1
Pada periode tersebut (tahun 1667 sampai dengan tahun
1864) kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara mulai berkembang.
sekitar keraton2.Hal ini terbukti dengan banyaknya suku Bajo,
Bugis, Makassar, dan Toraja yang membuka permukiman baru
dan tinggal di sekitar pantai Pulau Buton.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, perluasan
permukiman kota Buton cenderung kearah sekitar pantai. Pasar
dan syahbandar didirikan di sekitar pantai yang dekat dengan
pelabuhan. Jika melihat dinamika yang ada di kota Buton, maka
tampak bahwa arah perkembangan kota lebih mencirikan suatu
kota pelabuhan.
2
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) disebabkan
oleh adanya konflik antarkerajaan di Sulawesi, yaitu antara
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang turut melibatkan
Kerajaan Buton. Akibatnya, penduduk yang merasa tertekan
melakukan perpindahan ke daerah-daerah yang dianggap lebih
aman dan mudah dijangkau. Salahsatunya adalah Sulawesi
Tenggara.
Sedangkan pada periode 1667 sampai dengan tahun
1864, perekonomian Kota Buton bercirikan perdagangan,
dimana perdagangan tersebut merupakan aktivitas ekonomi
yang dilakukan oleh penduduk yang telah melakukan migrasi,
kemudian mendirikan permukiman baru dan menetap di sekitar
pantai Pulau Buton.Barang yang diperdagangkan berupa hasil
laut, seperti teripang, mutiara, ikan, sirip ikan hiu, dan lola.
Pada tahun 1878 komoditi ekspor utama Buton adalah
tripang, kulit penyu, kopi, lilin, agar-agar, akar bingkuru, kulit
soga, karoro, balasari (dupa), mutiara, kulit, tanduk kerbau, sirip
ikan hiu dan katun mentah.Sedangkan untuk komoditi impor
utama yaitu beras, candu, barang-barang besi dan tembikar,
kain dan benang Eropa.Pada tahun 1906, pemerintah Hindia
Belanda mengambil alih tugas sebagai pengendali kebijakan
perekonomian dengan memungut cukai impor dan ekspor di
daerah Kesultanan Buton.Beban itu diberikan kepada semua
kapal yang singgah di beberapa pelabuhan Sulawesi
Tenggara.Kapal-kapal yang berlabuh juga dibebani pajak
berlabuh.
Perubahan yang menonjol terjadi ketika Buton menjadi
ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911.Pada tahun
1915, Afdeeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan
dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton.Pada tahun
itu pula, Belanda menerapkan politik ekonominya dengan
melakukan pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana
kota berupa pelabuhan dan jaringan jalan. Selain itu, pendirian
asrama militer, sekolah, perumahan, jaringan air bersih, jaringan
telepon, serta fasilitas transportasi darat juga dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda.Namun pada kenyataannya,
pemerintah Hindia Belanda mengambil keuntungan dari semua
fasilitas yang disediakan itu, baik dalam bentuk pajak maupun
tenaga kerja.
Pada tahun 1924, perkembangan perekonomian kota
Buton ditandaidengan didirikannya produksi tambang aspal oleh
pemerintah Hindia Belanda. Selain itu dilakukan pula
pembangunan dan pelebaran jalan ke daerah-daerah yang
mempunyai hasil ekonomi penting, seperti ke perkebunan
kelapa dan daerah pedalaman yang mempunyai hasil hutan
seperti rotan dan damar, serta pembukaan pengelolaan kayu jati
Vejahoma di Raha dan pembukaan jaringan jalan ke Kendari.
3
Daerah-daerah yang dianggap memberikan keuntungan secara
ekonomi yaitu daerah yang mempunyai komoditas yang laku di pasar
internasional dan sumber pajak serta mempunyai hasil pertambangan,
seperti yang terjadi di kota Muna (Jati, Kopra, Mutiara dan Kapuk),
Kendari (Rotan dan Damar, Nikel), dan Buton (Aspal dan Kopra).
4
Sejak tahun 1924, Pasarwajo merupakan daerah penghasil aspal.
Jaringan jalan yang semula hanya sampai di daerah Pasarwajo kemudian
diperpanjang hingga ke daerah Kabungka seiring dengan diperluasnya
derah penambangan aspal Buton hingga ke daerah tersebut.
Perbaikan dan pengembangan infrastruktur kota Buton yang
paling sering dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah yang
berkaitan dengan sektor perdagangan. Sehingga pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, kota Buton lebih menunjukkan ciri kota
pelabuhan yang cenderung mengandalkan sektor perdagangan
sebagai dasar perkembangannya. Sedangkan untuk perkembangan
permukiman masyarakat kota Buton cenderung bergerak ke arah
pinggir pantai. Perkembangan ini mengikuti pergeseran orientasi
masyarakat ke sektor ekonomi perdagangan antarpulau. Muara dari
semua perkembangan itu adalah terjadinya perubahan pada
kehidupan masyarakat kota Buton secara fisik. Hingga pada periode
pasca kemerdekaan, perkembangan kota Buton masih tetap mengikuti
pola yang telah lebih dulu berkembang, yaitu pola perkembangan yang
mencirikan kota pelabuhan.