Anda di halaman 1dari 8

Mar 15, '10 12:59

FATWA SESAT DEWAN SYARIAH PKS : PENGANGKATAN NON MUSLIM DALAM PM


for everyone
PEMERINTAHAN
‫الرؤية الشرعية و التحليل الشرعي حول تولية غير المسلمين في الحكومة‬

PENGANGKATAN NON MUSLIM DALAM PEMERINTAHAN


(Sebuah Pandangan dan Analisa Syar'i)
Disusun oleh : Dewan Syariah Daerah PKS Surakarta
Januari 2010

،‫الحمد هلل و كفى و الصالة و السالم على النبي المصطفى و على آله و أصحابه و من اهتدى‬

‫اللهم ال سهل إال ما حعلته سهال و أنت تجعل الحزن سهال إذا شئت‬

PENDAHULUAN :

Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada
Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.

Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia. Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun,
sekelompok orang haruslah memilih seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:

‫إذا كنتم ثالثة فأمروا أحدكم‬

"Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya" (HR Thobroni dari Ibnu Mas'ud dengan sanad hasan)

Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu
dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab "al-imamah" dan "
al-wilayah". Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan
pemerintahan dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthoniyah.
Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu saja
ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I'laamul Muwaqqin, dimana beliau menulis begitu
gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :

‫تغير الفتوى و اختالفها بحسب تغير األزمنة و األمكنة و األحوال و النيات و العوائد‬

"Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan".

Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal yang begitu luwes berubah dalam fatwa,
sebagaimana beliau juga menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan fatwa. Hal ini tentu sesuai
dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam haditsnya :

‫بعثت بالحنيفية السمحة‬

"Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat" (HR Ahmad dari Abu Umamah)

Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan
maupun bidangnya. Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah hilang paska runtuhnya
kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942. Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri
sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan cabang dengan karakteristik dan tugasnya
masing-masing. Di Indonesia misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati. Semua jenis
kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih
khusus tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita, khususnya berkaitan dengan siapa saja yang
berhak dan boleh menjabatnya.

Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres,
Pileg maupun Pilkada, adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk
realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan
pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari
umat, tentang sejauh mana syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks kedaerahan?
Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan
di lapangan begitu banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi pemimpin?
Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk
ikut mengkaji lebih jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus seputar pengangkatan non
muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka
terdahulu.!!!!!!!!

Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :

1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)


2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti'anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot

Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan
sekaligus solusi bagi umat agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan mendukung pemimpin
mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan keberkahan atas niatan dan amal kami.

PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:

ٍ ْ‫ض ُه ْم أَ ْولِيَا ُء بَع‬


َّ ‫ض ۚ َومَن َي َت َولَّهُم مِّن ُك ْم َف ِ َّن ُه ِم ْن ُه ْم ۗ إِنَّ َّ َ الَ َي ْه ِد ا ْل َ ْو َم‬
َ‫اللالِمِين‬ ُ ْ‫يَا أَ ُّيهَا الَّذِينَ آ َم ُنوا الَ َت َّتخ ُِذوا ا ْل َيهُودَ َوال َّنصَ ارَ ٰى أَ ْولِيَا َء ۘ بَع‬

"Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali,
sesungguhnya sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.... " (QS Al Maidah 51)

Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim.
Selanjutnya dalam bahasan fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh Sholahiyah lil
Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana
terkait dengan kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, masing-masing adalah :

1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul 'Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho'if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)

Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.

Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul 'Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis

Yang dimaksud dengan wilayatul 'aamah adalah kepeminan umum yang bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering
disebut dengan khilafah atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya dengan ria'satu
daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu, yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan
wilayat dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai nilai keagamaan strategis, misalnya :
panglima perang karena berkaitan dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.

Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam
posisi-posisi strategis sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini dalam kitab-kitabnya,
diantaranya adalah :

Ibnu Mundzir yang menyatakan :

‫ " أجمع كل من يحفل عنه من أهل العلم أن الكافر ال والية له على مسلم بحال‬:‫"قال ابن المنذر‬

Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan)
atas seorang muslim.[i]

Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :

‫ و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل‬،‫ " أجمع العلماء على أن اإلمامة ال تنع د لكافر‬:‫و قال ال اضي عياش‬
Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa
mendapatkannya, harus dilengserkan"

Dr. Ibrahim Abdu Shodiq - Pakar Siyasah Syar'iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :

،‫ إمارة الحج‬،‫ الجهاد‬،‫ وزارة التفويض‬،‫ ال ضاء بين المسلمين‬،‫علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز والية غير المسلمين الولائف ذات الصبغة الدينية مثل ( رئاسة الدولة‬
‫الخ‬...‫الحسبة‬

Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada jabatan-jabatan yang mempunyai nilai
strategis keagamaan ( misal: kepala negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)

Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh
orang non muslim. Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan langsung dengan maslahat
kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :

‫َو َلن يَجْ عَ َل َّ ُ لِ ْل َكاف ِِرينَ عَ َلى ا ْلم ُْؤ ِمنِينَ سَ ِبيالًال‬

Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang
beriman (An-Nisa': 141)

TAHQIQ wa TAHLIL MAS'ALAH (Analisa Permasalahan )

Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam
bahasa Qadhi Iyadh adalah imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer saat ini, maka
pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian
yang mengurusi masalah strategis keagamaan.

Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal
ini meliputi posisi menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena secara struktur, tugas
dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah
misalnya, ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman. Begitu pula ia terikat dengan struktur
birokrasi di atasnya yang kuat mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan yang ada.
Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan
dibahas lebih jauh dalam bahasan berikutnya.

KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)

Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang
disebutkan dalam tingkatan pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan kepala instansi
tertentu misalnya.

Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah
ungkapan :

‫ أما الواليات العال و ذات الصفة الدينية فال خالف بينهم في‬،‫ وأضرابها من الولائف ال يادية في الدولة اإلسالمية‬،‫و هكذا يشتد الخالف في والية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ‬
‫عدم جواز واليتها لغير المسلمين‬

"Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana),
dan juga jabatan kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah daulah islamiyah. Sementara
untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka
tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat oleh non muslim"

Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara
yang mengharamkan diantaranya adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.

Pendapat yang Mengharamkan

Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga
dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy'ari dan Kholid bin Walid) untuk
memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah
tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:

‫ (يا أيها الذين آمنوا ال تتخذوا اليهود و النصارى‬:‫ي ول‬ ‫ أما سمعت‬، ‫ ما لك قاتلك‬:‫ قال‬،‫ إن لي كاتبا نصرانيا‬:‫عنه‬ ‫ (قلت لعمر رضي‬:‫عنه قال‬ ‫عن أبي موسى رضي‬
‫ و ال أدنيهم إذ أقصاهم‬، ‫ وال أعزهم إذ أذلهم‬، ‫ ال أكرمهم إذ أهانهم‬:‫ قال‬.‫ لي كتابته و له دينه‬:‫ قلت يا أمير المؤمنين‬:‫ أال اتخذت حنيفا؟ قال‬-)‫أولياء بعضهم أولياء بعض‬.

Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar
mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman :
"wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan "?.
Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya ". Umar mengatakan : " Tidak akan aku
muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka " ... dst

‫ "إنه ال‬:‫" فكتب‬.‫ "ال تستعمله‬:‫ "إن بالشام كاتبا نصرانيا ال ي وم خراج الشام إال به" فكتب إليه‬:‫ف د كتب خالد بن الوليد رضي عنه إلى عمر بن الخطاب رضي عنه ي ول‬
‫ "مات النصراني و السالم‬:‫" فكتب إليه عمر رضي عنه‬.‫ "إذا لم نوله ضاع المال‬:‫" فكتب إليه‬.‫ "ال تيتعمله‬:‫ فكتب إليه عمر‬،‫"غنى بنا" عنه‬

Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan
(khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : " jangan gunakan dia ". Kholid menjawab kembali : " Kami
sangat membutuhkannya". Umar menulis kembali : "Jangan gunakan dia !". Kholid menulis kembali:" Kalau kami tidak
menggunakannya, akan hilang uang kami". Umar mengakhiri dengan mengatakan :" Semoga Nashrani itu mati. wassalam"

Munaqosyah Adillah:

Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:

1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan
strategis dan prestise, apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan tugasnya yang begitu penting.
Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis dan
membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru
tulis sangat menentukan.

2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena
posisi Umar sebagai khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh, ini tidak termasuk dalam
bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua
gubernurnya.

Pendapat dan Dalil yang Membolehkan

Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :

Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-
Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama
secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:

‫و المواالوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذالن للدين أو إيذاء ألهله أو إضاعة لمصالحهم‬

Artinya :" Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur
tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka "
(Tafsir Al-Wasith)

Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang
disebutkan dalam ayat di atas.

Kedua : Imam Fakhruddin - Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa :
Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau
menyatakan :

‫ فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه‬،‫لم ال يجوز أن يكون المراد من اآلية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين‬

Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat
yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanta, maka hal tersebut tidaklah dilarang.

Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka
juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.

Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :


‫و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم‬

" dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah (non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka
menduduki kementrian tafwiidh."

Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi membagi pos kementrian menjadi dua bagian
utama, yaitu wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi). Dimana diantara
keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan. Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih
besar khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan, peperangan dan baitul mal.

Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril
muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :

"‫ و الوالية على‬،‫ و ال ضاء بين المسلمين‬،‫ إال ما غلب عليه الصبغة الدينية كاإلمامة و رئاسة الدولة و ال يادة في الجيش‬،‫و ألهل الذمة الحق في تولى ولائف الدولة كالمسلمين‬
‫ و نحو ذلك‬،‫الصدقات‬.

"dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali
pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer,
hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya"

Beliau melanjutkan :

‫ من الكفاية و األمانة و اإلخالص للدولة‬،‫ إذا تح ت فيهم الشروط التي ال بد منها‬،‫ و ما عدا ذلك من ولائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة‬.

"dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh
disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal
pada negara"

Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :

‫ كما هو حاصل في السودان اليوم‬،‫ و خصوصا إذا كانت األقلية غير المسلمة كبيرة‬،‫ أو نوابه من غير المسلمين‬،‫ و ال مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس‬/

"Tidak ada larangan jika salah satu dari dua wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non muslim,
khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar. Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”

Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan pengangkatan non muslim dengan syarat-
syarat tertentu. Dalam Majmuatur Rosail, bab Risalatu Ta'alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat pemerintahan
islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :

،‫ في غير مناصب الوالية العامة‬،‫و ال بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة‬

“Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan
kepemimpinan umum.”

Munaqosyah Adillah:

1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan
syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu tanfidz yang berbeda kewenangan dengan
wizarotu tafwidh. Begitula pula Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang berhubungan dengan
keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat, hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih objektif,
sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai keterbatasan dan keterikatan tertentu.

2- Dengan logika yang sederhana, sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim menduduki
jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam,
bahkan khilafah islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi 'berkuasa penuh' pun, masih begitu fleksibel dengan membuka
kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah
terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah, maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan
non muslim dalam jabatan tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.

Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua
adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat
secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi
bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam
tafsirnya.
KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM

Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat
dalam cuplikan berita sebagai berikut:

Sambas - Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala
daerah berhalangan. Gugatan itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra wakil kepala
daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar
pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah. (HARIAN PELITA)

Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS
dan WEWENANG WAKIL WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani oleh
walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan
WAKIL WALIKOTA atau meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar'i, mendukung non muslim menjadi pemimpin (walikota),
dengan mendukung WALIKOTA MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.

Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah
mengatakan KEBOLEHANNYA, sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang membutuhkan dan
bisa dipercaya.

‫ الوثوق من جهتهم‬:‫ و ثانيا‬،‫ الحاجة إليهم‬:‫ أوال‬:‫ قالوا يجوز االستعانة بالكفر في الحرب بشرطين‬: )‫مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و األحناف‬.

Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi'anah dengan non muslim,
misalnya :

• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh


• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar

KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM. PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH
TERJADI DENGAN IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER

Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar
sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam
konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan
perhatian :

1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-
jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.

2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -
sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum
muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling
yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.

Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak
setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar'i dan doktrin ideologi.

KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN
AGENDA UMAT

Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.

Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:

‫الَّ ِذ َخ َلقَ ا ْلم َْوتَ َوا ْلحَ يَا َة لِ َي ْبلُ َو ُك ْم أَ ُّي ُك ْم أَحْ سَ نُ عَ َمالًال‬

"Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya"(QS Al-Mulk 2)

Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :

‫كتب اإلحسان على كل شيئ‬ ‫إن‬


"Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)

Dalam perspektif syar'i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau
sebagaimana disebutkan oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah. Tentu saja ini sejalan
dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi
pemimpin kaum muslimin.

Untuk membuka peluang yang efektif dalam amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah
kezaliman yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman) maka secara realitas politik itu dapat
dipenuhi jika sejak awal kita mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak awal, maka
kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini,
sesungguhnya melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya mendukung yang paling berpotensi
unggul, adalah bagian dari berbuat ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a'lam

KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT

Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk
umat yang bisa diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat 'muwalah', beliau menyebutkan larangan
memilih non muslim bersifat umum, lalu beliau melanjurkan :

‫ إن كانت في ذلك فائدة مح ة فال بأس به‬:‫و أقول‬.

"Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) "
(Al-jami li ahkamil quran)

Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang segala sesuatunya tentu harus
mempertimbangkan aspek maslahat dan madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul fiqh
salah satunya adalah :

‫وهمي‬
‫ة‬ ‫أن تكون مصلحة ح ي ة و ليست مصلحة‬

"Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga "

Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka
mungkin saja dalam konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat dan madhorot ketika
mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan
madhorot, semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini adalah maslahat.

Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses
musyarokah dan dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa menjadi sarana untuk
mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan, serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari
MADHOROT. Tanpa adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot menjadi sangat debatable,
atau dalam bahasa ushul fiqh :" wahmiyath" . Wallahu Alam

PENUTUP:

Akhirnya, semua yang kami bahas di sini adalah tidak lebih dari analisa syar'i sederhana yang -sesuai kemampuan kami-
saat ini cukup kami yakini kebenarannya. Tetapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya pandangan lain, analisa
lain yang lebih benar dan meluruskan apa yang kami tulis ini. Hanya kepada Allah lah kami meminta ampunan atas
kesalahan dan kekeliruan kami dalam tulisan ini.

ُ‫ت َوإِ َل ْي ِه أُنِيب‬ ِ َّ ‫ت ۚ َومَا َت ْوفِي ِي إِ َّال ِب‬


ُ ‫اهلل ۚ عَ َل ْي ِه َت َو َّك ْل‬ ُ ْ‫اإلصْ َال َ مَا اسْ َت َطع‬ ُ
ِ ْ ‫إِنْ أ ِري ُد إِ َّال‬

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali” (Hud
88).

Solo, 11 Shofar 1431 H

Dewan Syariah Daerah (DSD)


Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta

[i] Ahkam Ahlu Dzimmah, Ibnul Qoyyim al-Jauzi (2/414)


[ii] Ahkam Sultoniyah, Imam Mawardi (1/45)
[iii] Ghoirul Muslimin fi Mujtama' Muslim, dan Ahkam Aqolliyat
[iv] Makalah " Ad-Din wa Siyasah" yang dipresentesaikan dalam Pertemuan ke 15 Majlis Fatwa Eropa tahun 2005
[v] Majmuatur Rosail, Imam Syahid Hasan Al-Banna, Risalu Ta’alim

Anda mungkin juga menyukai