Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MUSCULO SCELETAL

MEKANISME PENYEMBUHAN PATAH TULANG

OLEH

KHAIRINNISA SEP HRP

0710070100153

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2010
TULANG
Tulang adalah jaringan yang tersusun oleh sel dan didominasi oleh matrix kolagen ekstraselular
(type I collagen) yang disebut sebagai osteoid. Osteoid ini termineralisasi oleh deposit kalsium
hydroxyapatite, sehingga tulang menjadi kaku dan kuat.

 STRUKTUR MAKROSKOPIK

Pada potongan tulang terdapat 2 macam struktur :

1. Substantia spongiosa (berongga)


2. Substantia compacta (padat)

Bagian diaphysis tulang panjang yang berbentuk sebagai pipa dindingnya merupakan
tulang padat, sedang ujung-ujungnya sebagian besar merupakan tulang berongga yang dilapisi
oleh tulang padat yang tipis. Ruangan dari tulang berongga saling berhubungan dan juga dengan
rongga sumsum tulang.

 SEL – SEL PADA TULANG

 Osteoblast : yang mensintesis dan menjadi perantara mineralisasi osteoid. Osteoblast


ditemukan dalam satu lapisan pada permukaan jaringan tulang sebagai sel berbentuk
kuboid atau silindris pendek yang saling berhubungan melalui tonjolan-tonjolan
pendek.
 Osteosit : merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Mempunyai
peranan penting dalam pembentukan matriks tulang dengan cara membantu
pemberian nutrisi pada tulang.
 Osteoklas : sel fagosit yang mempunyai kemampuan mengikis tulang dan merupakan
bagian yang penting. Mampu memperbaiki tulang bersama osteoblast. Osteoklas ini
berasal dari deretan sel monosit makrofag.
 Sel osteoprogenitor : merupakan sel mesenchimal primitive yang menghasilkan
osteoblast selama pertumbuhan tulang dan osteosit pada permukaan dalam jaringan
tulang.
 JENIS JARINGAN TULANG

Secara histologis tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama, yaitu :


1. Jaringan Tulang Primer
Jaringan tulang ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai woven bone.
Merupakan komponen muda yang tersusun dari serat kolagen yang tidak teratur pada
osteoid. Woven bone terbentuk pada saat osteoblast membentuk osteoid secara cepat
seperti pada pembentukan tulang bayi dan pada dewasa ketika terjadi pembentukan
susunan tulang baru akibat keadaan patologis.
Ciri lain untuk jaringan tulang primer, yaitu sedikitnya kandungan garam mineral
sehingga mudah ditembus oleh sinar-X dan lebih banyak jumlah osteosit kalau
dibandingkan dengan jaringan tulang sekunder.
Jaringan tulang primer akhirnya akan mengalami remodeling menjadi tulang
sekunder (lamellar bone) yang secara fisik lebih kuat dan resilien. Karena itu pada tulang
orang dewasa yang sehat hanya terdapat lamella saja.

2. Jaringan Tulang Sekunder


Dikenal juga sebagai lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari
ikatan paralel kolagen yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri khasnya :
serabut-serabut kolagen yang tersusun dalam lamellae(lapisan) setebal 3-7μm yang
sejajar satu sama lain dan melingkari konsentris saluran di tengah yang dinamakan
Canalis Haversi. Dalam Canalis Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf dan
diisi oleh jaringan pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai Systema
Haversi atau osteon.

Sel-sel tulang yang dinamakan osteosit berada di antara lamellae atau kadang-
kadang di dalam lamella. Di dalam setiap lamella, serabut-serabut kolagen berjalan
sejajar secara spiral meliliti sumbu osteon, tetapi serabut-serabut kolagen yang berada
dalam lamellae di dekatnya arahnya menyilang.
Di antara masing-masing osteon seringkali terdapat substansi amorf yang
merupakan bahan perekat.Susunan lamellae dalam diaphysis mempunyai pola sebagai
berikut :
 Tersusun konsentris membentuk osteon.
 Lamellae yang tidak tersusun konsentris membentuk systema interstitialis.
 Lamellae yang malingkari pada permukaan luar membentuk lamellae
circumferentialis externa.
 Lamellae yang melingkari pada permukaan dalam membentuk lamellae
circumferentialis interna.

 MATRIKS TULANG

Bahan anorganik merupakan sekitar 50 % berat kering matrik tulang. Kalsium dan fosfor
sangat banyak, tetapi bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium dan natrium juga ditemukan.

Bahan organik terdiri dari serabut kolagen (95 %) dan zat dasar amort, yang mengandung
glikosamaniglikan yang berhubungan dengann protein. Karena tingginya kandungan kolagen,
matrik tulang yang mengalami dekalsifikasi mengikat secara selektif zat warna untuk serabut
kolagen.

 PERIOSTEUM
Bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh jaringan pengikat padat fibrosa yang
mengandung sedikit sel. Pembuluh darah yang terdapat di bagian periosteum luar akan
bercabang-cabang dan menembus ke bagian dalam periosteum yang selanjutnya sampai ke
dalam Canalis Volkmanni. Bagian dalam periosteum ini disebut pula lapisan osteogenik
karena memiliki potensi membentuk tulang. Oleh karena itu lapisan osteogenik sangat
penting dalam proses penyembuhan tulang. Periosteum dapat melekat pada jaringan tulang
karena :
 Pembuluh-pembuluh darah yang masuk ke dalam tulang.
 Terdapat serabut Sharpey ( serat kolagen ) yang masuk ke dalam tulang.
 Terdapat serabut elastis yang tidak sebanyak serabut Sharpey.
 ENDOSTEUM
Endosteum merupakan lapisan sel-sel berbentuk gepeng yang membatasi rongga sumsum
tulang dan melanjutkan diri ke seluruh rongga-rongga dalam jaringan tulang termasuk
Canalis Haversi dan Canalis Volkmanni. Sebenarnya endosteum berasal dari jaringan
sumsum tulang yang berubah potensinya menjadi osteogenik.

 PERTUMBUHAN TULANG
Perkembangan tulang pada embrio terjadi melalui dua cara, yaitu :
 Osteogenesis Desmalis
Nama lain dari penulangan ini yaitu Osteogenesis intramembranosa, karena terjadinya
dalam membrane jaringan. Tulang yang terbentuk selanjutnya dinamakan tulang desmal. Yang
mengalami penulangan desmal ini yaitu tulang atap tengkorak.

Mula-mula jaringan mesenkhim mengalami kondensasi menjadi lembaran jaringan


pengikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Sel-sel mesenkhimal saling berhubungan
melalui tonjolan-tonjolannya. Dalam substansi interselulernya terbentuk serabut-serabut kolagen
halus yang terpendam dalam substansi dasar yang sangat padat. Tanda-tanda pertama yang dapat
dilihat adanya pembentukan tulang yaitu matriks yang terwarna eosinofil di antara 2 pembuluh
darah yang berdekatan.

Pada proses awal ini, sel-sel mesenkhim berdiferensiasi menjadi osteoblas yang memulai
sintesis dan sekresi osteoid. Osteoid kemudian bertambah sehingga berbentuk lempeng-lempeng
atau trabekulae yang tebal. Sementara itu berlangsung pula sekresi molekul-molekul
tropokolagen yang akan membentuk kolagen dan sekresi glikoprotein.

Sesudah berlangsungnya sekresi oleh osteoblas tersebut disusul oleh proses pengendapan
garam kalsium fosfat pada sebagian dari matriksnya sehingga bersisa sebagai selapis tipis
matriks osteoid sekeliling osteoblas. Dengan menebalnya trabekula, beberapa osteoblas akan
terbenam dalam matriks yang mengapur sehingga sel tersebut dinamakan osteosit. Osteoblas
yang telah berubah menjadi osteosit akan diganti kedudukannya oleh sel-sel jaringan pengikat di
sekitarnya. Dengan berlanjutnya perubahan osteoblas menjadi osteosit maka trabekulae makin
menebal, sehingga jaringan pengikat yang memisahkan makin menipis. Pada bagian yang
nantinya akan menjadi tulang padat, rongga yang memisahkan trabekulae sangat sempit,
sebaliknya pada bagian yang nantinya akan menjadi tulang berongga, jaingan pengikat yang
masih ada akan berubah menjadi sumsum tulang yang akan menghasilkan sel-sel darah.
Sementara itu, sel-sel osteoprogenitor pada permukaan Pusat penulangan mengalami mitosis
untuk memproduksi osteoblas lebih lanjut.

 Osteogenesis Enchondralis.
Awal dari penulangan enkhondralis ditandai oleh pembesaran khondrosit di tengah-
tengah diaphysis yang dinamakan sebagai pusat penulangan primer. Sel – sel khondrosit di
daerah pusat penulangan primer mengalami hypertrophy, sehingga matriks kartilago akan
terdesak mejadi sekat – sekat tipis. Dalam sitoplasma khondrosit terdapat penimbunan glikogen.
Pada saat ini matriks kartilago siap menerima pengendapan garam – garam kalsium yang pada
gilirannya akan membawa kemunduran sel – sel kartilago yang terperangkap karena terganggu
nutrisinya. Kemunduran sel – sel tersebut akan berakhir dengan kematian., sehingga rongga –
rongga yang saling berhubungan sebagai sisa – sisa lacuna. Proses kerusakan ini akan
mengurangi kekuatan kerangka kalau tidak diperkuat oleh pembentukan tulang disekelilingnya.

Pada saat yang bersamaan, perikhondrium di sekeliling pusat penulangan memiliki


potensi osteogenik sehingga di bawahnya terbentuk tulang. Pada hakekatnya pembentukan
tulang ini melalui penulangan desmal karena jaringan pengikat berubah menjadi tulang. Tulang
yang terbentuk merupakan pipa yang mengelilingi pusat penulangan yang masih berongga –
rongga sehingga bertindeak sebagai penopang agar model bentuk kerangka tidak terganggu.
Lapisan tipis tulang tersebut dinamakan pipa periosteal.

Setelah terbentuknya pipa periosteal, masuklah pembuluh – pembuluh darah dari


perikhondrium,yang sekarang dapat dinamakan periosteum, yang selanjutnya menembus masuk
kedalam pusat penulangan primer yang tinggal matriks kartilago yang mengalami klasifikasi.
Darah membawa sel – sel yang diletakan pada dinding matriks. Sel – sel tersebut memiliki
potensi hemopoetik dan osteogenik. Sel – sel yang diletakan pada matriks kartilago akan
bertindak sebagai osteoblast. Osteoblas ini akan mensekresikan matriks osteoid dan melapiskan
pada matriks kartilago yang mengapur. Selanjutnya trabekula yang terbentuk oleh matriks
kartilago yang mengapur dan dilapisi matriks osteoid akan mengalami pengapuran pula sehingga
akhirnya jaringan osteoid berubah menjadi jaringan tulang yang masih mengandung matriks
kartilago yang mengapur di bagian tengahnya. Pusat penulangan primer yang terjadi dalam
diaphysis akan disusun oleh pusat penulangan sekunder yang berlangsung di ujung – ujung
model kerangka kartilago.
FRAKTUR / PATAH TULANG.

 DEFENISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan fraktur
radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan
yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.

 PENYEBAB

Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan mobil, olah
raga atau karena jatuh.

Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar daripada kekuatan
tulang.
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
- Usia penderita
- Kelenturan tulang
- Jenis tulang.
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis atau tumor
bisa mengalami patah tulang.

 GEJALA

Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata.Nyeri bisa sangat hebat dan biasanya


makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan. Menyentuh
daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri.
Alat gerak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat
menggerakkan lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan tangannya.

Darah bisa merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup


banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat cedera.

 KLASIFIKASI
a. Patah tulang tertutup (patah tulang simplek).
Tulang yang patah tidak tampak dari luar.
b. Patah tulang terbuka (patah tulang majemuk).
Tulang yang patah tampak dari luar karena tulang telah menembus kulit atau kulit
mengalami robekan.
Patah tulang terbuka lebih mudah terinfeksi.
c. Patah tulang kompresi (patah tulang karena penekanan).
Merupakan akibat dari tenaga yang menggerakkan sebuah tulang melawan tulang
lainnya atau tenaga yang menekan melawan panjangnya tulang.
Sering terjadi pada wanita lanjut usia yang tulang belakangnya menjadi rapuh
karena osteoporosis.
d. Patah tulang karena tergilas.
Tenaga yang sangat hebat menyebabkan beberapa retakan sehingga terjadi
beberapa pecahan tulang.
Jika aliran darah ke bagian tulang yang terkena mengalami gangguan, maka
penyembuhannya akan berjalan sangat lambat.
e. Patah tulang avulsi.
disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat, sehingga menarik bagian tulang tempat
tendon otot tersebut melekat.
Paling sering terjadi pada bahu dan lutut, tetapi bisa juga terjadi pada
tungkai dan tumit.
f. Patah tulang patologis.
Terjadi jika sebuah tumor (biasanya kanker) telah tumbuh ke dalam
tulang dan menyebabkan tulang menjadi rapuh. Tulang yang rapuh bisa
mengalami patah tulang meskipun dengan cedera ringan atau bahkan tanpa cedera
sama sekali. 

 DIAGNOSA

Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas : tanyakan
(anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi, bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis
nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif).
1. Riwayat pasien
Diagnosis fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu, seperti
jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Anamnesis dilakukan untuk
menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan cedera tersebut. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri
meskipun fraktur yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri.
Banyak fraktur mempunyai cedera yang khas.

2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi .
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya
asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna local. Pasien
merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat
pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga
terdapat gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan
perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka.
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi
yang sehat.
b. Palpasi .
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara
objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan
sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah
searah dengan sumbunya.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan
dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi
yang perlu diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna
kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas.

Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan,
gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status
vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan memeriksa
warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah
sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi perluasan fraktur.

c. Gerakan
Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan
nyeri dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif
termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat
fungsi terganggu (Loss of function).

3. Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Kadang perlu dilakukan
CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika
tulang mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut “rule of two”, terdiri dari :
a. Memuat 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
b. Memuat 2 sendi di proksimal dan distal fraktur
c. Memuat gambaran foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada
anak)
d. Dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan

 PENATALAKSANAAN

Enam prinsip umum pengobatan fraktur


1. Jangan membuat keadaan lebih jelek

2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat

3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus


a. Menghilangkan nyeri
b. Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
c. Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
d. Mengembalikan fungsi secara optimal

4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami

5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan

6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual

Untuk frakturnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke


posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur
(imobilisasi).

Macam-macam cara untuk penanganan fraktur :


1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau
dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan di kemudian hari. Contoh cara ini
adalah fraktur costa, fraktur clavicula pada anak, dan fraktur vertebra dengan kompresi
minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi
Dapat pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi
agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai
bawah tanpa dislokasi yang penting.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal.
4. Reposisi dengan traksi
Dilakukan secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, dan
kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara
manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan
otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit.
Alat ini dinamakan fiksator ekstern.
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara
operatif
Misalnya reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja
traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke dalam collum femur secara operatif.
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi
interna
Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi
interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat
dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai
reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu
lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara
operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.
8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Dilakukan pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti
dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada collum femur tidak dapat
menyambung kembali.

 PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR


Penyembuhan tulang normal merupakan suatu proses biologis yang luar biasa karena
tulang dapat sembuh tanpa “bekas” atau “jaringan parut”. Artinya tulang yang patah akan
disambung dengan tulang yang baru. Berbeda dengan ligamen yang proses penyembuhannya
akan digantikan dengan jaringan parut. Berikut akan dijelaskan secara singkat proses
penyembuhan tulang secara normal :
1. Fase awal penyembuhan dari jaringan lunak
Pada patah tulang, akan terjadi robekan pembuluh darah kecil di sekitar tempat cedera.
Setelah terjadi pendarahan maka tubuh akan merespon dan terbentuklah bekuan darah
(clot/hematoma). Hematoma di tempat patah tulang ini merupakan tempat dimana proses
penyembuhan patah tulang pertama kali terjadi. Akan terjadi ledakan populasi sel-sel
pembentuk tulang baru (osteogenic cells) untuk membentuk callus yang berfungsi
sebagai ”lem” untuk menjaga agar tulang yang patah tidak mudah bergerak. Pada fase ini
callus yang terbentuk masih lunak dan sebagian besar mengandung cairan.

2. Fase Penyambungan Tulang secara Klinis (Clinical Union)


Callus semakin lama akan semakin mengeras dan sebagian akan digantikan oleh tulang
immatur/belum dewasa. Pada saat callus ini telah mengeras sehingga tidak lagi terjadi
pergerakan di sekitar tulang yang patah, maka dikatakan telah memasuki fase
penyambungan tulang secara klinis (Clinical Union), namun garis patah tulang masih
akan terlihat. Saat fase ini pasien tidak merasakan nyeri apabila bagian yang patah
digerakkan.

3. Fase Konsolidasi atau Penyambungan secara Radiologis (Radiographic Union)


Saat semua tulang muda (immatur) dalam callus telah tergantikan oleh tulang yang
dewasa (matur) maka dikatakan telah memasuki fase Radiographic Union. Garis patah
tulang tidak akan terlihat lagi.

Ada tiga proses penyembuhan patah tulang yang tidak normal akibat tidak ditangani sama
sekali atau ditangani oleh orang yang tidak kompeten
1. Malunion: patah tulang dapat sembuh sesuai waktu yang diperkirakan/normal namun
posisinya tidak seperti awal/tidak sesuai posisi anatomis, sehingga menyebabkan kelainan bentuk
tulang
2. Delayed union: patah tulang pada akhirnya akan sembuh namun membutuhkan waktu lebih
lama daripada waktu penyembuhan normal
3. Pseudoarthrosis: patah tulang gagal sembuh/menyambung dan akan disertai pembentukan
jaringan fibrosa atau false joint, artinya bagian yang patah tidak akan berfungsi dengan normal
seperti sebelum sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Camps Francis.SVD : Practical Forensic Medicine; 2 nd Edition, hutchinson Medical


Publication, London, 1971.
Glinka Josef.SVD : Antropometri & Antroposkopi; Edisi Ketiga, Universitas Airlangga,
Surabaya, 1990.
Gonzales Thomas A. MD : Legal Medicine Pathology And Toxicology; Second Edition, Apleton
Century Crofts. Inc, New York, 1954.
Hamdani Njowito : Ilmu Kedokteran Kehakiman; Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1992.
Idries Abdul Mun'im: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik; Edisi Pertama, PT. Bina Rupa
Aksara, Jakarta, 1989.
Knight Bernard: Simpson's Forensic Medicine; Tenth Edition, Edward Arnold, A. Division of
Hodder & Stoughton Ltd, London, 1991.
Parikh CK Dr.: A Simplified Text Book of Medical Jurisprudence & Toxicology; Medical
Publicaion, Bombay.
Sobotta J. Prof: Atlas Anatomi Manusia; Edisi Sembilan belas, jilid 2 Penerbit Kedokteran EGC,
Jakarta, 1989

Anda mungkin juga menyukai