PENDAHULUAN
Secara geografis Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” s/d 7014’35”
Bujur Timur dan 7059’6” s/d 8033’56” Lintang Selatan. Kabupaten Jember dengan 33
kecamatan merupakan dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan,
dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas Utara dan Timur serta
Samudera Indonesia sepanjang batas Selatan dengan Pulau Nusabarong yang
merupakan satu-satunya pulau yang ada di wilayah Kabupaten Jember. Letak
Kabupaten Jember cukup strategis karena berada di persimpangan antara Surabaya
dan Bali, sehingga perkembangannya cukup pesat dan menjadi barometer
pertumbuhan ekonomi di kawasan Timur Jawa Timur.
Sebagai daerah otonom, Kabupaten Jember memiliki batas-batas teritorial, luas
wilayah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik dan sosial budaya serta
sumber daya manusia. Kondisi obyektif yang demikian dapat mengungkapkan berbagai
karakteristik sumberdaya alam, komoditas yang dihasilkan, mata pencaharian
penduduk, keadaan serta ekonomi dan sosial budayanya yang mencerminkan kekuatan
sebagai suatu kompetensi daerah, sekaligus beragam permasalahan yang dihadapinya.
Sesuai UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah
mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan
pembangunannya sendiri. Dengan demikian, pemda memiliki kesempatan yang lebih
baik untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Tetapi dilain pihak, pemda juga
berkewajiban menjaga keberlanjutan pembangunan dengan menjaga kelestarian
siklus sumberdaya alam yang terbarukan dan memanfaatkan yang tak terbarukan
dengan searif mungkin.
Wilayah Jember bagian utara dan timur yang topografinya berbukit -bukit dan
bergunung-gunung, relatif baik untuk perkembangan tanaman keras dan tanaman
perkebunan lainnya. Tanaman kopi dan kakao atau coklat juga cukup potensial
ditanam di areal perkebunan di Kabupaten Jember. Karena potensinya tersebut,
pengusahaannya tidak hanya dikelola oleh rakyat tetapi juga dikelola oleh pihak
BUMN (PT. Perkebunan Nusantara XII), Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan
swasta.
Kopi termasuk tanaman perkebunan yang memberikan kontribusi ekspor terbesar
setelah karet. Total areal perkebunan kopi di Jember 16.882 Ha dengan pengusahaan
kopi rakyat seluas 4.911 Ha yang tersebar di 27 kecamatan dengan areal terluas
berada di Kecamatan Silo. Selanjutnya sebanyak 14 kebun dengan luas areal 6.009 Ha
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII), 7 kebun seluas 2.267 Ha
dikelola oleh Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan 10 kebun dengan luas areal
3.695 Ha dikelola oleh pihak swasta. Sedang produktivitas tanaman kopi dalam setiap
hektarnya untuk kopi rakyat mencapai 6,40 ton, pengusahaan melalui PTPN XII
mencapai 4,09 ton, pengusahaan kopi melalui PDP mencapai 5,99 ton dan
pengusahaan oleh pihak swasta mencapai 5,24 ton.
Jenis kopi yang dihasilkan oleh PTPN XII dan dikenal di dunia adalah “Java
Coffee” berasal dari jenis kopi Arabika. Sementara kopi yang diusahakan oleh PDP
dan rakyat adalah jenis kopi Robusta. Sebagian besar masih berbentuk biji kopi yang
harus disortasi dahulu sebelum diekspor. Harga kopi biji sangat dipengaruhi oleh
harga kopi dunia. Berbagai masalah yang melanda kopi biji Indonesia terutama yang
berasal dari perkebunan rakyat adalah harga, mutu, isu ochratoxin dan isu
lingkungan. Sebaliknya harga kopi olahan cenderung meningkat (Hakim, 2003).
Pada awal tahun 2006, perkebunan kopi milik PDP menjadi salah satu penyebab
terjadinya longsor dan banjir banding di Kecamatan Panti. Pola pengelolaan hutan,
penatagunaan sumber daya tanah di hulu yang parsial akibat penanaman kopi yang
monokultur diperparah dengan illegal loging menimbulkan dampak yang besar
terhadap daerah hilir (Jawa Pos, 2006). Peralihan hutan alam menjadi perkebunan
kopi yang monokultur selain mempersempit daerah tangkapan air juga beresiko
terhadap terjadinya longsor di daerah lereng gunung dengan kemiringan di atas 25
derajat.
Di sisi lain, permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan tanah untuk
perkebunan kopi rakyat juga sering menjadi masalah. Akhir tahun 2007 dan awal
tahun 2008 ini, 3000 pohon kopi milik rakyat di Kecamatan Tanggul dibabat oleh
petugas Perhutani, karena dianggap tidak memiliki izin penggunaan tanah (Jawa Pos,
2008).
Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi di Kabupaten Jember seperti yang
baru saja terjadi di awal tahun 2008 tepatnya di Kecamatan Silo, umumnya terjadi
karena adanya kerusakan lingkungan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun
2006 menyatakan bahwa ada hubungan antara usaha peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dengan kerusakan lingkungan. Kerusakan alam yang terjadi sebagai
akibat pemberian izin bagi perluasan perambahan di kawasan hutan lindung, hutan
produksi dan kawasan perkebunan serta kawasan pemukiman.
Sebagai contoh, Perusahaan Daerah Perkebunan Kabupaten Jember selama
periode 2001 hingga 2005 mengejar kontribusi PAD dari perkebunan sebesar 8,59
XVIII-2 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
miliar. Tetapi mengabaikan kondisi lingkungan, sehingga sistem penanaman kopi yang
monokultur justru kurang melindungi tanah terhadap curah hujan yang tinggi. Hal ini
diperkuat oleh data bahwa sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 telah terjadi
penebangan hutan secara intensif, disertai oleh alih fungsi lahan dari hutan atau
pohon karet menjadi perkebunan kopi.
Oleh karena itu makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi potensi
Kabupaten Jember terutama dari sektor perkebunan kopi. Mengingat perkembangan
perkebunan kopi oleh rakyat yang menggembirakan seiring dengan peralihan sebagian
besar lahan perkebunan kopi milik PTPN menjadi tanaman lain. Sehingga
pengusahaan kopi oleh rakyat dapat berkelanjutan dalam arti menjadi sumber
pendapatan yang ekonomis bagi petani, bernilai ekologis dan masyarakat dapat
terlibat langsung dalam pengelolaan daerah-daerah di sekitar perkebunan yang
umumnya berada di daratan tinggi yang rawan longsor.
XVIII-3 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-4 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan
di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik
bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan. Dari luas wilayah
tersebut dapat dibagi menjadi berbagai kawasan :
Tabel 1. Pembagian Kawasan Kab.Jember
Kawasan Luas (ha)
Hutan 121 039, 61
Perkampungan 31 877
Sawah 86 568, 18
Tegal 43 522, 84
Perkebunan 34 590, 46
Tambak 368, 66
Rawa 35, 62
Semak/Padang rumput 289, 06
Tanah rusak/Tandus 1 469, 26
Lain-lain 9 583, 26
Kabupaten Jember pada dasarnya tidak mempunyai penduduk asli. Hampir
semuanya pendatang, mengingat daerah ini tergolong daerah
yang mengalami perkembangan sangat pesat khususnya di bidang perdagangan,
sehingga memberikan peluang bagi pendatang untuk berlomba-lomba mencari
penghidupan di daerah ini. Mayoritas penduduk yang mendiami Kabupaten Jember
adalah suku Jawa dan Madura, disamping masih dijumpai suku-suku lain serta warga
keturunan asing sehingga melahirkan karakter khas Jember dinamis, kreatif, sopan
dan ramah tamah.
Berdasarkan data statistik hasil registrasi tahun 2003, penduduk Kabupaten
Jember mencapai 2.131.289 jiwa, dengan kepadatan penduduk 647,15 jiwa/km. Laju
pertumbuhan penduduk tahun 2000-2003 adalah 0,7075. Sebagian besar penduduk
berada pada kelompok usia muda. Sehingga kondisi demografi yang demikian
menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia yang dimiliki Kabupaten Jember
cukup memadai sebagai potensi penyedia dan penawar tenaga kerja di pasar kerja.
Terdapat 31 industri besar, 1345 industri sedang, 27 925 industri kecil dan rumah
tangga. Perusahaan perdagangan cukup besar 110, menengah 1661, kecil 12 072.
Dengan total nilai investasi 370.254.576.396.
Masyarakat Kabupaten Jember sekitar 80% berada di daerah perdesaan dengan
karakter penghidupan penduduk yang bersumber dari pertanian. Bahkan pada tahun
2004, sektor pertanian menyumbang 47,94% PDRB dengan pertumbuhan real sekitar
4.02% per tahun. Oleh karena itu Jember termasuk daerah produsen beras di Jawa
Timur.
XVIII-5 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor Menurut Jenis Komoditas, Tahun 2005
Volume Ekspor Nilai Ekspor
No. Jenis Komoditas
(Ton) ( U.S. $)
(1) (2) (3) (4)
1. Karet 2.948.467 3.766.783,11
2. Kopi 232.401 989.607,65
3. Coklat 344.562 587.994,69
4. Tembakau
a. Na ogst. 8.882.879 36.134.009,35
b. Voor Oogst. 8.452.884 8.134.156,55
c. Bobin 207.079 1.996.965,18
d. Cerutu 1.328 25.000,00
5. Vanilli 7.200 128.000,00
6 Edamame 2.273.630 3.425.478,00
7 Mukimame 278.500 345.474,00
8 Batu Piring - -
9 Terong Beku 22.800 36.676,00
10 Mebel 10.000 26.145,00
11 Okaa Okura 92.300 137.965,00
12 Garden Tile 8.050 10.654,73
13 Patung Batu - -
Hasil perkebunan lain yang diekspor adalah karet, kopi dan kakao. Total areal
perkebunan kopi di Jember 16.882 Ha dengan pengusahaan kopi rakyat seluas 4.911
Ha yang tersebar di 27 kecamatan dengan areal terluas berada di Kecamatan Silo.
Selanjutnya sebanyak 14 kebun dengan luas areal 6.009 Ha dikelola oleh PT.
Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII), 7 kebun seluas 2.267 Ha dikelola oleh
Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) dan 10 kebun dengan luas areal 3.695 Ha
dikelola oleh pihak swasta. Sedang produktivitas tanaman kopi dalam setiap
hektarnya untuk kopi rakyat mencapai 6,40 ton, pengusahaan melalui PTPN XII
XVIII-6 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
mencapai 4,09 ton, pengusahaan kopi melalui PDP mencapai 5,99 ton dan
pengusahaan oleh pihak swasta mencapai 5,24 ton (Jember dalam Angka, 2005)
Sementara untuk komoditi tanaman perkebunan kakao di Jember dari total luas
areal 4.641 hektar semua diusahakan oleh perusahaan perkebunan seperti PTPN XII
mengelola 4 kebun dengan luas 3.914 hektar, 3 kebun seluas 216 hektar dikelola oleh
PDP dan sebanyak 5 kebun dikelola oleh swasta dengan luas areal 511 hektar. Dalam
setiap hektarnya produktivitas tanaman perkebunan kakao yang dikelola oleh PTPN XII
mencapai 3,27 ton. Sedang yang dikelola oleh PDP dan swasta masing-masing
mencapai 4,93 ton dan 7,67 ton. Selain kopi dan kakao lainnya yang banyak ditanam
antara lain tebu, cengkeh, vanili, lada, kelapa dan tanaman perkebunan lainnya.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Jember berusaha mengejar ketertinggalan
Human Development Index (HDI) yang berada pada posisi ke-33 dari 38
kabupaten/kota di Jatim (Kompas, 2007). Kabupaten Jember telah menetapkan 4
sasaran RPJMD meliputi sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan peningkatan
infrastruktur perdesaan. Empat sasaran RPJMD ini diharapkan dapat mendukung
Agenda 21 Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sehingga
menambah PAD dapat mendukung pelaksanaan RPJMD Kabupaten Jember.
XVIII-7 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-8 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-9 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
Perebutan lahan untuk menanam kopi juga sering menimbulkan konflik antara
masyarakat dan pemerintah terutama pihak Perhutani dan PTPN. Seperti yang terjadi
di Kecamatan Tanggul akhir 2007 dan tanggal 4 Januari 2008 lalu. Karena dianggap
tidak memiliki izin untuk menanam kopi di sekitar lahan Perhutani, lebih kurang 3035
tanaman kopi milik rakyat dibabat oleh petugas Perhutani (Radar Jember, 2008).
Masyarakat merasa bahwa mereka telah mendapatkan izin untuk menanam kopi di
sekitar areal milik Perhutani.
Pengelolaan perkebunan kopi hendaknya memperhatikan karakteristik ekosistem
kopi. Karena Kopi (Coffea sp) secara karakteristik merupakan tanaman yang mampu
menjalankan fungsi ekologis sebuah kawasan. Akar tunggang kopi mampu membuka
rongga tanah dan meneruskan air agar tersimpan di dalam lapisan tanah, hingga
menahan laju erosi yang terjadi. Selain itu tanaman kopi juga mampu menangkap
emisi karbon yang beredar di udara. Inilah sebenarnya bentuk kolaborasi manusia
dengan alamnya (Budidarsono dan Wijaya, Tanpa Tahun).
Diversifikasi horizontal (disebut juga tumpangsari), dalam budidaya kopi
merupakan hal yang tidak asing di kalangan praktisi. Tanaman yang diusahakan
sangat beragam baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Pemilihan jenis
tanaman diversifikasi yang tepat, baik dari aspek sosial-ekonomi maupun kecocokan
lingkungan, merupakan salah satu factor penentu keberhasilan diversifikasi (Nur dkk,
2003).
Kesatuan antara tanaman kopi, tanaman pendukung (tanaman tumpang sari) dan
manusia sebagai lingkungan biotik dengan kondisi agroklimat dan faktor tumbuh
merupakan ekosistem yang menentukan keberlanjutan tanaman kopi (Gambar 1). Hal
ini sesuai menurut Odum (1971) yaitu ekosistem adalah satuan fungsional dasar dalam
ekologi, karena memasukkan baik organisme (komunitas-komunitas) biotik, maupun
lingkungan abiotik masing-masing mempengaruhi sifat-sifat yang lainnya dan
keduanya perlu untuk pemeliharaan kehidupan seperti yang kita miliki di atas bumi
ini.
Berbagai kajian mengenai manfaat ekologi dari budidaya kopi yang
memperhatikan fungsi ekologisnya mengarah pada kesimpulan bahwa budidaya kopi
memiliki fungsi konservasi terhadap keragaman hayati dan juga mampu menekan erosi
sampai pada tingkat yang dapat diterima. Sementara itu pasar kopi internasional juga
menawarkan harga premium untuk komoditas kopi yang dihasilkan dari sistem
budidaya kopi yang ramah lingkungan.
XVIII-10│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-11 │M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
Pada prinsipnya terdapat dua cara pengolahan biji kopi, yaitu pengolahan kering
(dry process) dan pengolahan basah (wet process). Proses pengolahan kopi dengan
cara kering umumnya lebih ekonomis dan mudah. Buah kopi harus dibiarkan agak
lama di pohon untuk memudahkan proses pengupasan kulit kopi. Tetapi pada
pelaksanaannya, petani terkadang tidak menunggu sampai buah kopi matang
seluruhnya di pohon sehingga pada saat panen, buah kopi masih tercampur antara
buah kopi yang matang, belum matang dan terlalu matang. Hal ini tentu tidak akan
XVIII-12│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
menghasilkan kopi yang baik terutama setelah menjadi bubuk dan diolah menjadi
minuman (Mulato dkk, 2006).
Proses basah umumnya menghasilkan produk yang memiliki kualitas lebih baik,
walaupun lebih sering diterapkan untuk kopi arabika. Proses basah membutuhkan
peralatan, ketersediaan air yang banyak dan buah kopi yang masak. Perbedaan yang
penting antara proses kering dan proses basah adalah seluruh kulit pelindung biji kopi
telah terkelupas pada proses basah sebelum pengeringan sehingga meningkatkan mutu
dan rasa kopi setelah menjadi bubuk dan diminum. Kekurangan proses basah banyak
menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan
penanganan. Sebagai ilustrasi; apabila dilakukan pengolahan basah untuk 55 ton buah
kopi, maka biji kopi bersih yang dihasilkan sebanyak 1 ton, 2 ton kulit buah kopi,
limbah cair 22730 liter dengan 80 kg BOD dan 0,28 ton limbah kulit ari kopi (Adams
and Dougan, 1989).
Kebutuhan air yang banyak serta limbah yang dihasilkan akan menyulitkan
petani kopi yang umumnya tidak memiliki modal besar dalam menerapkan proses
basah. Belum termasuk biaya sosial seperti kompensasi bagi masyarakat yang terkena
dampak. Salah satu cara untuk meningkatkan harga kopi petani tanpa harus
menjalankan keseluruhan proses basah adalah dengan menerapkan inovasi proses baru
yang disebut dengan proses semi basah (semi wet process). Proses semi basah
mensyaratkan buah kopi yang telah masak dan tetap menghasilkan limbah. Walaupun
demikian, biaya pengolahannya lebih rendah dan mutu kopi terjamin (Mulato dkk,
2006).
Terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan berkaitan dengan upaya
pengembangan agroindustri kopi sebagai bagian dari agribisnis kopi yang berwawasan
lingkungan, yaitu konservasi sumberdaya yang menerapkan teknologi bersih dan
minimisasi efek negatif limbah industri ke lingkungan. Kedua sasaran tersebut dapat
XVIII-13│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
Proses transformasi dan konversi input menjadi output pada pengolahan kopi
semi basah serta keterkaitannya dengan aspek sosial masyarakat petani kopi dan
lingkungan merupakan komponen sistem yang kompleks, saling terkait dan
berpengaruh dalam keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Walaupun demikian
melalui pengolahan kopi semi basah yang berorientasi mutu dapat menjaga
keberlanjutan usaha kopi rakyat di Kabupaten Jember.
Menurut Anonim (2001), prinsip-prinsip konservasi untuk tanaman dan
pengolahan kopi meliputi hal-hal berikut.
XVIII-14│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-15│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan serta
kawasan budaya (Gambar 6.)
PERLIND.
WILAYAH
DAMPAK PARTISIPASI
NEGATIF & KUALITAS
MINIMAL HIDUP MASY.
EKONOMI PENDIDIKAN
PEMBELAJAR
DAERAH
AN
XVIII-16│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
XVIII-17│M A K A L A H L O K A L
AGRIBISNIS KOPI BERKELANJUTAN DI JEMBER ─ ELIDA NOVITA
IV. PENUTUP
XVIII-18│M A K A L A H L O K A L
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M.R. and J. Dougan. Waste Products dalam Coffee Vol. 2. Elsevier Applied
Science, London and New York.
Budidarsono, S dan K. Wijaya. Tanpa Tahun. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi
Robusta dan Keuntungan Petani. Worldagroforestry Centre-ICRAF SE Asia.
Didownload tanggal 29 Januari 2008.
Radar Jember. 2008. Garap Hutan dengan Surat Bodong. www.radar jember.com
Masjhoedi. 2005. Rencana Pembangunan tanpa Tolok Ukur dan Sasaran Jelas.
Artikel. http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp
Mulato, S., S. Widyotomo dan E.Suharyanto. 2006. Pengolahan Produk Primer dan
Sekunder Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Najiyati, S. dan Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca Panen.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Opini Indonesia. 2006. Peningkatan PAD dan Kerusakan Lingkungan. Opini Indonesia
edisi 33/25-30 Desember 2006.
XVIII-19│M A K A L A H L O K A L