Anda di halaman 1dari 11

1.

Sejarah Kota Buton

Pada dasarnya kelahiran suatu kota melalui proses sejarah


yang panjang dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan,
baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat
dilihat pada bangunan dan perkampungan lama
masyarakat,sementara perubahan nonfisik kota dapat dilihat pada
perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota. Untuk memahami
dinamika perubahan dan karakteristik sebuah kota, maka perlu dikaji
sejarahnya.
Kota-kota di Indonesia banyak berkembang di wilayah pantai.Karena
pada masa lalu, aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya banyak
dilakukan melalui laut.Sejarah membuktikan bahwa perdagangan
paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan
laut.Akibatnya muncul permukiman-permukiman di sekitar sungai dan
pantai. Permukiman tersebut pada perkembangannya berubah menjadi
kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan
pendatang setelah melalui proses yang panjang. Hal ini dapat dilihat
pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang
berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau profesi di kota
sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks.
Pada mulanya, Bau-Bau (kota Buton) merupakan pusat
Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401 –
1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah
tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada
Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai
Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana
terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya
bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk
menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia
Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari
Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.
Buton sebagai negeri tujuan kelompok Mia Patamiana mereka
mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini
berada dalam wilayah Kota Bau – Bau) serta membentuk sistem
pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah
Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang
masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih
dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut
disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana
dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja.Selain empat Limbo
yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil
seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga.Maka atas
jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung
dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan
Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan
bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332
setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona
(saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).
Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua Fase
penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai
pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja
diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan
Bulawambona. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan
sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948
Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai
Sultan Buton I sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai
Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan
terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya
wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan
Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna.Demikian juga bidang
ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang
yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang
kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa
Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek
kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan
ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu
“Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan
kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan
serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan
membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak
membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat
umum.Dalam bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai
penagih pajak di daerah kecil diangkat statusnya menjadi Bonto Ogena
disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan
keuangan, juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona
(saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Pada periode abad ke-17 sampai awal abad ke-20 terjadi konflik
antarkerajaan di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa dengan
Bone.Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa dan Bone) dengan
Belanda dan Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi
Tenggara, khususnya Buton menjadi sasaran para imigran dari
Sulawesi Selatan karena wilayah ini selain mudah dijangkau, juga
karena dianggap aman.Dampak dari konflik itu adalah ditinggalkannya
permukiman asal dan pembukaan permukiman baru oleh kelompok
masyarakat Bugis-Makassar di wilayah pantai Pulau Buton.Bahkan
ada sebuah pulau yang berada di sekitar pulau Buton yang dinamakan
dengan pulau Makassar.Selain itu, ada juga nama kampung yang
dinamakan dengan kampung Bone-bone, Wadjo atau Bajo. Nama itu
berasal dari sebutan penduduk Bone dan Wajo di Sulawesi Selatan
dan penduduk Bajau yang sekarang dikenal dengan nama Sama
Bajau.Komunitas penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina,
dan Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk kota
Buton.Suku lain yang tinggal di Buton adalah tolaki, muna, tukang besi,
danKabaena. Pada perkembangan berikutnya, intensifnya aktivitas
ekonomi perdagangan dan perubahan kebijakan politik pemerintah
Hindia Belanda, wilayah tersebut dijadikan sebagai Onder Afdeeling
Celebes.
Posisi Buton sangat dekat dengan pusat birokrasi kolonial untuk
wilayah Timur Indonesia yakni Ambon dan Makassar.Secara ekonomi,
Ambon (Maluku) dikenal juga sebagai pusat produksi rempah-rempah
yang laku di pasar Internasional sehingga banyak dikunjungi oleh para
pedagang. Sedangkan pada abad ke-19, Makassar merupakankota
pelabuhan dan kota dagang yang ramai. Kota ini oleh Belanda juga
dijadikan sebagai pusat birokrasi. Kondisi itu sangat menguntungkan
posisi Buton karena selain berada di jalur menuju Maluku, Buton juga
lebih mudah dijangkau dari kedua kotatersebut untuk melakukan
perdagangan antarpulau.
Pada tanggal 11 September 1911 wilayah administrasi Buton
ditetapkan sebagai ibukota Afdeling Sulawesi Timur oleh
Belanda.Untuk mengintegrasikan wilayah kekuasaannya, kesultanan
Buton membangun wilayah barata.Wilayah barata ini terdiri dari barata
Muna, barata Kaledupa, barata Kalingsusu, dan barata Tiworo.Diduga
pembentukan barata ini pada abad XV ketika Kesultanan Buton
dipimpin oleh sultan La Elangi.Wilayah barata ini berfungsi sebagai
basis pertahanan dan keamanan Kesultanan Buton.
Perkembangan morfologi Kota Buton memiliki perbedaan antara
pada masa kekuasaan Kerajaan Buton (sekitar abad ke-14 sampai
dengan abad ke-17) dengan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda.Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail tentang morfologi
kota Buton pada masa pemerintahan Hindia Belanda beserta aspek
yang paling dominan yang mempengaruhi bentuk kota tersebut.
Namun terlebih dahulu akan diberi penjelasan secara umum tentang
ciri fisik dan non fisik kota Buton pada masa pemerintahan kerajaan
Buton, karena ciri fisik dan non fisik pada masa tersebut tersebut
masih memiliki keterkaitan dengan ciri fisik dan non fisik pada masa
pemerintahan Hindia Belanda.

2. Ciri Fisik dan Non Fisik Kota Buton


2.1. Ciri Fisik Kota Buton
Sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda di Pulau
Buton, Kota Buton masih dikuasai dan diperintah oleh kerajaan
setempat, khususnya Kerajaan Buton, yang pada periode abad
ke-14 sampai dengan abad ke-17 memiliki wilayah kekuasaan
hampir seluruh Sulawesi Tenggara.
Pada periode tersebut, pusat permukiman masyarakat
terletak di sekitar keraton, sehingga perkembangan fisik kota
pun hanya berlangsung di dalam kompleks keraton,seperti
pendirian benteng yang berfungsi sebagai pertahanan. Dengan
melihat letak permukiman penduduk yang jauh dari pantai dan
perkembangannya cenderung memusat di sekitar keraton, maka
pada periode abad ke-14 sampai dengan abad ke-17 kota
tersebut termasuk dalam kategori kota pedalaman.
Sedangkan pada tahun 1667 ( setelah penandatanganan
Perjanjian Bongaya I ) sampai dengan tahun 18641, muncul
permukiman baru di sekitar pantai Pulau Buton. Penduduk yang
bermukim di daerah tersebut merupakan penduduk yang
melakukan migrasi dari permukiman awal yang terletak di

1
Pada periode tersebut (tahun 1667 sampai dengan tahun
1864) kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara mulai berkembang.
sekitar keraton2.Hal ini terbukti dengan banyaknya suku Bajo,
Bugis, Makassar, dan Toraja yang membuka permukiman baru
dan tinggal di sekitar pantai Pulau Buton.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, perluasan
permukiman kota Buton cenderung kearah sekitar pantai. Pasar
dan syahbandar didirikan di sekitar pantai yang dekat dengan
pelabuhan. Jika melihat dinamika yang ada di kota Buton, maka
tampak bahwa arah perkembangan kota lebih mencirikan suatu
kota pelabuhan.

2.2. Ciri Non Fisik Kota Buton


Pada masa pemerintahan Kerajaan Buton, yaitu sekitar
abad ke-14 sampai dengan abad ke-17, perekonomian Kota
Buton dijalankan oleh para pejabat kerajaan dan etnis di luar
etnis setempat. Sedangkan dalambidang administrasi, kebijakan
politik, dan pendidikan hanya dijalankan di dalam keraton,
karena pada periode tersebut wilayah luar keraton hanya
dianggap sebagai wilayah pendukung dari segi politik dan
ekonomi.Perkembangan Kota Buton pada periode itu selain
disebabkan oleh faktor pusat kekuasaan tradisional (dalam hal
ini Kerajaan Buton), juga dapat disebabkan oleh adanya sumber
daya alam yang memadai untuk menunjang perkembangan kota
pedalaman. Sehingga perputaran roda ekonomi menjadi lancar
yang pada akhirnya turut mempengaruhi perkembangan dan
perluasan kota secara fisik.

2
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) disebabkan
oleh adanya konflik antarkerajaan di Sulawesi, yaitu antara
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang turut melibatkan
Kerajaan Buton. Akibatnya, penduduk yang merasa tertekan
melakukan perpindahan ke daerah-daerah yang dianggap lebih
aman dan mudah dijangkau. Salahsatunya adalah Sulawesi
Tenggara.
Sedangkan pada periode 1667 sampai dengan tahun
1864, perekonomian Kota Buton bercirikan perdagangan,
dimana perdagangan tersebut merupakan aktivitas ekonomi
yang dilakukan oleh penduduk yang telah melakukan migrasi,
kemudian mendirikan permukiman baru dan menetap di sekitar
pantai Pulau Buton.Barang yang diperdagangkan berupa hasil
laut, seperti teripang, mutiara, ikan, sirip ikan hiu, dan lola.
Pada tahun 1878 komoditi ekspor utama Buton adalah
tripang, kulit penyu, kopi, lilin, agar-agar, akar bingkuru, kulit
soga, karoro, balasari (dupa), mutiara, kulit, tanduk kerbau, sirip
ikan hiu dan katun mentah.Sedangkan untuk komoditi impor
utama yaitu beras, candu, barang-barang besi dan tembikar,
kain dan benang Eropa.Pada tahun 1906, pemerintah Hindia
Belanda mengambil alih tugas sebagai pengendali kebijakan
perekonomian dengan memungut cukai impor dan ekspor di
daerah Kesultanan Buton.Beban itu diberikan kepada semua
kapal yang singgah di beberapa pelabuhan Sulawesi
Tenggara.Kapal-kapal yang berlabuh juga dibebani pajak
berlabuh.
Perubahan yang menonjol terjadi ketika Buton menjadi
ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911.Pada tahun
1915, Afdeeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan
dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton.Pada tahun
itu pula, Belanda menerapkan politik ekonominya dengan
melakukan pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana
kota berupa pelabuhan dan jaringan jalan. Selain itu, pendirian
asrama militer, sekolah, perumahan, jaringan air bersih, jaringan
telepon, serta fasilitas transportasi darat juga dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda.Namun pada kenyataannya,
pemerintah Hindia Belanda mengambil keuntungan dari semua
fasilitas yang disediakan itu, baik dalam bentuk pajak maupun
tenaga kerja.
Pada tahun 1924, perkembangan perekonomian kota
Buton ditandaidengan didirikannya produksi tambang aspal oleh
pemerintah Hindia Belanda. Selain itu dilakukan pula
pembangunan dan pelebaran jalan ke daerah-daerah yang
mempunyai hasil ekonomi penting, seperti ke perkebunan
kelapa dan daerah pedalaman yang mempunyai hasil hutan
seperti rotan dan damar, serta pembukaan pengelolaan kayu jati
Vejahoma di Raha dan pembukaan jaringan jalan ke Kendari.

3. Aspek yang Mempengaruhi Morfologi Kota Buton

Setelah mengkaji dan memahami morfologi Kota Buton, maka


dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan mendasar terhadap aspek
yang mempengaruhi morfologi Kota Buton antara pada masa
kekuasaan Kerajaan Buton dengan pada masa pemerintahan Hindia
Belanda.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Pulau Buton (tahun
1906), perkembangan morfologi kota Buton lebih disebabkan oleh
aspek ekonomi. Aspek ekonomi yang mempengaruhi bentuk kota
Buton ditunjukkan dengankebijakan yang diberikan oleh pihak
pemerintah Hindia Belanda yang memutuskan untuk melakukan
pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana kota seperti
pelabuhan, pasar,jaringan telepon dan jaringan jalan. Realisasi dari
kebijakan tersebut yaitu perbaikan fasilitas pelabuhan–pelabuhan kota
Buton yang terdapat di beberapa wilayah, seperti pelabuhan di kota
Buton itu sendiri, Pasarwajo, Pelabuhan Walanda dan Tobelo yang
mana merupakan pelabuhan kuno yang terletak di Pulau Buton, serta
didirikannya pelabuhan transit seperti Pelabuhan Matanauwe dan
Lamoambu.Selain mendirikan pelabuhan, juga dilakukan perbaikan
terhadap fasilitas pelabuhan yang ada, sebagai contoh yaitu
Pelabuhan Pasarwajo yang semula hanya pelabuhan nelayan
kemudian diubah menjadi pelabuhan ekspor aspal.Buton juga memiliki
Bandar perniagaan yang terletak di pantai kota Bau-Bau (kota Buton).
Pelabuhan tersebut menjadi tempat singgah bagi pedagang-
pedagangdari Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura.
Selain itu, fasilitas berupa pasar juga dibangun di tepi sungai
Bau-Bau dan di sekitar pelabuhan Bau-Bau.Pasar ini mulai dibangun
secara permanen sejak tahun 1920 dan merupakan tempat transaksi
bagi para pedagang yang berasal dari Cina, Bugis, Makassar, Malaka,
Jawa, dan Madura.
Infrastruktur kota berupa jaringan jalan juga mengalami
perubahan pada tahun 1906. Perubahan tersebut berupa pelebaran
dan pengerasan jalan.Selain itu, dilakukan perpanjangan jalan dan
pembukaan jaringan jalan baru menuju daerah-daerah yang
3
memberikan keuntungan secara ekonomi .Sebagai contoh yaitu
pembukaan jalan dari Bau-Bau ke Pasarwajo yang kemudian
diperpanjang sampai ke daerah Kabungka4.Jaringan jalan baru lainnya
yang dibuka yaitu jalan yang menghubungkan antara Buton dengan
Muna.Selain itu, juga dilakukan pembukaan jaringan jalan ke daerah-
daerah yang mempunyai fasilitas pelabuhan transit, seperti akses jalan
ke Lohia, Raha, dan Lamoambu.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terjadi perbaikan
fasilitas kota Buton, baik dari sisi prasarana maupun sarana yang
terdapat di kota tersebut. Perbaikan ini dimulai sejak empat tahun
setelah pendudukan Belanda di Pulau Buton (1910) sampai dengan
tahun 1942. Seiring dengan perbaikan fasilitas kota, pemerintah Hindia
Belanda juga melakukan eksplorasi terhadap sumber-sumber ekonomi
di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti pertambangan aspal di Buton, perluasan
kebun kelapa, serta industri kapuk di Muna.

3
Daerah-daerah yang dianggap memberikan keuntungan secara
ekonomi yaitu daerah yang mempunyai komoditas yang laku di pasar
internasional dan sumber pajak serta mempunyai hasil pertambangan,
seperti yang terjadi di kota Muna (Jati, Kopra, Mutiara dan Kapuk),
Kendari (Rotan dan Damar, Nikel), dan Buton (Aspal dan Kopra).
4
Sejak tahun 1924, Pasarwajo merupakan daerah penghasil aspal.
Jaringan jalan yang semula hanya sampai di daerah Pasarwajo kemudian
diperpanjang hingga ke daerah Kabungka seiring dengan diperluasnya
derah penambangan aspal Buton hingga ke daerah tersebut.
Perbaikan dan pengembangan infrastruktur kota Buton yang
paling sering dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah yang
berkaitan dengan sektor perdagangan. Sehingga pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, kota Buton lebih menunjukkan ciri kota
pelabuhan yang cenderung mengandalkan sektor perdagangan
sebagai dasar perkembangannya. Sedangkan untuk perkembangan
permukiman masyarakat kota Buton cenderung bergerak ke arah
pinggir pantai. Perkembangan ini mengikuti pergeseran orientasi
masyarakat ke sektor ekonomi perdagangan antarpulau. Muara dari
semua perkembangan itu adalah terjadinya perubahan pada
kehidupan masyarakat kota Buton secara fisik. Hingga pada periode
pasca kemerdekaan, perkembangan kota Buton masih tetap mengikuti
pola yang telah lebih dulu berkembang, yaitu pola perkembangan yang
mencirikan kota pelabuhan.

4. Manfaat Morfologi Kota Buton dalam Perencanaan


Pengembangan Kota tersebut

Morfologi suatu kota sangat berpengaruh terhadap perencanaan


dan pengembangan kota tersebut. Hal ini disebabkan struktur
keruangan kota mencerminkan sifat kehidupan kota, yang sebenarnya
sangatlah kompleks karena dipengaruhi oleh suatu aspek, baik politik,
ekonomi, ataupun sosio-kultur masyarakat. Dengan mengkaji dan
memahami morfologi suatu kota dengan cermat, maka dapat
membantu memberikan arahan yang tepat, yang nantinya berfungsi
sebagai acuan dalam menentukan perencanaan pengembangan suatu
wilayah. Sebagai contoh yaitu suatu kota yang secara fisiktermasuk
dalam kategori kota lereng bukit, tentu saja tidak mungkin jika daerah
tersebut dalam perkembangannya direncanakan dibangun suatu
pelabuhan. Begitu jugakota yang termasuk dalam kategori kota
pelabuhan, maka tidak mungkin jika dalam kota tersebut dalam
pengembangannya cenderung mengandalkan sektor pertanian.
Begitu juga halnya dengan kota Buton. Dengan memahami
struktur keruangan yang ada di kota tersebut, maka tampak bahwa
kota Buton termasuk dalam kategori kota pelabuhan. Maka
perencanaan pengembangannyacenderung mengarah ke perbaikan
fasilitas yang menunjang keberlangsungan perekonomian kota
tersebut, yang mana berorientasi pada sektor perdagangan antarpulau.
Misalnya dengan meningkatkan kualitas pelabuhan dagang yang
sudah ada, serta menyediakan infrastruktur yang
memadai,sepertiperluasan jaringan jalan yang menghubungkan
antarkota,yang berfungsi untuk mempermudah mobilitas barang
maupun jasa dan juga untuk mempercepat pemerataan pembangunan
fasilitas kota.

Anda mungkin juga menyukai