Anda di halaman 1dari 5

Kekerasan dan Konflik Massa dalam Analisis Sosiologi

Secara alamiah, manusia memang memiliki naluri untuk hidup bersama-sama


dengan manusia lainnya. Dorongan mendasar yang melahirkan naluri untuk hidup
bersama-sama itu adalah karena manusia harus memenuhi sebagian besar
kebutuhan hidupnya yang sangat tidak mungkin akan dipenuhi, ketika manusia
tidak hidup berkelompok. Sosiologi kemudian mengidentifikasi manusia yang
berkelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan dorongan pemecahan
kebutuhan hidup yang asasi itu sebagai masyarakat. Meskipun begitu, menyebut
masyarakat bukan tidak mengandung problematika. Menyebut masyarakat,
setidaknya ada dua asumsi yang muncul. Asumsi pertama adalah sebuah
komunitas yang terdiri dari orang-orang atau individu-individu. Karena sangat tidak
mungkin akan terbentuk sebuah masyarakat ketika tidak ada orang-orang atau
individu-individu. Tanpa sejumlah orang tertentu yang dapat disebut sebagai
masyarakat, beberapa keluarga mungkin akan menjadi jumlah minimal yang dapat
dianggap setiap orang sebagai jumlah yang mencukupi untuk membentuk sebuah
masyarakat kecil.[1]

Tetapi sekumpulan orang saja tanpa memenuhi persyaratan tertentu tidak bisa
disebut sebagai masyarakat. Untuk memenuhi syarat sebagai sebuah masyarakat,
para individu harus berinteraksi dengan cara tertentu. Ketika orang tidak bisa
berkomunikasi satu sama lain, atau ketika sekelompok orang selalu terlibat dalam
pertempuran yang agresif dan tiada henti, sehingga interaksi yang mereka lakukan
tidak lagi bersifat sosial, maka sebesar apapun individu yang berkelompok itu tidak
dapat disebut sebagai masyarakat.[2] Karena satu syarat mutlak yang mesti ada
dalam sebuah masyarakat adalah hubungan sosial yang didefinisikan sebagai
interaksi-interaksi yang bersifat teratur dan mencakup kesadaran timbal balik dan
komunikasi simbolis. Singkat kata, menurut Hobbes, masyarakat adalah
seperangkat cara bertingkah laku yang saling terkait yang sebelumnya telah ada,
yang menyatu ke dalam tingkah laku dan psikologi manusia individual dan
mengontrol semua masyarakat yang khas dan bersifat manusiawi dalam diri
mereka. [3]

Asumsi kedua adalah dalam sekelompok masyarakat yang terdiri atas orang-orang
itu, dengan sendirinya merupakan susunan atau kumpulan dari sejumlah
kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda. Idealnya, interaksi sosial di
antara kepentingan, identitas dan dorongan yang berbeda itu akan melahirkan
ketergantungan di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat, sehingga,
teoretis, sikap saling ketergantungan itu akan melahirkan harmoni. Tetapi, dalam
kondisi semacam ini, harmoni justru seringkali susah dicapai. Kendala utamanya
adalah ketika identitas, kepentingan dan dorongan yang berbeda itu bergesek satu
sama lain untuk mendapat wilayah pengakuannya di tengah masyarakat. Ketika
perang kepentingan itu terjadi, maka hampir dapat dipastikan bahwa konflik akan
segera pecah.
Benih-benih Konflik

Para penganut teori fungsionalisme struktural menyakini bahwa faktor-faktor yang


memicu konflik umumnya lahir di luar komponen masyarakat, karena masyarakat
sebagai sebuah sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas
atau equilibrium yang dibangun di atas konsensus anggota masyarakat akan nilai-
nilai umum tertentu.[4] Akibatnya, para penganut teori ini cenderung apologetik
dalam melihat dinamika internal dalam masyarakat. Apologi itu bisa diidentifikasi
dalam beberapa pengabaian kelompok fungsionalis struktural terhadap sejumlah
kondisi sosial, yaitu: (a) setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri mengandung
konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, yang pada
gilirannya justru akan menjadi sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial;
(b) reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan dari luar (extra-system change)
tidak selalu bersifat adjustive (penyesuaian); (c) suatu sistem sosial, dalam waktu
yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat vicious
circle; (d) perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui
penyesuaian-penyesuaian yang lunak (soft adjustive), akan tetapi dapat juga terjadi
secara revolusioner.[5]

Pengabaian ini secara kontras berhadap-hadapan dengan teori konflik Marxian yang
meyakini masyarakat manusia sebagai proses perkembangan yang akan meyudahi
konflik dengan konflik. Paradigma konfliktual Marx dalam memandang masyarakat
manusia ini didasarkan pada pembagian kelas yang secara intrinsik merupakan
‘’legitimasi’’ atas terjadinya konflik sosial. Bahkan Marx mengidentifikasi
pertentangan di antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat itu sebagai engine bagi
terjadinya perubahan sosial (social change).[6] Kelas sosial oleh Marx didefinisikan
sebagai pemilikan terhadap barang-barang (property). Pemilikian semacam inilah
yang mendorong seseorang dengan kekuatannya untuk mengeluarkan orang lain
dari kepemilikan dan menggunakan kepemilikannya itu untuk tujuan-tujuan pribadi.
Berkaitan dengan pemilikan, ada tiga kelas sosial besar dalam masyarakat yang
diintrodusir oleh Marx, yaitu: Kelas Borjuis (yang menguasai sarana produksi dan
sumber pendapatannya berasal dari laba); Kelas Pemilik Tanah (Landowners), yang
berpenghasilan dari sewa dan Kelas Proletar atau buruh yang hanya memiliki
tenaga (labor) dan menjual tenaganya itu untuk mendapatkan upah. Kelas sosial,
bagi Marx, dibedakan oleh oleh pemilikan sumber dan sarana-saran produksi dan
bukan oleh pendapatan atau status. Hubungan antara kelas borjuis sebagai pemilik
modal dan sarana-sarana produksi dan kelas buruh bersifat sangat eksploitatif.
Pemerasan tenaga buruh yang tidak diimbangi dengan perhatian terhadap
kesejahteraan mereka menyebabkan terjadinya pemiskinan massal. Tapi,
eksploitasi besar-besaran terhadap buruh itu pada gilirannya akan melahirkan
proses over production (produksi yang berlebih) yang tidak seimbang dengan daya
beli masyarakat. Pada saat itulah masyarakat kapitalis akan runtuh. Keruntuhan
kelas pemilik modal, secara simultan akan diikuti dengan bangkitnya kelas proletar
untuk merebut faktor-faktor produksi sebagai jalan untuk melakukan perubahan
ekonomi besar-besaran. Klimaksnya, terjadilah suatu masa yang oleh Marx disebut
sebagai revolusi sosialis.[7]

Lalu bagaimanakah dengan kondisi masyarakat dunia kontemporer saat ini pasca
ramalan Marx tersebut? Ternyata dalam banyak hal revolusi sosialis yang diyakini
oleh Marx akan terjadi itu tidak pernah terwujud. Bahkan yang muncul ke
permukaan adalah bangkrutnya ideologi sosialisme yang seolah-olah tidak berdaya
di hadapan hegemoni ideologi kapitalisme. Berbarengan dengan bangkrutnya
sosialisme di berbagai belahan dunia, lahir pula sejumlah paradoks yang secara
universal terjadi di beberapa belahan dunia. Di satu sisi, kita menyaksikan adanya
upaya-upaya maupun proses penyatuan, standarisasi, bahkan unifikasi dan
uniformasasi dan sekaligus sentralisasi pada level global aspek-aspek budaya,
sosial, ekonomi dan politik. Berbagai satuan ekonomi dan politik yang dulu
diandaikan sebagai ‘’batas-batas absah’’ dari sebuah negara bangsa dan batas-
batas imajiner dari kekuasaan nasionalisme[8] kini telah runtuh oleh satu
gelombang besar baru yang bernama globalisasi. Di tengah upaya itu, berbagai
fenomena upaya pemisahan diri dari berbagai wilayah dari negara kesatuan justru
menampakkan eskalasinya. Keinginan untuk melepaskan diri dari wilayah kesatuan
ini, ada kalanya muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan (dissatisfaction)
terhadap pemerintahan pusat yang dianggap diskriminatif dalam mendistribusikan
hak-hak politik dan ekonomi mereka. Tetapi pada saat yang lain, fenomena
disintegrasi itu merupakan refleksi dari pertarungan kepentingan yang saling
berlawanan antara satu kelompok kepentingan dengan kelompok kepentingan
lainnya, sehingga mereka selalu berada dalam situasi konflik. Lebih khusus, konflik
itu lahir sebagai akibat dari terbatasnya distribusi otoritas dalam masyarakat.[9]
Konsekwensinya, bertambahnya otoritas satu pihak, berarti berkurangnya otoritas
pihak yang lain. Jika kontradiksi kepentingan itu tidak bisa dikendalikan, maka
konflik kepentingan itu akan berwujud ke dalam kekerasan (violence).

Dinamika Konflik

Di banyak negara Dunia Ketiga yang tengah mengalami masa transisi demokrasi,
kekerasan massa umumnya menjadi fenomena yang lazim ditemui. Sangat bisa
difahami bahwa peralihan dari pemerintahan otoritarian kepada pemerintahan
demokrasi dalam banyak kasus, tidak hanya mengakibatkan munculnya
pscychological shock tetapi juga culture shock. Dalam kondisi semacam ini masing-
masing pihak mengklaim sebagai komunitas yang paling berhak terhadap akses
sumber-sumber negara. Lagi-lagi, di sinilah kepentingan yang saling kontradiktif itu
kembali terjadi. Klaim sebagai pihak yang paling otoritatif terhadap sumber-sumber
negara dan wilayah publik itu diperparah dengan pemahaman tentang kebebasan
baru yang sangat sepihak dan subyektif. Sehingga apa yang oleh satu kelompok
dianggap sebagai satu kebebasan, oleh kelompok lain justru dianggap sebagai
‘’ancaman.’’

Lebih khusus lagi, wilayah-wilayah sosial yang rawan konflik itu adalah wilayah
agama, kepentingan dan identitas primordial. Atau tidak jarang, kombinasi dari
ketiganya merupakan faktor yang memicu lahirnya konflik dan kekerasan sosial.
Tetapi para pengamat membagi tingkat sensitivitas wilayah itu secara sederhana.
Bahwa yang paling rawan konflik adalah wilayah agama dan etnis. Dalam sosiologi
konflik seringkali disebutkan bahwa sepanjang pertentangan yang terjadi itu
menyangkut kepentingan (interest) masih sangat mungkin dicarikan jalan
keluarnya. Tetapi ketika menyangkut identitas, baik agama maupun etnisitas,
pemecahannya menjadi sangat sulit dilakukan. Berbagai aksi kerusuhan massa
yang melibatkan berbagai suku di tanah air akhir-akhir ini, tampil sebagai contoh
yang cukup baik.

Meskipun perbedaan etnis tidak harus selalu dimaknai sebagai jalan bagi
munculnya open conflict, tetapi fakta membuktikan bahwa konflik etnis adalah
model konflik yang paling sering terjadi. Dede Oetomo menengarai hal ini sebagai
akibat dari simplifikasi yang ketat terhadap identitas primordial.[10] Di samping itu,
hidup dalam perbedaan etnis mengandung pengertian bahwa orang lain (others)
tidak hanya sulit diatur, tetapi mereka seringkali menyebabkan kekerasan,
menciptakan instabilitas yang luas bahkan mendorong penghilangan nyawa.[11]
Meskipun konflik etnis lahir secara spontan dan sporadis, namun menyelesaikannya
memerlukan kebijakan politik. United Nation Research Institution for Social
Development (Unrisd), dalam sebuah publikasi hasil penelitiannya membagi konflik
etnis ke dalam empat kategori atau kombinasi darinya, yaitu: Gerakan Separatis,
Perlawanan Penduduk Pribumi, Perebutan terhadap Sumber-sumber Negara dan
Hak-hak Minoritas.

Gerakan Separatis

Konflik etnis dalam wujud gerakan separatis dapat dikelompokkan ke dalam dua
bentuk: pemisahan diri dari wilayah negara dan otonomi internal. Apa yang
menentukan pilihan suatu kelompok tidak selalu jelas. Seperti kasus Sudan People’s
Liberation Army (SPLA) dan Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE). Penduduk Sudan
Selatan dan Kelompok Tamil di Sri Lanka menghadapi tipe diskriminasi yang serupa
dari kelompok dominan di kedua negara itu. Arab di Sudan dan Sinhala di Sri Lanka.
Penduduk Sudan Selatan berjuang melawan Arabisasi, Islamisasi, kontrol yang
terlalu ketat pada tanah dan sumber-sumber kekayaan alam dan diskriminasi pada
sektor-sektor publik. Gerakan Pembebasan Macan Tamil Eelam juga meraskan
peperangan yang sangat getir melawan pemaksaan penggunaan bahasa Sinhala
sebagai bahasa resmi di Sri Lanka, pengangkatan Budha sebagai agama resmi
negara dan diskriminasi kesempatan belajar, alokasi pekerjaan serta pengangkatan
pemerintahan. Menghadapi keadaan-keadaan ini, SPLA berjuang untuk
mendapatkan otonomi dan reformasi dari negara pusat dan tidak memilih
pemisahan diri. Sementara LTTE, di sisi lain, tidak menaruh kompromi pada
tuntutannya untuk memisahkan diri dari negara pusat dan mendirikan negara
Tamil. Syarat utama gerakan separatisme adalah adanya wilayah yang oleh
kelompok yang dirugikan dapat diklaim sebagai miliknya dan dapat dipertahankan.

Contoh partikular adanya gejolak di beberapa negara kita untuk memisahkan diri
dari pemerintahan yang syah, dalam beberapa hal mengikuti pola ini. Dominasi
pemerintahan pusat atau suku Jawa dalam mengakses aset-aset politik, ekonomi
dan sektor-sektor publik lainnya menjadi trigger factor lahirnya gerakan separatis
dalam satu negara kesatuan. Dalam konteks inilah, barangkali benar analisa sejarah
yang dilontarkan oleh Lombard bahwa ‘’Jawa’’ adalah ‘’inti dari ruang geopolitik’’
dari bangunan negara bangsa yang saat ini kita kenal sebagai bangsa Indonesia.
[12]

Anda mungkin juga menyukai