Anda di halaman 1dari 22

Sonya Rury

Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong


panjang, penuh kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan
jejak luka yang dalam. Aku tak ingin mencari sebab di balik
matanya yang sembab. Aku sangat menghormati keputusannya
untuk menangis, di antara detak jarum jam yang menikam dan
mengiris.
Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh
cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan
menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang
perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit
menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia
tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”
Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah
menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan
tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun
meneruskan tangisnya.
Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat
terlatih menangis atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-
menangis. Tentu saja, dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang
perempuan. Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki.
Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya
dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena memang
harus menangis. Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk
tidak bertanya kenapa dan untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.
Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku
dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu ingin tahu alasan
seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki itu mencoba menjadi tukang pemberi
nasihat dengan kata-kata yang gagah dan gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh
cinta. Simpati seperti itu, kupikir, tak lebih dari jebakan.
“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”
Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil nafas dalam dan
panjang. Kegugupan mendorongku untuk menghunus sebatang rokok dan menyulutnya.
Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan asapnya.
Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada botol-
botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan berisi kacang
goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika perempuan pelayan kafe datang
dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu
porsi kentang goreng. Perempuan pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat.
Kurasakan suasana canggung kembali mengurung.
Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan
lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu.
“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”
Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab. Kurasakan aku
gagal menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti tercekat di tenggorokan.
“Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak bisa memaksa
setiap perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling kenal belum cukup lama.”
“Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk
mendengarnya?”
“Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.”
“Kenapa? Kamu merasa terhibur?”
“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”
“Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya
tangisku?
“Tangismu sangat indah….”
Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat
khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya.
Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.
“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang
usiaku….”
Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang
diringkus kesunyian malam.
Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis dengan perasaan
terluka sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja. Waktu itu, seorang laki-laki
setengah baya—yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri—menggagahi
tubuhnya. Tangis dalamnya yang kedua adalah, ketika semasa mahasiswa: seorang laki-
laki mencoba memerkosanya. Tangis ketiganya pecah ketika ia dilecehkan secara seksual
oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah perusahaan, tempat ia melamar pekerjaan. Tangis
keempat, tangis kedua puluh lima, tangis keseratus satu… ah dia sudah tidak ingat.
“Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika
bersamamu.”
Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat.
“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”
“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman. O ya,
meskipun kita baru seminggu ini saling kenal, aku merasakan kita sudah bersahabat
sangat lama.”
Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih dari
keranjang sampah yang baik dan santun.
“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam
hidupku. Kamu tak pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku merasakan tangisanku
ini sia-sia….” Kembali dia “menyerangku”.
Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku. Aku
menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan tak bertenaga
meredam gebalau galau dalam hatiku.
“Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba.
Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya berani menebak-
nebak dalam benak. Mungkin, dia merasa dikhianati suaminya yang berselingkuh dengan
wanita lain. Atau, justru dirinya yang meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria
lain? Atau alasan klise lainnya. Aku sama sekali tak tertarik mengusutnya.
“Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai anak, meskipun
kami telah berumah tangga selama hampir empat tahun.” Perempuan itu berbicara dengan
pasti, tanpa emosi. Aku heran, kenapa kini dia tidak menangis?
“Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak
keberatan?”
Aku mengangguk.
Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga basah oleh air
mata perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu menagis. Aku kaget,
mendadak ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku ingin menariknya, tapi tak kuasa.
Kurasakan kehangatan mengaliri jiwaku. Aku pun pasrah dalam genggamannya.
“Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,” bisiknya.
“Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri bertanya.
Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun,
gumpalan kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan sayap-sayap
dalam tubuhku tumbuh.
***
Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di sebuah
perbukitan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku pun cepat melesat,
mencapai rumahnya yang mungil tapi indah itu.
Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu. Ketika ia
masuk kamar tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup jantungku. Saat itu aku baru
sadar, aku lelaki yang miskin petualangan.
Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke kamarnya. Jantungku
cepat berdegup. Aku gugup dan hanya bisa terpaku diam di sofa. Ia mengulangi
permintaannya. Kegugupan membimbing langkahku.
Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya separoh
tubuh kuning langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya lekat-lekat. Namun,
perasaanku yang campur-aduk mendorong niatku untuk berbalik keluar dari kamar. Dia
mencegah.
“Kamu tidak melihat punggungku?”
“Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru dan
segar…,” ucapku lirih.
“Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?”
Dia memelukku.
“Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya.
Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah menawan
di sebuah kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki itu menyatakan jatuh cinta dan
berniat mengawininya.
“Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di kafe
tadi…. Kami hanya kumpul kebo….”
Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada para
pelanggannya.
“Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman pisau
lipat.”
Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa laki-laki
yang bisa membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya terasa ngilu.
“Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….”
Sonya nekat berlari.
“Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….”
Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup memasuki
seluruh ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh luka.
Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun kedamaian
dalam hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan.
Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas.
Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya.
Perempuan dalam Baju Zirah
Semua hampir sama seperti dulu sebelum kau pergi ke Cina
untuk menghadiri Kongres Perempuan Internasional itu.
Kepergian yang tanpa meninggalkan pesan apa pun dan membuatku menunggu dalam
pertanyaan sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham, kenapa beberapa hari
sebelum pergi, kau selalu memandangku dalam dengan raut wajah muram. Kau
sebenarnya tak tahu pasti, kapan akan kembali.

Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali
bening. Namun saat ini waktu gagal mengurai kepedihanku padamu. Malah membuatku
berkhianat pada janji untuk tidak menemuimu lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu
berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi
sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa
kulupakan.

Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan tahun lalu, sewaktu penguasa
paling lama di negeri ini jatuh. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi
karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku
sudi lagi turun ke jalan berurusan dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang
membuat pinggangku memar berhari-hari. Waktu itu kau juga mengurusi pinggangku.
Sempat malu juga aku diuruti olehmu dengan setengah telanjang di antara kawan lain
menyoraki kita di markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita diinterogasi. Mereka
belum punya cukup alasan menahan lebih lama.

Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita. Mereja seolah dipekerjakan
dalam kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi makan minum kita. Sudah begitu
masih ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula. Menambah pekerjaan bila saja
menahan lama-lama mungkin pikir mereka.

Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya.
Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan
tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti
menang!

Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang
kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini
padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku
sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka
pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas
sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Yeni Rosa Damayanti, anak tentara yang
menolak jika penderitaannya dalam penjara terlalu dibesarkan dan mengaku malu pada
kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini.

“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah
abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang
seperti sekerat daging,” katamu dengan nada tinggi.

Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila
tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan
pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu
waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak
mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di
masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada
suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.

Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nadine Gordimer,


perempuan kulit putih pemenang Nobel Sastra dari negara Nelson Mandela, yang gelisah
melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam
apartheid dalam novel-novelnya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah
malam karena pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya
tidak ia alami bila hanya menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan


dan gang kumuh kota ini untuk membagi-bagikan kondom gratis. Hal yang membuat para
pekerja seks dan preman di sekitar kawasan Stasiun Tugu dan Malioboro akrab
menyapamu mbak kondom. Sering kali mereka berani tanpa sungkan menggodamu
dengan anekdot jorok sebab tahu kau pasti tak akan marah.

Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan memperlakukan mu dengan
kurang baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak mengungkapkan keberatan atas
kedatanganmu. Lebih jauh lagi, sempat kau juga mengalami pelecehan di kawasan ini.
Namun, pada akhirnya mereka luluh juga dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi
pula kau memang tulus pada orang semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-
orang di sana menyadari bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati.

Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan
menghabiskan waktu di pinggiran pantai berdua. Tentang seorang anak perempuan
belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaiman cara perempuan di sana yang sukses
menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-
istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.

“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup


sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam
mereka,” katamu memukauku di sela suara gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap.

“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang memngungkapkannya, ‘Aku


suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.

Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat
seperti inilah kau terlihat begitu indah. Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant
Tagore sampai tentang seorang Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap
sudut di Malioboro dan membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja
seniman jalanannya akrab pada puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden
Maliioboro. Apa yang ia lakukan mirip karakter Robin Williams dalam film Dead Poet
Society, seorang guru yang membuat murid-muridnya menggilai puisi.

Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa
kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu
almarhum Rendra akan membaca karya-karyanya dalam Disebabkan oleh Angin. Kau
tuding tokoh ini menjual idealismenya dan berpihak pada golongan kaya karena harga
tiket yang melambung, di luar jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti,
sebenarnya itu adalah akal-akalanmu saja yang sedang bokek namun memaksakan diri
untuk menonton.

Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu.
Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu
ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentant
Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan
saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi
lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri
yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.

“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol
dari tanganmu ke tengah laut.

Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa
kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah
banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun
berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu
mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.

Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga
sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar Jawa sebenarnya bukan sekedar mencari
suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana.

“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke
beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program
Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian
aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah
bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,”
dengan datar kau bercerita.

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam
benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku.
Sebenarnta kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama
tidak bertemu.

“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi mengundangku menjadi pembicara


mengenai eksploitasi alam di Borneo. Kupikir, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai
denganmu, setelah tahu kau ada di Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum
terus ke Jakarta,” perlahan sekali kau bertutur.

Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat kukatakan sesuatu, kau
menyambung lagi kalimatmu.

“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang
kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan
kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta
membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya
buruk. Itulah yang membawaku kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?”

Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk kesekian kalinya ia


mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan beberapa
pasangan yang juga sedang berdua di pantai itu, kugenggam tangannya dan berbisik dekat
sekali di telinganya, seharusnya aku yang pertama memaafkanmu, bukan menunggumu
untuk mengatakannya.
Janji Kaci

Jemputlah aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas,


malam Sabtu Pahing nanti.

Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji
untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati
itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi
kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.

***

Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara.
Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu
muncul dari balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul.
Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di
sofa merah ruang tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan
mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu.
Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran
jalan, atau ke ruang tamu pondokanku.

Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1
yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu
lebih suka membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku
di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan
pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah
kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau
berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya
tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada.

Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke
restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki
yang datang padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur
memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous.
Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya,
bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku
untuk bertanya.

Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku.
Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak
untuk mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan
mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya
tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes
padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang
tetap menganggapku primadona Pesanggrahan.

Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu
depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu
selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar,
kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut
aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun
sebuah rumah batu di Jember sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku
dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku
pernah bercerita?

Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu
kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak
berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan
kubayar lunas. Sedikit orang mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi
selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.

***

Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin,
kamu akan datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga,
lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.

“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika
aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun
bersama Mak Kus. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama
sepertiku, tak seperti Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa
memahamiku.

Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku.

“Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik
hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin
dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa.
Barangkali sebab kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian
terakhirku denganmu.

“Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.”

Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di
meja, aku berpamitan.

“Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?”

Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai.
Kurasakan wajahku merona, entah kenapa?

Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara,
melewati Hotel Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup
dari hutan-hutan jauh. Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti
berkemas.

***

Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam
seharga Rp 250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang
harus kucicil dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan
pakaian pengantin. Aku lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan
mencium pipi Mama Tien. Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-
empat orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh
diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan membawa upeti esok pagi.

Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang
dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang
rokok pertama, kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku
dengan sedan 80-an yang aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko
Pak Sokeh untuk menjawil Taryo. Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan
memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat. Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan
kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari
menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, kita bisa
duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan seseruputan angsle
panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa
kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya meremas jariku.
Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku.

Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat,
aku seperti melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku.
Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di
perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.

Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah
kupesan dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku
akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur
disapu angin malam. Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan
kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku.
Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita, lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda
dengan yang asli.

Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut
kena penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi
suntik ke Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-
istri yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu
akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah
kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku
bisa tinggal di sini saja. tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana
dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja
sudah cukup.

Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.

***

Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu
tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu?
Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu
belum juga datang? Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api
mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza.

Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu.

***

Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku
jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk
pulang ke Gang Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu
sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada
penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua
lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari
tersengal, kusulut rokok terakhirku.
Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh
ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan,
sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan,
berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti
sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.

”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal


pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis.

”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk
dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil
menggamit lengan si lelaki.

Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.

Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.

Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan
menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.
Redi Kelud

Aku lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku


tunawicara, ibuku suwung kalau kambuh jadi begitu
menakutkan. Marno, kakak pertama, suka berendam seharian.
Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali
sehari, pukul 8, 11, 2, dan 4.

Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang jika
diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang apa ia
dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar, mirip angka,
mirip tulisan, atau tak mirip apa pun.

Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu
matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu, ia segera
bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang lalu
menggelayut manja.

Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah sangka,
ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar, digulingkan,
dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu bapak dan aku dibantu
tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling
tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali.

Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku lahir terdengar ledakan gunung meletus lalu turun
dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah, kali, semuanya
kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud, artinya. Nama yang tak
lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang indah seperti: Dewi, Astrid,
atau Seruni, begitulah kira-kira. Namun aku tak berkecil hati, dengan nama itu aku
merasa kuat. Kuat seperti gunung.

Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua? Tentu
tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi baru satu yang
bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusul? Ya, nanti kita lihat situasi
keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak pasti. Sahutku sebagai juru bicara
keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang selalu maju berhadapan dengan tamu karena
yang lain pasti tak nyambung, diam mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar
mandi, berendam.

Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot matanya berubah.

”Jangan kau berpikir buruk dan jahat!” tegasku.

Dia kaget, ”Apakah kau bisa membaca pikiranku?”

”Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!”

”Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?”

”Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti silet.”

”Kau anak yang cerdas sekaligus mendapat anugerah luar biasa.”

”Apa maksudmu dengan berkata demikian!”


”Aku tak bermaksud yang bukan-bukan. Aku merasa tentulah karena kecerdasan dan
kebaikan hatimu, kau bisa menentukan mana yang terbaik bagi keluargamu. Kau bisa
memilih salah satu keluargamu yang kau titipkan untuk kami rawat dan sembuhkan.”

”Kami tak perlu bantuan dan kami tidak sakit, toh selama ini, kami berkecukupan.
Bapak bekerja di ladang. Ibu beternak. Aku menjual hasilnya ke pasar.”

”Bukan begitu. Memang semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan kakak-
kakakmu? Bukankah sejak dulu hingga sekarang mereka hidup begitu-begitu saja.”

”Kau datang seolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti
pikiranmu, yang aku tahu kami senang karena kami bersama.”

”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau baru berumur 10 tahun.”

”Aku suka membaca,” jawab Redi sekenanya.

”Apa yang kau baca?”

”Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pesing Kakak Astrid dan isinya hanyalah
kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!”

”Lalu dari mana kau bisa berkata demikian?”

”Aku keceplosan.” Redi mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Redi memiliki
sayap di kedua bahunya. Siapa pun tak ada yang tahu kecuali keluarganya. Awalnya
seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan seiring tubuh Redi yang membesar daging
itu juga tumbuh, dan sekarang mirip sayap walau hanya sepanjang telapak tangan Redi.
Sayap itu selalu tertutupi baju. Kalaupun ada orang lain yang tahu, tak bakal mengira
bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir, Redi cacat karena keluarganya juga cacat.
Mungkin dikira punya empat tangan. Tapi yang jelas berkat sayap itu Redi jadi cerdas.

”Apakah itu artinya kau menolak tawaran kami?”

”Ya, tentu saja. Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami semua
kalian tampung, itu masuk akal.”

”Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kami juga harus menampung orang lain.”

”O, ya aku mengerti.”

Lalu Si Mas itu pamit dengan kepala yang berat.

***

Redi berlari ke lorong terang ketika semua tengah tertidur. Si Mas tamu
meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya pulas.
Ia duduk di bongkahan batu hitam lalu melepaskan bajunya. Mengelus dua sayap di
bahunya yang berwarna abu-abu, mirip abu Kelud yang meletus 10 tahun lalu.

Kedua sayap itu ia gorok dengan belati kecil.

”Aku tak suka ini. Aku tak mau ada sayap di tubuhku. Aku bukan burung!”

”Jangan kau lakukan itu, teman.” Muncul seorang lelaki cebol berkuping panjang dan
bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal yang terangkat.
”Kenapa? Bukankah ini milikku, aku bisa melakukan apa pun pada milikku.”

”Tentu kau punya hak. Tapi untuk apa?”

”Sudah aku bilang, aku manusia, bukan burung!” Segera ia potong dua sayapnya itu
dengan belati. Darah merembes dari bahunya. Menetes, menetes lagi tak berhenti-henti,
mengalir, terus mengalir hingga meluber di lantai.

”Kau hanya mengotori lantaiku saja!”

”Nanti aku bersihkan!”

”Kau memang selalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. Sumbat darah di
bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!”

”Jangan kau usik aku dengan serapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku meresapi
apa yang sedang kurasakan. Aku sudah lama mengharapkan hal ini.” Redi memandang
dua sayapnya yang telah hanyut bersama darah itu. ”Lihat, darahku mengalir keluar dari
lorongmu ini. Jadi aku tak perlu membersihkan lantaimu!”

Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening.

***

Orang-orang cemas. Hujan deras sejak kemarin mencapai batas ambang waduk.
Hanya tinggal menghitung waktu banjir segera datang. Orang-orang berlarian
menyelamatkan harta benda. Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi.

”Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap.”

”Kami menunggu Redi. Bukankah kau tahu, ia sejak semalam tak pulang. Kau juga
mestinya tahu bahwa kami selalu bersama-sama, kemana pun pergi dan tak pergi kami
selalu bersama-sama. Pasti anak itu sedang mengunjungi temannya yang gila itu. Sejak
dulu aku bilang, Si Cebol itu gila. Gila karena semua keluarganya mati dilempar ke Kali
Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik!
Tidak pernah di pesantren, tidak pernah naik haji. Tak mungkin bisa jadi wali,” terang ibu
Redi.

”Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah memperingatkan. Kami mau
ke atas gunung.”

”Jangan ke Kelud!”

”Kenapa?”

”Berbahaya.”

”Aku tak percaya. Kau hanya berseloroh!”

Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi bukankah
selama ini mereka bisa bertahan dalam kebersamaan.

Tiba-tiba datang mobil Si Mas, ”Ayo cepat! Kami tinggal mengangkut kalian, semua
telah mengungsi.”
Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu memaki-maki
sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk dengan kaki ia
tendangkan pada apa saja. Ia mengamuk jika ada perang dalam pikirannya.

Tak lama kemudian Redi datang bersama Si Cebol. Darah masih menetes dari
bahunya. Bau anyir seketika menusuk hidung namun serentak hilang karena tubuh Si
Cebol tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu dan lebah
mulai mengitari Si Cebol.

”Kenapa kalian tak pergi?” tanya Si Cebol.

”Kami menunggumu, Redi.” Jawab ibu Redi yang mulai tenang.

”Biarkanlah aku di sini,” jawab Redi.

”Kalau kau di sini semua juga di sini. Tapi kenapa dengan bahumu?”

”Aku tak-apa-apa, Ibu.”

Tiba-tiba Si Ibu ketakutan. Redi baru tersadar bahwa ibunya bakal kumat jika melihat
darah.

”Ibumu terjun mengejar jasad kakekmu di Kali Brantas itu, Redi. Ia berenang di air
penuh darah itu….”

Redi terpaku.

”Redi, kau tenangkan dulu ibumu, aku melihat situasi dulu,” lanjut Si Cebol.

Si Cebol diam sebentar lalu tubuhnya terangkat perlahan-lahan. Kini ia berada jauh di
atas Redi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mengikuti. Dari matanya tampak banjir telah
menenggelamkan desa di depan. Airnya berwarna merah. Ia sejenak mengamati itu, lalu
turun.

”Redi, jernihkanlah pikiranmu. Kau tahu, banjir itu berwarna merah pasti dari
darahmu yang terus menetes sejak tadi. Lihatlah ibumu, ia tak tahan melihat darahmu.
Berdamailah, Redi. Terimalah kau seperti adanya. Sayap itu anugerah dari Tuhan. Kau
adalah manusia seberapa pun kau berbedanya dengan orang-orang itu. Redi, kau tahu aku
tak sanggup membendung banjir jika berwarna merah. Aku bisa kalap. Ingatan itu tak
bisa kulupa….”

Untuk kali pertama, Redi melihat Si Cebol menitikkan air mata. Ibunya dilanda
ketakutan. Ia tercenung, lalu mulutnya menyedot udara, seketika dua sayapnya tertarik
lalu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes, warna merah di kejauhan telah tergulung
oleh coklatnya air bah dari waduk.

Si Cebol perlahan-lahan naik lalu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perlahan namun pasti,
jempol itu menggelembung, membesar. Tangannya memanjang dan menjadi raksasa.
Lalu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah lereng Gunung Kelud.
Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu artinya tak semua air bisa dibelokkan
tapi memang tak ada pilihan lain.

Matanya tak jeli, para penduduk ada di sana….

***
Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi seperti
ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratusan truk.

Redi bersedih telah kehilangan semua tetangganya. Ia selalu teringat pada mereka
yang telah berbuat baik pada keluarganya. Ia terbang ke lorong terang hendak mengaduh
pada Si Cebol.
Solilokui Bunga Kemboja
Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna gincu
wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.

Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih


identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang
memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras
depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap
bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.

Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu


mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah
nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu
memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi.

Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku. Sempat
kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda kodrat itu,
sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu dengan panggilan ibu.

Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti
kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil
kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati ataupun
benda hidup.

Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati bernama
mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak menuju suatu
tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya.

Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa tubuhnya
memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan mengulangi kebiasaan
yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola kegiatannya meskipun sebatas teras
dan garasi itu saja.

Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia dirinya. Tak
jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka. Percakapan yang
diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan sebelum mencapai ruang
tamu.

Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan lelaki
itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil yang selalu ia
tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari bercakap ditemani
penganan dan secangkir teh.

”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata perempuan
yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh ceking berjalan
melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya.

”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya.

”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau dia
benar-benar menatap kita.”

“Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.”


Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku
mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah
memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata para
wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan teman-
temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa kecewa yang
hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa pernah sempatkan
melirikku barang sekejap.

Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang kucintai. Atas
kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak peduli berapa kali
dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan memberiku pupuk untuk
meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya tetap tak bisa membantu. Aku
telah kehilangan minat terhadap kehidupan.

Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak


bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut diriku yang
tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras rumahnya turut
merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama dukaku belum teratasi.
Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya menatap iba kepada kami.

Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras menuju
garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya sambil
bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya. Tetapi kepada
seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya disebabkan oleh sikap
murung ibunya.

Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa dirinya
tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris seluruh
Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa, kelopak-kelopak
bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk.

Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk menyerah dari
hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya hiburan di masa menjelang
pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si lelaki lebih menyayangi sang ibu
daripada benda mati yang ia mandikan setiap pagi, walaupun tampak ia lebih besar
menaruh perhatian padanya. Tetapi ia tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai
diriku dan bunga-bunga Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri.

Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun menyaput sekujur
kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil pagi. Tetapi pagi itu aku
merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku bahkan mekar lebih lebar
daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan pintu depan di ujung teras itu
dibuka untuk pertama kali.

Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah yang selalu
membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram tanaman di tangannya,
dengan bekal semangat berniat memberi kami makan. Minggu-minggu terakhir betapa
pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi kujamin pagi ini keputusanku menjadi
mekar kembali dapat mengembalikan semangat yang sempat redup wanita bergincu itu.

Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap


lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu
pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi yang tampak
olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang membalut tubuhnya nyaris
sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai. Aku terus mengawasi wajah
tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar keras, sehingga menyebabkan kelopak-
kelopakku bergoyang.
Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik
pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik
menuju pintu, berlari sepanjang ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu
muncul lagi bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu
melebar sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi
Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak kami
secara bergantian.

”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu berkata.
Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu. Keterkejutan di wajahnya
berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan. Pelan bahunya lantas bergetar
sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu mendekap tubuh ibunya, merapatkan
kepala pada bidang dadanya.

”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu.

”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih yakin
dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua kali lipat
kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya membawa berlipat-lipat
kebahagiaan bagi diriku.

Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai genta
dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia dapat
bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita bergincu
yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya.

Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba
sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu. Mulailah
pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak biasa.

Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku berdebar
keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka, menyusul dirinya berjalan
keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka pintu di samping jok penumpang.
Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal mayang, berdiri di sampingnya.

Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan melintasi
teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka berhenti.
Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas tangan lelaki yang
menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas.

”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus angin
menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku melayang jatuh,
disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung lengan tempat pangkal
daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang apa pun tak dapat
menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang, aku ragu bahwa
anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di antara si lelaki dan
perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali takdirku sendiri karena tercipta
hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja.

Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu tetap
terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki itu terangkat
menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama ia menyentuhku, ia
membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat aku tertancap seorang
diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja. Hidupku berakhir di ujung
jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah direkah senyuman membawaku kepada
perempuan berambut panjang ikal mayang yang tengah cemas menantinya di tengah
teras.
Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku dapat
menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap diriku di
ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut wajah perempuan
yang balas tersenyum.

Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di antara helai-
helai rambutnya.

”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya.

Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih
dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan
diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya. Dari
sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung detik-detik
kematianku.

”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya


terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku
terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang kucintai
sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Seandainya aku tercipta
sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar lebih banyak tentang cinta daripada
yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga Kemboja.
Kepada Seorang Ayah yang berbahagia,

Koleksi Photo Jim Henry

Kubayangkan butir air mata memenuhi pelupuk matamu


saat kau membacakan baris-baris kasih sayang
kepada buah hatimu
Kusapa, ada beberapa butir air mata menggantung di sukmaku

hendak menyeruak ke dunia menemani keharuanmu

Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini


seperti hari kemarin, aku hanya bisa membisu
coba kutulis beberapa kata ungkapan kehormatan
kepadamu yang kini duduk menyaksikan ilham Allah
merasuki tulang-tulang tuamu.

Adakah aku akan melihat orang tuaku


sebahagia lantunan nyanyian hatimu
yang hendak menempuh tahap tertinggi kodrat manusia?
aku merenung menggores bayangan butiran air matamu
yang terdorong keluar oleh kebahagiaan
aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku
yang tak sanggup menahan keharuan
menuntut jalan keluar,
mungkin hendak berteman dengan air matamu
Aku dan Tulisanku

Adakah orang akan bertanya akan aku ketika aku


tak pernah menulis satu kata?
Adakah orang akan mencari namaku ketika aku
tak pernah meninggalkan kesan?
tulisanku adalah diriku, diriku mustahil adalah tulisanku
jari-jariku bekerja dengan otakku
tapi tidak dengan diriku
diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa
diriku adalah susunan tulang daging darah
yang mungkin telah menyerap barang haram
diriku bukan milikku, lingkunganku telah mengklaimnya
Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati
ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku
harap aku bisa mendapat sapaan hormat yang sama
Tulisanku adalah produksi otakku yang bersahaja
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku yang
diproduksi oleh niatku yang subjektif
tulisanku memberi tahu tentang aku ke dunia
sementara aku tak pernah berbuat yang sama
kepada tulisanku....
MUH. IRSYAD A. A
3.MO.2

SMK NASIONAL
KLATEN

Anda mungkin juga menyukai