Anda di halaman 1dari 3

Missed

The latter is interesting to diteropong deeper. No


Masalahnya, kepercayaan masyarakat pada doubt, students increasingly degenerate culture.
pesantren kini mulai terkikis. Salah satunya It was evident from the behavior and habits of
disebabkan pesantren tak lagi berada pada relnya. students who nearly pulled out from the root
Beberapa kalangan mencurigai pesantren "lalai" keberislamannya.
dalam tugasnya sebagai "gawang" Islam Indonesia. Apparently, the problem of cultural decadence is
Kritik ini, tampaknya, berangkat dari kenyataan; now pushed into every corner of life. The
banyak tokoh pesantren yang terlalu asyik di wilayah phenomenon of behavior that led to the splendor
politik, bermain mata dengan kekuasaan, dan of western culture: amoral, niretik, hedonist,
dekadensi budaya dan moral santrinya. consumptive, and contrary to religiosity, is now
easy to find.
Kecolongan As a base "defense" of Islam, the entry of a
Yang terakhir disebut menarik untuk decadent culture-could have - show kekeroposan
diteropong lebih dalam. Tak dipungkiri, budaya santri boarding. Apparently, schools are now
kian merosot. Hal itu tampak dari perilaku dan difficulties stem the cultural colonialism. The
kebiasaan santri yang nyaris tercerabut dari akar difficulty is what often makes boarding
keberislamannya. "cheated".
Bolongnya boarding gate pushing a major
Tampaknya, problem dekadensi budaya kini expansion outside the entrance to the boarding
menyeruak ke setiap sudut kehidupan. Fenomena culture. Various ideologies of modernity and
semaraknya perilaku yang mengarah pada budaya technology wrapped in packaging received with
barat: amoral, niretik, hedonis, konsumtif, dan open arms by students almost without filters.
bertolak belakang dengan religiusitas, kini mudah Westernitas guise of localities often make
ditemukan. students fondness on the culture of excessive
Sebagai basis "pertahanan" Islam, masuknya consumerism. Cultural and non-religious ethics
budaya yang dekaden—bisa saja--menunjukkan swallowed raw. Not hard to find the
kekeroposan pesantren. Tampaknya, pesantren kini phenomenon of cultural decadence such.
kesulitan membendung penjajahan budaya. Kesulitan In plain view we could see the cultural
itulah yang acapkali membuat pesantren celebrations such as Valentine's Day, New Year,
"kecolongan". or birthday in a way that was almost exactly the
children of the city. In terms of dress, not a few
Bolongnya gerbang pesantren mendorong
talkative students went along with the style
ekspansi besar-besaran budaya luar masuk ke
you're ngetrend in celebrity circles. In terms of
pesantren. Berbagai ideologi terbungkus kemasan
food, cooking (read: atana ') is considered "not
modernitas dan teknologi diterima dengan tangan
slang" and inconvenient. Whereas the latter also
terbuka oleh santri nyaris tanpa filter. Westernitas
includes educational activities and learning
berkedok lokalitas kerapkali membuat santri
independence.
kegandrungan pada konsumerisme budaya yang
Pupils, unconsciously, is now seized with instant
berlebihan. Budaya dan etika non religius ditelan
culture, consumerism, and hedonism. Instant
mentah-mentah. Tak sulit menemukan fenomena
because accustomed to the "convenience",
dekadensi budaya yang demikian itu.
everything is obtained easily and without going
Secara kasat mata kita bisa melihat budaya through a rigorous process. Consumptive power
semisal perayaan hari valentine, tahun baru, atau fading due to criticism as well because students
ulang tahun dengan cara-cara yang nyaris persis anak- are faced with a tempting merchandise capitalist
anak kota. Dalam hal berpakaian, tak sedikit santri product. Hedonic directed behavior because
latah ikut-ikutan style yang sedang ngetrend di there is a tendency to merely dig a fun pseudo-
about way.
Two things above that influence thought
patterns, paradigms, then the behavior of
students. Wonder if morality and students
increasingly decadent culture - as alleged some
circles.
kalangan seleb. Dalam hal makanan, menanak (baca:
atana') dianggap "gak gaul" dan merepotkan. Padahal
yang disebut terakhir juga termasuk aktivitas
kependidikan dan pembelajaran kemandirian.
Santri, secara tidak sadar, kini dihinggapi
budaya instan, konsumtif, dan hedonis. Instan
lantaran terbiasa dengan "kemudahan", segalanya
didapat dengan mudah dan tanpa melalui proses yang
teliti. Konsumtif akibat pudarnya daya kritisisme
santri sekaligus  lantaran dihadapkan pada dagangan
produk kapitalis yang menggiurkan. Hedonis lantaran
ada kecenderungan perilaku diarahkan untuk melulu
menggali sebuah kesenangan semu—kira-kira
demikian.
Dua hal di atas yang memengaruhi pola pikir,
paradigma, kemudian perilaku santri. Pantas andai
moralitas dan budaya santri kian dekaden--seperti
yang dituduhkan beberapa kalangan.
Membangun "Benteng"
Sajian budaya luar tak identik vitamin yang
selalu "sehat" bagi santri. Budaya luar yang kian
menggerogoti religiusitas santri mesti diantisipasi.
Jika dibiarkan, problem dekadensi budaya akan
semakin berlarut-larut. Akibatnya, tidak hanya akan
dirasakan oleh santri (baca: pesantren) tetapi juga
masyarakat secara umum.
Perilaku tercela santri tentunya berangkat dari
pola pikir dan paradigma yang keliru pula. Seperti
yang disinggung di atas, mudahnya budaya luar
masuk pesantren ialah akibat nihilnya daya kritisisme
santri.
Guna membendung arus budaya, sebuah
"benteng" perlu segera dibangun. Benteng yang
dengannya religiusitas budaya terus dipertahankan.
Tentunya tak lantas menolak sepenuhnya segala
budaya yang masuk selama tidak bertolak belakang
dengan nilai-nilai Islam dan pesantren.
Benteng yang dimaksud bukan dalam arti
yang literal. Benteng yang dimaksud ialah sebuah
pertahanan (budaya) yang terejawantah dalam
kebiasaan santri bersikap kritis. Dengan begitu
budaya luar tidak mudah untuk memengaruhi santri.
Masivitas masuknya arus budaya luar
menuntut kejelian, kekritisan, dan sikap arif dalam
menyikapinya. Globalisasi, melalui "tangan" dan
"jari-jarinya", menggiring santri atau pesantren pada
posisi dilematis; mempertahankan budaya atau
mengikuti arus budaya. Sementara sikap tengah-
tangah acapkali bias, absurd, tampak tanpa identitas.
Apa pun yang "menimpa" santri (baca:
pesantren) tak mengikis harapan besar masyarakat
pada santri sebagai agen perubahan dan pembaharuan.
Sampai detik ini, peran santri (juga pesantren) masih
besar dan gaungnya terdengar di segala ranah
kehidupan masyarakat—dari mulai agama,
pendidikan, budaya, bahkan politik. Karena itu, butuh
komitmen dan konsistensi santri untuk menjaga
pesantren (secara kelembagaan) dan diri santri (secara
pribadi) itu sendiri. Tanpa sikap demikian, santri
(pesantren) akan tergerus oleh kecenderungan
dekadensi budaya global dan menjadi korban
peradaban.

Anda mungkin juga menyukai