Das Tan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TERSTRUKTUR

DASAR – DASAR ILMU TANAH

Disusun Oleh:

Nama : M. Gilang Romadhon


NIM : A1L009082
Dosen : Ir. Bondan Sari, M.P

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2010
I. PENDAHULUAN

Konservasi tanah (pengawetan tanah) adalah penempatan setiap bidang tanah


dengan cara penggunaan sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukan sesuai
persyaratan yang diperlukan supaya tidak terjadi kerusakan lahan. Konservasi tanah
ini tidak bisa lepas dari konservasi air yaitu penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk
keperluan pertanian secara efisien dan pengaturan waktu pengaliran, sehingga tidak
terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Tulisan ini mencoba mengemukakan cara-cara konservasi tanah dan air,
terutama untuk lahan-lahan di wilayah pedesaan. Banyak sekali ‘kesalahan’ yang
diperbuat oleh masyarakat pedesaan dalam mengelola lingkungan sekitarnya.
Kesalahan umum yang sering dilakukan yaitu cara penggunaan lahan yang tidak
selaras dengan keadaan lingkungan (misalnya topografi/kelerengan, persediaan air,
jenis tanah dan lain-lain), seperti :

1. Menanami lereng-lereng yang sangat terjal dan


panjang, tanpa adanya tindakan untuk mencegah terjadinya
limpasan air.
2. Kurangnya saluran air yang cukup baik di lahan
pertanian. Salah satu fungsi saluran air adalah untuk
membuang air yang berlebihan di lahan pertanian tersebut.
3. Pembuatan saluran pembuangan air (drainase) yang
kurang memadai di pinggiran jalan desa, jalan setapak atau di
daerah permukiman (settlement).
4. Membabat hutan asli yang sebenarnya berfungsi
sebagai penutup lahan. Ini sering dilakukan oleh masyarakat
yang suka melakukan lading berpindah.
5. Kurangnya tumbuh-tumbuhan yang berfungsi sebagai
pelindung lahan dari erosi alur dan erosi permukaan, terutama
di lereng-lereng yang curam.

Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut adalah


menggunakan metode vegetatif. Selain mudah dilakukan, metode ini jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan menggunakan metode teknik sipil yang memerlukan
keahlian khusus dan biaya mahal. Sehingga tepat sekali jika program pemerintah
Gerakan Satu Juta Pohon ini diterapkan dalam usaha konservasi tanah dan air,
khususnya di daerah rural yang lahannya termasuk dalam kategori kritis.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa tujuan konservasi tanah dan air meliputi (1)
pencegahan kerusakan tanah terutama oleh erosi, (2) memperbaiki tanah-tanah yang
rusak, (3) meningkatkan produktivitas tanah, dan (4) pengendalian banjir.

Metode vegetatif dalam usaha pengawetan tanah dan air mempunyai fungsi
untuk melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan (run off), serta
memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan daya absorbsi (penyerapan) air.

Cara-cara yang perlu dikerjakan


Usaha-usaha yang dilakukan untuk pengawetan tanah dan air menggunakan
metode vegetatif ini meliputi :

1. Penanaman tanaman secara berjalur (strip cropping).


Cara ini terutama untuk menghindari pengolahan lahan yang
cukup luas. Dengan demikian ada bagian yang diolah dan ada
bagian yang diusahakan. Dalam cara ini semua pekerjaan
pengolahan tanah dilakukan searah dengan jalur/baris.
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau. Setiap
pergantian musim, petak lahan yang diusahakan ditanami
tanaman secara bergilir. Misalnya pada suatu areal tanah
ditanami suatu tanaman semusim tertentu dan untuk musim
tanam berikutnya, bekas areal tanah tersebut ditanami
tanaman pupuk hijau.
3. Penanaman rumput/makanan ternak. Cara ini sangat
sesuai bila diterapkan pada daerah yang mempunyai populasi
ternak cukup tinggi. Penanaman rumput dapat digabung
dengan tanaman tahunan.
4. Penanaman tanaman tahunan. Jenis tanaman yang dapat
dipergunakan seperti sejenis kayu-kayuan, buah-buahan atau
tanaman industri. Dalam penanamannya perlu memperhatikan
tempat tumbuh (ekologis) dan hasil yang diharapkan
(ekonomis) serta sisa-sisa (seresah) tanaman yang cukup
banyak.
5. Penggunaan sisa-sisa tanaman untuk penutup tanah.
Cara ini untuk mencegah kerusakan tanah, yaitu menutup
permukaan tanah dengan bahan organik, yang paling mudah
didapatkan berupa sisa-sisa tanaman.

Dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah penggunaan sisa –
sisa tanaman untuk menutupi tanah atau yang lebih dikenal dengan sistem manajemen
sisa – sisa tanaman / Crop Residual Management System (CRM).

II. PEMANFAATAN SISTEM MANAJEMEN SISA – SISA


TANAMAN/CROP RESIDUAL MANAGEMENT SYSTEM.
Sistem CRM adalah salah satu teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang
dilakukan sepanjang tahun terutama ditujukan untuk mengurangi erosi tanah oleh
angin dan air. Sistem CRM ini termasuk dalam kategori KTA secara agronomi,
karena dilakukan sepanjang tahun. Praktek-praktek KTA lainnya seperti contouring,
terasering, grassed air, kontur strip rotasi tanaman, cropping strip angin,
penghalang angin, dan lapangan windbreaks (Scherts dan Kemps, 1994). Praktek-
praktek tersebut termasuk dalam kegiatan budidaya. Menurut Gajri dan Prihar (1984)
budidaya adalah proses pengelolaan tanah untuk produksi tanaman yang diterapkan
oleh manusia, hewan, atau mesin untuk mengolah tanah dengan mengubah
lingkungan fisik.
Sistem CRM dimulai dengan menanam tanaman penghasil, kemudian setelah
panen sisa tanaman (residu) penghasil tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah.
Untuk itu tanah yang dikelola perlu direncanakan dengan hati-hati untuk
menghindari penguburan residu tanaman secara berlebihan. Persentase luas area
residu tanaman yang menutupi permukaan perlu ditentukan, mengingat mungkin saja
sebelumnya telah ada praktek-praktek konservasi lain yang digunakan untuk
mengurangi erosi tanah (Scherts dan Kemps, 1994).
Sistem CRM digunakan untuk tujuan mengurangi atau meningkatkan
infiltrasi air atau kelembaban tanah, atau untuk meningkatkan kualitas air. Dengan
demikian akan diperoleh hasil panen yang memberikan keuntungan optimal (Scherts
dan Kemps, 1994). Sistem ini merupakan sistem perencanaan pengelolaan tanah
yang mencakup beberapa cara. Menurut CTIC (1993) seperti dirujuk oleh Scherts
dan Kemps (1994) di USA terdapat beberapa kategorisasi pengolahan tanah,antara
lain :
1. No-till, tanah dibiarkan tak terganggu dari panen
kecuali untuk injeksi gizi pada saat penanaman atau pada slot
oleh coulters, pembersih baris, cakram pembuka, pahat
ataupun roto-tillers. Penanaman atau pengeboran dilakukan di
persemaian yang sempit, sementara itu pengendalian gulma
dengan herbisida. Budidaya juga untuk pengendalian gulma
darurat.
2. Mulch-till/mulsa, sebelum penanaman tanah dikerjakan
dengan alat seperti pahat, pembudidaya lapangan, coulters,
cakram, penyapu atau bilah. Pengendalian gulma dicapai
dengan herbisida dan/atau budidaya.
3. Ridge-till, tanah dibiarkan tak terganggu dari panen
kecuali untuk injeksi gizi pada saat penanaman. Penanaman
dilakukan dalam punggungan persemaian yang telah
dipersiapkan sebelumnya dengan menyapu, disc pembuka,
coulters, atau baris pembersih. Residu tanaman yang tersisa
terdapat di permukaan antara punggungan. Pengendalian
gulma dicapai dengan herbisida dan/atau budidaya.
Selanjutnya punggungan tersebut dibangun kembali selama
budidaya.
4. 15-30% residu tanaman, ditinggalkan setelah
penanaman/budidaya atau setara dengan 560 kg/ha residu
tanaman butir kecil untuk 1.120 kg /ha yang diperoleh selama
terjadinya periode kritis erosi karena angin.
5. < 15% residu tanaman, ditinggalkan setelah
penanaman/budidaya atau kurang dari 560 kg/ha residu
tanaman butir kecil yang diperoleh selama terjadinya periode
kritis erosi karena angin.

Biasanya pada tanah yang dikerjakan infiltrasinya meningkat dan limpasan


berkurang, karena kerak di permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk,
(1994) menunjukkan bahwa peningkatan infiltrasi itu tidak berpengaruh pada
limpasan tahunan dan perbedaan perlakuan pada tanah yang dikerjakan tersebut kecil
dan tidak konsisten. Hal itu memperkuat pendapat Yule dkk (1990) yang
mempelajari tanggapan atas tanah yang dikerjakan dari waktu ke waktu dan hasilnya
menunjukkan bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek
setelah tanah tersebut dikerjakan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan
pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline
dkk., (1994) menyatakan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengganggu tanah
dan mengubah hubungan massa volume tanah. Hilangnya topsoil mengurangi bulk
density tanah dan meningkatkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan rekan
dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan, perubahan kekuatan tanah pasir akibat
pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak seperti bulk density
(Gajri dan Prihar, 1994).
Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan tanah menurut Rao, dkk,
(1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air hujan ke tanah. Hal ini pada
gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan tanah yang memadat. Berbagai
pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia menurut Rao dkk (1994) adalah:
1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,
2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural
sebagai dampak turunnya hujan, dilakukan dengan penerapan
residu tanaman sebagai mulsa;
3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan
pupuk kandang peternakan yang cenderung meningkatkan
stabilitas struktur tanah.

Residu tanaman yang ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif


melindungi tanah dari dampak hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan
tanah, sampai tumbuhnya kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan
pembajakan untuk mengganti tanah yg dikerjakan, membalikkan tanah dan
mengubur residu tanaman, sehingga permukaan tanah yang retak menjadi lebih
gembur, meninggalkan potongan akar, membunuh rumput liar, dan meninggalkan
sebagian besar residu tanaman pada permukaan tanah. Namun, akibatnya pada
penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan tambahan yakni pengendalian
gulma, karena sebagian besar permukaan tanah terkubur oleh residu tanaman. Untuk
itu digunakan bahan kimia atau kombinasi bahan kimia untuk mengendalikan gulma
(Scherts dan Kemps, 1994). Selain pengendalian gulma, perubahan topografi mikro
dan pencampuran amandemen, tanah yg dikerjakan juga ditujukan untuk
pengentasan kendala tanah yang terkait dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik
tanah sering berubah dengan pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya
mempengaruhi lingkungan edaphic tanah (yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air
tanah dan aerasi dan rezim termal) di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh
mana aspek ini akan berubah tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan
metode penerapan alat pada tanah yg dikerjakan.
Adapun keuntungan sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:
1. Mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi
dari 40 hingga lebih dari 90 persen tergantung pada jumlah
penutup permukaan tanah yang tersisa di permukaan. Namun,
efektivitas pengendalian erosi residu tanaman juga ditentukan
oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi
mulsa (Khera dan Kukal, 1994; Williams, John D., dkk.,
2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam
mengurangi erosi tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan
pengurangan erosi angin;
2. Meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 %
menjadi 4% dalam waktu sekitar 15 tahun, melalui
penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan
adanya mulsa maka terjadi peningkatan jumlah bahan
organik, dapat meningkatkan produktivitasnya dan akan lebih
sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas agregat tanah
dan infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah;
(Khera dan Kukal, 1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk,
2007). Residu tanaman penutup menghalangi air hujan
sebelum mereka mencapai tanah, menetralkan energi yang
tersimpan dan dengan demikian mengurangi pelepasan tanah
dan transportasi. Bahan organik juga menghambat kecepatan
aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang
tidak merusak (Khera dan Kukal, 1994; Arsyad, 2006).
Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan bahan
organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum
budidaya dimulai;
3. Mengurangi efek kekeringan meningkat secara
signifikan karena residu tanaman tersebut menghasilkan
kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007).
Mempertahankan kelembaban tanah adalah hal yang sangat
penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar (1990),
sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994),
konservasi kelembaban tanah tersebut tergantung pada jenis
tanah, kondisi iklim, dan kedalaman dan jenis tanah yg
dikerjakan. Namun di daerah-daerah lembab, ketika tanaman
sangat membutuhkan air, hujan justru tidak selalu terjadi.
Sebagai contoh, Bauer dan Black (1991) dalam Scherts dan
Kemps (1994), menemukan bahwa sistem CRM yang baik di
Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm
kelembaban tanah dan meningkatkan sebesar 134 hasil
gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm setiap
tambahan kelembaban;
4. Meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta
menurunkan air limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi
tanaman per unit curah hujan meningkat. Menurut Moore
(1981) ketidakstabilan struktur tanah akibat hujan dapat
membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat
mengurangi infiltrasi dan meningkatkan limpasan. Akibatnya,
air yang tersedia dalam profil akan berkurang (Rao dkk, 1994,
Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu
tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah
dari dampak tetesan air hujan, mengurangi gangguan,
dispersi, dan penyegelan permukaan tanah berikutnya dan
dengan demikian membantu mempertahankan tingkat
infiltrasi yang tinggi dan mengurangi kecepatan limpasan
(Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao dkk.,
1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi tanaman
dan meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta
meningkatkan proses aerasi oksigen tanah;
5. Meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing
yang memakan permukaan dan menggali bahan organik di
dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita
dkk, 2009). Liang mereka sering memfasilitasi infiltrasi lebih
cepat dan di beberapa daerah dapat secara signifikan
mengurangi limpasan;
6. Mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan
lebih banyak air yang tersedia untuk digunakan tanaman
(Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk (1987),
sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994);
hanya dengan 30 persen residu tanaman yang menutupi
permukaan tanah, maka potensi relatif evaporasinya mencapai
70 persen dibandingkan dengan jika tidak ada residu tanaman.
Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan
kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan
Kukal, 1994). Sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar
(1994), di lingkungan sub-tropis India Utara, suhu di lapisan
tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-optimal selama
musim panas meningkatkan hasil panen jagung;
7. Mempertahankan atau meningkatkan kualitas air
permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga
sedimen, kotoran hewan, patogen dan pestisida yang keluar
dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter,
1994). Air yang mencapai aquifers umumnya mengandung
kurang dari 1 persen pestisida dan 99 persen adalah bahan
organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan tersebut
melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta
umumnya dapat diminum.

III. PENUTUP

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa sistem CRM


ekonomis dan ramah lingkungan. Teknologi CRM maju dengan cepat. Percobaan
simulasi curah hujan dan limpasan telah mengungkap pentingnya limpasan dan aliran
bawah permukaan segera setelah tanah dibajak, dan dipersiapkan untuk persemaian.
Praktek-praktek budaya memodifikasi proses limpasan atau aliran bawah permukaan,
secara signifikan mengurangi kecepatan aliran dan aliran puncak. Penggunaan CRM
juga dapat digabung dengan peralatan, herbisida dan prinsip-prinsip manajemen yang
tersedia saat ini, dengan maksud untuk berproduksi dengan biaya efektif dan ramah
lingkungan sistem berkelanjutan. Sementara itu penggunaan mulsa ternyata cukup
efektif dalam melestarikan kelembaban tanah dan meningkatkan hasil panen.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Gajri, P.R dan Prihar, S.S. (1994). “Role of Tillage in Crop Production-The Indian
Experience”, 8th ISCO Conference: Soil and Water Conservation: Challenges
and Opportunities, Volume 2, New Delhi, hlm.1305-1320

Kyaine, 2008. Konservasi Tanah dan Air.(0n-line). http://guskar.com. Diakses


tanggal 15 Juni 2010
Scherts, D.L. dan Kemps, W.D. (1994). “Crop Residue Management System and
Their Role in Achieving a Sustainable, Productive Agriculture”, 8th ISCO
Conference: Soil and Water Conservation: Challenges and Opportunities,
Volume 2, New Delhi,hlm.1255-1265.

Anda mungkin juga menyukai