Anda di halaman 1dari 27

PLURALISME HUKUM WARIS : STUDI KASUS HAK WANITA DI

PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT


Erman Rajagukguk

1. Pengantar
Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah
Timur Bali. Berlainan dengan suku Bali yang beragama Hindu, suku Sasak beragama
Islam, jumlahnya sekarang sekitar 2.878.917 jiwa1 Islam mulai datang ke pulau
Lombok pada abad ke 16, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Agama Islam ini
dibawa pengikut para wali dari pulau Jawa dengan bahasa pengantar Jawa Kuno.
Sekarang Lombok terkenal dengan nama “pulau seribu mesjid”, karena banyak mesjid,
tempat suci untuk bersembayang bagi pemeluk agama Islam. Jumlah mesjid sekarang
ini diseluruh pulau Lombok sebanyak 3975 bangunan.2 Namun dalam hal mewaris bagi
wanita, masyarakat Sasak tunduk pada tiga sistem hukum : Hukum Adat, Hukum Islam
yang bersumber kepada Quran dan Hadist, serta hukum negara yang bersumber pada
putusan hakim Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung.
Berdasarkan Hukum Adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris
harta orang tuanya. Ini adalah konsekwensi dari masyarakat Patriachat, yaitu
masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki.
Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam dimana hukum Islam
membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita. Semua putusan Pengadilan
Agama Islam mengikuti Al Quran dalam pembagian warisan. Dalam pada itu sejak
Mahkamah Agung Indonesia menyatakan dalam putusannya pada tahun 1978 dan
diulangi dalam putusan tahun 1985, bahwa hak wanita dan pria dalam alam Indonesia
merdeka adalah sama, maka wanita Sasak mempunyai hak yang sama dalam mewaris
harta orang tuanya. Mahkamah Agung berpendapat pula telah terjadi perubahan sosial
mengenai hak wanita pada masyarakat Sasak, yaitu wanita dulunya menurut Hukum
Adat Sasak tidak berhak mewaris, sekarang masyarakat adat Sasak sendiri yang
mengakui hak wanita untuk mewaris harta orang tuanya. Namun Mahkamah Agung
tidak menyebutkan apakah kemajuan hak wanita tersebut karena perjuangan kaum

1
Data BPS dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2007.
2
Ibid.

1
wanita sendiri? Pengakuan masyarakat terhadap hak wanita Sasak dalam zaman yang
sudah modern ini terjadi dengan sendirinya dan pengadilan menjadikan putusannya
sebagai a tool of social engineering.
Paragrap-paragrap berikut ini akan menerangkan perkembangan terjadinya
pluralisme hukum tersebut sebagai hasil wawancara dengan berbagai anggota
masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, penelitian putusan Pengadilan Agama, dan
Pengadilan Negeri sampai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2
2. Hukum Adat Sasak Tradisional Bercirikan Patrilineal
Menurut Hukum Adat Sasak Tradisional, Suku Sasak menarik garis keturunan
dari pihak laki-laki (patriachat). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi
gelar Baiq dan kaum laki-lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan
bawah baik perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum
perempuannya dipanggil Inaq dan laki-laki dipanggil Amaq. Masyarakat Sasak di Desa
Sade, misalnya, tidak mempunyai lapisan bangsawan. Seluruh penduduknya adalah
bagian bawah dari masyarakat Sasak. Menurut masyarakat desa Sade, suatu desa yang
masih tradisional, walaupun seluruh mereka beragama Islam, mereka tetap tunduk pada
Hukum Adat Sasak Tradisional.3 Menurut Hukum Adat di desa ini wanita tidak
menerima warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada dasarnya
masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik
dari pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan
pindah menjadi keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka
kawin.
Jika wanita Sasak di desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya.
Untuk itu ia boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk
cincin dijarinya, giwang atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai
pada tangannya. Ia tidak akan mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya
untuk anak laki-laki.4
Penduduk Desa Sade sudah ada selama lima belas generasi terdiri dari 150 kepala
keluarga atau 750 jiwa. Dalam percakapan saya dengan seorang warga desa ini,
perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara misan atau saudara sepupu menjadi
kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan. Pekerjaan di desa ini adalah bertani
yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping itu para wanita melakukan
pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan penutup leher untuk
dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya mebuat benang dari
kapas yang ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman padi. Sebagian
besar dari mereka telah membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-laki
mengerjakan sawah mereka. Hasil padi tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Wanita di desa Sade, harus kawin dengan lelaki di desa tersebut.
Bila ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus keluar dari desa tersebut.

3
Interview 17 Oktober 2007.
4
Interview 17 Oktober 2007.

3
Begitu juga pihak pria yang kawin dengan wanita luar desa, ia harus meninggalkan desa
Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke pengadilan sampai saat ini dari desa
tersebut. 5

Membuat Kapas menjadi benang di Dusun Sade

Wanita menenun sarung di Dusun Sade


5
Interview 2 Oktober 2008

4
3. Hukum Islam Mengenai Waris
Hampir seluruh suku Sasak beragama Islam, walau ada di antara mereka,
kelompok kecil dibeberapa tempat seperti, Bayan, Kopang, Narmada dan Lingsar
menganut Islam Waktu Telu. Penganut Islam Waktu Telu ini bersembahyang tiga atau
dalam bahasa Sasak Telu kali sehari, daripada lima waktu Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib
dan Isya seperti agama Islam pada umumnya. Sembahyang tersebut hanya wajib untuk
pemimpin agama mereka saja dan tidak untuk orang biasa. Namun Pemerintah berusaha
agar penganut Islam Waktu Telu ini mengikuti ajaran Islam yang umum, yaitu shalat 5
waktu, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.6
Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti Hukum Islam yang bersumber dari
Quran dan Hadist (perkataan Nabi Muhammad). Hukum Waris Islam bersumber dari
Quran dengan mengutip Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya :

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) anak-anakmu,


bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Dalam bahasa Sasak dikatakan bagian wanita itu “sepersonan” yaitu bagian barang
yang dijunjung di atas kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau
dua pikulan yang diletakan di atas bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah Sasak
bagian laki-laki dan bagian wanita adalah “sepelembah sepersoanan” yaitu 2
berbanding 1. Wanita menjunjung 1 bakul di kepalanya, sedangkan laki-laki yang
membawa pikulan di bahunya selalu terdiri dari 2 bakul atau keranjang.
Dalam wawancara saya dengan seorang ibu di desa Banyu Muleh, Kecamatan
Kediri, Lombok Barat anak laki-laki mendapat warisan 2 bagian dan perempuan 1
bagian mengikuti “sepelembah sepersonan”. Kalau tidak ada anak laki-laki maka semua
warisan tersebut jatuh kepada anak perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu
orang, harta warisan dibagi sama diantara mereka. Warisan itu tidak dibagikan kepada
saudara laki-laki dari almarhum bapaknya. Bila anak perempuan itu hanya satu-satunya
semua harta warisan jatuh kepada anak perempuan satu-satunya itu. Desa Banyu Muleh
terkenal dengan pembuatan gerabah yang tidak saja dipasarkan di Lombok tetapi juga
ke daerah Bali dan diekspor ke berbagai negara. Kaum wanita dipanggil “Inaq” atau

6
Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Pusat
Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek Penelitian Dan Pencatatan, 1977-1978, h. 75

5
juga “Umi” bila sudah menjadi hajjah, yaitu pergi naik haji ke Mekkah. Untuk bapak di
panggil “Amaq”. 7

Mesjid berdekatan di Banyu Muleh

Dipantai Cemara suatu kampung nelayan di Kecamatan Lembar, Lombok Barat,


penduduknya juga mengikuti Hukum Islam dalam hal mewaris. Kalau tidak ada anak
laki-laki, semua harta warisan adalah untuk anak perempuan. Harta warisan tidak
pernah jatuh kepada saudara laki-laki ayahnya. Di desa ini sengketa waris jarang terjadi.
Kalaupun ada sengketa, sengketa tersebut diselesaikan oleh Kepala Dusun. Sengketa
yang dibawa ke Pengadilan Agama hanya soal perceraian.8
Di desa Sembalun (Lombok Tengah), daerah pegunungan Rinjani seluruh suku
Sasak didaerah ini beragama Islam dan pembagian warisan mengikuti Hukum Islam,
yang dalam bahasa daerah disebut “sepelembah sepersonan” atau dua untuk laki-laki
dan satu bagian untuk wanita.9
Dalam wawancara saya dengan seorang wanita di desa Kediri yang terletak hanya
5 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Mataram (Lombok Barat); wanita tersebut
mengatakan bahwa ia baru saja menerima seluruh harta warisan dari almarhum orang

7
Interview 17 Oktober 2007
8
Interview 5 Oktober 2008
9
Interview 10 Oktober 2008

6
tuanya karena ia satu-satunya anak perempuan. Warisan tersebut berupa 2 ha sawah dan
rumah. Masalah warisan tersebut diselesaikan setelah mendapat petunjuk dari Tuan
Guru, pemimpin Agama Islam di desa tersebut. Menurut seorang penjual kopiah yang
menjadi ciri khas produksi desa Kediri, mayoritas penduduk Kediri beragama Islam
dimana pembagian harta warisan adalah “sepelembah sepersonan” dalam bahasa
daerah, yaitu dua untuk laki-laki berbanding satu untuk perempuan.10

Sepelembah (memikul dua bakul)

Sengketa warisan dikalangan suku Sasak tidak jarang pula dibawa ke Pengadilan
Agama. Menurut data pada tahun 2008 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat)
memutuskan 6 sengketa, Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) memutuskan 29
sengketa, dan Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) 58 sengketa. Sampai bulan
Mei 2009 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) memeriksa 2 perkara,
Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) 7 perkara, dan Pengadilan Agama Selong
(Lombok Timur) 38 perkara.11 Data tersebut menunjukkan bahwa Pengadilan Agama
Selong (Lombok Timur) yang paling banyak memeriksa perkara sengketa warisan.

10
Interview 26 Januari 2009.
11
Pengadilan Tinggi Agama di Mataram, Juni 2009

7
Sementara pendapat mengatakan bahwa keadaan itu mungkin disebabkan karena Selong
merupakan tempat para pendidik Agama Islam, sehingga kaum wanita didaerah itu
menuntut haknya mewaris, yang menurut Hukum Adat Sasak Tradisional mereka tidak
mempunyai hak. Adapula yang mengatakan sengketa perkara warisan itu melalui
Pengadilan Agama Selong berjumlah besar, karena adanya para pengacara yang
berjalan ke desa-desa dan menginformasikan hak-hak pria dan wanita mewaris menurut
Hukum Islam.12

Sepersonan (menjunjung satu bakul)

Berikut ini beberapa contoh perkara warisan yang diputus oleh Pengadilan Agama
dan selesai sampai pada pengadilan tersebut saja. Tidak ada pihak yang naik banding ke
Pengadilan Tinggi Agama dan tidak naik kasasi ke Mahkamah Agung Indonesia.

12
Interview di Mataram 17 Juli 2009.

8
Pada tahun 2005 Pengadilan Agama Praya memeriksa perkara Sumenah v. Inaq
Sini et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Sumenah, karena dalam perkawinannya
dengan almarhum Insun alias Haji Mahsun telah memiliki harta kekayaan berupa tanah
sawah, tanah kebun, rumah, sepeda motor, dan 8 ekor sapi. Mereka tidak dikaruniai
anak. Almarhum Haji Mahsun meninggalkan 4 saudara kandung yaitu para tergugat.
Pada waktu berunding untuk pembagian warisan dimana hadir beberapa tokoh
masyaralat (Tuan Guru) perundingan tersebut gagal. Para tergugat tetap
mempertahankan apa yang telah dikuasainya.
Pengadilan Agama Praya akhirnya memutuskan masing-masing ahli waris dan
bagiannya adalah Sumenah (istri) mendapat 3/13 bagian, Inaq Sini (saudari perempuan),
Inaq Napi (saudari perempuan), dan Hj. Alminah (saudari perempuan) secara bersama-
sama mendapat 8/13 bagian, dan Kemat (saudara seibu) mendapat 2/13 bagian.13
Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) pada tahun 2007 telah memeriksa
perkara Amirah v. Ande et.al. Duduk perkaranya bermula dari meninggalnya Mia pada
tahun 1966 dan Istrinya Sadiah pada tahun 2005. Mereka meninggalkan anak 3 orang,
masing-masing Ilah anak perempuan (tergugat V), Amirah anak perempuan (pengugat),
dan Sahan yang telah meniggal dunia pada tahun 1991. Sahan meninggalkan istrinya
Ande tergugat I dan tiga orang anak masing-masing Azhar anak laki-laki tergugat II,
Ramdan anak laki-laki tergugat III, dan Marini anak perempuan tergugat IV. Mia dan
Sadiah almarhum meninggalkan tanah warisan berupa tanah pekarangan, tanah sawah,
dan tanah kebun.
Pengadilan Agama Praya dalam putusannya mengutip Al Quran surat An-Nisa
ayat 11, yang artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka)
anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”,
dan Pasal 176 serta 185 Kompilasi Hukum Islam. Pengadilan Agama Praya selanjutnya
memutuskan bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut14 :
1. Ilah (anak perempuan) ¼ bagian
2. Amirah (anak perempuan) ¼ bagian
3. Sahan (anak laki-laki) 2/4 bagian, masing-masing dari harta warisan, dan khusu
bagian Sahan oleh karena telah meninggal dunia maka digantikan oleh ahli warisnya,
yaitu :
a. Ande (isteri) 1/16 bagian

13
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 30/Pdt.G/2005/PA.PRA, tanggal 22 Agustus 2005.
14
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 262/Pdt.G/2006/PA.PRA., tanggal 4 April 2007.

9
b. Azhar (anak laki-laki) 6/16 bagian
c. Ramdan (anak laki-laki) 6/16 bagian
d. Marini (anak perempuan) 3/16 bagian
Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) juga telah memberikan putusan
dalam perkara Inaq Suni et.al. v. Hj. Salmah et.al. Sengketa timbul setelah Syamsudin
meninggal dunia isterinya Salmah (tergugat) mempunyai 3 orang saudara kandung
masing-masing Inaq Kamariah perempuan (tergugat 2), Inaq Kamran perempuan
(penggugat 2), dan Inaq Suni perempuan (penggugat 1). Almarhum Syamsudin dan
isterinya tidak mempunyai anak, tetapi meninggalkan tanah sawah seluas 1,452 ha yang
dikuasai oleh Hj. Salmah (tergugat 1) seluas 1 ha dan Inaq Kamariah (tergugat 2) seluas
0.452 ha. Penggugat sudah sering meminta kepada tergugat bagiannya secara
kekeluargaan, namun tergugat tidak mau memberikannya tanpa alasan yang jelas.
Pengadilan Agama Praya dalam putusannya menetapkan ahli waris yaitu :
1. Hj. Rakmah (isteri) mendapat 1/4 bagian atau 3/12 bagian.
2. Inaq Kamariah (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.
3. Inaq Kamran (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.
4. Inaq Suni (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian.
Pengadilan Agama Praya berpendapat pula bahwa tanah sawah seluas 14.520 M2
terletak di Setumbak, Desa Jelatik Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah
adalah harta yang berasal dari almarhum H. Syamsudin.15

Penyelesaian melalui Pengadilan Agama tidak jarang juga sampai pada tingkat
banding ke Pangadilan Tinggi Agama, bahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah
Agung Indonesia. Kasus-kasus berikut in menunjukkan hal tersebut.
Pada tahun 1992 Pengadilan Agama Mataram memeriksa sengketa antara Inaq
Putrahimah et.al. v. Amaq Mukminah et.al., dimana Mahkamah Agung Indonesia pada
tingkat kasasi berpendapat selama masih ada anak laki-laki atau anak perempuan dari
almarhum orang tuanya maka saudara-saudaranya yang lain tidak mempunyai hak untuk
mewaris.
Perkara ini bermula dari gugatan Nursaid et.al cucu dari Amaq Itriawan yang
telah meninggal dunia pada tahun 1930. Tergugat adalah Le Putrahimah anak
perempuan dari Amaq Nawiyah yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta

15
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 306/Pdt.G/2007/PA.PRA, 17 Maret 2008.

10
warisan berupa 2 bidang tanah kebun seluas 6 ha. Orang tua Nursaid sendiri meninggal
pada tahun 1950. Pada waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia Le Putrahimah masih
kecil sehingga tanah kebun seluas 6 ha tersebut dikuasai oleh Amaq Itriawan. Setelah
Amaq Itriawan meninggal dunia tanah itu dikuasai oleh Nursaid beserta saudara-
saudaranya.
Pengadilan Agama Mataram berpendapat antara lain, bahwa batas-batas tanah
yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dibuktikan oleh penggugat, sedangkan
tergugat telah menunjukkan pipil garuda sebagai tanda bukti hak milik tergugat. Oleh
karena itu Pengadilan Agama Mataram menolak gugatan pengugat.16
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memutuskan, bahwa
ternyata tanah-tanah kebun sengketa milik Amaq Nawiyah telah dibalikkan namakan
oleh anak perempuannya Le Putrahimah dengan telah memperoleh pipil garuda atas
namanya sendiri. Ternyata tanah sengketa itu belum dibagi waris antara Le Putrahimah
dan saudara laki-laki bapaknya atau pamannya Amaq Itriawan. Amaq Itriawan telah
meninggal dunia tahun 1930 sehingga bagiannya jatuh kepada anak-anaknya. Anak-
anaknya telah meninggal dunia pula sehingga harta warisan itu jatuh kepada cucu-
cucunya Nursaid et.al. Pengadilan Tinggi Agama kemudian menetapkan tanah kebun
pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 luas 3.260 ha dan tanah kebun pipil No. 2532/7002,
Persil No. 375 luas 3.440 ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat,
Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq
Nawiyah yang belum dibagi waris. Dengan demikian Inaq Putrahimah anak perempuan
Amaq Nawiyah (tergugat) mendapat setengah bagian dari kedua tanah kebun di atas.
Almarhum Amaq Itriawan mendapat setengah bagian juga dari kedua kebun tersebut
tetapi karena telah meninggalkan ahli waris seorang istri, 3 (tiga) orang anak laki-laki
dan 4 (empat) orang anak perempuan, maka masing-masing mendapat seperdelapan.17
Pada tinggkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia berpendapat selama masih ada
anak laki-laki dan anak perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris menjadi tertutup. Oleh karena itu Mahkamah Agung
menetapkan Inaq Putrahimah tergugat menjadi ahli waris satu-satunya.18
Pada tahun 1997 Pengadilan Agama di Praya (Lombok Tengah) memeriksa
perkara Amaq Rede v. Serem et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Amaq Rede anak

16
Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr., tanggal 5 Nopember 1992.
17
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr., tanggal 15
September 1993.
18
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 86 K/AG/1994, tanggal 27 Juli 1995.

11
dari Amaq Rabik yang telah meninggal dunia tahun 1947. Amaq Rabik mempunyai
anak laki-laki Amaq Rede dan saudaranya Amaq Gande. Amaq Gande telah meninggal
dunia dan meninggalkan sepuluh orang anak yang sekarang menjadi para tergugat. Pada
tahun 1996 para tergugat langsung mengambil alih tanah sawah dan tanah kebun yang
semuanya berjumlah 1.0768 ha yang sedang dikerjakan oleh Ibu penggugat Inaq Rabik
bersama dengan penggugat.
Majelis Hakim telah memberikan nasehat kepada kedua belah pihak untuk
berdamai, tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim telah melaksanakan pemeriksaan
setempat pada tanggal 19 April 1997 dan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Majelis
Hakim Pengadilan Agama Praya berkeyakinan bahwa tanah-tanah kebun tersebut
adalah milik Amaq Rabik dan bukan peninggalan Amaq Gande. Karena Amaq Rabik
telah meninggal dunia maka bagiannya jatuh kepada Rabik dan Amaq Rede. Setelah
Rabik meninggal dunia bagian Rabik jatuh kepada anak-anaknya, Hamsiah (perempuan)
dan Nuriah (laki-laki). Bahwa tanah sawah dan kebun milik Amaq Rabik yang belum
dibagi waris wajib dibagi kepada ahli waris sesuai Hukum Faraid Islam, yaitu19 :
Tanah Sawah :
a. Rabik mendapat ½ X + 1.000 ha = + 0,500 ha;
b. Amaq Rede mendapat ½ X + 0.0768 ha = + 0.0384 ha.
Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Rabik sebagian :
Tanah Sawah :
a. Hamsiah = 1/3 X + 0.500 ha = + 0.1666 ha.
b. Nuriah = 2/3 X + 0.500 ha = + 0.0512 ha.
Tanah Kebun :
a. Hamsiah = 1/3 X + 0.768 ha = + 0.0258 ha.
b. Nuriah = 2/3 X + 0.768 ha = + 0.0512 ha.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram menyatakan bahwa
yang menjadi sengketa adalah apakah tanah sawah seluas 1 ha hak milik ayah
penggugat atau hak milik ayah tergugat. Maka berdasarkan Pasal 50 UU No. 7 Tahun
1989 sengketa tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan Agama, tetapi wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksanya. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama

19
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 45/Pdt.G/1997/PA.PRA., tanggal 21 Mei 1997.

12
Mataram tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama Praya dan
membatalkan putusan Pengadilan Agama Praya.20
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Agama
Mataram telah salah menerapkan hukum, karena sengketa harta peninggalan tidak
termasuk sengketa milik.21
Pada tahun 2006 Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa
perkara Lalu Purwadi v. Baiq Nursam et.al. Lalu Purwadi (Penggugat) adalah anak
kandung Mamiq Nursam, begitu juga para tergugat saudara perempuannya dari bapak
dan ibu yang sama yang telah meninggal dunia. Kedua orang tuanya telah
meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah pekarangan. Pengadilan Agama
Selong memutuskan bagian masing-masing penggugat dan tergugat sebagai berikut :
1. Lalu Purwadi bin Mamiq Nursam memperoleh 2/5 bagian.
2. Hajjah Baiq Nursam bin Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
3. Hajjah Baiq Sahnun binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
4. Baiq Hadijah binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
Pengadilan Agama Selong juga menetapkan Lalu Purwadi (penggugat) telah menjual 5
are tanah sawah dan 5 are tanah pekarangan, yang kesemuanya itu harus diperhitungkan
menjadi bagiannya.22
Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah menguatkan putusan Pengadilan Agama
Selong tersebut.23 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa
Pengadilan Agama Selong tidak salah menerapkan hukum sehingga Mahkamah Agung
memperkuat putusan tersebut.24
Pada tahun 2006 juga Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) telah
memeriksa perkara. Ishak et.al. v. Mahyin et.al. Duduk perkaranya adalah Ishak et.al.
telah menggugat Mahyin et.al. karena yang terakhir ini telah menguasai satu bidang
sawah dan tiga tanah kebun. Para penggugat telah berulang kali meminta bagian secara
kekeluargaan dari tergugat dengan bantuan kepala desa dan camat, tetapi tidak berhasil.
Pengadilan Agama Praya kemudian dalam putusannya tanggal 5 September 200525,
telah mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menetapkan bahwa ahli waris dari
20
Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 72/Pdt.G/1997/PTA.MTR., tanggal 13 Oktober
1997.
21
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 111 K/AG/1998, tanggal 13 September 1999.
22
Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 121/Pdt.G/2005/PA.SEL., 21 September 2005.
23
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 11/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 23
Februari 2006.
24
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 387 K/AG/2006, tanggal 5 Mei 2008.
25
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 61/Pdt.G/2005/PA.Pra, tanggal 5 September 2005

13
Amaq Sediah adalah Amaq Nursidah (anak laki-laki), Amaq Mun (anak laki-laki),
Amaq Muriah (anak laki-laki), Raminah (anak perempuan), dan Amaq Darsiah (anak
laki-laki). Pengadilan Agama Praya juga menetapkan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut :
1. Amaq Nursidah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya
dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan.
2. Amaq Mun mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
3. Amaq Ariah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
4. Raminah mendapat 1/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anaknya.
5. Amaq Darsiah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram membatalkan putusan
Pengadilan Agama Praya tersebut.26 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menguatkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama karena Pengadilan Agama Praya telah keliru dalam
pertimbangan hukumnya. Menurut Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
masih menjadi pertanyaan apakah obyek sengketa merupakan harta peninggalan Amaq
Sediah atau harta benda milik pribadi dari anak dan/atau cucu Amaq Sediah, karena
tidak terbukti dalam proses pemeriksaan Amaq Sediah meninggalkan harta warisan
yang belum dibagi waris, dan Pengadilan Agama Praya hanya berwenang menetapkan
siapa ahli waris dari Amaq Sediah. Oleh karena obyek sengketa dalam perkara ini
menyangkut hak, maka menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.27
Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) pada tahun 2007 memeriksa perkara
antara Inaq Illah et.al. v. Lemin et.al. Para penggugat dan para tergugat adalah ahli
waris dari almarhum Amaq Ruminah yang meninggal dunia tahun 1986. Amaq
Ruminah semasa hidupnya telah kawin sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama dengan
seorang perempuan Inaq Tilem yang meninggal dunia tahun 1960. Amaq Ruminah
kawin lagi dengan seorang perempuan bernama Inaq Saleha. Kemudian ia kawin lagi
untuk ketiga kalinya dengan Inaq Illah (penggugat I). Dalam perkawinan dengan Inaq
Tilem mereka mempunyai dua orang anak yaitu Ruminah dan Lemin (tergugat).

26
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 18/Pdt.G/2006/PTA.Mtr, tanggal 21 Maret
2006.
27
Putusan Mahkamah Agung, No. 368 K/AG/2006, tertanggal 3 Januari 2007.

14
Perkawinan dengan Inaq Saleha tidak memiliki anak. Perkawinan antara Amaq
Ruminah dengan Inaq Illah (penggugat I) melahirkan tiga orang anak yaitu Sahabudin
laki-laki (penggugat II), Aminullah laki-laki (penggugat III), dan Haeriah perempuan
(penggugat IV). Pada tahun 1982, Ruminah meninggal dunia dan meninggalkan lima
orang anak, yaitu Sajidin (laki-laki), Marjuki (laki-laki), Saeniah (perempuan), Asiah
(perempuan), dan Sapiah (perempuan). Almarhum Amaq Ruminah meninggalkan harta
warisan berupa tanah sawah 3.813 M2 yang dikuasai oleh Lemin. Penggugat meminta
harta warisan tersebut di bagi menurut hukum Islam. Tergugat menyatakan dalam
jawabannya terhadap gugatan itu bahwa penggugat Inaq Illah telah diceraikan oleh
Amaq Ruminah dan kemudian telah kawin lagi dengan Ketut Brata yang beragama
Hindu. Karena keluar dari agama Islam maka menurut tergugat Inaq Illah tidak berhak
terhadap harta warisan. Pengadilan Agama Mataram dalam putusan tanggal 22 Februari
2006 menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya.28
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya
membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut dan menetapkan ahli waris
Amaq Ruminah almarhum yaitu Sahabuddin, Aminullah, Haeriah, Lemin, Sajidin,
Marzuki, Saeniah, Asiah, Sapiah.29 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan
bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum dan menolak permohonan
kasasi dari Inaq Illah dan lain-lainnya.30
Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa sengketa warisan
dalam perkara Amaq Munasih et.al. v. Amaq Subur et.al. Bahwa yang menjadi pewaris
dalam perkara ini adalah almarhum Papuq Sap yang meninggal dunia tahun 1964 dan
isterinya Inaq Herman yang juga telah meninggal dunia tahun 1981. Pewaris
meninggalkan lima orang anak yaitu Amaq Inah, Inaq Samiah, Inaq Nang, Amaq
Kesim, Amaq Munasih, anak-anak itu semua telah meninggal dunia sehingga sekarang
yang menjadi ahli waris adalah cucu-cucunya. Pewaris meninggalkan pula dua bidang
tanah sawah yang luasnya 136 Are atau 1.340 ha. Tanah tersebut sekarang dikuasai oleh
para tergugat yang juga cucu pewaris almarhum. Penggugat yang juga cucu pewaris
meminta pembagain harta warisan tersebut.

28
Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 144/Pdt.G/2005/PA.MTR, tanggal 22 Pebruari
2006.
29
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 38/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 19 Juli
2006.
30
Putusan Mahkamah Agung, No. 15 K/AG/2007, tanggal 30 Mei 2007.

15
Pengadilan Agama Selong menetapkan bagian ahli waris masing-masing yaitu
Amaq Inah 2/7, Inaq Samiah 1/7, Inaq Nang 1/7, Amaq Kesim 2/7, Amaq Munasih 2/7.
Anak-anak mereka yang perempuan mendapat satu bagian dan anak laki-laki dua
bagian.31 Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki
putusan Pengadilan Agama Selong tersebut.32 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung
menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.33
Pada tahun 2008 Pengadilan Agama Selong telah memeriksa perkara sengketa
warisan Rohini et.al v. H. Sajidi, yang melibatkan harta bersama pewaris dan isterinya.
Pewaris H. Faturahman telah meninggal dunia pada tahun 1981, dan meninggalkan
seorang isteri serta 4 orang anak yaitu Redah, Rohini, Hj. Rehanah, H. Sajidi, dan Hj.
Nurhasanah. Pewaris meninggalkan juga tanah sawah dan tanah kebun sebagai harta
bersama. Tanah tersebut dikuasai oleh tergugat II. Penggugat telah berusaha untuk
menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan, namun selalu ditolak oleh tergugat.
Oleh karena itu penggugat meminta kepada Pengadilan Agama agar harta warisan
dibagikan menurut Hukum Islam, dimana terlebih dahulu harta dibagi dua antara suami
(pewaris) dengan isterinya karena merupakan harta bersama. Pengadilan Agama Selong
dalam putusannya menetapkan bahwa setengah dari harta bersama tersebut merupakan
hak dari Redah isteri almarhum dan setengah lagi adalah hak almarhum H. Faturahman,
yang harus dibagi kepada semua ahli waris. Pengadilan Agama Selong kemudian
menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman almarhum yaitu34 :
1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan.
2. Rohini (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan.
5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki putusan
Pengadilan Agama Selong tersebut dan menetapkan masing-masing ahli waris sebagai
berikut :
1. Redah (isteri) mendapat 5/40.
2. Rohini (anak perempuan) mendapat 7/40.

31
Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 407/Pdt.G/2006/PA.SEL, tanggal 29 Maret 2007.
32
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 37/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 28 Juni
2007.
33
Putusan Mahkamah Agung, No. 121 K/AG/2008, tanggal 6 Juni 2008.
34
Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 118/Pdt.G/2007/PA.SEL, tanggal 19 Juli 2007

16
3. Hj. Rehanah (anak perempuan) mendapat 7/40.
4. H. Sajidi (anak laki-laki) mendapat 14/40.
5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) mendapat 7/40.
Selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Mataram juga menetapkan perolehan Redah
(isteri) adalah ½ harta bersama ditambah 5/40, Hj. Rehanah adalah 7/40 dikurangi Rp.
75.000.000,-, dan H. Sajidi adalah 14/40 ditambah bagian senilai Rp. 75.000.000.-.35
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi mendengarkan permohonan pemohon
kasasi dahulunya tergugat II dalam memori kasasinya yang pada pokoknya menyatakan
antara lain :
1. Judex facti pada pertimbangan hukumnya yang mengambil alih begitu saja
pertimbangan hukum Pengadilan Agama Selong, dan tidak mempertimbangkan
fakta-fakta nyata yang terjadi antar para pihak dan fakta-fakta hukum yang terungkap
di persidangan. Pengadilan Agama Selong tidak mempertimbangkan dengan lengkap
akan keseluruhan fakta-fakta hukum tersebut.
2. Permasalahan hukum antara pihak yang berperkara haruslah dipertimbangkan sesuai
dengan rasa keadilan dan fakta akan kebenaran dari apa yang telah terjadi baik secara
formil ataupun meteril di antara kedua belah pihak. Kenyataanya pihak termohon
kasasi/penggugat/terbanding sebelumnya sudah setuju dan menerima pemberian dari
pemohon kasasi/tergugat/pembanding berupa hasil-hasil dari objek sengketa dengan
kata lain bersedia diberikan sebagian dari hasil objek sengketa saja, bukan
mendapatkan tanahnya tetapi cukup hasilnya saja, sebagaimana kebiasaan atau adat
di Dusun Pringgajurang sendiri, bahwa keturunan atau laki-laki saja yang berhak atas
“tanah” sedangkan yang anak perempuan cukup “hasilnya” dari tanah warisan orang
tuanya.
3. Dalam perkara ini baik Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong maupun
Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah tidak mempertimbangkan bahwa kelebihan
dari bagian yang telah dijual oleh salah satu pihak berperkara harus pula ditanggung
olehnya.
Mahkamah Agung berpendapat terlepas dari alasan kasasi tersebut di atas, dengan
tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon
kasasi, menurut pendapat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :

35
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 64/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 15
Nopember 2007.

17
1. Objek sengketa dalam surat gugatan berupa tanah sawah seluas 33 are yang telah
diperjual belikan oleh tergugat I kepada tergugat II harus diperhitungkan sebagai
harta bersama antara pewaris (H. Faturahman) dengan Raedah.
2. Objek sengketa tersebut juga harus dibagi dua antara pewaris (H. Faturahman)
dengan Raedah.
3. ½ (seperdua) bagian pewaris (H. Faturahman) dari objek sengketa tersebut
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli warisnya.
4. Penyelesaian jual beli terhadap objek sengketa tersebut merupakan urusan antara
tergugat I dengan tergugat II.
5. Oleh karena objek sengketa merupakan harta bawaan harus ditetapkan sebagai harta
bawaan pewaris (almarhum H. Faturahman) yang harus dibagi waris dengan ahli
warisnya.
Mahkamah Agung akhirnya memutuskan, antara lain36 :
a. Menetapkan ½ (seperdua) dari harta warisan merupakan hak Redah dan ½ (seperdua)
lainnya menjadi hak almarhum H. Faturahman yang harus dibagi waris kepada ahli
warisnya.
b. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman adalah sebagai berikut:
1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan.
2. Rohin (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan.
5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.

4. Penyelesaian Sengketa Warisan di Pengadilan Negeri


Walaupun masyarakat Sasak beragama Islam, mereka yang bersengketa soal
warisan tidak selalu pergi ke Pengadilan Agama, melainkan mencari keadilan ke
Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung Indonesia telah melakukan perubahan terhadap
hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam Inaq Rasini v. Amaq Atimah
et.al, (1978)37. Mahkamah Agung memutuskan bahwa sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), juga di
Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini

36
Putusan Mahkamah Agung, No. 515 K/AG/2008, tanggal 6 Maret 2009.
37
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9-2-1978.

18
penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak perempuan, mewarisi seluruh harta
peninggalan dari bapaknya.
Mahkamah Agung Indonesia sebelumnya telah melakukan perubahan terhadap
Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara yang menganut garis keturunan patrilineal,
dalam perkara Sitepu v. Ginting (1961)38. Menurut Hukum Adat Batak Karo di
Sumatera Utara pada waktu itu, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki
sesuai dengan masyarakat patrilineal. Namun Mahkamah Agung Indonesia dalam
tingkat kasasi telah memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Kabanjahe dan Pengadilan Tinggi Medan, dan menetapkan anak perempuan mendapat
warisan dalam perkara itu. Menurut Mahkamah Agung Indonesia, berdasarkan rasa
perikemanusian dan keadilan umum atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria
sebagai hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari
seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti, bahwa
bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, maka juga di tanah Karo
seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima
bagian atas harta warisan dari orang tuanya. Putusan Mahkamah Agung ini semula
mengguncangkan masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, namun mendapat
sambutan hangat dari kaum wanita masyarakat tersebut. Putusan ini dianggap sebagai
tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan
kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membuat yurisprudensi baru
dalam soal warisan di Tapanuli (Sumatera Utara).
Kembali kepada Putusan Mahkamah Agung di Lombok dalam Inaq Rasini v.
Amaq Atimah et.al (1974), Mahkamah Agung mengutip putusannya dalam Ginting v,
Sitepu di tanah Karo, dengan mengatakan sebagaimana putusan Mahkamah Agung di
Batak Karo, maka wanita Sasak di Lombok juga adalah sebagai ahli waris dari orang
tuanya almarhum.
Kaum laki-laki suku Sasak yang saya tanya tentang putusan Mahkamah Agung
tersebut berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut sudah adil dan tepat.
Pada zaman sekarang ini kaum wanita Sasak sudah ikut bekerja seperti kaum laki-laki
untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, maka sudah tepatlah bila wanita Sasak juga
menjadi ahli waris dari orang tuanya.39

38
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 179/Sip/1961, tanggal 1-11-1961
39
Interview 4 Oktober 2007

19
Dalam kasus Inaq Supar et.al. v. Amaq Mali et.al. (1976)40, Makamah Agung
Indonesia kembali menyatakan bahwa perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya
almarhum. Dalam perkara ini Inaq Supar (wanita) dan Inaq Kamar (wanita) tinggal di
Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat telah mengajukan gugatan kepada
Amaq Mali (laki-laki), Amaq Sani (laki-laki), Amaq Su (laki-laki), dan Amaq Mulinah
(laki-laki). Duduk perkaranya adalah Amaq Siti (laki-laki) telah meninggal dunia dan
bersaudara kandung dengan Amaq Ipah (laki-laki) dan bersaudara sepupu dengan Amaq
Radiah. Kakek penggugat telah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah
sejumlah 1,060 ha yang dikuasai oleh tergugat I dan tanah kebun jumlahnya 1,225 ha
yang dikuasai oleh tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV. Penggugat telah meminta
bagian dari tanah-tanah itu dengan baik-baik tetapi tidak dikabulkan. Pengadilan Negeri
Mataram dalam pertimbangan hukumnya, antara lain menyatakan, bahwa terhadap suku
Sasak di Lombok Barat berdasarkan yurisprudensi maupun kenyataan hukum adat yang
masih hidup menjadi dasar penyelesaian sengketa waris-mewaris. Bahwa menurut
Hukum Adat sekarang ini, diakui bahwa anak perempuan adalah ahli waris. Hal ini
dipertegas oleh hasil penelitian Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat tentang Hukum
Adat Waris di Lombok Barat bulan Pebruari 1974.
Terbukti bahwa Amaq Siti yang meninggal tahun 1956 tidak mempunyai
keturunan yang lain selain Le Siti yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Le Siti
sebelum meninggal telah kawin dan mempunyai dua anak perempuan bernama Inaq
Supar dan Inaq Kamar, para penggugat. Dengan demikian para penggugat adalah cucu
dari almarhum Amaq Siti. Bahwa sekiranya Le Siti masih hidup dan Amaq Siti
meninggal lebih dahulu, maka menurut Hukum Adat Sasak, Le Siti adalah satu-satunya
ahli waris dari almarhum Amaq Siti. Oleh karena para penggugat adalah cucu almarhum
Amaq Siti maka para penggugat adalah ahli waris yang sah dari Amaq Siti.
Para penggugat baik sejak hidupnya Amaq Siti dan setelah meninggalnya Ibu
penggugat (Le Siti), penggugat tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta-harta
peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, sehingga penggugat ahli waris yang berhak
atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, keadaanya sangat menyedihkan.
Oleh karena itu dipandang sangat tidak adil, apabila penggugat yang semestinya berhak
atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut keadaanya menjadi terlantar,
karena sama sekali tidak menikmati harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut.

40
Putusan Pengadilan Negeri Mataram, No. 049/PN.Mtr/Pdt/1970, tanggal 27 Desember 1976.

20
Oleh karena tergugat telah cukup menikmati dan memanfaatkan harta peninggalan
almarhum Amaq Siti, yang bahkan dari harta-harta itu mereka dapat membeli tanah-
tanah sawah baru, maka pengadilan berpendapat bahwa sangat adil kalau masa
menikmati atau memanfaatkan harta peninggalan almarhum Amaq Siti sehingga dapat
membeli tanah sawah sendiri dari hasil harta-harta peninggalan almarhum tersebut
sebagai bagian dari tergugat, sehingga terhadap seluruh harta peninggalan almarhum
Amaq Siti, para tergugat tidak berhak lagi dan harus menyerahkan kembali tanah-tanah
sengketa dalam perkara ini kepada para penggugat sebagai ahli waris sah dari almarhum
Amaq Siti yang berhak memiliki tanah-tanah sengketa tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat harus
dikabulkan. Akhirnya Pengadilan Negeri Mataram menyatakan, oleh karena sengketa
ini adalah masalah hak, yakni berdasarkan pertimbangan tersebut di atas bahwa
penggugat adalah yang berhak dan pemilik atas tanah sengketa ini.
Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding dalam putusannya tanggal 27
Juni 1977 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, dan menyatakan bahwa
para penggugat adalah ahli waris dari Amaq Siti.41
Mahkamah Agung Indonesia pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan
Tinggi Denpasar tidak salah menerapkan hukum dan memperkuat putusan tersebut,
artinya para penggugat yakni Inaq Supar dan Inaq Kamar berhak atas tanah warisan
itu.42
Pengadilan Negeri Selong pada tahun 1977 dalam perkara Baiq Fadlah et.al., v.
Baiq Saeah menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sebagai anak perempuan berhak
mewaris dengan mendapat setengah bagian yang menurut Hukum Adat Sasak disebut
“sepersonan”. Duduk perkaranya adalah Baiq Fadlah dan Lalu Ahmad yang tinggal di
Desa Labuhan Lombok Timur menggugat saudaranya Baiq Saeah yang tinggal di
daerah yang sama. Sengketa ini bermula dari meninggalnya Ibu para penggugat dan
tergugat dengan meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah kebun. Setelah
40 hari upacara kematian Ibu mereka pada tahun 1977, ternyata baru diketahui tanah
sawah yang jumlahnya 5,670 ha dan tanah kebun seluas 2,200 ha telah dihibahkan oleh
Ibu mereka sebelum meninggal dunia atas bujuk rayuan tergugat, Baiq Saeah tanpa
pengetahuan para penggugat. Para penggugat dengan demikian tidak mendapat harta
warisan. Para penggugat minta kepada Pengadilan Negeri agar memberikan putusan

41
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 102 /PTD/1977/Pdt., tanggal 27 Juni 1977.
42
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 853 K/Sip/1978, tanggal 29 April 1981.

21
yang adil. Menurut para penggugat berdasarkan Hukum Adat Sasak pihak laki-laki
mendapat sepelembah atau 2 bagian dan pihak perempuan mendapat sepersonan atau
satu bagian. Tergugat menjawab bahwa menurut Hukum Adat Sasak perempuan tidak
mendapat warisan dan hibah itu diberi dengan keikhlasan Ibunya sendiri yang
dirawatnya selama sakit. Pengadilan Negeri Selong dalam putusannya menyatakan
bahwa menurut azas hukum yang umum, suatu hibah tidak boleh merugikan ahli waris
yang berhak. Sehingga dengan demikian surat hibah itu dibatalkan oleh pengadilan dan
para penggugat dinyatakan sebagai ahli waris juga. Pengadilan Negeri Selong membagi
harta warisan tersebut “sepelembah sepersonan” atau dua bagian untuk anak laki-laki
dan satu bagian untuk anak perempuan.
Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding menguatkan putusan
Pengadilan Negeri tersebut.43 Mahkamah Agung Indonesia memperkuat putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar karena sudah sesuai dengan Hukum Adat setempat.44
Pada tahun 1982, Putusan Pengadilan Negeri Selong menyatakan bahwa wanita
Sasak tidak saja sebagai ahli waris, tetapi juga mendapat bagian yang sama dengan
kaum laki-laki sepertinya mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Sasak di
Lombok. Dalam perkara Inaq Sanah et.al v. Kadirun et.al (1982)45, Pengadilan Negeri
Selong di Lombok Timur menyatakan perlu dikaji latar belakang sosiologis keadaan
Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, khususnya mengenai Hukum Waris Adat di
daerah Lombok Timur. Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga di daerah ini,
khususnya warga masyarakat persekutuan adat suku Sasak di Pulau Lombok, bahwa
didalam tiga dasawarsa terakhir ini telah terjadi banyak kemajuan yang telah dicapai
didalam hidup dan kehidupan mereka baik di bidang sosial, ekonomi, budaya,
pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut Pengadilan Negeri Selong lagi, kemajuan-
kemajuan di atas ternyata telah banyak berpengaruh terhadap pola dan cara berpikir
anggota masyarakat adat suku Sasak. Pengadilan Negeri Selong berpendapat, kita dapat
melihat status dan derajat wanita telah mengalami perubahan-perubahan, yaitu menjadi
setarap dan sejajar dengan kaum lelaki. Kesempatan yang sama diberikan untuk
memperoleh pendidikan antara anak laki-laki dan anak wanita, kemudian diikuti pula
dengan kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh lapangan pekerjaan dan
sebagainya. Maka bukan hal yang aneh lagi berbagai jabatan dan profesi juga terisi oleh

43
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 187/PTD/1977/Pdt., tanggal 11 April 1979.
44
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 2014 K/Sip/1979, tanggal 19 Mei 1981.
45
Putusan Pengadilan Negeri Selong tanggal 27 Desember 1982 No. 164/P.N.Sel/1982/Pdt.

22
wanita-wanita suku ini. Logis dan sudah sewajarnyalah diikuti pula dengan hak dan
kedudukan yang sama dalam hukum, khususnya dalam Hukum Waris.
Menurut Pengadilan Negeri Selong, merupakan suatu ilusi yang kosong jika ada
sementara anggapan yang mau dan akan tetap mempertahankan pola dan nilai-nilai
hidup sebagaimana tercermin didalam ketentuan Hukum Adat lama yang telah usang,
ketinggalan zaman, yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan
masa sekarang dan tidak pula sesuai dengan rasa keadilan hukum dari masyarakat Sasak
sendiri di zaman sekarang. Kalaupun ada yang beranggapan nilai-nilai hukum Waris
lama itu masih tetap hidup dan tetap terpelihara, itu hanya hidup dalam pola berpikir
sementara orang-orang yang mempunyai pamrih material semata-mata yang ingin
mendominier harta warisan untuk diri sendiri tanpa memberikan hak waris kepada anak
wanita atau saudara-saudara wanitanya.
Pengadilan Negeri Selong mengutip pula penelitian “Perkembangan Hukum Adat
Suku Sasak” yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun
1979. Sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok, khususnya di daerah Kecamatan
Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris Adat
khususnya tentang kedudukan anak wanita. Jika menurut Hukum Adat yang lama anak
wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris barang-barang tidak bergerak
seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui dimana kedudukan
wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan peninggalan orang
tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Keadaan-keadaan di atas mau tidak mau haruslah ditafsir sebagai telah terjadi
pergeseran pola berpikir di kalangan warga suku ini kearah kemajuan (modernisasi).
Dari realita-realita yang terjadi di dalam masyarakat adat tersebut di atas, maka secara
filosifis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan kedudukan antara anak laki-laki
dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita tidak lagi sebagai selalu
berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya mempunyai harkat dan
martabat yang sama.
Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat tersebut ternyata diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan hukum.
Di dalam masyarakat adat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-
nilai hukumnya.

23
Situasi dan kondisinya sekarang telah berubah. Dalam realita di tengah-tengah
masyarakat adat suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru yang selaras dan sejalan
dengan kebutuhan perkembangan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Dirasakan
tidak adil lagi anak wanita dianggap sebagai bukan ahli waris. Anak wanita sekarang
sudah diakui sebagai ahli waris. Sebagai konsekuensi logis maka kepadanya haruslah
pula diberikan hak untuk mendapatkan warisan atas peninggalan orang tuanya.
Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan
kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai falsafah negara kita Pancasila
serta penjabarannya di dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mengingat pula akan rasa
keadilan umum, serta nilai-nilai hukum yang hidup serta diindahkan berlakunya di
dalam masyarakat yang bersangkutan (living law), maka didalam kasus ini Pengadilan
sependapat dan layak untuk berpedoman kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung
Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia tertanggal 11 Nopember 1961, No. 179
K/Sip/1961. Intinya sebagai berikut : “Anak perempuan dan anak laki dari seorang
peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian
anak laki sama dengan anak perempuan”.
Lebih realistis lagi sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus ini
melihat yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia yang diterapkan di daerah Pulau
Lombok ini, tertanggal 9 Februari 1978 No. 1589 K/Sip/1974 dalam perkara antara Inaq
Rasini v. Amaq Atimah et.al., yang isinya adalah sebagai berikut : “Sesuai dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia terhadap anak perempuan di Tapanuli juga
di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam hal ini
penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak mewaris seluruh harta peninggalan
dari bapaknya”.
Pengadilan dalam kasus ini melalui putusannya berusaha mendekati serta
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat adat yang bersangkutan, serta dapat pula
memenuhi rasa keadilan masyarakat adat yang bersangkutan. Melalui suatu putusan
hakim yang adalah juga merupakan sumber hukum, berusaha menempatkan hukum
sebagai sarana pembangunan, law is a tool of social engineering.
Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, khususnya kedua buah
yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia di atas, maka Pengadilan Selong didalam
kasus ini berpendapat bahwa sudah sepantasnya, serta adil diberikan hak yang sama
kepada semua anak-anak kandung/anak turunan almarhum Amaq Seniah untuk

24
mewarisi tanah sawah dan kebon sengketa peninggalannya, dalam hal ini kepada
penggugat dan tergugat, bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak wanita.
Cara yang tepat untuk melakukan pembagian warisan atas tanah sengketa adalah
dengan terlebih dahulu mengangkat kembali ke posisi semula dari si peninggal warisan
(almarhum Amaq Seniah). Setelah itu baru dibagi sama terhadap semua anak-anak
kandungnya, dan selanjutnya masing-masing bagiannya diteruskan kepada turunan
berikutnya menurut garis ke bawah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan pada
akhirnya memperoleh kesimpulan, bahwa pihak penggugat telah dapat membuktikan
dalil gugatannya. Oleh karena itu gugatan penggugat sudah selayaknya dikabulkan.
Pengadilan Negeri Selong akhirnya menetapkan dan mensahkan para penggugat
dan para tergugat, kedua pihak adalah ahli waris dari almarhum Amaq Seniah dan
berhak mewaris tanah sawah dan kebun sengketa tersebut dengan pembagian yang
sama.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengambil alih
pertimbangan dan kesimpulan hakim Pengadilan Negeri Selong, menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Selong tersebut.46 Pada tingkat kasasi pemohon-pemohon kasasi
dahulu para tergugat menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Selong dan
Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan alasan :
1. Di Pulau Lombok, di Lombok Timur khususnya di Kecamatan Sukamulia, di desa
Padamara seorang wanita bukanlah sebagai ahli waris, karena menganut sistem
perkawinan yang ditarik dari garis keturunan laki-laki sebab menganut sistem
Patrilineal. Wanita tidak bisa mewarisi harta pusaka yang berasal dari orang tua baik
berupa tanah sawah maupun tanah kebun. Wanita hanya bisa mewarisi terbatas pada
harta benda yang bergerak, misalnya, perhiasan-perhiasan dan barang-barang
kebutuhan sehari-hari.
2. Dasar putusan hakim yang menyamakan kedudukan seorang wanita dan laki-laki ini
hanya berpatokan kepada kemajuan zaman saja. Menurut pemohon-pemohon kasasi
dahulu para tergugat, bagaimanapun kemajuan zaman, kaum wanita tidak bisa
menjadi Kepala Keluarga dan untuk ini selalu dipegang oleh kaum pria. Atas dasar
ini pula maka timbullah suatu perbedaan hak mewaris yang berhubungan dengan
harta pusaka.

46
Putusan Pengadilan Tinggi Mataram, No. 17Pdt/1984/PT.NTB, tanggal 26 Maret 1984.

25
3. Bila ditinjau lebih jauh, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah bertentangan
dengan hukum waris yang diatur dalam Kitab Al quran surat An Nissa’ ayat 11, dan
bertitik tolak dari kedua sumber hukum tadi yaitu baik ditinjau dari Hukum Adat
maupun Hukum Islam, maka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah
menerapkan hukum materialnya, apalagi di Lombok Timur. Khususnya di desa
Padamara masih kuat berlaku Hukum Adat maupun Hukum Islam sampai sekarang
dan perlu pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat menjelaskan bahwa
Hukum Waris yang dipergunakan untuk membagi harta warisan yang dipakai adalah
Hukum Adat.
Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan keberatan-keberatan tersebut.
Berdasarkan apa yang dipertimbangkan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak
salah menerapkan hukum.47
Setelah putusan Mahkamah Agung itu keluar, gugatan-gugatan perkara waris
lainnya yang dibawa kaum wanita bertambah ke Pengadilan Negeri di Lombok.48

5. Kesimpulan
Masyarakat Sasak dalam hal mewaris terbagi atas tiga macam yaitu pertama,
mereka yang tetap patuh kepada Hukum Adat Tradisional yang bercirikan sistem
patrilineal murni. Pada masyarakat ini, kaum wanita tidak mendapat warisan. Walaupun
golongan ini sudah dalam jumlah yang kecil, misalnya, seperti penduduk desa Sade
(Lombok Tengah), tetapi sistem ini masih tetap berlaku di desa tersebut. Kedua,
golongan masyarakat yang tetap patuh kepada Hukum Islam, dimana wanita mendapat
satu bagian berbanding dua bagian untuk pria. Pengadilan Agama di Lombok selalu
memegang teguh pembagian warisan menurut Hukum Islam ini. Mahkamah Agung
dalam putusan-putusannya belum ada yang mengubah pembagian warisan yang
dilakukan oleh Pengadilan Agama ini pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung
kelihatannya berhati-hati benar bila berhadapan dengan Hukum Islam yang bersumber
kepada Quran dan Hadist. Ketiga, golongan masyarakat Sasak yang beragama Islam
tetapi membawa sengketa warisannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam
suatu putusannya berpendirian bahwa telah terjadi perubahan sosial di Lombok terhadap
kaum wanita. Sekarang ini menurut Pengadilan Negeri dalam putusan tersebut, hak
wanita dan pria adalah sama. Pernah Pengadilan Negeri di Selong memutuskan hak

47
Putusan Mahkamah Agung, No. 2662 K/Pdt/1984, tanggal 26 Nopember 1985.
48
Interview 17 Juli 2009

26
wanita dan pria itu dalam mewaris adalah sama, satu berbanding satu. Putusan ini
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dengan demikian
pemeriksaan tingkat kasasi dari putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan
Agama tingkat pertama, Mahkamah Agung tetap mengikuti Hukum Islam. Akan tetapi
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap perkara waris yang datang dari
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sudah menerapkan putusan bahwa wanita dan
laki-laki mempunyai hak yang sama, satu berbanding satu. Dalam masyarakat Sasak
sendiri sudah terjadi laki-laki yang kasihan kepada adik perempuannya yang miskin,
sehingga adiknya itu mendapat harta warisan lebih besar. Ada juga bapak yang lebih
sayang kepada anak perempuannya sehingga sewaktu ia hidup telah memberikan
hartanya (hibah) kepada anak perempuannya tersebut.
Perubahan hukum berlangsung secara kualitatif dan bukan kuantitaitf. Artinya
satu putusan Mahkamah Agung saja pada permulaan, berarti telah terjadi perubahan
hukum, seperti putusan Mahkamah Agung pada masyarakat Batak Karo di Kabanjahe.
Dapat dikatakan, pluralisme hukum dalam mewaris bagi wanita Sasak Lombok telah
terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini.

________

27

Anda mungkin juga menyukai