Anda di halaman 1dari 8

Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada

daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan
UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan.

Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung
mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki
inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan dari konsep desentralisasi pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah
daerah dapat lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan
pembangunan, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih optimal sesuai dengan karakteristik yang ada di
wilayahnya. Otonomi daerah merupakan suatu upaya, kesempatan, dan dukungan bagi daerah untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara mandiri.

Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1.  Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah
diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat
dilibatkan secara intensif.
2.  Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada
publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah
satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan
pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3.  Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya
berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
PROSEDUR PERIZINAN PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PROSES PERIZINAN TELEKOMUNIKASI (MELALUI SELEKSI)

MODERN LICENSING
 Bersifat Kontraktual/Kesepakatan
 Mengatur hal-hal :
 Hak Pemilik Izin;
 Kewajiban Pemilik Izin;
 Sanksi;
 Kepastian waktu:
 Masa Laku Izin Prinsip;
 Kepastian Pelaksanaan ULO;
 Kepastian Pengajuan Izin Penyelenggaraan
 Kepastian melakukan Lounching/Komersial
 Memberikan Kepastian Hukum

 SELEKSI
 Untuk penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang memerlukan alokasi spektrum frekuensi tertentu dan atau memerlukan
SLJJ, SLI dan Jaringan Bergerak Seluler)
 Jumlah Penyelenggara dibatasi v Dirjen Postel membentuk Tim seleksi
 Izin Prinsip diterbitkan kepada pemenang seleksi
 Izin Prinsip berlaku selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan masa berlaku selama-lamanya s
 Izin Penyelenggaraan diterbitkan setelah sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemilik izin prinsip dinyatakan laik operas
 Izin penyelenggaraan tidak berbatas waktu berlaku, tetapi setiap 5 (lima) tahun [dalam Modern Licensing yang baru 1 (satu)
menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban pemilik izin.
 Izin Prinsip dan Izin Penyelenggaraan untuk jenis penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa teleponi dasar diterbitka
 Memasukkan Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen).
 Memasukkan klausul denda terhadap keterlambatan pembangunan (KEPPRES No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Ja
keterlambatan PNBP (UU No. 20/1997 tentang PNBP). 
 EVALUASI
 Untuk penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang tidak memerlukan alokasi spektrum frekuensi tertentu dan atau meme
Tetap Tertutup, Jaringan Bergerak Satelit, dan Jaringan Bergerak Terestrial).
 Untuk peyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar.
 Untuk peyelenggaraan Jasa Nilai Tambah Teleponi dan Jasa Multimedia.
 Untuk peyelenggaraan Telekomunikasi Khusus.
 Dirjen Postel membentuk tim evaluasi.
 Izin Prinsip diterbitkan kepada pemohon yang memenuhi syarat.
 Izin Prinsip berlaku selama-lamanya 1 (satu) tahun, dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan masa berlaku selama-lamanya s
 Izin Penyelenggaraan diterbitkan setelah sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemilik izin prinsip dinyatakan laik operas
 Izin penyelenggaraan tidak berbatas waktu berlaku, tetapi setiap 5 (lima) tahun [dalam Modern Licensing yang baru 1 (s
secara menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban pemilik izin.
 Izin Prinsip dan Izin Penyelenggaraan untuk jenis penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi, jasa multimedia dan telekomu
Postel.
 Memasukkan Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen).
 Memasukkan klausul denda terhadap keterlambatan pembangunan (KEPPRES No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Ja
keterlambatan PNBP (UU No. 20/1997 tentang PNBP).

Di dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukk
Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Persyaratan teknis tersebut meliputi persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi untuk keperluan penyelenggaraan jaringan dan jasa
penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

 Persyaratan teknis dimaksudkan untuk:

a. Menjamin keterhubungan dalam jaringan telekomunikasi


b. Mencegah saling mengganggu antar alat dan perangkat telekomunikasi
c. Melindungi masyarakat dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan akibat pemakaian alat dan perangkat telekomunikasi
d. Mendorong berkembangnya industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi nasional

Indikasi Praktek Monopoli

Ada dua pasal yang perlu diperhatikan terkait dengan indikasi praktek monopoli menara bersama di Badung.

Pertama, pasal 6 ayat 2 Perda Badung No. 6/2008 mengijinkan pemerintah daerah setempat bekerja sama

dengan badan usaha penyedia menara dalam rangka pembangunan menara bersama di Badung. Kedua, pasal

40 yang menyatakan bahwa izin pembangunan dan penggunaan menara yang dikeluarkan berdasarkan

Peraturan Bupati Badung No. 62/2006 tentang Penataan dan Pembangunan Infrastruktur Menara

Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung tetap berlaku sampai dengan masa izin menara tersebut

berakhir. Keberadaan pasal 40 ini sendiri cukup menggelitik. Apa sebenarnya maksud Pemkab mencantumkan

pasal ini kedalam Perda yang mereka terbitkan?

Perlu diketahui bahwa Pemkab Badung, berdasarkan pasal 6 ayat 2 diatas, telah mengadakan Perjanjian Kerja

Sama dengan salah satu badan usaha penyedia menara untuk menguasai pembangunan menara bersama di

Badung. Penyusunan Perda ini sendiri dilakukan setelah Pemkab menandatangani perjanjian tersebut.

Sehingga, jika pasal 40 diatas tidak ada, kerja sama yang telah ada sebelum Perda ini disahkan dapat

dinyatakan gugur dan rekanan tersebut bisa saja digeser oleh investor lain. Oleh karena itu, timbul dua kesan

negatif berkenaan dengan pasal 40 ini. Yang pertama adalah maksud dan tujuannya untuk melindungi dan

mengamankan keberadaan rekanan Pemkab. Kedua, pasal tersebut disinyalir merupakan upaya terselubung

untuk mengakomodir persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli penyediaan menara bersama.

Suatu hal yang jelas-jelas haram hukumnya jika menilik pasal 15 Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No.

2/2008 dan pasal 21 Peraturan Bersama. Disamping itu, Perjanjian Kerja Sama yang ditandatangani Pemkab

dan rekanannya ini juga melanggar pasal 15 dan pasal 17 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlihat dalam klausa poin C, pasal 10 ayat 2, dan pasal 14 perjanjian

tersebut dimana Pemkab Badung tidak diperkenankan memberikan izin baru bagi badan usaha penyedia

menara lain sampai selesainya perjanjian dengan rekanan ini.

Menanggapi permasalahan tersebut, Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.S., Komisioner Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ikut angkat bicara. Ia menyatakan bahwa indikasi praktek monopoli dalam

perjanjian ini memang kuat. Dasarnya adalah bahwa Perjanjian Kerja Sama tersebut telah memenuhi beberapa

unsur kategori praktek monopoli yaitu pengurangan jumlah pelaku usaha secara signifikan, tarif sewa yang

tinggi, praktek diskriminatif, dan perjanjian sewa menyewa yang eksploitatif. KPPU sendiri telah melayangkan

surat peringatan resmi yang bernomor 408/K/VI/2009 pada 18 Juni 2009.

Praktek persaingan usaha yang tidak sehat seperti inilah yang tidak baik dan menggerogoti denyut kehidupan

industri seluler. Dan sungguh ironis, pemerintah -khususnya di daerah- yang seharusnya bertindak sebagai

pelindung justru “melegalkan” praktek-praktek yang sarat dengan kecurangan dan manipulasi tersebut. Hal ini

tentu menjadi faktor penghambat dalam pengembangan jaringan seluler yang sedang gencar dilakukan oleh

operator. Eksistensi industri seluler yang memiliki peran penting dalam usaha membangun bangsa Indonesia

seakan-akan terlalu dibatasi ruang geraknya. Alhasil, posisi operator seluler pun menjadi serba sulit karena

sekalipun menjadi pihak yang dirugikan, mereka tetap memiliki kewajiban hukum untuk harus tunduk pada

setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Pembongkaran Menara Telekomunikasi

Selain indikasi praktek monopoli, masalah lain yang timbul adalah tindakan pembongkaran menara

telekomunikasi yang secara serampangan dilakukan oleh Pemkab Badung. Semua menara selain milik rekanan

Pemkab, termasuk menara milik operator, izin operasionalnya tak lagi diperpanjang dan harus dibongkar.

Operator pun dipaksa agar menggunakan menara yang dibangun dan dimiliki rekanan Pemkab. Dasar hukum

yang dipakai dalam pembongkaran adalah pasal 6 ayat 1 Perda Badung No. 6/2008 yang menyebutkan bahwa

hanya BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta yang diijinkan membangun menara bersama. Hal ini kontradiktif

dengan pasal 3 Permen Kominfo No. 2/2008 yang menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi -operator

seluler itu sendiri- termasuk salah satu pihak yang diijinkan membangun dan memiliki menara.

Pembongkaran menara secara semena-mena juga cacat hukum jika menelaah pasal 21 dari Permen yang

disahkan ketika M. Nuh masih menjabat Menkominfo itu. Dalam pasal tersebut diisyaratkan bahwa pemerintah

memang dapat memberikan sanksi, namun tetap harus sesuai dengan prosedur hukum. Misalnya dengan

terlebih dahulu memberikan tiga kali surat peringatan sebelum akhirnya melakukan pencabutan izin. Hal ini

penting karena merubuhkan menara secara gegabah dapat menyebabkan terganggunya jaringan

telekomunikasi setempat. Bahkan dalam kondisi terburuk, sangat mungkin terjadi kelumpuhan (blackout)

komunikasi. Ujung-ujungnya pelangganlah yang menanggung derita, dimana ribuan pelanggan seluler di Bali

sempat mengalami gangguan sinyal dan kesulitan berkomunikasi selama beberapa waktu.
Selain masyarakat umum, industri seluler pun tidak ketinggalan akan menerima dampak negatif. Operator

seluler jelas mengalami gangguan operasional dengan tidak adanya menara telekomunikasi. Posisi mereka

kembali serba salah karena kerugian yang akan diderita bisa jadi lebih besar jika tidak lagi beroperasi. Sebagai

korporasi, operator seluler tentu tidak mau menderita kerugian. Alhasil, suka tidak suka mereka akhirnya

menggunakan menara yang disediakan oleh rekanan Pemkab Badung, walaupun dengan harga yang lebih tinggi

20% jika dibandingkan dengan mengelola menara sendiri atau menyewa pada penyedia menara lain. Jika

dibiarkan, harga sewa yang tinggi seperti ini dapat menurunkan daya kompetitif operator dan mengancam tren

penurunan tarif telekomunikasi yang belakangan ini terus-menerus digelorakan oleh industri seluler.

Peraturan Menteri vs. Peraturan Daerah

Berbagai pertentangan antar regulasi yang terjadi di Badung dan beberapa daerah lain mengemuka karena

adanya tafsir yang menganggap bahwa posisi Perda jauh lebih perkasa daripada Permen. Dasar dari tafsir ini

lebih kepada tidak dicantumkannya Permen sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam

pasal 7 ayat 1 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketiadaan tersebut

sempat membuat kekuatan hukum Permen dipertanyakan. Namun menurut Prof. Dr. Maria Farida Indrati

Soeprapto, S.H., M.H., seorang guru besar di bidang ilmu perundang-undangan, seharusnya Permen berada

diatas Perda karena menteri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Otonomi daerah pun

diselenggarakan dalam kerangka negara kesatuan, yang berarti provinsi dan kabupaten berada di bawah

pemerintahan pusat sehingga pemerintah daerah harus tunduk pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah

pusat.

Pasal 7 ayat 4 UU No. 10/2004 pun menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan selain yang tercantum

dalam pasal 7 ayat 1 UU yang sama tetap diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Ditambah dengan asas lex superiori derogat legi inferiori yang dijunjung sistem hukum di Indonesia dimana

peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah posisinya, sudah seharusnya

penyusunan Perda mengacu dan mempertimbangkan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi, termasuk

Permen, sehingga tidak akan terjadi pertentangan yang mengguncang kepastian hukum.

Kiprah XL

Sebagai salah satu operator seluler yang beroperasi di Badung, XL merasakan sendiri arogansi pemerintah

daerah setempat. Empat buah menara milik XL di Badung menjadi korban kesewenang-wenangan Pemkab.

Tidak hanya itu, tiga belas menara milik penyedia menara lain, yang selama ini sudah digunakan secara

bersama oleh XL dan beberapa operator seluler yang lain, juga dirubuhkan. Di beberapa daerah lain, seperti

Yogyakarta, Palu, dan Makassar, XL pun bernasib sama. Namun terlepas dari semua itu, XL tetap berusaha

untuk memberikan pelayanan yang maksimal pada setiap pelanggannya. Trafik secara nasional yang rata-rata

naik cukup signifikan sebesar 8 persen pada masa liburan Natal dan 21 persen pada libur pergantian tahun
yang lalu tetap mampu ditangani oleh XL dengan baik. XL pun masih setia dengan berbagai promosi yang

sangat menggiurkan bagi pelanggannya seperti tarif penggilan murah, sms gratis, maupun layanan akses

Internet yang murah. Disamping itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 16

November 2009 membatalkan rencana penjualan aset perusahaan berupa menara telekomunikasi sebanyak

maksimum 7.000 menara beserta sarana dan prasarananya. Dengan keputusan tersebut, terlihat bahwa XL

akan terus maju pantang mundur dalam usaha meningkatkan layanan telekomunikasi baik bagi pelanggan

maupun bagi Indonesia. XL dengan penuh dedikasi dan semangat yang tinggi tetap berusaha untuk menjaga

kelangsungan pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia untuk berkomunikasi. Walaupun terkadang, semangat

dan dedikasi itu masih membentur kerasnya tembok regulasi. Oleh karena itu, disinilah peran sentral

pemerintah sangat dibutuhkan.

Peran Pemerintah

Pemerintah, yang diberi amanat sebagai regulator, seharusnya turut membina, merawat, dan mengembangkan

industri seluler, bukan membatasi dengan regulasi yang mengekang. Kasus Perda Badung sebaiknya menjadi

pelajaran berharga bagi pemerintah pusat dan daerah. Kasus tersebut memang lingkupnya kedaerahan, namun

isunya sudah menjadi perhatian nasional. Pertentangan-pertentangan yang ada dalam regulasi seperti ini

semestinya diperhatikan oleh pemerintah daerah lain. Jangan sampai Perda yang cacat hukum seperti Perda

Badung No. 6/2008 muncul kembali. Karena konsekuensi yang harus dihadapi industri seluler, dan tentunya

masyarakat umum, tidaklah ringan. Yang terancam bukan hanya kelangsungan bisnis telekomunikasi, tetapi

juga pemenuhan hak masyarakat akan pelayanan publik.

Pemerintah pusat maupun daerah harus lebih bijak dalam menyusun peraturan. Regulasi yang diterbitkan dan

keputusan yang diambil seyogyanya lebih ramah terhadap industri seluler, dengan menjamin adanya kepastian

hukum, memudahkan proses perizinan dengan memperpendek jalur birokrasi yang harus dilalui, menciptakan

iklim yang kondusif bagi dunia usaha, dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya agar terjadi persaingan

usaha yang sehat. Pemerintah juga perlu menghindarkan diri dari kerja sama yang bersifat eksklusif yang

sesungguhnya rentan akan penyelewengan dan konflik kepentingan. Karena bukan hanya industri seluler yang

diuntungkan, masyarakat pun akan menerima dampak positif jika regulasi bidang telekomunikasi lebih jelas dan

sinkron. Dengan jumlah uang yang berputar dalam industri ini mencapai puluhan trilyun rupiah, penerimaan

pajak pemerintah tentunya akan terkatrol jika industri seluler berkembang lebih pesat. Pembangunan yang

dilakukan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat pun otomatis akan terdongkrak karena sekitar 80%

pembiayaan pembangunan negara kita berasal dari pajak.

Dalam proses penyusunan regulasi, pemerintah juga harus mendengarkan sebanyak mungkin masukan dari

masyarakat, termasuk dari dunia usaha. Hal ini penting untuk dilakukan agar pemerintah tidak mengeluarkan

produk hukum yang bersifat ortodoks yang mencerminkan tindakan otoriter pemerintah. Produk hukum yang

baik seharusnya bersifat responsif yang sesuai dengan asas demokrasi dan mengakomodasi keinginan dan

kebutuhan semua pihak. Karena hakikat hukum adalah mendamaikan dan melindungi masyarakat, bukan
menimbulkan keresahan. Sudah cukup ketidakpastian dan keresahan yang dirasakan industri seluler dan

masyarakat. Sekaranglah saatnya pemerintah pusat dan daerah bersinergi dalam penyusunan regulasi.

Sejujurnya, kita semua -masyarakat umum dan industri seluler- menunggu perhatian dan inisiatif pemerintah

untuk menyadari bahwa industri seluler sejatinya merupakan partner penting dalam usaha memajukan bangsa

ini.

Anda mungkin juga menyukai