HUKUM PIDANA
Dibuat Oleh
Copyright © 2010
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkatNya tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
banyak membantu saya menyelesaikan tugas ini. Terutama kepada Bapak Ignatius Sriyanto dan Ibu
Surastini Fitriasih selaku dosen matakuliah Hukum Pidana Universitas Indonesia yang telah banyak
membantu saya memahami keseluruhan materi yang terkait dengan tugas ini.
Sebuah tugas mandiri yang saya buat untuk membahas lebih lanjut suatu tindak pidana dan
untuk meningkatkan pemahaman saya mengenai hukum pidana. Sebuah kasus nyata saya jadikan bahan
penulisan kali ini. Tugas ini dibuat dengan menggunakan kasus real dari sebuah website berita kriminal
dalam negeri.
Ditulis dengan pemahaman dan dengan memakai asumsi dari saya sendiri, memungkinkan apa
yang tertulis di tugas ini adalah tidak tepat sepenuhnya. Oleh sebab itu saya mohon maaf bila terdapat
kesalahan dalam tulisan saya ini, kritik dan saran amat saya butuhkan demi perluasan pengetahuan saya
mengenai Hukum Pidana. Saya juga berharap semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya. Terima kasih.
Penulis
1|Tugas Pidana-Brenda
Fokus 21 MODUS ACEH MINGGU IV, JUNI 2008
3|Tugas Pidana-Brenda
bisa dipidana. Lain halnya, jika menyertakan Pasal 55 ayat (1) angka 2e seperti yang polisi lakukan
sekarang ini. Unsur yang terkadung di angka 2e itu adalah “menggerakan” yang salah satu caranya
dengan menggunakan kekuasaan. Berbeda dengan menyuruh melakukan, menggerakkan atau istilahnya
uitlokking tidak mempersempit Muchdi sebagai otak pelaku. Karena hanya menggerakkan, berarti tidak
tertutup kemungkinan teridentifikasi aktor- aktor intelektual lainnya seperti dugaan Kasum. Lagipula,
faktanya Polly sebagai pelaku langsung sudah dipidana, berarti pasal ini semakin tepat digunakan.
Karena, pada uitlokking pihak yang menggerakkan dan digerakkan sama-sama dianggap dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Maka dari itu, Muchdi pun sudah seyogyanya
dianggap sebagai penggerak alias uitlokker perbuatan Polly.Mengutip penjelasan dalam buku Dasar-
dasar Hukum Pidana Indonesia ditulis oleh PAF Lamintang. Memang terdapat persamaan dan perbedaan
antara rumusan uitlokker dan doen plegen. Duaduanya tidak melakukan sendiri tindak pidana yang
dikehendaki. Dengan kata lain, ada perantara orang lain. Bedanya, kalau seseorang yang melakukan
tindak pidana karena doen plegen, maka orang tersebut tindak pidananya tidak dapat
dipertanggungjawabkan seperti yang tercantum di Pasal 44 KUHP. Untuk seseorang yang digerakan
uitlokker. Pihak penggerak ini biasa disebut agen provokator atau aktor intelektual. Baik pihak
penggerak dan yang digerakkan haruslah limitatif. Tindak pidana dan sanksi yang diterima penggerak
dan yang digerakan akan sama.
Setelah sekitar 1 bulan kasus ini terus bergulir, terdapat perkembangan yang signifikan dalam
kasus ini, yakni Muchdi Terbukti Menyuruh Bunuh Munir. Peran mantan Deputi V Badan Intelijen Negara
(BIN) Muchdi Pr dalam pembunuhan aktivis HAM Munir makin jelas. Muchdi disangka menyuruh
melakukan pembunuhan terhadap Munir. Pasal yang dikenakan terhadap Muchdi yakni pasal 340 juncto
55 ayat 1 kesatu UU KUHP dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup. "Pasalnya 340 dan 55
KUHP. Menyuruh melakukan (pembunuhan Munir)," tegas Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum)
Abdul Hakim Ritonga.
Penjelasan ini diberikan Ritonga setelah tim penyidik Mabes Polri melimpahkan berkas perkara
Muchdi Pr ke Kejagung. Menurut Ritonga, berkas perkara Muchdi telah diterima Kejagung sejak Senin
(7/7). Dalam kasus Munir, Ritonga mengatakan bahwa Munir tewas karena dibunuh. Hal tersebut
berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang isinya menghukum mantan
pilot Garuda Pollycarpus dengan hukuman 20 tahun penjara. Polly dinyatakan terbukti bersama-sama
membunuh Munir. Bukti-bukti yang diungkap antara lain adanya hubungan telepon antara Pollycarpus
dengan Muchdi Pr. Temuan Polri, terdapat 41 kali percakapan antara Polly dengan Muchdi melalui
4|Tugas Pidana-Brenda
telepon. Sayangnya, isi percakapan tidak dapat dibuka. "Sudah dibawa ke Amerika, tapi yang tercatat
hanya ada telepon masuk dan keluar saja," tambah Ritonga. Selain itu, bukti surat permintaan dari
institusi yang diduga BIN kepada PT Garuda untuk menugaskan Pollycarpus berangkat ke Singapura, juga
sudah diperoleh. Lagi-lagi, dokumen asli tersebut hilang di tas milik mantan Dirut PT Garuda Indra
Setiawan. Dokumen tersebut hilang ketika mobil Indra diparkir di Hotel Sahid. "Kita peroleh kloning dari
komputer. Kan dari komputer itu, filenya ada. Itu yang kita kloning," tambahnya.
5|Tugas Pidana-Brenda
KASUS POSISI
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi
Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter
yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun
dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi
Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa
oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang
sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah
tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima
beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak
menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun
hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo
Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak
pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31
Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau
ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.
6|Tugas Pidana-Brenda
PEMBAHASAN
Hingga saat ini, penanganan hukum atas pembunuhan aktifis HAM Munir belum mampu
mengadili aktor utamanya. Melainkan baru mampu membawa Pollycarpus, seorang co-pilot Garuda
Indonesia. Langkah Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang dibentuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk membantu Polri mengusut keterlibatan pihak-pihak tertentu di lingkungan direksi PT
Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN) menemui kendala. Meskipun akhirnya, dengan
keterbatasan mandat, TPF bisa menghasilkan temuan-temuan dan rekomendasi kebijakan yang penting.
Kini tinggal bagaimana Presiden SBY melanjutkannya, terutama setelah Pengadilan Negeri Jakarta
memvonis Pollycarpus bersalah sekaligus menyebut nama-nama pelaku lain dalam pembunuhan Munir.
Uraian pada bagian ini akan mendeskripsikan proses penanganan hukum sejak permulaan
hingga divonisnya Pollycarpus 14 tahun penjara. Meski awalnya gelap, desakan berbagai kalangan dalam
dan luar negeri membuat Presiden SBY membentuk TPF untuk membantu mengungkap kasus
pembunuhan Munir, meski kemudian laporannya tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan
rekomendasi TPF kurang menjadi pertimbangan. Proses hukum oleh aparat hukum kepolisian dan
kejaksaan kemudian berjalan dengan segala kritik yang berkembang. Paska berakhirnya masa tugas TPF,
mekanisme penegakkan hukum yang ‘normal’ kembali mengalami kemandegan. Mekanisme
penyelidikan dan penyidikan polisi tidak menghasilkan kemajuan-kemajuan yang berarti. Sementara itu
mekanisme pengadilan dengan terdakwa Pollycarpus juga menunjukkan kelemahan mendasar, kesulitan
membongkar pembunuhan Munir sebagai suatu konspirasi kejahatan akibat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) yang melihat pembunuhan Munir sebagai kejahatan personal (individual crimes). Kemajuan
yang pada akhirnya diperlihatkan majelis hakim bahwa Pollycarpus berkomplot (konspirasi) dengan
nama-nama pelaku lain diabaikan. Sampai laporan ini dibuat, hanya Pollycarpus, seorang ko-pilot kelas
airbus Garuda Indonesia yang diadili dan divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada awalnya publik meragukan proses pengadilan karena dakwaan JPU hanya mendakwa
Pollycarpus sebagai pelaku utama dalam pembunuhan berencana dengan mengikutsertakan peran dari
dua tersangka lainnya. Artinya pembunuhan berencana terhadap Munir menjadi pembunuhan yang
bersifat tunggal. Kenyataan ini bertolak belakang dengan temuan-temuan TPF Kasus Munir yang
mengindikasikan adanya konspirasi kejahatan dalam pembunuhan Munir. Temuan-temuan itu
sebenarnya dapat menunjuk keterlibatan sejumlah pihak dalam konspirasi tersebut, apabila BIN
bersikap terbuka dan bekerjasama penuh dalam proses penyelidikan di dalam lingkungan institusinya.
Tidak terkecuali menyangkut dugaan keterlibatan petinggi Garuda Indonesia. Bangunan konspirasi amat
penting untuk menunjukkan sifat perencanaan yang luar biasa.
Sementara itu janji Pemerintah RI, khususnya Presiden SBY untuk secara serius menangani kasus
Munir mulai dipertanyakan. Ini disebabkan proses pengusutan yang belakangan terkesan mengendur,
khususnya setelah Pemerintah mengembalikan metode penanganannya pada proses hukum yang
konvensional. Padahal perhatian dan harapan publik terhadap pemerintah SBY – JK begitu besar. Lihat
saja berbagai dukungan yang mengalir dari kalangan dalam dan luar negeri. Bentuk dukungan ini
7|Tugas Pidana-Brenda
ditunjukkan oleh kedatangan Parlemen Uni Eropa ke Indonesia yang kembali menanyakan
perkembangan Kasus Munir kepada DPR RI, 26 Juli 2005 dan surat keprihatinan 68 anggota Kongres
Amerika Serikat kepada Presiden SBY, pada bulan November 2005. Pemberitaan media yang begitu
gencar terhadap proses pengungkapan kasus ini juga mencerminkan keinginan publik yang seolah tak
sabar untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya peristiwa ini terjadi dan siapa aktor intelektual di
balik pembunuhan Munir. Pembentukan TPF pun selalu terjadi tarik ulur di dalamnya.Penyelidikan mulai
mengarah kepada Muchdi PR mengingat TPF mendapat temuan dalam kerjanya yang membuktikan
adanya hubungan sambungan telepon dari HP Pollycarpus ke Kantor BIN di masa kepemimpinan
Hendropriyono, yaitu adanya sambungan telepon antara HP milik Pollycarpus dengan Kantor Deputi V
BIN yang waktu itu dijabat oleh Muhdi PR. TPF menemukan fakta sambungan telepon antara Polly dan
Muhdi itu berlangsung sebelum dan sesudah aktivis HAM Munir tewas pada 6 September 2004. Terlacak
ada 35 kali sambungan telepon antara keduanya. Meski belum diketahui pola hubungan keduanya,
setidaknya fakta ini telah menggugurkan semua bantahan BIN sebelumnya yang menyatakan tidak
memiliki kaitan apa pun dengan Polly.29 Kasus kematian Munir bisa dibawa ke pengadilan untuk
membongkar dan membuktikan pemberi perintah serta pendukung pembunuhan. Ia memastikan,
pembunuhan di atas pesawat Garuda Singapura-Amsterdam itu tidak dilakukan Pollycarpus secara
pribadi, namun dilakukan secara konspirasi atau persekongkolan.
Dugaan persekongkolan ini pun membawa angin segar untuk tim penyidik kasus, Muchdi pun
digiring hingga akhirnya dituntut dugaan sebagai otak dari pembunuhan Munir ini yang memang
dikategorikan sebagai pembunuhan berencana. Muchdi dijerat menggunakan pasal 340 KUHP
(pembunuhan berencana) juncto pasal 55 (1) KUHP (menyuruh dan memberi kesempatan dalam
perbuatan pidana). Ancaman hukumannya maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup atau dua
puluh tahun. Hal itu menandakan bahwa dalam kasus ini Polly bukanlah satu-satunya pelaku, dan
terdapat penyertaan dalam kasus ini. Bagi Muchdi pun, bisa saja ia dikenakan asas pemberat hukuman
pidana, karena ia secara jelas telah menyalahgunakan jabatannya.
***
8|Tugas Pidana-Brenda