Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang universal dan rahmatal lil alamin, untuk siapa saja , dimana
saja berada dan kapan saja. Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu
menyesuaikan diri dalam kondisi apapun tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar
(substansial) dari ajaran Islam yang luhur. Hal itulah yang menyebabkan kenapa Islam
dapat berlaku selama-lamanya dan dimanapun (Al-Islamu haqqun likulli zaman wa
makan), tidak musnah termakan zaman yang senantiasa dinamis dan menuntut
perubahan.

Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan
pertumbuhan Islam pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam
masehi tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang
kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial bangsa Arab itulah yang
menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan “tegas” terutama
dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi
sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang
diberlakukan dalam masyarakat tersebut.

Untuk lebih lanjutnya makalah kami akan sedikit menguraikan kondisi masyarakat
bangsa Arab pada awal lahirnya agama Islam serta pengaruhnya terhadap hukum Islam
pada masa Nabi dan para sahabatnya. Semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran
bagi kita semua dalam rangka menambah khazanah keilmuan kita. Tiada gading yang tak
retak, mohon kritik dan sarannya demi perbaikan yang lebih baik.

PEMBAHASAN
A.Kondisi Sosial Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.Semenajung yang terletak di bagian barat
daya Asia ini. Sebagian besar permukaannya terdiri dari padang pasir. Secara iklim di
jazirah Arab amat panas, bahkan termasuk yang paling panas dan paling kering di muka
bumi ini.

Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl al-badawi dan ahl al-
hadlar. Kaum Badawi adslah penduduk padang pasir .Mereka tidak memiliki tempat
tinggal tetap, tetapi hidup secara nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ketempat
yang lain untuk mencari sumber air dan padang rumput. Mata penghidupan mereka
adalah berternak kambing, biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan masyarakat Badawi yang
nomaden tidak banyak memberikan peluang kepada mereka untuk membangun
kebudayaan. Karenanya, sejarah mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahl al-
hadlar ialah penduduk yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota atau daerah
pemukiman yang subur. Mereka hidup dari berdagang, bercocok tanam, dan industry.
Berbeda dengan masyarakat Badawi , mereka memiliki peluang yang besr untuk
membangun kebudayaan, sehingga sejarah mereka bias diketahui lebih jalas disbanding
dengan kaum Badawi.
Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa semit, yaitu keturunan Sam ibn Nuh, serumpun
dengan bangsa Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, Aram dan Habsyi. Bangsa
Arablah rumpun semit yang sekarang masih bertahan, sedangkan sebagian besar yang
lain sudah leyap dan tidak dikenal lagi.

Dalam bidang ekonomi bangsa Arab memiliki beberapa tempat mereka berkumpul untuk
melakukan taransaksi jual beli dan membaca syair. Pasr-pasar itu terletak di dekat Mekah
yang terpenting di antaranya ialah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Kabilah Quraisy
terkenal sebagai pedagang yang menguasai jalur niaga Yaman-Hijaz- Syria. Mereka juga
mendominasi perdagangan lokal dengan memanftkan kehadiran para peziarah ka’bah,
terutama pada musim haji.

Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi
keluarga besar yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya terkait oleh pertalian
darah. Akan tetapi , adakalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh
perkawinan, suaka politik atau karena sumpah setia.
Sistem politik sudah ada sejak lama. Sebelum Islam, ka’bah selalu dikunjungi oleh
bangsa Arab dari seluruh penjuru jazirah untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena
itu di Mekah berdirilah pemerintahan untuk melindungi jamaah haji dan menjamin
keslamatan dan keamanan mereka. Ditetapkan pula larangan berperangan di kota itu,
disamping larangan berperang selama bulan-bulan tertentu. Beberapa kabilah yang
pernah menguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, khuza’ah dan yang terakhir
adalah Quraisy.

B.Hukum Islam Masa Rasulullah

Pada masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22
tahun beberapa bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar
dan hasil-hasil yang gemilang. Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu :

1.Fase Rasul berada di Mekah.


Yakni selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai
waktu hijrahnya. Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya
sedikit dan masih lemah, belum merupakan suatu umat dan belum mempunyai
pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini diarahkan kepada penyebaran dakwah
ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan umat manusia dari
menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang sengaja
menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang yang
beriman kepada ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging hewan
yang disembelih atas nama berhala, melihat undian nasib dengan anak panah, zina dan
lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat yang turun di mekkah khusus menyangkut bidang
aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari sejarah ummat yang dahulu.

2.Fase Rasul berada di Madinah.


Yakni selama kira-kira10 tahun, berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya.
Selama beliau berada di Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar dibandingkan
dengan di Mekkah yang ditandai dengan banyaknya orang-orang yang beriman. Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang turun banyak mengandung hukum ‘amaliyah, baik
yang berkenaan dengan hidup individual maupun masyarakat yang dapat dipastikan
sangat memerlukan ketentuan hukum lembaga pengadilan. Islam telah terbina menjadi
umat, dan telah merupakan satu pemerintahan, media-media dakwah telah berjalan
lancar. Keadaan mendesak adanya tasyri’ dan undang-undang mengatur hubungan antar
individu satu dengan yang lainnya, selaku umat yang berkembang serta mengatur
hubungan-hubungan mereka dengan yang lain, baik di masa damai maupun perang.
Untuk ini maka disyari’atkanlah di Madinah hukum-hukum perkawinan, perceraian,
pewarisan, perjanjian hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain.

Wewenang dalam Menetapkan Hukum


Melihat situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani
oleh Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau
sendiri yang disebut hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi kesempatan
ijtihad kepada para sahabatnya, sekalipun wahyu masih ada dan masih hidup. Hal ini
dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk mengadakan hubungan dengan beliau sukar
karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa pernah terjadi pada waktu
Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal menjadi duta Islam (hakim) di
Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk mengambil inisiatif sendiri dalam
menjatuhkan vonis suatu kasus hukum, andaikan pidananya tidak terdapat dalan Al-
Quran dan Hadits.

Perlu diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat
hanya bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum (tasyri’).
Dengan pengertian bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah menjadi undang-
undang yang mengikat bagi kaum muslimin, kecuali kalau sudah mendapatkan ikrar
(legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara tidak langsung berarti Rasululloh
SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau masih hidup.

Terjadinya ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena
beliau merupakan petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang
sesudahnya untuk mengambil hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum dan
mengembalikan peristiwa-peristiwa kecil kepadanya, karena adanya persamaan sebab.
Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at tidak mencakup semua hukum yang
timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya : “Aku tinggalkan
untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu berpegang dengan
keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”

Dasar Penetapan Hokum, Sanksi dan Metodenya.


Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam penetapan atau pembinaan hukum
ada dua yakni wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW sedangkan ijtihad para sahabat pada
waktu itu tidak dapat dijadikan dasar yang mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah
SAW sendiri.

Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok dalam penetapan hukum, karena
berdasarkan pernyataan dalam Al-Quran itu diantaranya sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena
(membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ :105).

Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah
akan mengancam kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini yang tidak
mempergunakan Al-Quran sebagai pedoman hukum dengan sanksi sebagai berikut:

1.kafir: vonis pidana yang diberikannya itu merugikan orang lain dan dia sendiri benci
kepada keputusan hukum Al-Quran.
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang
Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka
dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku
dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
2.zhalim : vonis pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan
merugikan orang lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia
tidak menjatuhkan vonis pidana terhadap Al-Quran.
Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
3.fasiq : vonis pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan
orang yang bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara
pribadi mengakui Al-Quran.
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode ini adalah berdasarkan suatu
problem untuk ditentukan hukumnya. Untuk itu Rasululloh terpaksa menunggu dalam
beberapa waktu menjelang wahyu dari Allah sebagai jawaban problem yang dimaksud.
Tapi kalau ternyata wahyu yang diharapkan itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah
berijtihad sendiri ataupun bermusyawarah dengan para sahabat, dengan berorientasi
kepada kemaslahatan umum (masyarakat).

C.Hukum Islam Masa Sahabat


Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin
luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada
masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam
pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan
setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber
hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para
sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.

Para sahabat menggunakan akal (Ar-Ra’yu) dalam berijtihad untuk menentukan hukum.
Dalam menetapkan suatu hukum, para sahabat seringkali memakai metode qiyas,
istihsan, baraah ashliyah, saddudzaraai dan mashlahah mursalah. Ijtihad tidak sembarang
dipakai dalam memutuskan setiap hukum. Ijtihad hanya dipakai dalam suatu keadaan
tertentu yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunah dan
merupakan hal yang baru.

Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan ra’yu. Kebanyakan mereka mencela
ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela
apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama.
Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Salah satu contoh produk sahabat dalam menggunakan ar-Ra’yu dalam berijtihad adalah
masalah khilafah (pemerintahan). Masalah khilafah tidak ada ketentuannya dalam nash
baik al-Quran maupun Sunnah. Oleh karena itu menurut hemat kami, pendapat sebagian
kelompok yang mengatakan bahwa bentuk pemerintahan khilafah islamiyah adalah
bagian dari syariat Islam adalah salah karena hal itu merupakan hasil pemikiran manusia.
Bukan semata-mata dari nash al-Quran dan Sunnah. Dan para sabahat sendiri dalam
berijtihad tidak pernah mengatakan bahwa hasil ijtihadnya adalah yang paling benar dan
tidak pula mengharuskan orang lain untuk mengikuti pendapatnya.

Dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang lain.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran karena kebanyakan al-Quran berisi ayat-
ayat dhanni.
2. Perbedaan dalam memperoleh hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits
yang tidak sama dan pada masa itu hadits belum dibukukan.
3. Perbedaan dalam menggunakan metode pengambilan hukum karena pengaruh
lingkungan yang berbeda.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para
sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu
yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani
dalam menyikapi segala perbedaan.

Pergolakan Politik dan Pengaruhnya terhadap Hukum Islam


Pada masa sahabat telah terjadi pergolakan politik yang berkisar penentuan khalifah.
Setelah khalifah Ustman bin Affan terbunuh, naiklah Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah. Naiknya Ali ini ditentang oleh Muawiyah bin Abi Sofyan yang juga berambisi
menjadi pemimpin. Maka terjadilah pertempuran di antara keduanya dan berakhir pada
peristiwa tahkim. Perpecahan inilah yang menyebabkan umat Islam kala itu terbagi
menjadi tiga kubu, yakni Khawarij, Syiah dan Ahlussunah wal Jama’ah.

Khawarij adalah golongan yang membenci baik itu Usman, Ali maupun Muawiyah
karena ketiganya dianggap yang telah membuat umat Islam bercerai-berai. Dengan
demikian golongan ini tidak mau memakai hadits yang diriwayatkan oleh ketiga sahabat
ini. Mereka hanya menerima dari golongan imam mereka sendiri.
Golongan Syiah adalah kelompok yang sangat fanatic terhadap Ali dan keturunannya.
Mereka beranggapan bahwa yang paling berhak menjadi khalifah adalah Ali dan
keturunannya. Oleh karena itu mereka tidak mau menerima periwayatan hadits dari
sahabat lainnya. Mereka hanya menerima hadits yang bersumber dari Ali dan imam-
imam mereka.

Sedangkan golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah ialah golongan yang tidak berpihak pada
Khawarij maupun Syiah. Golongan ini mau menerima periwayatan hadits dari semua
sahabat asalkan memiliki kualitas hadits shahih.

Ketiga golongan inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mengaplikasikan


hukum Islam di kalangan umat Islam sampai saat ini. Dengan demikian, dampak politik
ternyata mampu mempengaruhi pelaksanaan hukum Islam dalam suatu kelompok.

PENUTUP

Dari makalah ini dapat kita tarik kesimpulan:


1. Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul dan sahabat adalah terdiri dari
berbagai kabilah-kabilah dan suku. Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di
perkotaan dan ada pula yang hidup di pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota
mayoritas mata pencahariannya dengan berdagang ke luar kota dan menjualnya di
daerahnya. Sedangkan masyarakat desa hidup dengan berladang dan berternak hewan.
Biasanya masyarakat kota lebih maju dan kuat dibandingkan pedesaan baik dari segi
kekuasaan (politik), kesejahteraan, maupun peradaban.
2. Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami perkembangan yang signifikan.
Sumber hukum yang menjadi titik acuan adalah al-Quran. Apabila terdapat persoalan
yang tidak memiliki dasar hukum dalam al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara
langsung dan ijtihad beliau dijadikan sebagi landasan hukum bagi umat Islam pada masa
itu.
3. Pengaruh-pengaruh hukum Islam yang ditinggalkan pada masa sahabat antara lain:
a. Adanya penjelasan (syarah) perundang-undangan bagi nash-nash hukum baik dalam al-
Quran maupun Hadits
b. Adanya banyak fatwa-fatwa yang dikeluarkan sahabat terhadap peristiwa yang tidak
ada nash hukumnya dalam al-Quran dan Hadits
c. Mulai timbulnya perpecahan berbagai golongan politik yang kemudian merembet
dalam masalah keagamaan yang berpengaruh dalam perundang-undangan Islam.

*Makalah ini disusun oleh Ali Murtadlo (dalam salah satu tugas kuliah)
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Fajr Al Islam, (Singapura-Kota Baru-Penang: Sulaimanmar’I), 1965.


Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang), 1971.
Bik, Hudhari. Tarjamah Tarikh Tasyrik: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang:
Darul Ikhya), 1980.
Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-
Mutawassith, (Beirut: Dar al kutub), 1966.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.
Haris, Gusnam dkk. Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: UIN Press).
Muhammad, Noor-Matdawam. Dinamaika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Dan
Perkembangannya, cet.pertama. (Yogyakarta: Bina Karier), 1985.
Mushaf Al-Quran.
Wahhab, Khalaf Abdul. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam, cet. Pertama, (Yogyakarta: Dua
Dimensi), 1985.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),1993.

Anda mungkin juga menyukai