Anda di halaman 1dari 7

Koran Tempo

Sabtu, 18 January 2003

BPPN Minta Aset Bank Lippo Dinilai Ulang


BALI - Badan Penyehatan Perbankan Nasional meminta PT Bank Lippo Tbk untuk
melakukan valuasi (penilaian) ulang atas aset yang diambil alih guna mendapatkan nilai
yang sesungguhnya dari aset-aset tersebut.

"Saya minta manajemen Lippo melakukan valuasi ulang atas 'aset yang diambil alih'.
Karena, kunci permasalahan Bank Lippo ada pada penilaian aset itu," ujar Kepala BPPN
Syafruddin A. Temenggung kepada pers di Bali, kemarin. Dia minta Lippo menunjuk
appraisal company (perusahaan penilai) independen untuk menilainya.

Syafruddin menjelaskan sebenarnya kinerja Bank Lippo, baik rasio modal (CAR) dan
likuiditasnya cukup baik. Namun, setelah aset-aset Lippo diaudit oleh konsultan
independen Ernst & Young diketahui ada penurunan nilai 'aset yang diambil alih' sebesar
Rp 980 miliar. Dalam laporan kepada Bursa Efek Jakarta, disebutkan aset yang semula
bernilai Rp 2,6 triliun itu mengalami penurunan menjadi Rp 1,6 triliun.

Aset yang diambil alih ini merupakan aset atau jaminan yang diserahkan oleh Grup Lippo
untuk menyelesaikan utang-utangnya kepada bank ini sebesar Rp 2,6 triliun.
Penyerahan aset ini bagian dari perjanjian rekapitalisasi Bank Lippo pada 1999 dan
dititipkan dalam rekening "aktiva yang diambil alih."

Menurut Syafruddin, adanya penurunan aset tersebut mengharuskan Lippo menyediakan


pencadangan sebesar Rp 980 miliar. Selain itu, seperti diumumkan oleh BPPN dan Lippo
kemarin, bank ini juga harus menyediakan tambahan cadangan sebesar Rp 400 miliar
untuk menutupi aset kredit dan surat berharga yang kualitasnya memburuk. Jadi, total
cadangan yang harus disediakan Lippo adalah Rp 1,38 triliun. "Akibatnya modal Bank
Lippo mengalami penurunan," ujar Syafruddin.

Menurut sumber di Bank Indonesia, penurunan nilai aset tersebut menyebabkan rasio
modal (CAR) Bank Lippo juga menurun menjadi 4,38 persen. Kondisi ini jauh berbeda
dengan laporan kinerja Lippo per 30 September 2002 yang menyebutkan bahwa CAR-
nya masih sebesar 24,77 persen.

Anjloknya modal Lippo tersebut menimbulkan spekulasi bahwa bank ini perlu
direkapitalisasi kembali karena CAR-nya sudah di bawah ketentuan BI sebesar 8 persen.
Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti Made Mantera sebelumnya juga mengungkapkan
bahwa bank ini perlu right issue atau penerbitan saham baru untuk menambah modal.

"Tapi, tambah modal sama saja merekap Bank Lippo kembali. Ini tidak mungkin
dilakukan karena pemerintah tidak punya uang lagi," papar sumber Koran Tempo di
BPPN. Padahal, bank ini sudah disuntik modal oleh pemerintah pada 1999 sebesar Rp
7,7 triliun.

Kepala BPPN juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan right issue Bank
Lippo. Apalagi, kondisi Lippo masih kuat dan asetnya masih dinilai kembali. "Jadi, posisi
BPPN sebagai pemegang saham mayoritas tidak akan melakukan right issue," kata
Syafruddin.

Di tempat terpisah, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mempersilahkan revaluasi


atas aset-aset Lippo selama dilakukan secara konservatif dan untuk berjaga-jaga.
"Misalnya, nantinya Lippo perlu tambahan modal, dari sisi pengawasan boleh-boleh saja.
Tapi, masalahnya apakah pemilik modal (BPPN) sepakat."
BI sendiri sedang meneliti dan menempatkan pemeriksa di Bank Lippo untuk menilai
benar tidaknya apa yang dilakukan Lippo. Namun, BI belum bisa menjatuhkan sanksi
secara gegabah. "Sebab, sampai sekarang kami belum menemukan bukti manajemen
Lippo melakukan kesalahan. Tapi, jika ditemukan pelanggaran, seperti manipulasi data
dalam laporan neraca, BI tidak segan-segan untuk menindak."

Ketika ditanya, apakah penurunan kinerja Lippo memungkinkan bank ini masuk dalam
pengawasan khusus, Syahril mengatakan "Terlalu dini membicarakan apakah akan
masuk pengawasan khusus atau tidak. Bank Lippo masih sehat-sehat saja"

Ditemui di tempat yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution mengaku
belum menerima laporan rinci mengenai hasil pemeriksaan Bank Lippo.

Namun, Anwar mengatakan kalau memenuhi persyaratan bisa saja Bank Lippo masuk
kategori bank dalam pengawasan khusus. "Tapi, sekarang belum ada tindakan apa pun
karena hasil pemeriksaan belum ada. Tunggu dulu laporannya."

Anwar menolak anggapan bahwa Bank Indonesia memberikan toleransi lebih besar
kepada Bank Lippo. "Tidak benar itu, semua bank diperlakukan sama."

Jika ditemukan CAR-nya kurang dari 8 persen, menurut Anwar, BI akan meminta bank
itu untuk menambah modal. "Jelas BI akan minta tambahan modal dari pemilik bank,
apakah pemilik lama atau pun BPPN." (padjar/yuyuk/kurniawan/heri)

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DQkFAggHAAQN
 
Empuknya Uang Negara di Bank Rekap
 

CERITA akal-akalan atau apa pun istilahnya mengenai uang negara dalam
proses rekapitalisasi bank-bank yang kini dalam perawatan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) seperti cerita tiada akhir. Hingga
menjelang BPPN bubar pun akhir tahun ini, mencuat kasus Bank Lippo yang
diduga arahnya juga bermuara ke sana.

KADANG rasanya habis sudah akal sehat untuk mengerti, keserakahan yang
sepertinya tidak pernah terpuaskan. Betapa empuknya uang negara, di mana
pun adanya, terutama di bank-bank rekap.

Awal cerita dari kasus Bank Lippo adalah bank menarik dana publik melalui
tabungan maupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu,
selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi di perusahaan afiliasi.
Ketika krisis melanda, dan perusahaan- perusa- haan berguguran, kredit
macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa
pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas
terhadap bank-bank, apakah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo cepat bergerak.
Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan
demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari pembukuan. Dengan
begitu, loloslah pemilik Bank Lippo dari daftar orang tercela (DOT).

Di sinilah skandal Bank Lippo yang kompleks ini berawal. Sudah sejak lama
sebenarnya, pengamat ekonomi maupun analis perbankan mencium hal ini.
"Kalau BI menggunakan definisi sempit, hanya melihat pembukuan terakhir,
memang tidak ada pelanggaran kredit kepada perusahaan afiliasi. Namun,
kalau mau melihat lebih jauh, mestinya Bank Lippo juga melanggar BMPK.
Agunan yang diambil alih (AYDA) itu tadinya milik siapa, kan, jelas," ujar
pengamat perbankan Mirza Adityaswara.

DAlAM paparan kepada publik untuk menjelaskan kasus laporan keuangan


ganda per 30 September 2002, manajemen Bank Lippo kembali berkelit.
Ketika dikejar, apakah AYDA berasal dari kredit kepada afiliasi dan
pembelinya adalah perusahaan afiliasi, manajemen hanya menjawab bahwa
menurut peraturan Bank Indonesia tidak ada aset yang tercatat di buku yang
merupakan afiliasi dengan pinjaman grup. Padahal, dalam laporan keuangan
Bank Lippo, sejak tahun 1998, jelas-jelas tertulis bahwa AYDA tersebut
adalah surat berharga yang meliputi saham PT Lippo Karawaci Tbk, PT Lippo
Cikarang Tbk, PT Lippo Securities Tbk, PT Bukit Sentul Tbk, PT Hotel Prapatan
Tbk, PT Matahari Putra Perkasa Tbk, dan PT Panin Insurance Tbk. Selain itu
ada pula properti berupa perumahan, komersial, dan industri di Jakarta,
Tangerang, Bekasi, Karawang, Ujung Pandang (Makassar), Bogor, Serang,
Bandung, Surabaya, Purwakarta, Medan, dan Tasikmalaya.

Dari namanya saja, jelas-jelas itu dari grup Lippo. Bank Indonesia pun, tidak
pernah menjelaskan hal ini secara tegas. Sulit sekali mengerti, apakah BI
terlalu bodoh sehingga membiarkan pelanggaran BMPK berlangsung atau
Grup Lippo terlalu canggih. Hingga saat ini, tidak pernah diperoleh penjelasan
yang gamblang dari BI. Dari jalan cerita tersebut saja, orang awam pun bisa
melihat dengan terang benderang bahwa itu adalah kredit kepada kelompok
sendiri.

BEGITULAH, dengan batasan peraturan BI yang "aneh" itu, pemerintah


kemudian memutuskan menyuntikkan dana melalui proses rekapitalisasi.
"Padahal, kalau melanggar BMPK, seharusnya Bank Lippo tidak boleh
direkapitalisasi," ujar analis pasar modal, Lin Che Wei.

Semenjak dari awal, proses rekapitalisasi perbankan nasional memang telah


didapati banyak lubang-lubang yang merugikan negara. "Mulai dari
penghitungan nilai rekapitalisasi yang digede-gedein," papar pengamat
ekonomi dari Indef, Drajad Wibowo.

Penggelembungan nilai (mark up) memang sulit dibuktikan. Sebab, yang


tahu perhitungan yang digunakan adalah banknya sendiri, serta BPPN yang
mengecek.

"Yakin, itu ada. Karena penilaian itu subyektif pengaturannya. Oleh mereka
sendiri. Kredit yang sebenarnya enggak macet dibuat macet. Aset yang
mestinya 100, diturunkan nilainya. Ini memang sifatnya subyektif sehingga
mudah dimanipulasi. Misalnya, beli sepeda motor harga Rp 12 juta. Satu
tahun kemudian, motor ini akan dinilai berapa? Rp 9 juta, atau Rp 5 juta?,"
ujar Drajad.

Dari sinilah salah satu peluang menyedot dana rekap dari pemerintah
sebanyak-banyaknya, lebih dari yang sesungguhnya diperlukan. Semua itu
bisa berlangsung terus, karena di sisi lain, krisis kepercayaan juga melanda
auditor maupun penilai keuangan.

Kasus laporan ganda Bank Lippo bukanlah hal baru sebenarnya. "Sudah
menjadi pengetahuan umum, bukan hanya laporan ganda, bahkan tiga
laporan pun bisa dipesan. Misalnya untuk menghindari pajak," kata Drajad.
Dengan kredibilitas auditor yang juga sangat rendah itu, peluang bank untuk
main-main menjadi sangat besar.

KASUS ini mencuat, ketika dalam laporan keuangan Bank Lippo per 30
September 2002 kepada publik pada tanggal 28 November 2002, manajemen
menyebutkan total aktiva perseroan Rp 24 trilyun dan laba bersih Rp 98
milyar. Namun, dalam laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002,
manajemen menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 trilyun
dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun.

Perbedaan laba dikatakan karena adanya kemerosotan nilai agunan yang


diambil alih dari Rp 2,393 trilyun pada laporan publikasi menjadi Rp 1,42
trilyun pada laporan ke BEJ.

Akibatnya, dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan


modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen.

Keanehan semakin menjadi, ketika dalam suatu wawancara dengan salah


satu majalah berita, Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo Roy Tirtadji
menyatakan, penjualan AYDA tersebut dilakukan, salah satunya karena AYDA
membebani bank dengan biaya perawatan sampai Rp 400 milyar per tahun.
Menggelikan. Bank Lippo yang pemegang saham mayoritasnya pemerintah,
harus mengeluarkan biaya Rp 400 milyar tiap tahun untuk biaya
pemeliharaan AYDA, yang berisi aset-aset yang berasal dari Grup Lippo
sendiri. Biaya perawatan itu setara dengan 15 persen dari nilai AYDA sendiri
yang Rp 2,393 trilyun.

Bagaimana mungkin, itu bisa terjadi pada aset yang 70 persen merupakan
aset properti yang bisnisnya berjalan terus. "Coba lihat, properti milik
kelompok Lippo mana sih yang kosong melompong. Mungkin saja biaya 400
milyar, tapi lihat juga pendapatannya berapa," kata Drajad.

Kecurigaan justru menyeruak, apakah ini cara lain moroti bank? Bagaimana
mungkin bank tiap tahun mengeluarkan biaya perawatan Rp 400 milyar
untuk aset-aset properti yang bisnisnya berjalan. "Tiap tahun kita
mengeluarkan Rp 400 milyar," katanya.

Selain itu kemungkinan mengakali uang negara juga terbuka dalam proses
pengalihan aset yang dianggap macet pada BPPN. Seluruh permainan
memiliki benang merah yang sama. Menyalahgunakan subyektivitas dalam
penilaian aset.

Proses penyerahan aset ke BPPN, banyak sekali menimbulkan peluang bagi


pemilik bank yang direkapitalisasi untuk mengambil dana sebanyak mungkin
dari negara. Sementara itu, begitu banyaknya dokumen yang diserahkan ke
BPPN, juga membuatnya menjadi mudah dimainkan. Entah itu karena lelah,
malas, lalai, tidak teliti, atau apa pun, yang jelas menjadi terbuka lebar untuk
dibobol saat harus menghadapi banyaknya dokumen.

Inilah rupanya hal yang tak dapat ditolak. Rekapitalisasi besar-besaran di


satu sisi memang dibutuhkan, tetapi di sisi lain menimbulkan banyak
kesempatan bagi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan secara
tidak wajar. Proses administrasi yang sedemikian banyak, merupakan titik
lemah yang sering kali menjadi sumber korupsi.

Belum lagi, rekayasa dengan berbagai bentuk tukar guling dalam bank dan
grup sendiri. Misalnya, aset dalam grupnya sendiri ditukar guling melalui
perusahaan jadi-jadian di Mauritius atau Cayman Island. Dengan demikian,
pemilik lama yang sesungguhnya telah melanggar BMPK akan bisa
menguasai kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, ataupun membeli
kembali kreditnya sendiri dengan diskon besar.

DI sisi lain, dengan memanfaatkan isu-isu, baik yang alamiah maupun yang
direncanakan seperti penggembosan valuasi AYDA dan kasus laporan
keuangan ganda, di pasar modal saham Bank Lippo digarap habis-habisan.
Sejak dari dugaan menggerojog pasar untuk kemudian memborong kembali
saham setelah harganya jatuh, sampai upaya menurunkan saham dengan
melakukan transaksi satu lot pada menit terakhir selama 40 hari.

Semua itu tentu saja menjelaskan dengan terang kredibilitas dari berbagai
otoritas yang berkaitan. Dari BI, Bapepam, DPR, atau pun BPPN.

Sungguh mengherankan, ketika BPPN sebagai pemilik, malah kalem saja


mengetahui sahamnya terus turun.

Sebenarnya, barisan pertama yang diharapkan bisa menjadi ujung tombak


untuk mencegah berbagai rekayasa penjarahan uang negara adalah
komisaris. Segala rekayasa, manipulasi, mark up atau apa pun namanya,
sulit untuk dibuktikan dari luar semata. Terutama, karena beberapa valuasi
yang memang sering kali bersifat subyektif, sulit untuk dilacak dari jauh
karena hanya pihak-pihak yang terkait langsung, atau otoritas yang memang
berwenang saja memiliki akses ke sana. Di sini, peran komisaris, wakil dari
kepentingan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas menjadi penting.

Sayangnya, dalam hal ini justru tidak terlalu banyak perubahan yang
signifikan dari masa Orde Baru. Jabatan komisaris, lebih menjadi semacam
bagi-bagi rezeki bagi pejabat, bahkan pengamat. Bukan hal aneh kalau para
pejabat yang waktunya 24 jam sehari sudah habis, ternyata masih menjabat
komisaris di mana-mana. Dalam situasi seperti itu, bagaimana bisa
diharapkan mereka tidak jadi bulan-bulanan manajemen ataupun pemilik
lama yang mengerti dan mengikuti persoalan secara detail. Hasilnya, sering
kali komisaris justru menjadi pembenar logika kepentingan pemilik lama,
bukan kepentingan pemerintah. (anv)

  

Roy E Tirtadji:

Tidak Ada Intensi Pemilik Lama


Menguasai Kembali Bank Lippo

WAKIL Presiden Komisaris Bank Lippo Roy E Tirtadji yang dikenal sebagai
wakil keluarga Mochtar Riady di bank yang dirundung berbagai tuduhan itu
menyatakan, pihaknya sama sekali tidak memiliki intensi, apalagi melakukan
apa yang dituduhkan berbagai pihak selama ini dalam kasus Bank Lippo.
Tuduhan itu misalnya, adanya upaya penggembosan aset, pemilik lama
berupaya untuk menguasai kembali Bank Lippo dengan melakukan berbagai
rekayasa sedemikian rupa supaya kepemilikan pemerintah bakal terdilusi.
Ada juga laporan keuangan ganda dan dugaan manipulasi sehingga harga
saham Bank Lippo di bursa terus melorot.

Bagaimana komentar Anda seputar laporan keuangan yang dikatakan


berbeda antara yang diumumkan ke publik dan yang dilaporkan ke BEJ itu?

Laporan itu sama-sama telah diaudit akuntan publik. Adanya perbedaan


angka, karena adanya kejadian yang disebut subsequent event antara dua
waktu pelaporan. Kejadian itu pada tanggal 16 Desember 2002, yakni
selesainya penilaian oleh perusahaan penilai independen. Jadi hanya satu
laporan yang telah diaudit dan memuat kejadian sebelum dan sesudah
subsequent event tersebut.

Kejadian tanggal 16 Desember itu, ialah hasil penilaian perusahaan penilai


independen mengenai penurunan nilai agunan atau aset yang diambil alih
(AYDA) sehingga dilakukan pencadangan penurunan AYDA sekitar Rp 980
milyar.

Pencadangan sejumlah itu mencerminkan penurunan nilai sekitar 35 persen


dari total nilai AYDA sebesar Rp 2,6 trilyun. Bahkan, ketika aset itu kita mau
mulai jual pada Januari 2003, harga penawaran dari calon investor cuma
sekitar 16 persen. Kita tidak mau jual, sebab berdasarkan penilaian
perusahaan penilai kan berarti aset itu masih memiliki nilai 65 persen.

Dua laporan yang berbeda itulah yang menjadi masalah?

Lho, kan kalau ada kejadian kami harus laporkan. Kan salah kalau saya tidak
melaporkan kalau ada hal-hal yang signifikan terjadi pada perusahaan. Jadi
tidak ada itikad untuk penyesatan informasi, tidak ada laporan ganda.

Katanya, aset-aset yang turun nilainya itu eks kredit perusahaan grup Lippo
juga?

Kita mengikuti peraturan lho. Sesuai ketentuan, pihak yang terkait itu,
khususnya perusahaan publik, bahwa perusahaan yang sahamnya dimiliki
minimal 30 persen oleh publik tidak dianggap pihak terkait.

Mengenai rencana mengeluarkan saham baru (right issue) untuk menambah


modal sehubungan dengan turunnya CAR?

Bank mana sekarang tidak menambah modal. Pemerintah itu punya 60


persen saham di Bank Lippo, sementara pemilik lama (Lippo e-Net) cuma
punya 9,57 persen, dan sisanya dimiliki publik. Jadi, kalau harus menambah
modal, itu karena supaya Bank Lippo tetap hidup, sebab di sini ada uang
pemerintah senilai Rp 6 trilyun (dari rekapitalisasi-Red).

Di samping itu, bank ini memiliki nasabah 3,5 juta orang, karyawan 6.462
orang dengan kantor cabang 386. Dana pihak ketiga Rp 20 trilyun.

Pemerintah kan tidak punya duit, sehingga kepemilikan pemerintah terdilusi


kalau dilakukan right issue, lalu dengan biaya yang sangat murah pemilik
lama bisa menguasai kembali Bank Lippo?

Itu kan dugaan orang. Memang kalau mau terus hidup dan memenuhi
persyaratan Bank Indonesia, ya harus tambah modal. Pak Mochtar juga
belum tentu... Hitung-hitungan juga dong.

Pengamat menyatakan, terlihat jelas rekayasa penurunan nilai saham di


bursa?

Saya berani mengonfirmasikan bawah tidak ada pengurus Bank Lippo yang
bermain saham. Cek saja. (dis) JB SURATNO
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=1379&coid=2&caid=19

Anda mungkin juga menyukai