Anda di halaman 1dari 16

UJIAN AKHIR SEMESTER FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Sebagai Ujian Akhir Semester yang Bersifat On Line Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan

Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010

Adhitya Permadi 2009.71.045.0017

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS JAYA BAYA

Jakarta

2010
1. Jelaskan dengan tepat hubungan antara Ilmu, Filsafat dan Agama! Bagaimana keterkaitan

di antara ketiganya dan jelaskan mengapa demikian!

Jawaban:

Ilmu, Filsafat, dan Agama memiliki keterkaitan yang sangat erat, walaupun

sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa telah terjadi hujatan dan penentangan yang

begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan mengenai kehadiran

filsafat ke dalam kajian/wilayah ilmu agama. Mereka mengatakan filsafat sangat

bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa ilmu, filsafat dan agama

sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena

pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang

keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang menolak

untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah kafir, maka

sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir.

Di antara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan

filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya

khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara

filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak ada

pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya untuk

belajar filsafat.

Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan

merenungkannya sebagai petunjuk ‘dalil’ adanya sang pencipta dari satu sisi dan syari’ah

pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud yang ada,

maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang dianjurkan oleh
syari’ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mempelajari

filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari’ah.

Penekanan al’quran di dalam surat Al Hasyr ayat 2 yang

berbunyi :













Artinya : Renungkanlah olehmu untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang

yang mempunyai pandangan (visi)

Demikian juga surat Al’Arof ayat 7 yang mengatakan :






 






  

 
 



   


 


 
 
 


 

Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan

segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan

mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?

Ayat diatas adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal

dan penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka

sesungguhnya syari’ah telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan

tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan

penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu

beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu logika supaya

bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.


Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai

alat untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha (ahli fiqih)

untuk mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.

Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk

memperoleh pengetahuan tentang penalaran hukum dari surat Al Hasyr ayat 2 maka

alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil mengenai hubungan ilmu,

filsafat, dan agama, yaitu tentang wajibnya untuk mempelajari pengetahuan rasional

(ilmu dan filsafat) bagi mereka yang ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.

Referensi : Koncara, Eka L. 2009. Ilmu, Filsafat, dan Agama. http://www.koncara.co.cc.

diakses tanggal 2 Juli 2010, pukul 21:00.

Sumber lain menerangkan keterkaitan antara ilmu, filsafat, dan agama sebagai

suatu sistem, dimana filsafat merupakan pendalaman lebih lanjut dari ilmu (hasil

pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu), Filsafat dan ilmu

dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat

membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) ayat-ayat sucinya dan

membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Sebaliknya, agama dapat

membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab

oleh ilmu dan filsafat. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan

yang timbul dalam kehidupan.

Referensi : Anonimous. 2010. Filsafat. http://thepolitea.blogspot.com /

2006/04/filsafat.html. diakses tanggal 2 Juli 2010, pukul 21:10.


Berdasarkan kuliah filsafat ilmu pengetahuan, pada tanggal 24 Juli 2010.

Hubungan keterkaitan antara ilmu, filsafat, dan agama, dapat digambarkan dengan bagan

berikut:

penjelasan mengenai bagan


disamping pada Intinya, yaitu ilmu, filsafat,
Agama dan Agama memiliki keterkaitan yang erat
serta ketiganya tidak dapat dipisahkan.
Persamaan dari ketiganya adalah sama-sama
mencari kebenaran. Dimana ilmu dan filsafat
merupakan kebenaran relatif, dan agama
Ilmu Filsafat merupakan kebenaran mutlak.

Batasan mengenai ilmu, filsafat, dan agama, dapat dijelaskan oleh bagan dibawah

ini:

Agama
Filsafat Ilmu

Bagan diatas menerangkan bahwa ilmu, filsafat, dan agama merupakan suatu

orbital. Dimana ilmu dan filsafat merupakan orbital relatif yang dapat berkembang

sedangkan agama merupakan orbital yang bersifat mutlak. Ilmu diwadahi oleh filsafat

sehingga seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan akan disertai pula dengan

perkembangan filsafat, karena dengan berkembangnya volume pasti wadah juga akan
berkembang, atau dengan kata lain dengan makin berkembangnya ilmu maka akan

membuat manusia semakin berfikir/berfilsafat. Namun, berkembangnya ilmu dan filsafat

tidak boleh keluar dari batasan agama karena dapat membuat manusia melenceng

sehingga lupa bahwa sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhan Yang Maha

Mengetahui.

Sumber: Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Tanggal 24 Juli 2010, pukul 18:10 s.d.

19:50. Diruang A12 Universitas Jayabaya, oleh Ibu Dra. Endang Rudiatin, M.Si.

“Pada hakikatnya ilmu harus dibatasi agama supaya tidak melampaui batas,

agama harus didasari ilmu supaya tidak keluar dari ajaran, dan untuk menjembatani

keduanya diperlukan filsafat yang menjabarkan agama secara halus dan logis supaya

dapat diterima oleh ilmu yang cenderung meminta penjelasan mendalam dan fakta

konkret.”

Sumber: Suci Wulansari


2. Perkembangan ilmu dari teori Newtonian ke Mekanika kuantum senantiasa diiringi

dengan perkembangan filsafat ilmu. Deskripsikan perkembangan filsafat dari positivis ke

pos positivis tersebut!

Jawaban:

Dahulu selama berpuluh-puluh tahun positivis digunakan untuk merumuskan

pengertian mengenai social science dengan penjelasan ilmiah seperti yang dipraktekkan

pada teori natural science, namun dengan perkembangan filsafat ilmu ternyata positivis

memiliki beberapa kelemahan jika digunakan untuk menjelaskan teori-teori social sience,

para ilmuan social science berpendapat bahwa usaha untuk menghasilkan ilmu sosial

yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat

“self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan

ideologi tertentu maka para ilmuan social science melakukan revolusi dengan membuat

aliran yang bertentangan dengan positivis, yaitu pos positivis.

Pengajaran utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh

Moritz Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich

Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle. Logika

positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan para pendirinya

percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam penyelidikan filosofi. Tujuan

dari seluruh analisis filosofi adalah analisis logika dari ilmu yang dinyatakan sebagai

positif, atau empiris, yang merupakan label dari logika positivisme.

Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi

tuntutan dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis

bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai
contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang

digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively significant) atau bermakna. Semua

pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan

tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai

ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak

dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.

Untuk menjalankan program ini, para pengikut logika positivisme membutuhkan

kriteria yang obyektif yang dapat membedakan antara pernyataan sintetis yang tidak

bermakna. Salah satu pemikiran awal untuk menjawabnya adalah mengemukakan prinsip

dapat diverifikasi (verifiability): pernyataan hanya bermakna bila dapat diverifikasi.

Sayangnya, pernyataan dalam bentuk universal (seperti: semua burung gagak berwarna

hitam), yang sering digunakan dalam ilmu pengetahuan ternyata tidak dapat diverifikasi.

Kriteria lainnya adalah dapat ditolak (falsifiability), sedangkan Ayer berpendapat harus

dapat diverifikasi meskipun lemah, Carnap menambahkan dapat diubah bentuknya

(translatability) ke dalam bahasa empiris dan dapat dikonfirmasi (confirmability). Tetapi,

tidak ada satupun dari kriteria tersebut yang mampu membenarkan dalam memutuskan

suatu persoalan. Dilema lain adalah adanya terminologi teori dalam pernyataan yang

dibuat oleh ilmuwan. Beberapa ilmuwan positivis mengikuti Mach dalam mendesak

untuk menghilangkan kriteria tersebut dalam dunia ilmiah, tetapi beberapa ilmuwan lain

memegang teguh pernyataan tersebut.

Program akhir dari para ilmuwan positivis adalah menggabungkan tesis dalam

ilmu pengetahuan, yaitu semua ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan metode yang

sama. Hahn meninggal pada tahun 1934 dan Schlick dibunuh pada tahun 1936 oleh
muridnya yang gila. Pada waktu Hitler berkuasa dan akhirnya memerangi para intelektual

menjadi penyebab utama perpecahan dalam kelompok Vienna Circle pada tahun 1930.

Logika positivisme mengalami modifikasi dan akhirnya digantikan selama dua

dasa warsa dengan bentuk yang lebih matang dari pengajaran para positivis yang disebut

logika empirisme (logical empiricism). Dikelompokkan melalui adanya perbedaan dalam

membuat analisis, ahli falsafah yang mempunyai sumbangan pemikiran adalah Carnap,

Ernest Nagel, Carl Hempel, dan Richard Braithwaite.

Ada enam program pengajaran utama dalam logika empirisme. Program pertama

adalah menyatukan tesis ilmu pengetahuan. Tiga program berikutnya adalah berhubungan

dengan struktur dan tafsir terhadap teori. Model hipotetik-deduktif (hypothetical-

deductive) dari struktur teori menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan

mempergunakan teori, yang dinyatakan dalam bentuk formal seperti aksioma, struktur

dari hipotetik-deduktif seperti itu tidak mempunyai arti empiris sampai beberapa

elemennya (biasanya kesimpulan teori atau prediksi dari teori) diberi interpretasi empiris

melalui penggunaan aturan yang sesuai. Tidak semua pernyataan mempunyai interpretasi

empiris. Yang hanya mengandung terminologi teoritis, pada khususnya, tidak dapat

diinterpretasikan.

Makna dalam suatu pernyataan disesuaikan dengan tesis yang dapat diuji secara

langsung (indirect testability thesis) dari pernyataan tersebut. Pernyataan seperti itu

mendapat nilai nyata kognitif secara tidak langsung jika teori yang menyertainya dapat

memperkuat. Akhirnya, memperhatikan pernyataan tentang batas dan pengkajian teori,

logika empiris membentuk konfirmationisme (confirmationism) sebagai kriteria utama

dalam penafsiran teori. Teori mempunyai arti ilmiah jika dapat diuji. Pengujian segera
dapat mengesahkan atau membatalkan suatu teori. Penerimaan suatu teori tergantung dari

derajat pengesahannya. Derajat pengesahan diukur dari:

- suatu kuantitas dan ketelitian dari hasil pengujian yang mendukung,

- ketelitian prosedur observasi dan pengukuran,

- bermacam-macam bukti yang mendukung, dan bahkan

- situasi uji yang mendukung hipotesis.

Kriteria non-empiris tambahan dalam penafsiran (seperti: kesederhanaan,

kebagusan, bermanfaat, berlaku umum, dapat dikembangkan) perlu diungkapkan jika

teori yang dipilih belum mempunyai dasar empiris. Dua pengajaran terakhir dari logika

empirisme membahas logika dari penjelasan ilmiah. Semua penjelasan dalam ilmu

pengetahuan harus dinyatakan dalam bentuk bukti deduktif. Kalimat penjelas terdiri atas

kelompok kalimat, beberapa diantaranya menyatakan kondisi awal dan salah satunya

berisi pernyataan umum atau hukum statistik. Deduktif-nomologis (deductive-

nomological) mencakup model suatu hukum dalam penjelasan ilmiah. Sebagai tambahan

penganut logika empiris percaya tentang tesis simetri; penjelasan dan prediksi merupakan

hal yang simetri secara struktur, perbedaannya hanya dalam hal waktu. Pada penjelasan,

fenomena yang dijelaskan telah terjadi, sedangkan dalam prediksi, fenomena tersebut

belum terjadi.

Ide para ilmuwan positivis mendapat tantangan yang hebat pada pertengahan abad

ke-20. Kemungkinan tetap diterimanya model hypothetico-deductive dalam struktur teori

dan tesis pengujian tidak langsung tergantung dari kemampuan menjelaskan perbedaan

antara terminologi yang dapat diobservasi (mengacu pada dapat diobservasi secara

langsung sampai fakta tentang atom) dan terminologi yang tidak dapat diobservasi secara
teoritis. Sayangnya dalam dunia ilmiah ada tingkatan observasi dan tidak ada batasan

yang jelas antara terminologi teori yang mengacu pada hal yang tidak dapat diobservasi

dan terminologi bukan teori yang mengacu pada hal yang dapat diobservasi. Lebih jauh

lagi, karena hal yang berhubungan dengan observasi ini bukan aktivitas yang netral tetapi

memerlukan pemilihan data dan interpretasi, maka ada yang berpendapat (dari kritik yang

disampaikan Karl Popper dan Norwood Hanson) bahwa semua observasi tergantung dari

teori.

Pengaruh positivisme dalam filosofi ilmiah menurun tajam mulai tahun 1960

sampai tahuan 1970. Tidak ada penerus yang dapat mengisi kekurangan dalam filosofi

positivisme. Beberapa bentuk ajaran Popper nampaknya mampu untuk mengisi

kekurangan ini. Karl Popper yang mengkritik induktivisme dan konfirmationisme, bapak

dari falsifikasionisme dan rasionalisme kritis ini mempunyai cukup banyak pandangan

dan pengaruh pada ahli filsafat generasi berikutnya. Mulai dari J. Agassi sampai Elie

Zahar, dan termasuk beberapa pemikir seperti W.W. Bartley, P.K. Feyerabend, Noretta,

Koertge, Imre Lakatos dan J.W.N. Watkins yang semua ahli filsafat tersebut mempunyai

kritik atau pendapat yang dapat membuat pemikiran Popper terus berkembang.

Pemikir lainnya adalah Thomas Kuhn yang telah berjasa dalam pengembangan

ilmu pengetahuan normal dan revolusioner, paradigma dan matriks disiplin, serta

pengembangan dalam analisis sosiologi yang menitikberatkan pada norma dan nilai

ilmiah. Versi radikal dari pendekatan Kuhn adalah dalam ilmu sosiologi yang sekarang

dikembangkan oleh grup sarjana dari Universitas Edinburgh, termasuk Barry Barnes dan

David Bloor. Grup lain yang turut mengembangkan adalah Joseph Sneed dan Wolfgang

Stegmuller dari sekolah strukturalis serta Ricahard Rorty dalam pengembangan pragmatis
baru. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah pengembangan positivisme

akan menjadi satu doktrin atau pandangan lain yang lebih sederhana dalam dunia ilmiah.

Sumber : http://aishkhuw.blogspot.com/2009/11/sejarah-positivisme.html
3. Beri penjelasan tentang hubungan hipotetico deductive dengan pengambilan kesimpulan

secara deduktif!

Jawaban :

Seperti yang telah kita ketahui bahwa hypothetico deductive adalah suatu cara

untuk membangun sebuah hipotesa dengan menggunakan pemikiran deduktif.

Pendekatan Hypothetico – Deductive ini hanya ada pada metodologi kuantitatif.

Metodologi kuantitatif adalah suatu studi mengenai metode berupa deskripsi, penjelasan,

dan pembenaran, yang bersifat holistik atau menyeluruh. Hubungan hipotetico deductive

dengan pengambilan kesimpulan secara deduktif, digambarkan pada bagan berikut:

Berdasarkan bagan diatas dapat diterangkan bahwa sesungguhnya penjelasan

mengenai hubungan hipotetico deductive method dengan pengambilan kesimpulan secara

deduktif melibatkan pengujian hipotesis dimana hipotesis tersebut dideduksi dari

hipotesis lain yang tingkat abstraksinya lebih tinggi. Sehingga menjadi pendekatan

standar paradigma klasik. Hipotetico deductive berawal dari proses deduktif, yang
dilanjutkan pada pembentukan kerangka teori, kemudian melahirkan suatu hipotesis

sebagai jawaban sementara dan dilanjutkan dengan proses induktif.

Referensi: Susilo, Joko. 2010. Metode Penelitian. http://iloaprilino.student.umm.ac.id

/files /2010/03/MPK.ppt. Diakses 3 Juli 2010, pukul 14:00.

pengambilan kesimpulan secara deduktif memiliki hasil yang pasti (bukan

merupakan dugaan). Jadi,hubungan antara hipotetico deductive dengan penarikan

kesimpulan secara deduktif adalah suatu hipotetico deductive bisa diterima/tidaknya

tergantung dari penarikan kesimpulan secara deduktifnya dengan melihat dari fakta-fakta

yang mendukung hipotetico deductive tersebut.

Sumber : Jujun S. Suriasumantri. Filsafat ilmu, hlm. 49.


4. B. Analisa skripsi yang sudah anda pilih, bagaimana penulis skripsi tersebut

membangun hipotesanya atau rumusan permasalahannya ke dalam metodologi

penelitian!

Jawaban :

Berdasarkan analisa dan studi literatur dari Tugas Akhir yang disusun oleh

Nanang Widodo FMIPA Universitas negeri semarang tentang “ISOLASI DAN

KARAKTERISASI SENYAWA ALKALOID YANG TERKANDUNG DALAM

JAMUR TIRAM PUTIH”. Dapat sedikit saya tangkap mengenai bagaimana penulis

skripsi tersebut membangun hipotesanya atau rumusan permasalahannya ke dalam

metodologi penelitian, yaitu penulis skripsi tersebut menyusunnya secara sistematis yang

secara keseluruhan diwakilkan dalam abstrak. Penulis membuat suatu asumsi bahwa

jamur memiliki kandungan yang baik bagi kesehatan. Namun, belum diketahui

kandungan apa yang dapat memberikan kesehatan tersebut. Oleh karena itu penulis

melakukan suatu observasi sehingga diperoleh suatu hipotesa bahwa didalam jamur tiram

tersebut terdapat senyawa alkaloid. Senyawa alkaloid tersebut diteliti dengan

menggunakan metode kromatografi sehingga dapat diketahui bahwa kandungan alkaloid

tersebut adalah N-Ethyl - 6-methoxy - 3,7,9-trimethyl - 5,6-

dihidrophenanthridine - 1-amine (C19H24N2O).

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa penulis melakukan suatu

asumsi, kemudian berdasarkan asumsi tersebut penulis melakukan suatu

observasi dengan studi literatur dan wawancara, sehingga didapat definisi

dari permasalahan tersebut didapat suatu hipotesa umum yang membuat

penulis melakukan suatu rancangan penelitian ilmiah yang disebut

metodologi. Dari seleksi, koleksi, analisis, dan interpretasi data yang


diperoleh, didapat suatu hipotesa deduktif yang menjelaskan seluruh

asumsi tersebut. Penjelasan tersebut dapat dijelaskan oleh bagan berikut

ini:

Anda mungkin juga menyukai