Anda di halaman 1dari 3

Agama Sebagai “Buah” Kuasa

Oleh: Asep Kalamullah*

Gairah sipiritualitas agama akhir-akhir ini mengalami titik kejumudan, stagnasi dan
kehancuran. Dalam interaksi beragama, ekpresi dan ekplorasi personal tertuang dalam lingkar
obyektifitas. Jika ruang spiritual, berfikir, dan kehendak personal berinteraksi dengan publik,
justru jeruji hukum normative atau positif negara senantiasa mengkotak-kotak dimensi
personalitas.
Padahal, agama (Dien) mengandung makna penyandaran, rohaniyah, spiritualitas, dan
kehendak. Kandungan subyek-transendent adalah spirituality emotions, yang diekplorasi dari
spirit dogma dan budaya. Sehingga ada pola kontradiksi, penyelarasan, dan pemilahan dalam
beragama.
Kendati ruang ide memiliki potensi dalam melahirkan karakter ekplorasi rohaniyah
yang sesuai dengan kehendak (will). Sedangkan karakter ekplorasi senantiasa merefleksikan
hukm fiqh. Alhasil agama, memiliki wilayah operasional sendiri, dan merupakan manifestasi
teks agama (Qur’an, hadist, dll.). Sederhananya, doktrin agama, baik teks Qur’an maupun
Hadist, menjadi jembatan dalam Dien (penyandaran).
Kembali pada interaksi subyek dengan publik, yang nota bene memiliki multi dimensi
dan komplektifitas. Perlu diketahui, ruang publik merupakan bentuk narasi dari sebuah
pengetahuan, ideology dan kepentingan. Disusun secara sistematis, dan hegemonic. Bukan
lantas dipandang sebagai hal yang given, dan natural. Sebaliknya, ruang publik merupakan
desain kontruksi dominasi kekuatan social (power social) dan memiliki relasi kuasa. Kendati
demikian, tatkala ditarik, ruang privasi-subyek (kaum beragama) harus tempur dengan ruang
publik tersebut.
Dalam rangka kontak privasi-subyek dengan ruang publik. Dominasi kekuatan social
menciptakan kontrol, yang berupaya mengkondisikan kekuatan-kekuatan subyek tersebut.
Inilah kontrol kuasa yang dilembagakan. Tipikal kontrol demikian melahirkan beberapa
lembaga yang mengurusi soal agama. Negara dalam konteks ini juga melegitimasi kekuatan,
peran dan fungsi institusi ini.
Sehingga pentas teater kuasa disini dimulai, dan subyek menemukan jati dirinya.
Lembaga ini menciptakan kodifikasi hubungan beragama; etik dan norma. Akhirnya jeruji
hukum normative maupun hukum positif melingkari kebebasan personal tersebut.
Oleh karena itu, term agama sebagai sesuatu yang terlembagakan menjadi intrumen
melanggengkan kepentingan (interest), juga ideology negara. Ini dijadikan sebagai strategi
mengatur, penyelaras, dan kontrol agama yang berdomisili. Tatkala demikian, agama adalah
ruang pengalaman (empirik) subyek, menjadi wahana normative formal yang diacak-acak dan
negara melegitimasi.
Padahal, selain sebagai spiritual empiris, agama juga representasi idea manusia yang
mencoba menafsirkan kekuatan lain, yakni Tuhan. Secara subyektif, yang dianggap benar dan
sah. Agama dijadikan sebagai medium mengabsakan jalinan hubungan transcendental, yakni
manusia dengan tuhan.
Inilah ironisnya, ketika kekuatan dan kepentingan harus dilegitimasi agama. Spirit
agama (transcendental) menekankan spiritualis, personalitas dan kehendak ini mulai terkikis.
Agama terjebak dalam jaring pragmatisme dan menyingkirkan nilai subtansinya.
Misalnya saja, untuk memiliki kartu tanda penduduk, masyarakat harus
menyantumkan keyakinannya. Akhirnya, kualitas beragama terkikis oleh pragmatisme
realitas social.
Berangkat dari fenomena tersebut. Kontribusi besar agama dalam perkembangan
peradaban manusia (horizontal line) tidak berjalan dengan sesuai harapan, yaitu ramah,
humanis, dan personal. Sebaliknya, agama memiliki potensi yang kerap kali melahirkan
pertentangan, konfrontasi, interest dan konflik.
Maka tak heran tatkala agama menjadi pupuk pelbagai tragedy kemanusiaan. Agama
dijadikan sebagai mesin untuk memompa spirit penghancuran, pembunuhan dan bahkan
genoside. Sensitive agama dalam melahirkan kehancuran peradaban inilah yang
menghancurkan agama itu sendiri. Dalam rangka ini Frans Magnis Suseno mengatakan
“seharusnya dalam abad 21 ini agama lebih humanis kalau masih ingin memiliki pengikut”
*******
Kecendrungan umat muslim di Indonesia hanya memahami agama –dalam hal ini
Islam- hanya sebatas simbolik (religius symbolic), tampa harus memperhatikan makna
hakikat, subtansi dan esensinya. Hal demikian pernah disinyalir oleh Nur Kolis Majid, bahwa
orang islam di negeri ini hanya memahami agama dari prekspektif simbolik. Bahwa orang
yang memakai sorban, kopyah putih, berjenggot, dan berjubah merupakan representasi iman.
Pada awalnya persoalan agama adalah bersifat personal-individual, agama adalah
suatu pribadi yang melibatkan akal, perasaan dan kehendak. Selanjutnya persoalan subyektif-
personal ini kemudian dimiliki secara obyektif oleh masyarakat dan diakumulasi oleh realitas
social. Artinya, agama berawal dari proses kognisi pertama dan selanjutnya sampai pada
tahap obyektif yang di legitimasi oleh kondisi realitas sosial dan masyarakat.
Bangunan realitas social tersebutlah yang mempolarisasi dan membombardir agama,
pertarungan entitas agama dengan entitas realitas social merupakan awal panca roba dan carut
marut. Urusan agama tidak lagi steril murni agama, akan tetapi telah dicemari oleh entitas
lain (politik, hukum, norma, moral, kultur dan ekonomi).
Akhirnya, Persoalan agama masuk dalam ruang normative, positive dan pragmatis.
Sehingga demikian ini berpotensi pada ruang-ruang konflik intersubyektif dan gairah untuk
mengedepankan sipiritualitas, kehendak, dan rasa semakin runyam dan sulit untuk dideteksi.
Tumpang tindih tersebutlah yang pada gilirannya memutuskan makna dan hakikat agama.
Ruang sinergi subyek agama (homo relegius) kontak langsung dengan bangunan
obyektifitas (reality society) yang di topang oleh kekuatan hukum personal-konvensional
(normative) dan kekuatan hukum positif. Sehingga Ruang agama tidak lagi menjadi persoalan
subyektif-individual, akan tetapi ini masalah bersama (kolektif), sentralistik, dogmatic, dan
pragmatic.
Bangunan berfikir, kehendak dan perasaan dalam agama telah larut dalam sebuah
tabulasi social yang beranekaragam. Kendati Tarik ulur subyek beragama (homo religius)
akan terus terjadi dan bersinergi selama ruang kontak social selalu mampertentangkan
persoalan agama dan realitas social konkrit. Maka persoalan agama bukan lagi manjadi
persoalan privat otonom subyek, tetapi ini sudah menjadi persoalan yang obyektif, kolektif,
dan sentralistik yang di akumulasi oleh realitas social.
*******
Sejak pengkapan Polres Malang terhadap pimpinan pesantren I’tikaf Jama’ah Ngadi
Lelaku Lawang kabupaten Malang Muhammad Yusman Roy berkenaan ajarannya yang
dianggap sesat karena menganjurkan sholat dengan menyisipkan bahasa Indonesia sangat
menarik perhatian untuk ditelaah secara kritis. Apakah ini betanda ruang agama telah
dicemari oleh ruang lain (trans Religius) seperti yang dipaparkan di atas.
Berkaitan dengan penangkapan Yusman Roy dsebagai tersangka penodaan agama
karena telah mengajarkan dan melakukan sholat dngan menyisipkan bahasa Indonesia.
Penangkapan tersebut merupakan lanjutan dari laporan MUI Malang yang menganggap
ajaran tersebut adalah aliran sesat. Ironisnya Yusman Roy ditutut dengan hukuman “Mati”.
Sebenarnaya apa yang telah di alami Yusman Roy (Gus Roy Red.) sama
halnya yang terjadi dengan Ulil Abshor Abdalah. Dengan tuduhan pencemaran dan penodaan
agama tokoh muda tersebut sempat pula dihalalkan darahnya. Kasus ini sebenarnya memiliki
kesamaan dan kemiripan.
Fenomena tersebut sesuai dengan John Dewey, tokoh pragmatis Amerika menyatakan
embrio dari kecemasan dan depresi agama (religius) akibat dari asumsi agama dianggap
sebagai kualitas hidup, dan akibat dari beratnya beban historie agama. Ruang ekplorasi dan
ekpresi terbebani oleh banyaknya nilai, moral dan aturan-aturan yang lahir dari sejarah,
bukan dari pengalaman (religius Empirik) (Haniah: 2001)
Agama merupakan aspek kognitif yang pada gilirannya terealisasi menjadi aspek
psikomotorik adalah spiritual, privat dan kehendak, yang diikat oleh dasar-dasar empirik
subyek (empirik subyek religius). Demikian ini menguatkan bangunan kenyakinan yang
dihasilkan dari proses pengalaman religius, bukan sebagai beban sejarah agama (historie
religius) yang mau tidak mau harus dilakasanakan. Baik itu berupa prodak hukum, aturan-
aturan, maupun perangkatnya.
Dan apa yang dialami, dilaksanakan Yusman Roy merupakan bagian dari religius
empirik. Ranah kognisi dan bangunan keyakina yang menjadi prioritas dalam spiritualitas
yang melalui tahap dan proses empirik tersebut. Sebaliknya, Yusman Roy merupakan figure
yang tidak ingin menanggung berat sejarah (historie religius) berikut produk-produknya, dan
menegasikan aspek kognisi dalam realisasi spiritualnya.
Terbukti. Dalam kasus inim yusman roy menjadikan agama tidak sebagai diskursus
yang diotak-atik sesuai dengan kebutuhan dan selanjutnya di reformulasi sesuai dengan
kapasitas manusia. Sebaliknya, Yusman Roy merupakan sebagian orang yang melakukan
Trangresi yang didasarkan pada aspek empirik, dan ini dalam proses yang cukup panjang.
Sungguh tidak beralasan manakala apa yang dilaksanakan oleh Yusman Roy dengan
mencantumkan bahasa Indonesia dalam sholat dituduh sebagai penodaan agama. Ironisnya,
dengan spirit pasal 156 ayat a KUHP tentang penodaan agama pihak intitusi negara (polisi
maupun MUI) menangkap sekaligus menahan.
Alhasil, term agama semakin jauh dari tujuan awal dan akirnya agama mengalami
disorientasi, dan disposisi. Sebab, ruang agama yang menekankan aspek empirik (religius
empirik) telah diacak-acak oleh aturan-aturan ektern (hukum negara maupun normative) yang
akhirnya dalam kerangka ini agama mengalami kujumudan, depresi, dan stagnasi.

*penjahat yang menjadi buronan polisi sejak tahun 1986

Anda mungkin juga menyukai