Anda di halaman 1dari 29

SKENARIO 1

SAMA TAPI BEDA

Si A dan Si B sebaya, ulang tahun mereka hanya berbeda beberapa hari. Saat ini usia mereka
telah 18 tahun lebih 3 bulan, sejak kecil mereka selalu bersama-sama dalam berperilaku
keduanya sering berbeda. Orang-orang sekitarnya sering bertanya-tanya mengapa perilaku
mereka berbeda padahal selain usianya juga sama keduanya juga berasal dari sosio ekonomi
yang hampir sama. Dalam keseharian si A lebih santun, hormat dan mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan, sedangkan si B dapat dikatakan justru kebalikkannya. Dan saat diselidiki
dengan seksama diketahui bahwa antara keduanya diasuh orang tua masing-masing yang berbeda
polanya, dimana si B diasuh secara permisif.

1
TAHAP II INDENTIFIKASI ISTILAH

Permisif :
- Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa bahwa
pola asuh kofersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai pengambil
keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat
kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri.
- Jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak.

2
TAHAP II INDENTIFIKASI MASALAH

1. Pola Asuh Orang Tua


2. Dampak Pola Asuh
3. Kepribadian

3
TAHAP III ANALISA MASALAH

1. Pola Asuh
Pola asuh adalah cara dan bentuk yang diberikan dalam mengasuh anak. Ada beberapa tipe
dalam memberikan pola asuh yaitu:
- Pola asuh permisif
- Pola asuh otoriter
- Pola asuh otoritatif
- Pola asuh penelantar.

2. Dampak Pola Asuh


Pola asuh yang baik akan berdampak baik dan juga sebaliknya. Banyak dampak pola asuh yang
terjadi pada diri anaknya, hal ini tergantung pada tipe pola asuh anak tersebut.
Pada anak dalam pola asuh tipe otoriter akan berdampak seperti tidak bahagia, paranoid, mudah
sedih,dan lain-lain. Pola asuh permisif akan berdampak kurang perhatian, merasa tidak berarti,
rendah diri, dan lain-lain. Pola asuh otoritatif akan berdampak akan hidup ceria, menyenangkan,
kreatif, cerdas, percaya diri, dan lain-lain. Sedangkan pola asuh pelatar akan berdampak tidak
mau mengalah, ingin menang sendiri, dan lain-lain.

3. Kepribadian
Kepribadian : kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran,
perasaan dan perilaku yang konsisten.
Orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Pola asuh itu sendiri sangat
berhubungan erat dengan keprbadian anak setelah dewasa karna sebagian besar cirri watak dan
tingkahlaku telah tertanam dan melekat sejak kecil, misalnya kebersihan, disiplin dan lain-lain.

4
TAHAP IV STRUKTURISASI

Pola Asuh

Otoriter Permisif Ortotatif

Dampak Pola Asuh

Kesehatan Jiwa Terganggu

Kepribadian Berubah

Perubahan Pola Asuh

5
TAHAP V LEARNING ISSUE

1. Pola asuh
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Faktor pola asuh
d. Dampak negatif dan positif
2. Kepribadian
a. Definisi
b. Perkembangan
c. Struktur kepribadian

6
POLA ASUH
1. Definisi

Pola adalah bentuk, gambaran atau cara. Asuh adalah menjaga, merawat, memelihara, mendidik,
dan membibing.
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anakanya. Menurut
Maichati (Sayuti, 1993: 2), pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten
dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.

2. Klasifikasi

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh
keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak
faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak.
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh
putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di
lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam
memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam
pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola
pengasuhan tertentu.

Menurut Baumrind (1967), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:

a. Pola Asuh Permisif


Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun
yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak
kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang
terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk

7
mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau
harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak yang diasuh orang tuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang
menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki
kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai
orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di
mana orang tua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya
tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan
hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.

Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak
terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.

Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau
selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci
orang tua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih
bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih
bertanggung jawab dalam menjalani hidup.

c. Pola Asuh Otoritatif atau Demokratis

Pola asuh otoritatif atau demokratus adalah pola asuh orang tua pada anak yang memberi
kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan
kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orang tua. Pola asuh
ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-
anaknya.

8
Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif,
cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang tua, tidak
mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.

d. Pola Asuh Penelantar.

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada
anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti
bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam
tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang
depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-
anaknya.

Cara Mendidik Anak Yang Baik

- Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak.
Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.

- Jadilah orang tua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam
kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya
tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya
sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangt ua dan anggota keluarga yang lain.

- Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh
anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak
dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orang tuanya. Usahakan anak mudah paham
dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri
sendiri.

- Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga
dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil
seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orang tua, belajar

9
dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggung jawab
pada anak.

- Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar
kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan
agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tua yang telah melahirkan dan
membesarkannya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia.

- Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu


agar anak terbiasa terbuka pada orang tua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal
yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orang tua menggunakan ungkapan
yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi
tertutup dan menganggap orang tua tidak menyenangkan.

- Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak
seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas
beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres
dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu
sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.

- Teori Behaviorisme adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang member respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dalam teori
behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur,
dilukiskan, dan diramalkan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).

- Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.

10
3. Faktor Pola Asuh

Ada beberapa faktor pola asuh pada anak, yaitu:


a. Latar belakang keluarga
Keluarga adalah orang yang terdekat bagi anak dan mempunyai pengaruh yang sangat
besar. Segala perilaku orang tua yang baik dan buruk akan ditiru oleh anak. Oleh karena
itu, orang tua perlu menerapkan sikap dan perilaku yang baik demi pembentukan
kepribadian anak yang baik.
Pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar, akan sangat berpengaruh pada
perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh,
akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah
sebagian dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Jadi pola asuh orang tua
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian anak.
b. Pekerjaan Orang tua
Kenyataan yang terjadi pada masa sekarang adalah berkurangnya perhatian orang tua
terhadap anaknya karena keduanya sama-sama bekerja. Hal tersebut mengakibatkan
terbatasnya interaksi orang tua dengan anaknya. Keadaan ini biasanya terjadi pada
keluarga-keluarga muda yang semuanya bekerja.
Anak-anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua karena
keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan anak pada
usia ini sangat mambutuhkan perhatian lebih dari orang tua terutama untuk
perkembangan kepribadian.
Anak yang ditinggal orang tuanya dan hanya tinggal dengan seorang pengasuh yang
dibayar orang tua untuk menjaga dan mengasuh, belum tentu anak mendapatkan
pengasuhan yang baik sesuai perkembangannya dari seorang pengasuh.
Anak yang ditinggal kedua orang tuanya bekerja cenderung bersifat manja. Biasanya
orang tua akan merasa bersalah terhadap anak karena telah meninggalkan anak seharian.
Sehingga orang tua akan menuruti semua permintaan anak untuk menebus kesalahanya
tersebut tanpa berfikir lebih lanjut permintaan anak baik atau tidak untuk perkembangan
kepribadiaan anak selanjutnya.
Kurangnya perhatiaan dari orang tua akan mengakibatkan anak mencari perhatian dari
luar, baik dilingkungan sekolah dengan teman sebaya ataupun dengan orang tua pada saat
11
mereka di rumah. Anak suka mengganggu temannya ketika bermain, membuat keributan
di rumah dan melakukan hal-hal yang terkadang membuat kesal orang lain. Semua
perlakuan anak tersebut dilakukan hanya untuk menarik perhatian orang lain karena
kurangnya perhatian dari orangtua. Sedangkan orang tua yang tidak bekerja di luar rumah
akan lebih fokus pada pengasuhan anak dan pekerjaan rumah lainnya.
Anak sepenuhnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan anak menjadi kurang mandiri, karena terbiasa dengan orang
tua. Segala yang dilakukan anak selalu dengan pangawasan orang tua. Oleh karena itu,
orang tua yang tidak bekerja sebaiknya juga tidak terlalu over protektif. Sehingga anak
mampu untuk bersikap mandiri.
c. Sosial ekonomi
Permasalahan ekonomi dalam keluarga merupakan masalah yang sering dihadapi. Tanpa
disadari bahwa permasalahan ekonomi dalam keluarga akan berdampak pada anak.
Orang tua terkadang melampiaskan kekesalan dalam menghadapi permasalahan pada
anak. Anak usia prasekolah yang belum mengerti tentang masalah perekonomian dalam
keluarga hanya akan menjadi korban dari orang tua.
Dalam pola asuh yang diberikan oleh orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah
keatas dan orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah kebawah berbeda. Orang
tua yang tingkat perekonominnya menengah keatas dalam pengasuhannya biasanya orang
tua memanjakan anaknya. Apapun yang diinginkan oleh anak akan dipenuhi orang tua.
Segala kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan kekayaan yang dimiliki orang tua.
Pengasuhan anak sebagian besar hanya sebatas dengan materi. Perhatian dan kasih
sayang orang tua diwujudkan dalam materi atau pemenuhan kebutuhan anak.
d. Adat istiadat
e. Lingkungan
Pola asuh yang baik untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah pola asuh
orang tua yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi orang tua juga
mengendalikan anak. Sehingga anak yang juga hidup dalam mansyarakat, bergaul dengan
lingkungan dan tentunya anak mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar yang mungkin
dapat merusak kepribadian anak, akan dapat dikendalikan oleh orang tua dengan

12
menerapkan sikap-sikap yang baik dalam keluarga serta contoh atau tauladan dari orang
tua.
Pola asuh yang baik untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah pola asuh
orang tua yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi orang tua juga
mengendalikan anak. Sehingga anak yang juga hidup dalam mansyarakat, bergaul dengan
lingkungan dan tentunya anak mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar yang mungkin
dapat merusak kepribadian anak, akan dapat dikendalikan oleh orang tua dengan
menerapkan sikap-sikap yang baik dalam keluarga serta contoh atau tauladan dari orang
tua.
Orang tua yang bisa dianggap teman oleh anak akan menjadikan kehidupan yang hangat
dalam keluarga. Sehingga antara orang tua dan anak mempunyai keterbukaan dan saling
memberi. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, gagasan, keinginan,
perasaan, serta kebebasan untuk menanggapi pendapat orang lain. Anak-anak yang hidup
dengan pola asuh yang demikian akan menghasilkan karakteristik anak yang dapat
mengontrol diri, anak yang mandiri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru.

4. Dampak negatif dan positif

Anak akan berperilaku baik dan buruk tergantung pola asuh dari orang tuanya.
a. Pola Asuh Permisif
Anak yang diasuh orang tuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang
menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki
kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai
orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
b. Pola Asuh Otoriter
Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid
atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar
rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orang
tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin
dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
c. Pola Asuh Otoritatif
13
Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria, menyenangkan,
kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang
tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan
lain-lain.

d. Pola Asuh Penelantar.


Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga
kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka.

14
KEPRIBADIAN
1. Definisi

Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa inggris “personality”. Secara etimologis,
kata personality berasal dari bahasa latin “persona” yang berarti topeng. Menurut Gordon W All
Port “personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical
system, that determines his unique adjustment to his environment
Menurut Allport, kepribadian adalah sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik
individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya. Sedangkan menurut Pervin dan
John, Kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan
dan perilaku yang konsisten.
Kepribadian dalam psikoanalisis adalah pola adaptasi terhadap dorongan instingtual dan
dorongan dari linkungan yang sudah menjadi ciri khas atau kebiasaan individu dan yang
langsung dapat diamati (dibedakan dari ego), seperti perilaku dan cara pembelaan, bereaksi,
berpikir, dan merasa. Dan secara sederhana kepribadian adalah cara khas seseorang berperilaku
dan segala sifatnya yang menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang yang lain.

2. Perkembangan

Hingga sekarang sudah banyak teori tentang kepribadian dikemukakan. Perbedaan yang ada
lebih banyak terletak pada tekanan yang diberikan pada salah satu aspek struktur atau fungsi
kepribadian atau faktor-faktor yang mempengaruhinya misalnya, psikoanalisis Freud,
psikoanalisis kultural, dan interpersonal, psikibiologi, teori-teori lain yang berorientasi pada
psikoanalisis dan teori yang diperoleh dari psikologi.
Kepribadian dalam psikoanalisis adalah pola adaptasi terhadap dorongan instingtual dan
dorongan dari linkungan yang sudah menjadi cirri khas atau kebiasaan individu dan yang

15
langsung dapat diamati (dibedakan dari ego), seperti perilaku dan cara pembelaan, bereaksi,
berpikir, dan merasa. Dan secara sederhana kepribadian adalah cara khas seseorang berperilaku
dan segala sifatnya yang menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang yang lain.

Menurut Sigmund Freud, perkembangan kepribadian berjalan menurut beberapa fase:


1. Fase oral (dari 0-1 tahun)
Fase oral adalah stadium perkembangan paling awal, di mana kebutuhan persepsi dan cara
ekspresi bayi terutama berpusat di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan
dengan zona oral (termasuk aktivitas menggigit dan menghisap).
Zona oral mempertahankan peranan dominan bayi dalam organisasi jiwa selama kira-kira 18
bulan pertama kehidupan. Sensasi oral adalah rasa haus, lapar, stimulasi taktil yang
menyenangkan yang ditimbulkan oleh puting payudara (ibu menjadi sumber maknan dan
kenikmatan erotic yang didapati dengan cara menetek) atau penggantinya, sensasi yang
berhubungan dengan menelan dan rasa kenyang. Rasa lapar mendorongnya mengenal dunia
luar melalui mulutnya. Menelan sesuatu berarti memberi kepuasan dan memuntahkan sesuatu
mengakibatkan ketegangan. Trias oral terdiri dari keinginan untuk makan, untuk tidur, dan
untuk mencapai relaksasi yang terjadi pada akhir pengisapan dan tepat sebelum onset tidur.
Tujuan fase oral adalah untuk menegakkan ketergantungan mempercayai pada pengasuhan
dan mempertahankan objek untuk menegakkan ekspresi yang baik dan pemuasan kebutuhan
libido oral tanpa konflik atau ambivalensi yang berlebihan dari harapan sadistik oral.
Resolusi fase oral yang berhasil memberikan dasar dalam struktur karakter dalam
kemampuan memberikan dan menerima orang lain tanpa ketergantungan yang berlebihan
atau iri dan kemampuan untuk mempercayai orang lain dengan rasa kejujuran, dan juga
dengan rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pemuasan atau kekurangan oral yang berlebihan dapat menyebabkan fiksasi libidinal yang
berperan dalam sifat patologis, sifat tersebut dapat termasuk optimisme yang berlebihan,
narsisisme, pesimisme (sering terlihat pada keadaan depresif) dan sifat menuntut. Karakter
oral yang patologis adalah sering tergantung secara berlebihan dan mengharuskan orang lain
member kepada mereka dan merawat mereka, ingin diberi makan tetapi sering menunjukkan

16
kebalikan jika diberikan, sering tergantung berlebihan pada benda untuk mempertahankan
harga diri mereka, serta sering cemburu dan iri.
2. Fase anal (dari 1-3 tahun)
Fase anal adalah stadium perkembangan psikoseksual yang ditandai oleh maturasi
pengendalian neuromuskular terhadap sfingter (terutama sfingter anal), jadi memungkinkan
pengendalian yang berlebihan disadari terhadap penahanan atau pengeluaran feses (fase anal
ditunjukkan pada kesenangan dalam mengeluarkan tinja dan air seni) dan anus dan daerah
sekitarnya merupakan sumber minat.
Fase ini berlangsung sekitar 1-3 tahun, pencapaian pengendalian sfingter yang volunter
adalah disertai dengan bertambahnya pergeseran dari pasivitas menjadi aktivitas. Konflik
terhadap pengendalian anal dan perebutan dengan orang tua dalam hal menahan dan
mengeluarkan feses dalam latihan toilet (toilet training) memberikan kemungkinan
peningkatan ambivalensi, bersamaan dengan perebutan terhadap separasi, individuasi dan
kemandirian. Pada fase ini anak dituntut agar dapat melepaskan salah satu aspek
kebebasannya, yaitu ia harus menyetujui keinginan ibunya dengan mengeluarkan tinja dan air
seninya pada waktu dan tempat yang tepat.
Tujuan fase anal pada intinya adalah periode perjuangan akan kemandirian dan perpisahan
dari ketegantungan pada dan pengendalian orang tua. Tujuan pengendalian sfigter tanpa
pengendalian yang berlebihan (retensi fekal) atau kehilangan kendali (mengeluarkan kotoran)
adalah disesuaikan oleh usaha anak untuk mencapai otonomi dan kemandirian tanpa rasa
malu atau keraguan diri yang berlebihan dan kehilangan kendali.
Resolusi yang berhasil dari fase anal memberikan dasar bagi perkembangan otonomi pribadi,
suatu kapasitas untuk kemandirian dan insiatif pribadi tanpa rasa bersalah, suatu kemampuan
bagi perilaku menentukan diri sendiri tanpa rasa malu atau keraguan terhadap diri sendiri,
tidak adanya ambivalensi dan suatu kapasitas untuk mau bekerja sama tanpa keras kepala
yang berlebihan atau rasa pemerasan tenaga atau penaklukan.
Sifat karakter maladaptif sering kali tampak inkonsisten, adalah didapatkan dari erotisme
anal dan pertahanan terhadapnya. Ketertiban, keras kepala, membandel, kesengajaan,
kehematan, dan kekikiran adalah ciri-ciri dari karakter anal yang didapatkan dari fiksasi pada
fungsi anal. Jika pertahanan terhadapa anal kurang efektif, maka karakter anal menunjukkan
sifat peningkatan ambivalensi, tidak adanya kerapian, kekacauan, sifat menentang,

17
kekerasan, dan kecenderungan sadomasokistik (karakteristik dan pertahanan anal paling
sering terlihat pada neurosis obsesif kompulsif).
3. Fase uretral
Fase uretral ini adalah stadium transisional antara fase perkembangan anal dan falik, pada
stadium ini terdapat beberapa karakterisik yang sama dengan stadium anal sebelumnya dan
beberapa beberapa karakterisik stadium falik selanjutnya.
Erostisme uretral digunakan untuk menyebutkan kesenangan dalam urinasi, seperti juga
kesenangan dalam retensi uretra yang setara dengan retensi anal. Kehilangan kendali uretra
seperti pada enuresis, sering kali memiliki kepentingan regresif yang mengaktifkan kembali
konflik anal.
Selain efek sehat yang analog dengan efek dari periode anal, kompetensi uretra menghasilkan
rasa kebanggaan dan keyakinan diri yang didapatkan dari kinerjanya. Resolusi konflik uretra
menentukan stadium untuk pembenihan identitas jenis kelamin dan identifikasi selanjutnya.
Sifat uretral yang predominan adalah kompetitivitas dan ambisi, kemungkinan berhubungan
dengan kompensasi atas rasa malu yang disebabkan oleh kehilangan kendali uretra. Dalam
kendali hal ni mungkin merupakan awal untuk perkembangan kecemburuan penis (penis
envy), yang berhubungan dengan rasa malu dan ketidakadekuatan feminin karena tidak
mampu menyesuaikan kinerja uretra laki-laki, dan ini juga berhubungan dengan masalah
pengendalian rasa malu.
4. Fase falik (dari 3-5 tahun)
Fase falik dimulai pada suatu saat selama tahun ketiga perkembangan dan berlanjut sampai
kira-kira akhir tahun kelima. Fase falik ditandai oleh fokus primer minat, stimulasi dan
kegembiraan seksual pada daerah genital. Penis menjadi organ perhatian utama pada kedua
jenis kelamin anak-anak.
Kompleks Oedipus menunjukkan adanya hubungan cinta hangat yang dibentuk dalam fase
ini, seorang anak pria merasa tertarik kepada ibunya dan memandang sebagai saingan, akan
tetapi ia mulai merasakan juga bahwa minat seksualnya tidak boleh diteruskan atau penisnya
akan diambil. Kompleks kastrasi ditunjukkan dengan seorang anak wanita yang menemukan
bahwa klitoris yang dipunyainya lebih inferior daripada rekan imbangnya (penis anak laki-
laki). Kekurangan (kehilangan) penis ini sangat dirasakan oleh anak wanita, sehingga ia
terluka dan menjadi iri hati terhadap kaum pria yang disebut iri penis (penis envy). Dan

18
selanjutnya ibunya yang mula-mula mnejadi objek cinta, ternyata juga tidak memiliki penis,
sehingga anak wanita ini akan bertambah kecewa dan menyalahkan ibunya yang melahirkan
ia ke dunia. Lalu ia berbalik ke ayahnya dengan harapan akan mendapatkan penis atau
seorang bayi sebagai penggantinya, yang disebut kompleks elektra. Stadium falik disertai
dengan peningkatan masturbasi genital, disertai oleh khayalan yang tidak disadari dan
menonjol tentang keterlibatan seksual dengan orangtua berjenis kelamin kebalikan.
Tujuan dari stadium ini adalah untuk memusatkan minat erotik pada daerah genital dan
fungsi genital, pemusatan ini meletakkan dasar bagi identitas jenis kelamin dan berperan
untuk mengintegrasikan residu dari stadium perkembangan sebelumnya ke dalam orientasi
genital seksual yang menonjol.
Fase falik memberikan dasar bagi timbulnya rasa identitas seksual, suatu rasa dengan
keingintahuan tanpa rasa malu, inisiatif tanpa rasa bersalah dan juga rasa penguasaan bukan
saja terhadap objek dan orang dalam lingkungan tetapi juga terhadap proses dan impuls
internal.
Asal mula sifat patologis dari ketelibatan falik-oedipal adalah cukup kompleks dan
merupakan sasaran dari berbagai modifikasi yang melingkupi hampir semua perkembangan
neurotik. Tetapi, masalah adalah berpusat pada kastrasi pada laki-laki dan kecemburuan
penis pada perempuan. Pusat penyimpangan perkembangan lain yang penting dalam periode
ini adalah berasal dari pola identifikasi yang berkembangan dari resolusi kompleks oedipal.
Pengaruh kecemasan kastrasi dan kecemburuan penis, pertahanan terhadap keduanya, dan
pola identifikasi yang timbul dari stadium falik adalah determinan utama perkembangan
karakter manusia.
5. Fase latensi (dari 5-6 tahun sampai 11-13 tahun)
Fase latensi adalah stadium dorongan seksual yang relatif tenang atau tidak aktif selama
periode dari resolusi kompleks oedipal sampai masa pubertas (dari 5-6 tahun sampai 11-13
tahun).
Dorongan seksual dialihkan kepada tujuan yang lebih diterima secara sosial, seperti sekolah
dan olah raga. Pembentukan superego pada akhir periode oedipal dan maturasi fungsi ego
lebih lanjut memungkinkan derajat pengendalian impuls instingtual yang lebih besar. Selama
periode ini terjadi periode pertalian homoseksual primer bagi laki-laki dan perempuan, dan
juga sublimasi energi libido dan agresif menjadi belajar enargetik dan aktivitas bermain,

19
menggali lingkungan dan menjadi lebih cakap dalam menghadapi dunia benda dan orang di
sekitar mereka.
Tujuan utama dari periode adalah integrasi identifikasi oedipal lebih lanjut dan konsolidasi
identitas peran jenis kelamin dan peran jenis kelamin. Impuls instingtual yang relatif tenang
dan pengendalian terhadapnya memungkinkan perkembangan aparatus ego dan keterampilan
menguasai.
Fase latensi ini adalah periode integrasi dan konsolidasi pencapaian dalam perkembangan
psikoseksual sebelumnya dan menegakkan pola penentu fungsi adaptif. Anak dapat
mengembangkan rasa rajin dan kapasitas untuk menguasai objek dan konsep yang
memungkinkan fungsi otonom dan dengan rasa inisiatif tanpa memiliki resiko kegagalan atau
kekalahan atau rasa inferioritas. Pencapaian penting ini perlu integrasikan lebih jauh,
akhirnya sebagai dasar penting bagi kepuasan hidup dewasa yang matur dalam pekerjaan dan
cinta.
Bahaya dalam periode latensi dapat timbul baik dari tidak adanya perkembangan
pengendalian internal atau kelebihan pengendalian internal. Tidak adanya pengendalian dapat
menyebabkan kegagalan anak untuk menyublimasikan secara adekuat energi dalam minat
belajar dan mengembangkan keterampilan, tetapi jika kelebihan pengendalian internal dapat
menyebabkan penutupan prematur perkembangan kepribadian dan perluasan sifat karakter
obsesif yang belum waktunya.
6. Fase genital (dari 11-13 tahun)
Fase genital atau remaja dari perkembangan psikoseksual adalah mulai sejak onset pubertas
dari usia 11 sampai 13 tahun hingga orang mencapai masa dewasa. Maturasi fisiologis dari
sistem genital (seksual) dan sistem hormonal yang menyertainya menyebabkan penguatan
dorongan terutama dorongan libido. Hal ini menghasilkan regresi organisasi kepribadian,
yang membuka kembali konflik dari stadium perkembangan psikoseksual sebelumnya dan
memberikan kesempatan bagi resolusi tersebut dalam hal mencapai identitas seksual dan
dewasa yang matur. Tujuan utama dari fase ini adalah perpisahan dari ketergantungan dan
perlekatan pada orang tua dan penegakan relasi objek yang matur dan tidak sumbang.
Resolusi dan reintegrasi yang berhasil dari stadium psikoseksual sebelumnya dari fase genital
yang penuh pada masa remaja, menentukan stadium normal bagi kepribadian matur yang
lengkap dengan kapasitas untuk memenuhi dan memuaskan potensi genital dan suatu

20
integrasi diri dan rasa identitas yang konsisten. Orang tersebut telah mencapai kapasitas yang
memuaskan untuk pencapaian diri (self realization) dan peran serta yang berarti dalam
bidang pekerjaan dan cinta dan dalam penerapan kreatif dan produktif untuk memuaskan dan
menghargai tujuan dan nilai.
Resolusi dan fiksasi yang sebelumnya gagal pada berbagai fase atau aspek perkembangan
psikoseksual akan menghasilkan defek patologis pada kepribadian dewasa yang sedang
timbul, dan defek yang lebih spesifik dari kegagalan memecahkan masalah remaja.

Beberapa teori perkembangan lainnya yaitu kognitif (Jean Peaget), moral (Lawrence Kohlberg),
psikososial (Erik Erikson) dan kepercayaan (James W.Fpwler).
Anggapan-anggapan penting dalam semua teori perkembangan adalah:
- Bila individu berkembang melewati tahap-tahap perkembangan, maka terjadi
perubahan-perubahan dasar dalam struktur respons, yaitu dalam bentuk, pola dan
organisasi.
- Perkembangan merupakan hasil prosesinteraksi antarastruktur respons, organism dan
lingkungan.
- Perkembangan mengarah kepada terciptanya keseimbangan yang semakin besar
dalam interaksi antara organism dan lingkungan.

Jean peaget (1896-1980) meneliti selama 50 tahun perkembangan structural-kognitif dan


perkembangan pertimbangan moral pada anak-anak. Ia mengemukakan beberapa tahap
perkembangan:
1. Tahap sensorium (0-2 tahun).
Anak mulai belajar melalui observaasi sensorik dan mulai mengendalikan fungsi motoriknya
melalui berbagai aktivitas. Ia mulai dapat membedakan dirinya dari dunia luar. Pada kira-kira
umur 18 bulan ia mulai dapat membentuk symbol-simbol mental, biarpun objek tidak ada ia
dapat membayangkannya.
Perkembangan moral pada umur ini pada tahap amoral. Anak tidak mempunyai moralitas
sama sekali.
2. Tahap pemikiran praoperasional (tahap intuisional 2-7 tahun).
Secara intelektual anak semakin lama makin mahir berbahasa. Pemikiran masih pada taraf
intusi, ia belum dapat menalar (reasoning), belum dapat melihat sebab dan akibat.

21
Perkembangan pada umur ini biasanya berada pada tahap egosentris. Anak tidak dapat
mengajukan pertimbangan moral, ia mengubah peraturan sesuai kepentingannya dan bereaksi
secara instingtif terhadap lingkungan.

3. Tahap operasional konkret (tahap operasiaonal 7-12 tahun).


Anak mulai bertindak dalam dunia yang mempunyai benda-benada dan peristiwa-peristiwa
yang konkret, nyata dan dapat diamati. Ada penalaran yang terbatas, ia mulai menempatkan
hal-hal secara berurutan menurut besar atau bentuk dan mengelompokkan barang-barang
sesuai ciri-ciri khas yang sama. Ia belum dapat menghadapi dan mengatur masa depan.
Perkembangan moral pada umur ini biasanya berada pada tahap heteronomi, yaitu
penerimaan total moralitas yang dipaksakan orang lain (orang tua, pengasuh, guru atau orang
dewasa lain)
4. Tahan operasional formal (diatas 12 tahun).
Ciri khas pada perkembangan kognitif dalam tahap ini adalah bahwa anak mulai mampu
berfikir abstrak, menalar secara deduktif, dan memahami konsep-konsep
(hipotetikodeduktif). Bahasanya sudah bagus, mengikuti aturan tata bahasa. Berpikir abstark
dinyatakan dalam minatnya terhadap filsafat, agama etika dan politik.
Perkembangan moral pada umur ini biasanya berada dalam tahap autonomi, yaitu moralitas
kerja sama yang diinternalisasi, yang sudah diterima dan menjadi bagian dari dirinya.
Tidak semua kaum adolesen memasuki tahap operasional formal atau tahap autonomi pada
waktu yang sama atau pada tingkat perkembangan yang sama. Tergantung pada kemampuan
individu, mungkin ada yang sama sekali tidak mencapai tahap ini dan tetap saja pada tahap
operasional konkret atau tahap heteronomi.
Lawrence Kohlberg(1927-1987) mulai tahun 1960 mulain dikenal sebagai pakar dalam bidang
pendidikan moral. Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg dikembangkan secara ilmiah
yang ketat dan jelas serta interdisipliner. Antara perkembangan moral dan pendidikan moral
Kohlberg berusaha mengadakan intergari yang memadukan ilmu psikologi, sosial, antropologi
budaya, filsafat, ilmu pendidikan, politik dan seagainya.
Dengan mengabaikan tahap amoral (0-2 tahun), kolberg mengemukakan 3 tingkat dan 6 tahap
perkembangan moral, yaitu:
a. Tingkat prakonvensional

22
Pada tingkat ini anak sangat dipengaruhi oleh penilaian orang dewasa atau orang yang
lebih kuat dan berkuasa daripada dirinya. Penilaian penilaian baik-jahat atau benar-salah
dilihat dari sudut akibat fisik atau dari sudut enak-tidaknya akibat (hukuman, ganjaran,
dimarahi, disenangi), atau dari sudut ada tidaknya orang yang berkuasa. Dikemukakan
dua tahap dalam tingkat ini.
- Tahap 1: orientasi hukuman dan kepatuhan. Anak tunduk pada kekuasaan dan
menghindari hukuman, tanpa mempersoalkannya; bukan atas dasar hormat pada
peraturan oral yang mendasarinya dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas,
seperti pada tahap 4. Akibat fisik dari tindakannya menentukan baik jahat atau benar-
salah tindakan itu, apapun arti atau nilai akibat itu bagi manusia.
- Tahap 2: orientasi relativis instrumental. Tindakan benar merupakan alat atau sarana
untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antara manusia ibarat hubungan dipasar dengan terdapatnya unsur-
unsur kewajaran (fair), timbal-balik dan persamaan pembagian yang ditafsirkan
secara pragmatis. Hal ini digambarkan dengan kata-kata: “ jika aku menggaruk
punggungku aku akan menggaruk punggungmu” dan bukan atas dasar kesetiaan,
cinta kasih atau keadilan.
b. Tingkat konvensional
Orang pada tingkat ini berusaha memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau
bangsa karena dianggap sesuatu yang berharga bagi dirinya sendiri, tidak perduli pada
dirinya sendiri , tidak perduli apa akibatnya yang langsung dan yang kelihatan. Orang
dalam tingkat ini ingin setia kawan, ingin menjaga, menunjang dan membenarkan
ketertiban. Ada keinginan juga untuk mengidentifikasikan diri dengan orang-orang
tertentu atau dengan kelompoknya. Dua tahap dalam tingkat ini adalah:
- Tahap 3: orientasi masuk kelompok “anak baik, anak manis” . perilaku yang baik
adalah dianggap lazim, ”umum”. Orang pada tahap ini ingin menyesuaikan diri
dengan anggapan umum tentang baik-jahat dan benar-salah. Ia berusaha bertindak
sebagai “anak manis “ agar diterima oleh lingkungannya. Perilaku yang baik adalah
yang menyenangkan atau yang membantu orang lain dan mendapat persetujuan dari
mereka. Tindakan sering dinilai menurut niatnya. “Maksut baik” baik untuk pertama
kalinya menjadi penting.

23
- Tahap 4: orientasi hukum dan ketertiban. Orang pada tahap ini berusaha mematuhi
peraturan dan hukum yang telah disetujui bersama dan sudah pasti serta menjaga
ketertiban, sebab ia tahu bahwa masyarakat akan kacau bila tidak demikian. Tindakan
yang baik adalah melakukan kewajiban menunjukkan rasa hormat pada otoritas dan
memelihara ketertiban sosial.
c. Tingkat paskakonvensional
Orang pada tahap ini berusaha mengartikan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang kokoh
dan dapat dilaksanakan, tidak terikat dan lepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berkuasa serta terlepas juga dari apakah orang yang bersangkutan itu termasuk
kelompoknya atau tidak. Dua tahap dalam tingkat ini adalah:
- Tahap 5: orientasi kontak sosial legalistis. Tindakan yang baik diartikan dari segi hak
individual yang umum dan dari Patoka yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui
oleh seluruh masyarakat. Biasanya ada tekanan utilitaristis (mementingkan
kegunaannya). Orang pada tahap ini sadah bahwa nilai dan pendapat pribadi itu
relatif, karena itu perlu ada peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Akan
tetapi diamping apa yang sudah disetujui secara konstitusional dan demokratis, hak
hanyalah merupakan nilai-nilai dan pendapat pribadi. Karena itu ditekankan pada
pandangan legalistis (menurut hukum), namun ditekankan juga hokum dapat diubah
bila ada dasar rasional demi kesejahteraan masyarakat (tidak secara kaku maupun
mempertahannkan peraturan dan hokum seperti dalam tahap 4: orientasi hokum dan
ketertiban). Diluar bidang hukum, maka persetujuan bebas dan kontrak merupakan
unsure pengikat dari kewajiban.
- Tahap 6: orientasi asaa etika universal. Suara hati yang menentukan baik-jahat atau
benar-salah, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan
berpedoman pada logika yang menyeluruh, serta pada universalitas dan konsistensi
(tidak berubah-ubah). Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (“hukum emas”,
misalnya: “janganlah lakukan pada orang lain apa yang anda sendiri tidak mau orang
lain lakukan pada anda”, “kasihanilah sesame manusia seperti dirimu sendiri”, “lebih
baik member daripada menerima”) dan bukan peraturan-peraturan moral yang
konkret. Itulah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, tindakan timbale balik

24
(reciprocity) dan kesamaan hak azasi serta penghormatan kepada martabat manusia
sebagai pribadi (person) dan berlaku untuk siapa saja, dimana saja dan kapan saja”.
Kohlberg berpendapat bahwa untuk mengetahui taraf perkembangan moral seseorang, tidak
cukup dengan mengamati perilakunya sehari-hari saja dalam kurun waktu yang singkat.
Diperlukan waktu yang lama sekali sehingga menjadi sangat sukar dan tidak praktis. Akan tetapi
bila orang itu ditanya mengapa suatu tindakan boleh atau tidak boleh, baik atau jahat, dan alasan
yang dikemukakannya diteliti, maka hal ini dapat mencerminkan taraf perkembangan moral
adalah alasan yang diberikan mengapa boleh atau tidak boleh. Misalnya bila seorang anak di TK
ditanya “apakah boleh mencuri mangga?”, ia menjawab “tidak boleh”. Seorang guru besarpun
akan menjawab demikian. Kedua-duanya juga tidak mencuri mangga waktu diobservasi. Apakah
perkembangan moral anak dan Guru besar itu sama? Kiranya tidak. Untuk mengetahui
perkembangan moral mereka, perlu diketahui penalaran moral (moral reasoning) mereka.
Mereka ditanya mengapa tidak boleh (atau mengapa boleh, kalau ada yang menjawab boleh)
mencuri mangga?” mungkin anak itu akan menjawab: “tidak boleh, nanti dimarahi ibu” (tahap
1), atau “kalau boleh, nanti barang saya juga dicuri” (tahap 2). Anak SD mungkin menjawab
“anak manis tidak mencuri mangga” (tahap 3). Orang dewasa, mudah-mudahan guru besar itu
juga menjawab: “mencuri itu melanggar peraturan, kalau orang-orang boleh mencuri nanti
masyarakat jadi kacau” (tahap akan menjawab demikian (tahap 4). Orang pada tahap 6 mungkin
akan menjawab: “tergantung suara hatimu, misalnya bila sudah hamper mati kelaparan, boleh
mencuri untuk bertahan hidup, di mana pun ia berada, siapa pun dia dan kapan saja; kalau saya
tidak berada di rumah, makanan saya boleh juga dicuri orang itu bila dalam keadaan demikian.
Keputusan itu harus tetap konsisten, sudah dipertimbangkan baik-baik dan berlaku bagi siapa
pun, dimanapun dan kapan pun.
Tujuan dan arah perkembangan moral (rasa hormat pada peraturan) adalah memahami peraturan
secara otonom (menuruti hati nurani yang matang), menerima dan melaksanakannya.
Perkembangan moral bukan suatu proses menanamkan peraturan-peraturan dan sifat-sifat yang
baik dengan memberi contoh, menasehati serta member hadiah dan hukuman, akan tetapi
merupakan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif. Hal ini tergantung pada
perkembangan kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial.
Bila dituntut kepathan dan ketaatan buta, maka tahap heteronomi akan diperkokoh (taat pada
peraturan unilateral atau sepihak), individu tetap akan kurang matang, hanya ada tanggung jawab

25
objektif, tidak ada tanggung jawab subjektif atau tanggung jawab pribadi (sukar menyelesaikan
masalah moral tanpa petunjuk orang lain).
Bila tidak baik dilakukan, atau yang jahat tidak dilakukan, hanya karena meniru orang lain,
karena nasehat-nasehat atau hanya karena hadiah dan hukuman atau larangan dan ancaman maka
bila menghadapi dilema moral dikemudian hari, orang itu akan mudah goyah, mudah stress atau
ia bertindak sesuai dengan tahap perkembangan moralnya yang rendah.

3. Struktur kepribadian
Selain itu, Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi 3 sistem aspek:
1. The id (Das es)
Id adalah tempat dorongan naluri (insting) dan berada di bawah pengawasan proses primer
atau dorongan instingtual yang tidak tersusun. Dengan bekerja di bawah dominasi proses
primer, id tidak mempunyai kemampuan untuk memperlambat atau memodifikasi dorongan
instingtual. Id bekerja sesuai dengan prinsip kenikmatan tanpa memperdulikan kenyataan,
dan seorang bayi pada waktu lahir telah mempunyai id. Bayi ini tidak mempunyai
kemampuan untuk menghambat, mengawasi atau memodifikasi dorongan nalurinya,
sehingga dia sangat tergantung pada ego orang lain. Fungsi id yaitu mencari kenikmatan dan
menghindari diri dari ketidakenakan. Untuk menghindari diri dari ketidakenakkan maka id
melakukan refleks dan reaksi-reaksi otomatis (seperti bersin, berkedip, dll) serta proses
primer (seperti orang lapar lalu membayangkan makan).
2. The Ego (Das ich)
Ego adalah aspek psikologi kepribadian dan timbul dari kebutuhan organisme untuk
berhubungan dengan dunia luar secara realita. Ego memiliki semua ketiga dimensi topografik
kesadaran, prasadar, dan bawah sadar. Pikiran logika dan abstrak dan ekspresi verbal adalah
berhubungan dengan fungsi kesadaran dan prasadar ego, sedangkan mekanisme pertahanan
tetap dalam bagian yang tidak disadari dari ego. Mula-mula bayi tidak sanggup membedakan
badannya dari dunia luar, dan ego mulai terbentuk bilamana anak mulai merasa adanya
perbedaan antara badannya dan dunia luar yaitu sewaktu berumur sekitar 1 tahun.
Ego lebih teratur organisasinya dan tugasnya adalah untuk menghindari ketidaksenangan dan
rasa nyeri dengan melawan atau mengatur pelepasan dorongan nalurinya agar sesuai dengan
tuntutan dunia luar. Ego merupakan organ pelaksana dari jiwa dan mengontrol pergerakan,

26
persepsi, kontak dengan kenyataan, dan melalui mekanisme pertahanan yang ada padanya,
memperlambat dan memodifikasi dorongan ekspresi. Ego bekerja sesua dengan prinsip
kenyataan dan mempunyai mekanisme pembelaan, seperti supresi, salah pindah
(displacement), rasionalisasi, penyangkalan, regresi, identifikasi, dll. Tujuan ego adalah
mendapatkan kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan, tetapi dalam bentuk dan cara
yang sesuai dengan kondisi-kondisi dunia real atau sesuai dengan kenyataan (baik kenyataan
benda-benda maupun kenyataan nilai-nilai sosial).
Pertentangan utama terletak antara id dan ego, di mana tekanan kenyataan eksternal
memungkinkan ego menyesuaikan energinya dengan id untuk melakukan kerja ego. Saat ego
membawa pengaruh dari dunia luar untuk menunjang id, secara bersama-sama ego
menggantikan prinsip kenyataan dengan prinsip kesenangan.
3. The Superego (Das uber ich)
Superego menegakkan dan mempertahankan kesadaran moral seseorang atas dasar kompleks
sistem ideal dan nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang tua atau aspek sosiologi
kepribadian yang merupakan wakil-wakil nilai tradisional serta cita-cita masyarakat menurut
warisan orang tua kepada anak-anaknya (yang diajarkan dengan bebagai perintah dan
larangan). Superego mulai nyata waktu kompleks oedipus diselesaikan dan dengan ini
identifikasi dengan orang tua dari sex yang sama dipercepat, superego mulai terbentuk pada
umur 5-6 tahun dan membantu ego dalam pengawasan dan pengaturan pelepasan impuls dari
id. Superego lebih merupakan yang ideal daripada yang real, dan superego berfungsi sebagai
suatu agen yang memungkinkan meneliti dengan cermat tentang perilaku, pikiran dan
perasaan seseorang atau fungsinya adalah menentukan apakah suatu hal itu susila atau tidak
susila, benar atau salah menurut norma umum, dan dapat bertindak dalam cara yang sesuai
dengan moral masyarakat.

27
KESIMPULAN

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten
dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh
keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak
faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Ada 4 macam
pola asuh orang tua, yaitu :
a. Pola asuh permisif
b. Pola asuh otoriter
c. Pola asuh otoritatif atau demokratis, dan
d. Pola asuh penelantar.
Ada beberapa faktor pola asuh pada anak, yaitu:
a. Latar belakang keluarga
b. Pekerjaan Orang tua
c. Sosial ekonomi
d. Adat istiadat
e. Lingkungan
Kepribadian dalam psikoanalisis adalah pola adaptasi terhadap dorongan instingtual dan
dorongan dari linkungan yang sudah menjadi ciri khas atau kebiasaan individu dan yang
langsung dapat diamati (dibedakan dari ego), seperti perilaku dan cara pembelaan, bereaksi,
berpikir, dan merasa. Dan secara sederhana kepribadian adalah cara khas seseorang berperilaku
dan segala sifatnya yang menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang yang lain.
Kepribadian dalam psikoanalisis adalah pola adaptasi terhadap dorongan instingtual dan
dorongan dari linkungan yang sudah menjadi cirri khas atau kebiasaan individu dan yang
langsung dapat diamati (dibedakan dari ego), seperti perilaku dan cara pembelaan, bereaksi,

28
berpikir, dan merasa. Dan secara sederhana kepribadian adalah cara khas seseorang berperilaku
dan segala sifatnya yang menyebabkan ia dapat dibedakan dari orang yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI dan Sadock BJ. Sinopsi Psikatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku dan Psikatri Klinis,
Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara, 2010.
2. Willy F. Maramis dan Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press, 2009.
3. Soekidjo Notoatmodjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2007
4. Alwisol .2004. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press
5. E.Kowara.1986. Teori Teori Kepribadian. Bandung : PT .Erosco
6. Syamsu Yusuf IN dan Juntika Nuriichsan .2007. Teori Kepribadian . Bandung .UPI .
7. Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
8. Jaali, H. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
9. http://www.google.pola asuh anak
10. http://www.kepribadian

29

Anda mungkin juga menyukai