Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MANDIRI

HUKUM PIDANA

Dibuat Oleh

Nama : Brenda Budiono


NPM : 0906519223
Kelas : Hukum Pidana B

Copyright © 2010
Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkatNya tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
banyak membantu saya menyelesaikan tugas ini. Terutama kepada Bapak Ignatius Sriyanto dan Ibu
Surastini Fitriasih selaku dosen matakuliah Hukum Pidana Universitas Indonesia yang telah banyak
membantu saya memahami keseluruhan materi yang terkait dengan tugas ini.
Sebuah tugas mandiri yang saya buat untuk membahas lebih lanjut suatu tindak pidana dan
untuk meningkatkan pemahaman saya mengenai hukum pidana. Sebuah kasus nyata saya jadikan bahan
penulisan kali ini. Tugas ini dibuat dengan menggunakan kasus real dari sebuah website berita kriminal
dalam negeri.
Ditulis dengan pemahaman dan dengan memakai asumsi dari saya sendiri, memungkinkan apa
yang tertulis di tugas ini adalah tidak tepat sepenuhnya. Oleh sebab itu saya mohon maaf bila terdapat
kesalahan dalam tulisan saya ini, kritik dan saran amat saya butuhkan demi perluasan pengetahuan saya
mengenai Hukum Pidana. Saya juga berharap semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya. Terima kasih.

Penulis

1|Tugas Pidana-Brenda
Fokus 21 MODUS ACEH MINGGU IV, JUNI 2008

Teori Hukum Baru Jaksa Menjerat Pembunuh Munir


Mantan pilot Garuda Pollycarpus Budi Priyanto kembali diperiksa Bareskrim Mabes Polri. Ada
sejumlah bukti yang sudah disiapkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. seakan tak mau menerima
”getah” sendiri. Beberapa tersangka kasus pembunuhan Munir, akhirnya bernjanji di persidangan.
Kejaksaan memang belum mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) melalui PN Jakarta Pusat. Namun
Kejaksaan tampaknya optimis bisa ”memenangkan” kasus ini setelah Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi membebaskan Pollycarpus. Untuk memperkuat dalil PK, Jaksa Agung Hendarman Supandji
menegaskan pihaknya akan menggunakan teori pembuktian condition sine qua non. Dengan teori ini,
semua sebab yang muncul dalam proses perkara bisa menimbulkan kematian. Pendeknya, ada banyak
sebab yang menimbulkan aktivis HAM Munir meninggal dunia dalam penerbangan menuju Belanda.
Sejauh ini, Kejaksaan sudah mengumpulkan sekitar sepuluh dugaan penyebab kematian Munir. Sebab-
sebab itulah nanti yang dimasukkan ke dalam memori PK. “Kami sedang mengumpulkan alat bukti agar
bisa lebih banyak lagi sebabsebab yang menimbulkan akibat itu,” tandas Hendarman. Sementara itu,
polisi terus berusaha mengumpulkan bukti untuk diserahkan ke Kejaksaan. Salah satu bukti baru yang
diserahkan penyidik polisi kepada Kejaksaan adalah berita acara pemeriksaan Ongen Latuihamalo.
Dalam pernyataan persnya Rabu (06/6) lalu, Ongen mengaku melihat Munir bersama seseorang di Coffe
Bean, Bandara Changi Singapura, ketika pesawat Garuda transit. Bukti demi bukti terus dikumpulkan
Kejaksaan untuk mendukung PK. Penjelasan Jaksa Agung Hendarman Supandji menunjukkan perubahan
teori yang dianut Kejaksaan untuk menjerat terdakwa Pollycarpus. Sebelumnya, Kejaksaan
menggunakan teori adequat alias keseimbangan. Salah satu yang menyebabkan membuktikan teori
keseimbangan itu adalah tidak adanya saksi yang melihat siapa yang memasukkan racun ke dalam tubuh
Munir. Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menjelasan bahwa
penggunaan teori a de quat karena cara berpikir yang sederhana. “Ada satu sebab yang terdekat saja,
yaitu ada orang yang memasukan racun ke dalam minuman dan makanan Munir dalam penerbangan
Jakarta - Singapura. Jadi sebabnya hanya itu saja,” ujarnya. Karena itu, bila teori conditio sine qua non
ingin digunakan dalam PK Munir maka kejaksaan harus menyiapkan beberapa sebab yang
mengakibatkan kematian Munir. Hendarman Supandji memahami bahwa menyiapkan beberapa sebab
merupakan konsekuensi dari penggunaan teori tersebut. Chaerul Huda menilai usaha kejaksaan dengan
menggunakan teori baru dalam PK kasus Munir akan sulit untuk menuai hasil yang maksimal. Teori yang
2|Tugas Pidana-Brenda
digunakan oleh kejaksaan adalah teori condition sine qua non. Menurut dia teori condition sine qua non,
apa yang menjadi sebab dari suatu kejadian itu adalah beberapa sebab tertentu yang mempunyai
hubungan satu sama lain. Jadi sebabnya ada banyak. Dengan kata lain, ada beberapa sebab yang satu
sama lain tidak ada yang utama, tetapi semua itu menyebabkan timbulnya akibat. Padahal, menurut
pandangan Chairul teori keseimbangan jauh lebih mudah membuktikan. “Dalam prakteknya, yang lebih
mudah untuk membuktikan adalah teori adequat,” ujarnya. Chairul menduga Kejaksaan terpaksa
memilih teori conditio karena tidak menemukan bukti langsung (direct evidence) yang menyebabkan
Munir meninggal. “Kejaksaan mencoba menghubungkan beberapa bukti-bukti tidak langsung (indirect
evidence) satu sama lain yang seolah-olah berhubungan sehingga mengakibatkan Munir meninggal,”
ujarnya menganalisis. “Adequat yang menggunakan bukti langsung saja tidak berhasil, apalagi conditio
sine qua non,” ujarnya. Namun Chaerul Huda mengingatkan digunakannya teori ini harus menunjukan
bahwa meninggalnya Munir itu karena gabungan antara beberapa sebab. “Bukan soal arseniknya, tetapi
bagaimana arsenik itu masuk ke dalam tubuh Munir,” tambahnya. Menurutnya harus dibuktikan ada
beberapa rangkaian perbuatan yang satu sama lain saling berhubungan dengan sedemikian rupa
sehingga menyebabkan Munir meninggal diracun. Huda menambahkan bahwa yang akan menjadi
novum adalah sebab-sebab itu. “Kalau Jaksa Agung bilang ada enam sebab, mungkin diantara sebab-
sebab itu belum ada yang ditemukan. Inilah yang dapat menjadi novum,” ujarnya. Dibutuhkannya
beberapa rangkaian sebab yang menjadi satu kesatuan sangat dipahami oleh Jampidum Abdul Hakim
Ritonga. “Bahan- bahan yang ada belum cukup, Mabes Polri akan menambahnya. Bukan jumlah
bahannya, tetapi bagaimana bahan tersebut menjadi satu kesatuan. Sekarang kan masih tercerai berai,”
ujarnya. Pasalnya tepat Untuk saat ini, memang baru Muchdi yang ditetapkan sebagai tersangka. Pasal
yang digunakan polisi antara lain Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) angka 2e KUHP. Pasal itu mengenai
pembunuhan berencana dengan penyertaan berupa menggerakkan pelaku langsung dengan
menggunakan kekuasaan. Choirul Anam, salah seorang kuasa hukum Munir, menilai pasal sangkaan
yang digunakan polisi sudah tepat. Sebab, kalau sampai polisi salah mengartikan keterlibatan Muchdi
sebagai pihak yang “menyuruh melakukan”, maka kasus Munir akan berhenti sampai di sini saja.
Padahal masih ada kemungkinan keterlibatan aktor intelektual lain. Maksud Anam, dalam Pasal 55 KUHP
mengenal empat kategori penyertaan. Dua diantaranya, menggerakkan (uitlokking) dan menyuruh
melakukan (doen plegen) Pada ayat (1) angka 1e, tertera katakata “menyuruh melakukan” yang dalam
istilahnya disebut doen plegen. Jika Muchdi dianggap sebagai penyuruh, maka tamat sudah kasus Munir
karena Muchdi sudah dianggap sebagai otak pelaku. Selain itu, pelaku langsung -Polly, sebenarnya tidak

3|Tugas Pidana-Brenda
bisa dipidana. Lain halnya, jika menyertakan Pasal 55 ayat (1) angka 2e seperti yang polisi lakukan
sekarang ini. Unsur yang terkadung di angka 2e itu adalah “menggerakan” yang salah satu caranya
dengan menggunakan kekuasaan. Berbeda dengan menyuruh melakukan, menggerakkan atau istilahnya
uitlokking tidak mempersempit Muchdi sebagai otak pelaku. Karena hanya menggerakkan, berarti tidak
tertutup kemungkinan teridentifikasi aktor- aktor intelektual lainnya seperti dugaan Kasum. Lagipula,
faktanya Polly sebagai pelaku langsung sudah dipidana, berarti pasal ini semakin tepat digunakan.
Karena, pada uitlokking pihak yang menggerakkan dan digerakkan sama-sama dianggap dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Maka dari itu, Muchdi pun sudah seyogyanya
dianggap sebagai penggerak alias uitlokker perbuatan Polly.Mengutip penjelasan dalam buku Dasar-
dasar Hukum Pidana Indonesia ditulis oleh PAF Lamintang. Memang terdapat persamaan dan perbedaan
antara rumusan uitlokker dan doen plegen. Duaduanya tidak melakukan sendiri tindak pidana yang
dikehendaki. Dengan kata lain, ada perantara orang lain. Bedanya, kalau seseorang yang melakukan
tindak pidana karena doen plegen, maka orang tersebut tindak pidananya tidak dapat
dipertanggungjawabkan seperti yang tercantum di Pasal 44 KUHP. Untuk seseorang yang digerakan
uitlokker. Pihak penggerak ini biasa disebut agen provokator atau aktor intelektual. Baik pihak
penggerak dan yang digerakkan haruslah limitatif. Tindak pidana dan sanksi yang diterima penggerak
dan yang digerakan akan sama.
Setelah sekitar 1 bulan kasus ini terus bergulir, terdapat perkembangan yang signifikan dalam
kasus ini, yakni Muchdi Terbukti Menyuruh Bunuh Munir. Peran mantan Deputi V Badan Intelijen Negara
(BIN) Muchdi Pr dalam pembunuhan aktivis HAM Munir makin jelas. Muchdi disangka menyuruh
melakukan pembunuhan terhadap Munir. Pasal yang dikenakan terhadap Muchdi yakni pasal 340 juncto
55 ayat 1 kesatu UU KUHP dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup. "Pasalnya 340 dan 55
KUHP. Menyuruh melakukan (pembunuhan Munir)," tegas Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum)
Abdul Hakim Ritonga.
Penjelasan ini diberikan Ritonga setelah tim penyidik Mabes Polri melimpahkan berkas perkara
Muchdi Pr ke Kejagung. Menurut Ritonga, berkas perkara Muchdi telah diterima Kejagung sejak Senin
(7/7). Dalam kasus Munir, Ritonga mengatakan bahwa Munir tewas karena dibunuh. Hal tersebut
berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang isinya menghukum mantan
pilot Garuda Pollycarpus dengan hukuman 20 tahun penjara. Polly dinyatakan terbukti bersama-sama
membunuh Munir. Bukti-bukti yang diungkap antara lain adanya hubungan telepon antara Pollycarpus
dengan Muchdi Pr. Temuan Polri, terdapat 41 kali percakapan antara Polly dengan Muchdi melalui

4|Tugas Pidana-Brenda
telepon. Sayangnya, isi percakapan tidak dapat dibuka. "Sudah dibawa ke Amerika, tapi yang tercatat
hanya ada telepon masuk dan keluar saja," tambah Ritonga. Selain itu, bukti surat permintaan dari
institusi yang diduga BIN kepada PT Garuda untuk menugaskan Pollycarpus berangkat ke Singapura, juga
sudah diperoleh. Lagi-lagi, dokumen asli tersebut hilang di tas milik mantan Dirut PT Garuda Indra
Setiawan. Dokumen tersebut hilang ketika mobil Indra diparkir di Hotel Sahid. "Kita peroleh kloning dari
komputer. Kan dari komputer itu, filenya ada. Itu yang kita kloning," tambahnya.

5|Tugas Pidana-Brenda
KASUS POSISI
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi
Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter
yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun
dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi
Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa
oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang
sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah
tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima
beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak
menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun
hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo
Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak
pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31
Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau
ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

6|Tugas Pidana-Brenda
PEMBAHASAN
Hingga saat ini, penanganan hukum atas pembunuhan aktifis HAM Munir belum mampu
mengadili aktor utamanya. Melainkan baru mampu membawa Pollycarpus, seorang co-pilot Garuda
Indonesia. Langkah Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang dibentuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk membantu Polri mengusut keterlibatan pihak-pihak tertentu di lingkungan direksi PT
Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN) menemui kendala. Meskipun akhirnya, dengan
keterbatasan mandat, TPF bisa menghasilkan temuan-temuan dan rekomendasi kebijakan yang penting.
Kini tinggal bagaimana Presiden SBY melanjutkannya, terutama setelah Pengadilan Negeri Jakarta
memvonis Pollycarpus bersalah sekaligus menyebut nama-nama pelaku lain dalam pembunuhan Munir.

Uraian pada bagian ini akan mendeskripsikan proses penanganan hukum sejak permulaan
hingga divonisnya Pollycarpus 14 tahun penjara. Meski awalnya gelap, desakan berbagai kalangan dalam
dan luar negeri membuat Presiden SBY membentuk TPF untuk membantu mengungkap kasus
pembunuhan Munir, meski kemudian laporannya tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan
rekomendasi TPF kurang menjadi pertimbangan. Proses hukum oleh aparat hukum kepolisian dan
kejaksaan kemudian berjalan dengan segala kritik yang berkembang. Paska berakhirnya masa tugas TPF,
mekanisme penegakkan hukum yang ‘normal’ kembali mengalami kemandegan. Mekanisme
penyelidikan dan penyidikan polisi tidak menghasilkan kemajuan-kemajuan yang berarti. Sementara itu
mekanisme pengadilan dengan terdakwa Pollycarpus juga menunjukkan kelemahan mendasar, kesulitan
membongkar pembunuhan Munir sebagai suatu konspirasi kejahatan akibat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) yang melihat pembunuhan Munir sebagai kejahatan personal (individual crimes). Kemajuan
yang pada akhirnya diperlihatkan majelis hakim bahwa Pollycarpus berkomplot (konspirasi) dengan
nama-nama pelaku lain diabaikan. Sampai laporan ini dibuat, hanya Pollycarpus, seorang ko-pilot kelas
airbus Garuda Indonesia yang diadili dan divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pada awalnya publik meragukan proses pengadilan karena dakwaan JPU hanya mendakwa
Pollycarpus sebagai pelaku utama dalam pembunuhan berencana dengan mengikutsertakan peran dari
dua tersangka lainnya. Artinya pembunuhan berencana terhadap Munir menjadi pembunuhan yang
bersifat tunggal. Kenyataan ini bertolak belakang dengan temuan-temuan TPF Kasus Munir yang
mengindikasikan adanya konspirasi kejahatan dalam pembunuhan Munir. Temuan-temuan itu
sebenarnya dapat menunjuk keterlibatan sejumlah pihak dalam konspirasi tersebut, apabila BIN
bersikap terbuka dan bekerjasama penuh dalam proses penyelidikan di dalam lingkungan institusinya.
Tidak terkecuali menyangkut dugaan keterlibatan petinggi Garuda Indonesia. Bangunan konspirasi amat
penting untuk menunjukkan sifat perencanaan yang luar biasa.

Sementara itu janji Pemerintah RI, khususnya Presiden SBY untuk secara serius menangani kasus
Munir mulai dipertanyakan. Ini disebabkan proses pengusutan yang belakangan terkesan mengendur,
khususnya setelah Pemerintah mengembalikan metode penanganannya pada proses hukum yang
konvensional. Padahal perhatian dan harapan publik terhadap pemerintah SBY – JK begitu besar. Lihat
saja berbagai dukungan yang mengalir dari kalangan dalam dan luar negeri. Bentuk dukungan ini

7|Tugas Pidana-Brenda
ditunjukkan oleh kedatangan Parlemen Uni Eropa ke Indonesia yang kembali menanyakan
perkembangan Kasus Munir kepada DPR RI, 26 Juli 2005 dan surat keprihatinan 68 anggota Kongres
Amerika Serikat kepada Presiden SBY, pada bulan November 2005. Pemberitaan media yang begitu
gencar terhadap proses pengungkapan kasus ini juga mencerminkan keinginan publik yang seolah tak
sabar untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya peristiwa ini terjadi dan siapa aktor intelektual di
balik pembunuhan Munir. Pembentukan TPF pun selalu terjadi tarik ulur di dalamnya.Penyelidikan mulai
mengarah kepada Muchdi PR mengingat TPF mendapat temuan dalam kerjanya yang membuktikan
adanya hubungan sambungan telepon dari HP Pollycarpus ke Kantor BIN di masa kepemimpinan
Hendropriyono, yaitu adanya sambungan telepon antara HP milik Pollycarpus dengan Kantor Deputi V
BIN yang waktu itu dijabat oleh Muhdi PR. TPF menemukan fakta sambungan telepon antara Polly dan
Muhdi itu berlangsung sebelum dan sesudah aktivis HAM Munir tewas pada 6 September 2004. Terlacak
ada 35 kali sambungan telepon antara keduanya. Meski belum diketahui pola hubungan keduanya,
setidaknya fakta ini telah menggugurkan semua bantahan BIN sebelumnya yang menyatakan tidak
memiliki kaitan apa pun dengan Polly.29 Kasus kematian Munir bisa dibawa ke pengadilan untuk
membongkar dan membuktikan pemberi perintah serta pendukung pembunuhan. Ia memastikan,
pembunuhan di atas pesawat Garuda Singapura-Amsterdam itu tidak dilakukan Pollycarpus secara
pribadi, namun dilakukan secara konspirasi atau persekongkolan.

Dugaan persekongkolan ini pun membawa angin segar untuk tim penyidik kasus, Muchdi pun
digiring hingga akhirnya dituntut dugaan sebagai otak dari pembunuhan Munir ini yang memang
dikategorikan sebagai pembunuhan berencana. Muchdi dijerat menggunakan pasal 340 KUHP
(pembunuhan berencana) juncto pasal 55 (1) KUHP (menyuruh dan memberi kesempatan dalam
perbuatan pidana). Ancaman hukumannya maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup atau dua
puluh tahun. Hal itu menandakan bahwa dalam kasus ini Polly bukanlah satu-satunya pelaku, dan
terdapat penyertaan dalam kasus ini. Bagi Muchdi pun, bisa saja ia dikenakan asas pemberat hukuman
pidana, karena ia secara jelas telah menyalahgunakan jabatannya.

***

8|Tugas Pidana-Brenda

Anda mungkin juga menyukai