rizieq dan Munarman (Panglima Komando Laskar Islam). Hal itu terjadi karena
lingkaran pertama kekuasaan SBY adalah partai-partai Islam, yaitu PKS, PBB, PAN dan
PD. Tiga partai yang disebut pertama dikenal sebagai partai militan Islam, sedangkan PD
tidak memiliki cukup sumberdaya intelektual untuk berdebat dengan ketiga partai di atas.
Dalam perilaku pemilu, PKS mengalami perubahan drastis dari idealis menjadi taktis
dan pragmatis. Menjelang Pemilu 1999, misalnya, Dewan Syariah PK –lembaga yang
bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan partai– mengeluarkan
seruan kepada kader dan pendukung PK untuk tidak terjebak dalam kesibukan mencari
pemilih.
Sebab, menurut Dewan Syariah, partai ini didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan,
melainkan untuk menebar dakwah. Alhasil, Dewan Syariah menyerukan kepada segenap
kader dan pendukung untuk lebih banyak meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah. Sebab Tuhan Mahakuasa dan bisa membuat sebuah partai menang atau
kalah. Dan terbukti, PK gagal. Menjelang Pemilu 2004, sikap dan perilaku PKS berbalik
nyaris 180 derajat. Pada periode ini, PKS meyakini, keberhasilan partai dalam pemilu
adalah kecerdasan menyusun strategi dan kegigihan menjalankan kampanye. PKS pun
melatih kader-kadernya dengan berbagai keterampilan profesional dalam persuasi dan
propaganda politik.

Sekarang, kita hidup di era reformasi. Apabila kita menyaksikan kehidupan politik
Indonesia di era reformasi ini, maka banyak sekali hal yang dapat kita refleksikan. Secara
umum kita bersyukur hingga detik ini, bangsa Indonesia masih eksis dan mampu
memberlangsungkan proses-proses kehidupan berbangsa dan bernegara secara wajar.
Kita bersyukur, kita sekarang berada di zaman demokrasi, di mana iklim kebebasan
publik amat kondusif. Kita berada pada era transisi politik, di mana di dalamnya
dilakukan berbagai pembenahan-pembenahan secara mendasar di bidang politik. Kita
sudah banyak melakukan pembenahan terhadap sistem politik yang ada, mulai dari
perubahan sistem kepartaian, sistem pemilu, dan yang terpokok adalah amandemen UUD
1945.

Di bidang ekonomi, selama pemerintahan SBY, meskipun dari sudut angka-angka makro
ekonomi cukup stabil karena bertumpu pada modal luar negeri yang bersifat sangat
sementara, tetapi dalam waktu yang sama fondasi ekonomi nasional runtuh. Lihatlah
penurunan hasil minyak bumi, pasokan listrik, pasokan gas, minyak goreng dan BBM di
dalam negeri. Belum pernah fenomena pemandangan rakyat antri makanan, BBM,
minyak goreng serta gizi buruk seperti terjadi pada pemerintahan SBY ini. Tetapi pada
saat yang sama, seorang menteri yang juga pengusaha kolaborasi SBY menjadi orang
terkaya se Asia Tenggara untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Sebagai
bangsa, sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahunnya yang ke-65 tahun. Usia itu
belum cukup panjang bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, misalnya, yang sudah
ratusan tahun. Namun, layaknya manusia usia 65 tahun itu sudah di anggap cukup
matang. Sebagai bangsa kita telah melalui dinamika politik yang pasang naik dan pasang
surut.

Pengutamaan kepentingan rakyat : paralel Kekuatan Politik


Pada saat ini kita dapat belajar dari pengalaman sejarah, bagaimana para pejuang
kemerdekaan merenda kemerdekaan pada masa pergerakan nasional, mempertahankan
kemerdekaan, zaman Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru, dan
era Reformasi saat ini. Di masing-masing era politik, sebagaimana saya sebutkan di atas,
kita dapat belajar banyak terkait dengan kemajuan dan kelemahan politik masing-masing.
Timbul dan tenggelamnya rezim dalam panggung sejarah kita ternyata paralel dengan
konsisten-tidaknya pengutamaan kepentingan rakyat dan penegakan nilai-nilai. Kita juga
banyak belajar pada style kepemimpinan masing-masing aktor politik yang pernah
menghiasi panggung sejarah. Dari situ, kita semakin sadar akan semakin perlunya jenis
pemimpin-negarawan, khususnya di saat bangsa Indonesia mengalami krisis
multidimensional dewasa ini. Pemimpin-negawaran, ialah para pemimpin politik yang
berpihak pada nilai dan kepentingan bangsanya.

Karena itu kurang tepat jika kekerasan antar agama yang tidak pernah ditangani secara
normal dan terpeliharanya kaum Islamis, praktis merupakan strategi pemerintahan ini
untuk merawat dukungan Islamis demi Pemilu 2009. Demikian juga ketegangan yang
sebenarnya sumir, yang terus terjadi seperti aliran sesat, termasuk di dalamnya
Ahmadiyah, tidak lain untuk merawat sentimen Islam untuk tujuan yang sama. Dengan
demikian, SBY dengan kekuatan pendukungnya adalah representasi Islam kanan tersebut.
Makanya jangan heran kalau ketegangan seperti ini akan terus dipelihara sampai Pemilu
2009. Semua ini terjadi akibat berkembangnya proses demokratisasi dan reformasi. Dari
sudut reformasi politik, maka banyak hal yang telah kita capai. Hanya sayangnya, dalam
bahasa budaya, semua itu belum diikuti sepenuhnya oleh reformasi mentalitas para
pelakunya. Inilah yang menjadi salah satu persoalan yang cukup mengedepan. Dominasi
pelaku politik-kekuasaan yang berorientasi bukan kepada nilai, sungguh mencemaskan.
Orientasi politik-kekuasaan an sich, sungguh berbahaya, apalagi bila ditambah dengan
lemahnya proses pendidikan politik, khususnya dari para elite politik kita.

Tahun 2008-2009 adalah tahun di mana proses politik berlangsung sangat intensif guna
menghadapi momen paling krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang keduanya berlangsung pada 2009. Kedua
pemilu ini, kalau bisa dan semoga benar-benar terjadi, hasilnya bukan saja akan
menentukan arah dan model demokrasi yang telah terbangun sejak runtuhnya Orde Baru,
melainkan juga orientasi filosofi dan arti kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri.
Seluruh persaingan dan pertarungan tersebut sesungguhnya adalah pertarungan antar
kekuatan Islam sendiri; dan tak ada persaingan dan pertarungan politik pun yang tanpa
melibatkan unsur Islam(Ahmad Su’aedy, 2008). Jadi, Islam kini sudah berada di tengah
arena pertarungan itu sendiri, entah sebagai landasan bertindak atau ideologi, dan dengan
demikian, ditawarkan sebagai alternatif dari bentuk negara dan masyarakat yang telah ada
dan berlangsung; entah sebagai komoditi politik untuk tujuan kekuasaan dan meraih
dukungan semata; entah sebagai sebuah cita-cita ideal yang diimpikan sebagai bentuk
ideal dari bentuk terbangunnya integrasi Islam-bangsa Indonesia yang otentik.
Dalam panggung politik, apa pun bisa terjadi atau tidak terjadi. Hitung-hitungan
matematika tidak lagi berlaku. Secara klasik sering digambarkan, tidak ada kawan atau
lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan. Perkembangan yang
makin pragmatis juga terjadi dalam perilaku PKS di pemerintahan (legislatif dan
eksekutif). Pada zaman PK, meski gagal melampaui electoral treshold 2% dan tidak bisa
mengikuti pemilu berikutnya, PK berhasil mengirim tujuh wakilnya di DPR. PK juga
sempat mendapat jatah satu kursi di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada periode ini, perilaku kader-kader partai di pemerintahan lebih mencerminkan


gagasan ideal sebuah partai politik yang ingin melakukan perubahan besar. Menteri
Kehutanan Nurmahmudi Ismail begitu gencar memburu koruptor kakap, yang
membuatnya harus berbenturan dengan presiden dan terdepak dari kabinet. Ketika itu,
PK juga hanya bersedia berkoalisi dengan partai Islam. Terbukti, partai ini menolak
tawaran posisi menteri dalam kabinet Megawati, setelah Gus Dur dimakzulkan MPR.
Namun kiprah kader partai dakwah berubah banyak ketika berganti menjadi PKS.
Menjelang pemilihan presiden 2004, PKS tidak bulat mendukung Amien Rais yang
notabene representasi politisi muslim yang sejalan dengan identitas politik PKS.
Sebagian pimpinan PKS lebih memilih Wiranto karena alasan pragmatis politik bahwa
yang terakhir ini lebih punya kans memenangkan kompetisi. Di arena pemilihan kepala
daerah, PKS tidak canggung lagi berkoalisi dengan parpol yang tidak berbanderol Islam.
Bahkan ia menjalin koalisi dengan partai Kristen, PDS.

Sebagian dari begitu 'banyaknya kemungkinan' dalam dalil politik itu, kini lengkap kita
nikmati lewat berbagai proses menjelang, pada saat, dan sesudah berlangsungnya
pembacaan hasil temuan sementara panita Pansus Century. Kesibukan para tokoh partai
politik penguasa dalam merancang koalisi baru menjelang keputusan final kasus Century
sangat terasa, mengaktualkan tesis lamanya Harold Laswell bahwa politik adalah
'masalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana'.

Aktualisasi politik tergambar melalui lobi, statemen, maupun manuver taktis dan
psikologis. Masih teringat jelas dalam memori kita ketika salah satu politisi kita berkata
bahwa 'Akan susah membangun koalisi yang kuat dan permanen kalau setiap orang bisa
datang dan pergi sesuka hati. Ini menyangkut soal trust'. Hal inilah yang terjadi dalam
dataran partai-partai yang berkoalisi akhir-kahir ini. Hubungan harmonis yang telah lama
dibangun berubah menjadi pertarungan dingin, berbagai macam manuver plolitik dan
statemen pun mulai dilontarkan, saling hina, saling caci seakan sudah menjadi hal yang
biasa dalam ranah perpolitikan kita dewasa ini.
KEPUSTAKAAN
Achmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang,
Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politika
Achwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010
Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009,
http://www.hmifebugm.com
Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010
admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme,
Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/
Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS
Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.
Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net
Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007
ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008
Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.
Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis,
17/07/2008 08:49 WIB
Dimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October
2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/
Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita,
27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/id
Ediwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme,
ediwahyu.multiply.com/journal
Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga
Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010
Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com
Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01
Kompas
Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)
Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/
Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm
M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan
Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog
NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu
Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009
Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia",
Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83
Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/
Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.
Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15
October.
Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.
VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah
format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009,
10:05 WIB
Wishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta
Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33
Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy"
SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24
Pebruari 2006
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009
Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta
2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in
Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.
Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada
Bab I)
Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret
1998.
Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada
Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth,
Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The
Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold,
The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic
Transformation.
Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI
dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,
Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of
Southeast Asian Studies, 1977.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),
Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika,
1995.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu
Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar
Maju, hlm 264.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.
Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.
Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS,
Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya
pada Bab I)
Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12
Maret 1998.
Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi)
pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM
http://adetaris.multiply.com
Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster
University Press
Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political
Economy of the Mass Media. New York:Pantheon
Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward
Arnold
Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader.
London:Sage Publication
Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage
Public
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
London:Longman
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold
Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge
Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books
Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge
Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press
Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana
di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth
Publishing Company
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global.
Jakarta:YOI
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan
modern. Jakarta:Gramedia
Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of
Knowledge. London:Routledge
Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil
Blackwall
Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory.
London:Sage Publications
Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge
Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon
Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass
Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication
Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher
Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse.
London:Sage Publication
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the
Mass Media. New York:Longman
Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia.
Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth
PC
Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development
and Pressure for Change. New York:Routledge
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,
Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH
Publishing Co, 1976
Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics.
London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan
pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI,
1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES,
1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

Anda mungkin juga menyukai