Anda di halaman 1dari 43

1

Penetapan Batas-Batas Negara Menurut Hukum Internasional


dan Kedaulatan NKRI di Pulau-Pulau Terluar 1
Idris 2
Abstract

I Pendahuluan
Kekalahan Indonesia di forum Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) “melawan” Malaysia telah menimbulkan pendapat pro-kontra di masyarakat
karena dianggap Indonesia kehilangan dua pulau Sipadan dan Ligitan yang dijadikan
objek sengketa antarnegara tersebut. Banyak masyarakat menilai bahwa kekalahan
tersebut karena Pemerintah lalai dan tidak serius mengurus kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tetapi ada juga yang menyikapi bahwa putusan tanggal 17 Desember
2002 tersebut memberikan hikmah bahwa mulai saat ini Pemerintah dan seluruh
komponen bangsa untuk lebih peduli mengurus Negara kepulauan ini sehingga tidak
terjadi lagi kasus-kasus seperti itu.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki laut terluas,
yaitu 5, 9 juta km2 atau ¾ total wilayah Indonesia, sehingga menuntut perhatian besar
untuk menjaganya termasuk di dalamnya setiap daerah punya peranan penting dalam
memelihara dan menegakkan hukum kedaulatan NKRI di pulau-pulau terluar Indonesia
sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam menentukan batas-batas
kedaulatan NKRI dengan negara-negara tetangga itu memang hukum yang berlaku
adalah hukum internasional, tetapi hukum nasional pun mempunyai peranan penting
dalam menjaga dan mengelola wilayah Indonesia di pulau-pulau terluar tersebut yang
selama ini masyarakat mengkhawatirkan akan terulangnya kasus Sipadan-Ligitan.
Sengketa perbatasan negara sering terjadi baik di negara-negara maju yang
mempunyai wilayah laut atau tidak maupun sengketa perbatasan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara tetangga. Penyelesaian sengketa
perbatasan negara tersebut tidak jarang menyulut perang, tetapi pada umumnya
1
Makalah ini dipresentasikan di Kantor Bupati Pemerintah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau
12 Desember 2006 dalam rangka Seminar Hasil Penelitian Tata Ruang Pembangunan di Kawasan
Perbatasan RI-Negara Tetangga.
2
Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Mahasiswa Program Doktor
2006 Pascasarjana Universitas Padjadjaran
2

diselesaikan dengan cara-cara damai melalui forum internasional yang sudah diatur oleh
hukum internasional atau sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk
memilih forum yang tepat bagi mereka. Tulisan ini membahas dasar-dasar ketentuan
hukum internasional tentang penyelesaian sengketa perbatasan negara terutama
Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 dan implikasi sederhananya bagi kedaulatan NKRI di pulau-pulau
terluar serta peran daerah menjaga kedaulatan Indonesia tersebut.

II Penyelesaian Sengketa Perbatasan Negara menurut Piagam PBB (Charter of the


United Nations)

Penetapan batas-batas satu negara dengan negara lain terutama di laut yang sulit
dilakukan karena menyangkut kedaulatan negara atau faktor lainnya akan menimbulkan
sengketa berkepanjangan yang tidak jarang diselesaikan melalui penggunaan kekuatan
atau perang. Menurut hukum internasional penggunaan kekuatan militer untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dilarang karena pada dasarnya hanya dengan cara damai
yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut sesuai dengan aturan hukum
internasional yang terdapat dalam Piagam PBB. Penyelesaian sengketa internasional
(settlement of international disputes) termasuk sengketa perbatasan negara itu telah diatur
oleh Piagam PBB, yaitu penyelesaian sengketa secara damai (Pacific Settlement of
Disputes) dalam Bab VI Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut :

1. The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger


the maintenance of international peace and security, shall, first of all,
seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation,
arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or
arrangements, or other peaceful means of their own choice.
2. The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the parties
to settle their dispute by such means.

Pasal 33 Piagam PBB menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa diminta
untuk tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internsional, sehingga harus segera
3

menyelesaikannya dengan cara melakukan perundingan/negosiasi, penyelidikan, mediasi,


konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian secara hukum, badan-badan peradilan regional, atau
dengan cara damai lainnya yang mereka sepakati. Menurut hukum internasional
penyelesaian sengketa internasional antarnegara harus dengan cara damai, tetapi menurut
ada pendapat ahli hukum internasional dikenal dua cara, yaitu selain cara damai tersebut
(peaceful means of settlement) juga dikenal dengan penyelesaian dengan menggunakan
kekerasan (forcible or coercive means of settlement).3 Penyelesaian sengketa dengan
menggunakan kekerasan atau kekuatan militer sebenarnya tidak diakui oleh aturan
hukum internasional, tetapi dalam praktik sering terjadi penyelesaian sengketa
antarnegara dengan menggunakan kekuatan militer seperti dalam kasus agresi militer
Amerika Serikat ke Afghanistan, ke Irak, dan beberapa Negara lain. Penggunakan
kekuatan militer oleh AS yang menelan korban penduduk sipil dan harta benda yang tak
terhitung itu mendapat kecaman masyarakat internasional, tetapi hanya kecaman saja
tidak ada negara yang berani mencegah AS sekalipun PBB sendiri, sehingga terjadi
pelanggaran hukum internasional yang juga tidak sanksinya.
Apabila penyelesaian sengketa antarnegara yang tidak dapat diselesaikan
secara damai atau tidak ada kesepakatan, maka sering digunakan cara-cara
kekerasan atau kekuatan militer yang mencakup : (1)perang dan aksi bersenjata
bukan perang (war and non-war armed action); (2)pembalasan secara halus
(retorsion) seperti pemutusan hubungan diplomatik atau penarikan fiscal/konsesi
tarif, ; (3)pembalasan secara kasar (reprisals) seperti boykot, embargo, demo
kekuatan militer sampai pemboman; (4) blokade damai (pacific blockade) seperti
dalam kasus pengerahan kekuatan Inggris di sekitar laut Falkland Island, dan
(5)campur tangan (intervention).4 Hukum internasional secara tegas menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa harus secara damai dan tidak boleh suatu Negara
mengancam atau menggunakan kekuatan militer terhadap Negara lain dengan
alasan apapun sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 3 dan 4 Piagam PBB yang
berbunyi sebagai berikut :

3
JG Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, hlm. 485-486.
4
Ibid., hlm. 519.
4

“All Members shall settle their international disputes by peaceful means in


such a manner that international peace and security, and justice, are not
endangered. All Members shall refrain in their international relations from the
threat or use of force against the territorial integrity or political independence
of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations.”

Pasal 3 dan 4 Piagam PBB tersebut adalah bahwa setiap Negara harus
menyelesaikan sengketanya dengan cara damai sehingga tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan dan setiap Negara harus
menahan diri untuk tidak mengancam dan menggunakan kekuatan terhadao
integritas territorial atau kemerdekaan politik setiap Negara atau dengan cara
apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB.

II. Konvensi Hukum Laut 1982 (The 1982 United Nations Convention on
the Law of the Sea- UNCLOS) dan Rejim-Rejimnya yang Berlaku
Penetapan batas-batas Negara sering menjadi sengketa internasional
karena belum adanya kesepakatan dengan para pihak yang terlibat, tetapi
umumnya sengketa internasional dalam hal penentuan batas-batas Negara tersebut
diselesaikan lewat cara-cara damai, yaitu melalui negosiasi, jasa-jasa baik (good
offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan (enquiry), arbitrase, dan Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Penyelesaian sengketa termasuk
sengketa batas-batas negara di laut telah dilakukan melalui arbitrasi seperti kasus
landas kontinen antara Perancis dan Inggris tahun 1977 -1978, kasus batas
maritim antara Guinea dan Guinea-Bissau tahun 1985, dan kasus batas maritim
antara Kanada dan Prancis tahun 1992. Kasus-kasus penyelesaian sengketa batas-
batas maritim atau status kepemilikan suatu pulau banyak diselesaikan di forum
Mahkamah Internasional seperti dalam kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dan Malaysia yang diputuskan tanggal 17 Desember 2002.
Penyelesaian sengketa di bidang hukum laut sekarang sudah ada
pengadilan khusus berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya
menunjuk beberapa forum termasuk forum Mahkamah Internasional yang selama
5

ini mempunyai tingkat integritas dan kepercayaan sangat tinggi. Putusan-putasan


Mahkamah Internasional juga telah memberikan pengaruh penting terhadap
perkembangan hukum internasional terutama prinsip-prinsip hukum internasional
yang dikemukakan oleh para hakim ICJ tersebut. Konvensi Hukum Laut 1982
tersebut mengatur secara komprehensif bidang hukum laut yang di dalamnya
terdiri dari 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran (Annexes). Konvensi Hukum Laut
1982 ini mulai berlaku efektif pada tanggal 16 September 1994 setelah ratifikasi
ke-60 negara terpenuhi oleh Guyana pada setahun sebelumnya tanggal 16
September 1993.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) tahun 1982 mulai berlaku
sejak tanggal 16 September 1994 ketika terpenuhi ratifikasi ke-60 oleh Guyana.
Nama Konvensi ini adalah hukum laut (the law of the sea), bukan hukum laut
internasional, tetapi yang dimaksud dengan hukum laut internasional, yaitu
Konvensi itu sendiri yang berlaku secara internasional. Konvensi Hukum Laut
1982 ini terbentuk melalui perjalanan panjang yang diawali dengan Konferensi
PBB tentang Hukum Laut I tahun 1958 dan II tahun 1960 di Jenewa, yang
menghasilkan 4 Konvensi Jenewa, yaitu : (1)Konvensi tentang Laut Teritorial dan
Jalur Tambahan (Convention on the Territorial and the Contiguous Zone);
(2)Konvensi tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas); (3)Konvensi
tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on
the Fishing and Conservation of the the Living Resources of the High Seas);
(4)Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).
Konvensi Jenewa tersebut belum berhasil menentukan batas laut teritorial karena
beragamnya klaim oleh setiap negara, dan baru berhasil dalam Konvensi Hukum
Laut 1982.
Konvensi Hukum Laut 1982 ini merupakan a monumental achievement of
the international community dan merupakan perjanjian internasional yang
komprehensif yang mengatur hampir semua aspek kegiatan di laut. Laut bagi
Indonesia mempunyai arti strategis dan antisipatif, karena Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia yang teridiri dari 17.508 pulau dengan garis
6

5
pantai sepanjang 81.000 km, tetapi dengan kekayaan tersebut banyak pihak
menyatakan bahwa laut belum memberikan manfaat secara optimal kepada
masyarakat, padahal seharusnya laut dijadikan harapan bangsa masa sekarang dan
mendatang karena merupakan kekayaan sumber daya alam hayati dan non-hayati,
yang seharusnya pula memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional
atau daerah sejalan dengan berlakunya otonomi daerah sebagaimana diatur oleh
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari segi juridis Indonesia berhasil “mengharumkan” namanya melalui
Konvensi Hukum Laut 1982, melalui perjuangan Mochtar Kusumaatmadja, yang
keahlian hukum lautnya diakui dunia, dan karenanya Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tersebut dengan UU No. 17/1985. Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri
dari 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran (Annex). Dengan telah diratifikasinya
Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, maka sesuai dengan materi yang diatur
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, timbul beberapa rezim hukum laut yang
berlaku, yaitu sebagai berikut :
1. Laut Teritorial
Berdasarkan rejim hukum ini Indonesia menjadi sebuah negara kepulauan
(archipelagic state) yang memiliki kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial sejauh 12 mil sebagaimana ditentukan oleh Pasal 3
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi : “Every State has the right ti
establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical
miles measured from baselines determined in accordance with this Convention”.
Kedaulatan atas laut wilayah tersebut mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya
(seabed and subsoil), ruang udara di atasnya, dan segala kekayaan sumber daya
alam (hayati dan non-hayati) yang ada di dalamnya, sehingga Indonesia harus
menetapkan batas-batasnya, seperti lebar laut teritorial (territorial sea), zona
tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone),
dan landas kontinen (continental shelf). 6
2. Hak lintas damai (right of innocent passage)
5
Rokhmin Dahuri, Dkk., Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 1.
6
Pengertian negara kepulauan dan garis pangkal kepulauan di atur lebih lengkap dalam Bab IV Pasal 46-54
Konvensi Hukum Laut 1982, akan di jelaskan secara singkat di bawah ini.
7

Indonesia berdasarkan Konvensi tersebut mempunyai kedaulatan secara


penuh pada perairan pedalaman dan laut teritorial, tetapi tidak berarti negara lain
tidak mempunyai hak lintas, sehingga tetap berlaku bahwa ada hak lintas damai
(innocent passage) bagi kapal-kapal asing di laut territorial atau di perairan
kepulauan (archipelagic waters).7 Lintas harus terus menerus, langsung, dan
secepat mungkin serta lintas dianggap tidak damai apabila membahayakan
perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, tetapi lintas tersebut
dianggap membahayakan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai
jika dilaut teritorial melakukan kegiatan seperti berikut ini :
a. setiap ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap kedaulatan,
integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara pantai atau
segala sesuatu yang melanggar prinsip-prinsip hukum
internasional sebagaimana terdapat dalam Piagam PBB;
b. setiap latihan atau praktik dengan senjata berbagai jenis;
c. setiap tindakan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan
informasi yang merugikan pertahanan atau keamanan negara
pantai;
d. setiap tindakan propaganda yang ditujukan mempengaruhi
pertahanan atau keamanan negara pantai;
e. peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas
kapal;
f. peluncuran, pendaratan atau penerimaan peralatan militer di
atas kapal;
g. bongkar muat setiap komoditi, mata uang atau orang yang
bertentangan dengan peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi atau
sanitasi negara pantai;
h. setiap perbuatan sengaja mengakibatkan terjadinya pencemaran
serius yang bertentangan dengan Konvensi ini;
i. setiap kegiatan perikanan;
j. melakukan riset atau kegiatan survei;
k. setiap kegiatan yang bertujuan mengganggu sistem komunikasi
atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai;
l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung
dengan lintas.

3. Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)


Pada bagian-bagian tertentu di perairan kepulauan dan laut teritorial,
Indonesia harus menetapkan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI - sea lanes and

7
Pasal 17-19, 52 Konvensi Hukum Laut 1982.
8

traffic separation schemes) untuk keperluan pelayaran internasional.8 Penyediaan


alur laut kepulauan ini sebagai konsekuensi Indonesai sebagai Negara Kepulauan
(Archipelagic States) sebagaimana diminta oleh Pasal 53 Konvensi Hukum Laut
1982. Berdasarkan Pasal 53 Konvensi Hukum Laut ini diatur sebagai berikut,
antara lain :
a. Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di
atasnya yang sesuai digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara
asing secara terus menerus, langsung, dan secepat mungkin melalui
dan diatas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan
dengannya;
b. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut
kepulauan (archipelagic sea lanes passage) dalam alur laut dan rute
penerbangan ini;
c. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan
penerbangan sesuai dengan Konvensi dalam keadaan normal semata-
mata untuk tujuan transit terus menerus, langsung, dan secepat
mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif
lainnya;
d. Kapal-kapal dan pesawat udara di lintas alur laut kepulauan ini harus
tidak melebihi 25 mil ke kedua sisi garis sumbu dan tidak boleh
kurang 10% ke arah pantai dari titik terdekat pulau yang berbatasan
dengan alur laut tersebut;
e. Apabila Negara Kepulauan tidak menentukan alur laut dan rute
penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan
melalui rute-rute normal yang biasa digunakan untk pelayaran
internasional.
Ketentuan Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982 ini sudah dilakukan oleh
Indonesia sebagai Negara Kepulaan dengan adanya UU No. 6/1996 tentang
Perairan Indonesia dan PP No. 37/2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan

8
Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982.
9

Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Berdasarkan PP No. 37/2002 ini,
Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah menetapkan tiga jalur Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu ALKI I dengan Cabang ALKI IA, ALKI II,
ALKI IIIA dengan Cabang IIIB, IIIC, IIID, dan IIIE sebagaimana terdapat dalam
Lampiran-lampiran PP tersebut. Pasal 11 ayat (1)menyatakan bahwa ALKI I
untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia atau sebaliknya
melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda, sedangkan
ayat (2) adalah ALKI IA untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut
Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia atau
sebaliknya atau melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya.
ALKI II untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores
dan Selat Lombok ke Samudra atau sebaliknya. ALKI IIIA untuk pelayaran dari
Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai
dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudra Hindia atau sebaliknya.
ALKI Cabang IIIB untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya. ALKI
Cabang IIIC untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut
Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. ALKI Cabang IIID
untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut
Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra
Hindia atau sebaliknya. ALKI Cabang IIIE untuk pelayaran dari Laut Sulawesi
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu
sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra
Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda,
Selat Leti dan Laut Timor ke Samudra Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram
dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
4. Zona Tambahan
Zona tambahan (contiguous zone) bagi setiap negara pantai adalah sejauh
24 mil yang diukur dari garis pangkal sebagaimana mengukur luas laut teritorial.
10

Dalam zona ini Indonesia memiliki jurisdiksi control terhadap pencegahan


pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi, dan penegakan hukumnya. 9
5. Selat untuk pelayaran internasional
Selat-selat yang terletak di antara dua negara atau lebih yang digunakan
untuk kepentingan pelayaran internasional (straits used for international
navigations) berlaku aturan hukum internasional tanpa merugikan status hukum
10
nasional, sehingga diperlukan kerjasama antara negara-negara tersebut yang
bisa dibentuk sesuai dengan kesepakatan mereka, seperti Agreement antara
Indonesia, Malaysia, dan Singapore tentang Selat Malaka. Pada selat-selat untuk
pelayaran internasional ini berlaku hak lintas transit (transit passage) bagi kapal
(ships) dan pesawat udara (aircraft) asing. 11
6. Zona Ekonomi Eksklusif
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE – Exclusive Economic Zone) diatur dalam
Pasal 55-75 Konvensi, yaitu suatu zona di luar dan berbatasan dengan laut
teritorial yang lebarnya 200 mil dari garis pangkal, di mana Indonesia mempunyai
hak berdaulat (sovereign rights) atas sumber kekayaan laut (hayati dan non-
hayati), riset ilmiah kelautan, perlindungan dan konservasi lingkungan laut,
pembuatan pulau-pulau buatan dan pemasangan instalasi dan bangunan. Dalam
pelaksanaannya, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban negara lain.
Pasal 61 menegaskan bahwa Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan
sumber daya hayati (pemanfaatan ikan secara optimal) dan konservasinya
termasuk di dalamnya pemberian izin kepada nelayan, penetapan jenis ikan yang
boleh ditangkap, aturan alat-alat penangkapan ikan dan pengelolaan jenis-jenis
ikan di ZEE (seperti anadromous, catadromous). 12
Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982 menguraikan hak, jurisdiksi, dan
kewajiban Negara pantai sebagai berikut :

Rights, jurisdiction and duties of the coastal State in the exclusive economic zone
1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:

9
Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982.
10
Pasal 34-36 Konvensi Hukum Laut 1982.
11
Pasal 37-39 Konvensi Hukum Laut 1982.
12
Lebih lanjut perhatikan Pasal 55- 75 Konvensi Hukum Laut 1982.
11

(a) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting,


conserving and managing the natural resources, whether living or
non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the
seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the
economic exploitation and exploration of the zone, such as the
production of energy from the water, currents and winds;
(b) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
(i) the establishment and use of artificial islands,
installations and structures;
(ii) marine scientific research;
(iii) the protection and preservation of the marine
environment;
(c) other rights and duties provided for in this Convention.
2. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in the
exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the rights and
duties of other States and shall act in a manner compatible with the provisions of
this Convention.
Pasal 56 di atas menjelaskan bahwa bahwa Negara pantai mempunyai hak
berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola
sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati termasuk juga kegiatan
kepentingan ekonomi seperti memproduksi energi dari air, arus, dan gelombang
laut. Di samping itu Negara pantai mempunyai jurisdiksi untuk membangun dan
memanfaatkan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan, melakukan
riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 58
Konvensi yang berbunyi sebagai berikut :

1. In the exclusive economic zone, all States, whether coastal or land-locked,


enjoy, subject to the relevant provisions of this Convention, the freedoms referred
to in article 87 of navigation and overflight and of the laying of submarine cables
and pipelines, and other internationally lawful uses of the sea related to these
freedoms, such as those associated with the operation of ships, aircraft and
submarine cables and pipelines, and compatible with the other provisions of this
Convention.
2. Articles 88 to 115 and other pertinent rules of international law apply to the
exclusive economic zone in so far as they are not incompatible with this Part.
3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in
the exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties
of the coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by
12

the coastal State in accordance with the provisions of this Convention and other
rules of international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Maksud ketentuan Pasal 58 ini adalah bahwa semua Negara baik Negara
pantai maupun tidak berpantai menikmati kebebasan, penerbangan, dan
pemasangan kabel-kabel bawah laut dan pipa, serta penggunaan lainnya yang sah
secara internasional, tetapi harus mentaati hukum dan peraturan perundang-
undangan di ZEE yang dibuat oleh Negara pantai itu sesuai dengan Konvensi ini
dan aturan hukum internasional lainnya. Sedangkan Pasal 59 menyatakan
penyelesaian apabila terjadi konflik mengenai pelaksanaan hak dan jurisdiksi di
ZEE suatu negara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 59 Konvensi yang
berbunyia sebagai berikut :

“In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the
coastal State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict
arises between the interests of the coastal State and any other State or States, the
conflict should be resolved on the basis of equity and in the light of all the
relevant circumstances, taking into account the respective importance of the
interests involved to the parties as well as to the international community as a
whole.”
Pasal 58 Konvensi ini menegaskan bahwa dalam hal terjadinya sengketa
antara Negara pantai dan negara tidak berpantai, maka harus diselesaikan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan (the basis of equity) dan keadaan-
keadaan yang relevan dengan masyarakat internasional secara menyeluruh.
Adapun Pasal 60 Konvensi menguraikan hak eksklusif Negara pantai di pulau-
pulau buatan, instalasi, dan bangunan-bangunan sebagai berikut :

1. In the exclusive economic zone, the coastal State shall have the exclusive right
to construct and to authorize and regulate the construction, operation and use of:
(a) artificial islands;
(b) installations and structures for the purposes provided for in
article 56 and other economic purposes;
(c) installations and structures which may interfere with the
exercise of the rights of the coastal State in the zone.
2. The coastal State shall have exclusive jurisdiction over such artificial islands,
installations and structures, including jurisdiction with regard to customs, fiscal,
health, safety and immigration laws and regulations.
3. Due notice must be given of the construction of such artificial islands,
installations or structures, and permanent means for giving warning of their
13

presence must be maintained. Any installations or structures which are


abandoned or disused shall be removed to ensure safety of navigation, taking into
account any generally accepted international standards established in this regard
by the competent international organization. Such removal shall also have due
regard to fishing, the protection of the marine environment and the rights and
duties of other States. Appropriate publicity shall be given to the depth, position
and dimensions of any installations or structures not entirely removed.
4. The coastal State may, where necessary, establish reasonable safety zones
around such artificial islands, installations and structures in which it may take
appropriate measures to ensure the safety both of navigation and of the artificial
islands, installations and structures.
5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal State, taking
into account applicable international standards. Such zones shall be designed to
ensure that they are reasonably related to the nature and function of the artificial
islands, installations or structures, and shall not exceed a distance of 500 metres
around them, measured from each point of their outer edge, except as authorized
by generally accepted international standards or as recommended by the
competent international organization. Due notice shall be given of the extent of
safety zones.
6. All ships must respect these safety zones and shall comply with generally
accepted international standards regarding navigation in the vicinity of artificial
islands, installations, structures and safety zones.
7. Artificial islands, installations and structures and the safety zones around them
may not be established where interference may be caused to the use of recognized
sea lanes essential to international navigation.
8. Artificial islands, installations and structures do not possess the status of
islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not
affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the
continental shelf.
7. Landas Kontinen
Landas kontinen ini merupakan daerah dasar laut dan tanah di bawahnya
yang merupakan kelanjutan alami (natural prolongation) dari daratan yang berada
di luar dan berbatasan dengan laut teritorial yang panjangnya 200 mil dari garis
pangkal. Pada landas kontinen tersebut Indonesia memiliki hak-hak berdaulat
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam terutama non-
hayati. Lebar landas kontinen ini bisa mencapai 350 mil atau tidak melebihi 100
mil yang diukur dari kedalalamn (isobath) 2500 meter asalkan merupakan
14

13
kelanjutan alamiah dari daratan setiap negara pantai (coastal State). Pasal 76
Konvensi Hukum Laut 1982 menentukan beberapa cara penarikan delimitasi
landas kontinen sebagai berikut :

1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the
submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural
prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or
to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of
the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin
does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits
provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land
mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the
slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges
or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the
outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial
sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference
to the outermost fixed points at each of which the thickness of
sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance
from such point to the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference
to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the
continental slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental
slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient
at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf
on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall
not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the
2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer
limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the
baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This
paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of
the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.

13
Pasal 76-85 Konvensi Hukum Laut 1982.
15

7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where
that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding
60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of
latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall
be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the
Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical
representation. The Commission shall make recommendations to coastal States
on matters related to the establishment of the outer limits of their continental
shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these
recommendations shall be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United
Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently
describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall
give due publicity thereto.
10. The provisions of this article are without prejudice to the question of
delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent
coasts.

Sedangkan hak negara pantai di landas kontinen ini sebagaimana diatur oleh Pasal
77 Konvensi adalah :
1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the
purpose of exploring it and exploiting its natural resources.
2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the
coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural
resources, no one may undertake these activities without the express consent of
the coastal State.
3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on
occupation, effective or notional, or on any express proclamation.
4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other
non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms
belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable
stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in
constant physical contact with the seabed or the subsoil.
8. Laut Lepas
Laut lepas (high seas) adalah bagian laut (all parts of the sea) yang tidak
termasuk ZEE, Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, atau bagian laut setelah batas
ZEE. Di laut lepas setiap negara, baik negara pantai maupun tidak berpantai
(landlocked state), memiliki kebebasan, yang salah satunya adalah kebebasan
16

menangkap ikan (freedom of fishing, yang lebih lanjut diatur dalam Section 2
mengenai Conservation and Management of the Living Resources of the High
Seas. 14
9. Kawasan
Kawasan (the Area), yaitu suatu resources, kekayaan mineral berupa
padat, cair atau gas (solid, liquid and gaseous) termasuk polymetallic nodules
yang terdapat di bawah dasar laut yang diatur lebih lanjut oleh International
Seabed Authority (ISA). Dalam Kawasan ini berlaku prinsip Common heritage of
mankind (warisan bersama umat manusia), artinya tidak ada negara yang boleh
melaksanakan kedaulatannya di Kawasan tersebut, tetapi Kawasan adalah untuk
kepentingan penelitian ilmiah dan tujuan damai bagi seluruh umat manusia. 15

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 itu Indonesia harus menundukkan diri terikat
dan harus menetapkan batas-batas wilayah negara di berbagai zona maritim sesuai
dengan rezim-rezimnya, yaitu sebagai berikut :

No. Zona Maritim Status Hukum Kedaulatan atau Batas


Yurisdiksi Terluar
1. Laut Teritorial Wilayah Kedaulatan 12 mil laut
Negara (NKRI)
2. Perairan Kepulauan Wilayah Kedaulatan Garis pangkal
Negara (NKRI)
3. Perairan Pedalaman Wilayah Kedaulatan Garis penutup
Negara (NKRI)
4. Zona Tambahan Bukan Wilayah Yurisdiksi khusus 24 mil laut
Negara
5. Zona Ekonomi Eksklusif Bukan Wilayah Hak berdaulat & 200 mil laut
Negara yurisdiksi khusus
6. Landas Kontinen Bukan Wilayah Hak berdaulat 200-350 mil
Negara laut / 100 mil
dari isobath
2500 m
7. Laut Lepas Tunduk Rezim Terbuka/kebebasan Di luar ZEE
Internasional bagi semua negara
8. Kawasan Tunduk pada Common heritage Di luar ZEE
Rezim of mankind dan/atau LK
Internasional
14
Pasal 86 – 120 Konvensi Hukum Laut 1982.
15
Lihat selanjutnya ketentuan Pasal 133 – 153 Konvensi Hukum Laut 1982.
17

(ISA)

Penetapan batas-batas wilayah negara pantai seperti Indonesia sebagaimana diatur


oleh Konvensi ini adalah jelas secara juridis, sedangkan teknisnya dilakukan oleh negara-
negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan (opposite or adjacent coasts) baik
melalui perjanjian bilateral maupun multilateral yang menyangkut perbatasan wilayah
negara di laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, atau di landas kontinen.

IV. Prinsip - prinsip Penetapan Batas Negara di Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen menurut Konvensi Hukum Laut 1982
dan Putusan Hakim dari Kasus-Kasus

1. Laut Teritorial (Territorial Sea) : Penegasan batas wilayah negara di laut


teritorial diatur dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 (Delimitation of the
territorial sea between States with opposite or adjacent coasts) berbunyi :

“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of
the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to
extend its territorial sea beyond the median line every point of which is
equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the
territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does
not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other
special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way
which is at variance therewith.”
“Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan
satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan
diantara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis
tengah yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis
pangkal dimana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur. Tetapi
ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
16
kedua Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.”
16
Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 : “Where the coasts of the States are opposite or adjacent to each
other , neither of the two States is tittle, failing agreement between them to the contrary, to extend its
18

Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa penetapan batas wilayah negara di laut
teritorial adalah sebagai berikut : (1)ditetapkan melalui persetujuan; (2)batasnya
berupa suatu garis tengah (median line) yang diukur sama jarak (equidistance)
dari titik-titik terdekat pada garis pangkal masing-masing negara; (3) ditetapkan
batas-batasnya dengan memperhatikan adanya hak historis (historical tittle) atau
keadaan khusus lainnya. Ketentuan Pasal 15 Konvensi ini sudah diadopsi oleh
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yaitu Pasal 10
yang berbunyi : ayat (1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis
batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah
yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal
darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur; ayat (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak
historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas
laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan
ketentuan tersebut. Ketentuan Pasal 10 UU No.6/1996 sama persis dengan
ketentuan Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan lebih lanjut mengenai
titik pangkal garis pangkal adalah Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Pasal 16 Konvensi menyatakan bahwa penetapan batas laut teritorial
ini harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai penetapan garis
posisinya, atau membuat daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan
datum geodetik (geodatic datum). Setelah itu diumumkan sebagaimana mestinya
dan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini
harus dilakukan oleh Indonesia, mendaftarkan data wilayah termasuk semua
pulau yang berada di bawah kedaulatan NKRI di PBB, sehingga tidak terulang
kasus pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi milik Malaysia karena Indonesia kalah
telak di forum Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002 itu. Beberapa
kasus penyelesaian sengketa perbatasan negara di zona maritim ini misalnya :
territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the
baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above
provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historical title or other special
circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.”
19

Delimitation of Maritime Boundary in Gulf of Maine Area tahun 1984 (Kanada


dan USA), Frontier Dispute tahun 1987 (Burkina Faso dan Mali), Land, Island,
and Maritime Frontier Dispute tahun 1986 (El Salvador dan Honduras).
Dalam menentukan batas negara di laut teritorial berdasarkan praktik
umum adalah berdasarkan kesepakatan garis tengah (median line), yaitu garis
sama jarak (equidistant) dari titik-titik terdekat pantai negara yang saling
berhadapan, seperti dalam kasus Perjanjian Swedia-Denmark tahun 1932,
Perjanjian Inggris-Sultan Johor di Selat Johor tahun 1928. Penentuan garis batas
di laut teritorial antara negara yang saling berdampingan (adjacent States)
menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle), yaitu menarik garis
tengah dari batas pantainya, seperti dalam kasus Perjanjian Kolombia-Panama
tahun 1976, Perjanjian Polandia-USSR tahun 1958, Perjanjian Brasil-Uruguay
tahun 1972 tentang Tepi Sungai Chuy dan Batas Laut Lateral (1972 Brazil-
Uruguay Agreement on the Chuy River Bank and the Lateral Sea Limit).
Batas maritim antara negara yang berdampingan ada yang menggunakan
cara garis lintang (the line of latitude), yaitu garis melalui titik dimana batas darat
(land boundary) bertemu di laut, seperti yang digunakan dalam kasus Perjanjian
antara Ekuador-Kolombia tahun 1975 (the 1975 delimitation agreement between
Ecuador and Colombia). Demikian juga penetapan batas negara ini ada dengan
memperhatikan keadaan khusus (special circumstances) seperti :
(1)adanya pulau di lepas pantai (presence of offshore islands);
(2)konfigurasi umum dari sebuah pantai (the general configuration of the coast);
dan (3)klaim terhadap batas negara berdasarkan nilai sejarah (based upon an
historic title). Kasus Perjanjian antara India dan Srilanka tentang Batas di Perairan
bersejarah antara dua negara itu (the 1974 Agreement between India and Srilanka
on the Boundary in Historic Waters), atau garis tengah yang dimodifikasi (a
modified median line) dengan memperhatikan faktor-faktor bersejarah (historical
factors). Penetapan batas negara di laut teritorial umumnya menggunakan
koordinat geografis demi kepastian (certainty) dan sederhana (simplicity) atau
yang dilandasi dengan semangat kesepakatan (a spirit of compromise).
20

Dalam kasus Guinea/Guinea-Bissau tahun 1985 Mahkamah memutuskan


bahwa delimitasi antara dua negara harus diukur untuk mencapai satu tujuan,
yaitu penyelesaian secara adil (an equitable solution) sesuai dengan keadannya.
Penentuan batas negara di laut teritorial menurut aturan hukum internasional telah
sesuai dengan praktik negara-negara itu sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 15
Konvensi Hukum Laut 1982 di atas. Dalam kasus Dubai/Sharjah Border
Arbitration tahun 1981 dimana kedua negara Arab ini saling berdampingan
(adjacent) satu sama lain yang mempunyai garis pantai lurus (straight coast), dan
Arbitrasi menggunakan hukum kebiasaan internasional (customary international
law), yaitu menarik garis sama jarak menyamping dari kedua pantai negara itu (a
lateral equidistance line from the coast) sesuai dengan ketentuan Pasal 12
Konvensi Laut Teritorial tahun 1958 atau Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982
yang berlaku sekarang.

2. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)


Penetapan batas negara untuk melaksanakan hak berdaulat di zona ekonomi
eksklusifnya diatur dalam Pasal 74 Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi :

1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with opposite
or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international
law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of
Justice, in order to achieve an equitable solution.
2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States
concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a
spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into
provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional
period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such
arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.
4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions
relating to the delimitation of the exclusive economic zone shall be determined in
accordance with the provisions of that agreement.
Negara Pantai harus menunjukkan batas-batas negaranya di Zona Ekonomi
Eksklusif dengan daftar kordinat geografis dan skala petanya (Charts and lists of
geographical coordinates) yang diakui oleh negara pantai tersebut sebagai
diminta oleh Pasal 75 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang berbunyi :
21

1. Subject to this Part, the outer limit lines of the exclusive economic zone and the
lines of delimitation drawn in accordance with article 74 shall be shown on
charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where
appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the geodetic
datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with
the Secretary-General of the United Nations.
(1)Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan berdasarkan
hukum internasional untuk mencapai solusi yang adil; (2)Apabila tidak dapat
dicapai persetujuan, Negara-negara tersebut harus menggunakan ketentuan Bab
XV (Settlement of Disputes); (3)Apabila belum ada persetujuan, Negara-negara
tersebut harus membentuk pengaturan sementara (provisional arrangement) untuk
mencapai penetapan akhir mengenai perbatasan di zona ekonomi eksklusif.
Penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini harus dicantumkan dalam peta
dengan skala daftar titik-titik koordinat geografis yang kemudian diumumkan dan
disampaikan kepada Sekjen PBB, seperti halnya ketentuan Pasal 16 Konvensi
Hukum Laut 1982 mengenai perbatasan di laut teritorial. Jadi berbeda dengan
cara penetapan batas laut teritorial, penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini
hanya dengan persetujuan di antara negara-negara tersebut. Beberapa kasus
berkenaan dengan zona ini adalah, misalnya, kasus Franco-Canadian Fisheries
Arbitration tahun 1985.
Penentuan batas negara di Zona Ekonomi Eksklusif mengacu pada hukum
kebiasaan international yang dikembangkan oleh Mahkamah Internasional dan
pengadilan arbitrasi lainnya, seperti dalam kasus Greenland/Jan Mayen, Gulf of
Maine tahun 1984 antara AS dan Kanada. Dalam kasus Gulf of Maine, Mahkamah
menegaskan dua norma dasar dalam menyelesaikan sengketa delimitasi maritim,
yaitu sebagai berikut :
(1) No martime delimitation between States with opposite or adjacent coasts may
be effected unilaterally by one of those States. Such delimitation must be
sought and effected by means of an agreement, following negotiations
conducted in good faith and with athe genuine intention of achieving a
22

positive result. Where, however, such agreement cannot be achieved,


delimitations should be effected by recourse to a third party possessing the
necessary competence;
(2) In either case, delimitation is to be effected by application of equitable
criteria and by the use of practical methods capable of ensuring, with regard
to the geographic configuration of the area and other relevant circumstances,
an equitable result.
Pendapat Mahkamah ini adalah bahwa tidak ada delimitasi maritim antara
negara yang berhadapan atau berdampingan dapat efektif dengan tindakan satu
pihak saja, tetapi perbatasan itu akan efektif oleh perjanjian melalui perundingan
yang dilakukan dengan itikad baik (good faith) dan mencapai hasil yang positif.
Apabila persetujuan tersebut tidak tercapai, perbatasan negara itu diselesaikan
oleh pihak ketiga yang mempunyai kewenangan. Dalam kasus lain, delimitasi
harus dilakukan melalui penerapan kriteria yang adil dan menggunakan cara yang
praktis untuk menjamin hasil yang adil seperti memperhatikan konfigurasi
geografik dan keadaan-keadaan khusus. Pendapat Mahkamah ini diadopsi oleh
Konvensi Hukum Laut 1982 dan bahkan sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional.

3. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Pengukuran batas negara di landas kontinen tidak berdasarkan pada


prinsip yang tetap, tetapi berdasarkan perjanjian antara negara-negara yang
berbatasan dengan landas kontinen tersebut. Sejarah pertama pengukuran
perbatasan di landas kontinen terjadi tahun 1942 antara koloni Inggris (British
colony), yaitu Trinidad dan Venezuela di Teluk Paria (the Gulf of Paris) dengan
menggunakan prinsip pembagian yang adil (equitable division). Pada tahun 1945
AS mengeluarkan Truman Proclamation yang mengacu pada prinsip keadilan
(equitable principles) dalam menentukan batas-batas negara di landas kontinen.
Dalam praktik negara-negara pengukuran landas kontinen memperhatikan
konfigurasi pantai negara yang bersangkutan, seperti kasus penentuan landas
kontinen antara Belanda, Denmark, dan Jerman tahun 1969 yang dikenal dengan
23

kasus North Sea Continental Shelf. Dalam kasus Laut Utara ini Jerman menolak
menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle) karena Jerman menilai
prinsip ini tidak adil baginya disebabkan Jerman memiliki keadaan khusus
(special circumstances). Apabila ada keadaan khusus tersebut, maka pengukuran
landas kontinen berdasarkan prinsip sama jarak dapat disimpangi karena tidak adil
bagi negara tersebut, seperti pada Jerman. Ketentuan delimitasi landas kontinen
dalam kasus Laut Utara ini mengacu pada Konvensi Landas Kontinen (Konvensi
Jenewa 1958) dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “… the boundary of the
continental shelf appertaining to such States shall be determined by agreement
between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is
justified by special circumstances … the boundary shall be determined by
application of the principle of equidistance from the nearest points of the
baselines …”

Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 ini menerapkan prinsip sama jarak


(equidistance) dan memperhatikan keadaan khusus (special circumstances) dalam
mengukur landas kontinen apabila memang tidak ada kesepakatan antara kedua
negara tersebut. Dalam kasus North Sea itu, Jerman tidak meratifikasi Konvensi
Jenewa 1958, tetapi apabila ada negara yang bukan peserta Konvensi ini, maka
hukum kebiasaan internasional dapat diterapkan. Hukum kebiasaan internasional
dikembangkan oleh putusan-putusan Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) dan pengadilan-pengadilan arbitrase.

Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional misalnya


kasus ‘landmark’ North Sea Continental Shelf tahun 1969 (Jerman, Denmark, dan
Beland), kasus Continental Shelf tahun 1982 (Tunisia dan Libya), kasus
Continental Shelf tahun 1985 (Libya dan Malta), Kasus Maritime Delimitation in
the Area berween Greenland and Jan Mayen (Denmark dan Norwegia) tahun
1993, Application for revision and interpretation of judgment of 24 February
1982 concerning the Continental Shelf (Tunisia dan Libya), kasus Aegean Sea
Continental Shelf tahun 1978 (Yunani dan Turki), Kasus Teluk Maine (Gulf of
Maine) antara batas landas kontinen dan zona penangkapan ikan antara AS dan
Kanada. Kasus Sipadan-Ligitan yang diputuskan Mahkamah Internasional 17
24

Desember 2002 semula dari landas kontinen yang ketika itu akan diukur oleh
Indonesia dan Malaysia. Dalam kasus Sipdan-Ligitan tersebut Mahkamah
memutuskan bahwa kedaulatan atas kedua pulau itu adalah menjadi milik
Malaysia. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa persoalan perbatasan wilayah
di landas kontinen adalah persoalan yang sangat pelik dan penting bagi negara-
negara bahkan mungkin dapat menjadi sengketa bersenjata. Sedangkan
pembentukan hukum kebiasaan internasional melalui pengadilan-pengadilan
arbitrasi misalnya kasus the Anglo-French Continental Shelf tahun 1977, kasus
the Dubai/Sharjah Border Arbitration tahun 1981, dan kasus the Delimitation of
Maritime Areas between Canada and the French Republic tahun 1992 mengenai
batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif 200 mil laut.

Dalam beberapa kasus tersebut, Mahkamah Internasional dan pengadilan


lainnya tidak mendasarkan pada aturan konvensi internasional, tetapi pada praktik
negara-negara sehingga menjadi hukum kebiasaan internasional yang diterima
oleh negara dan sesuai dengan opinio juris sive necessitaties. Dalam kasus North
Sea tahun 1969 itu adalah hukum kebiasaan internasional yang digunakan dimana
Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal untuk mengukur batas
negara di landas kontinen yang harus dilakukan (compulsory) karenanya
Mahkamah menegaskan berdasarkan hukum kebisaan sebagai berikut :
“delimitation is to be effected by agreement in accordance with equitable
principles and taking account of all the relevant circumstances, in such a way as
to leave as much possible to each Party all those parts of the continental shelf
that constitute a natural prolongation of its land territory into and under the sea,
without encroachment on the natural prolongation on the land territory of the
other.” Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut, Mahkamah memberikan a
larger share kepada Jerman dibandingkan kalau pengukuran landas kontinen di
Laut Utara itu menggunakan prinsip sama jarak (the equidistance principle)
karena landas kontinen Jerman mempunyai kelanjutan alamiah dari wilayah
daratannya. Mahkamah mengakui bahwa kasus-kasus sengketa perbatasan negara
di landas kontinen akan efektif dengan adanya persetujuan sesuai dengan prinsip
25

keadilan (equitable principles) dan memperhatikan keadaan-keadaan yang


relevan.

Mahkamah Internasional sejak adanya kasus Tunisia/Libya telah


menekankan pentinya pengukuran delimitasi di wilayah laut, yaitu untuk
mencapai tujuan hasil yang seadil-adilnya (an equitable result), meskipun
pendapat ini tidak berarti putusan Mahkamah harus bersifat ex aequo et bono
(putusan berdasarkan kepatutan dan keadilan). Sedangkan pengadilan arbitrase
dalam kasus Anglo-French Continental Shelf tahun 1977 antara Prancis dan
Inggris itu yang keduanya peserta Konvensi Jenewa 1958 menyatakan bahwa
aturan equidistance dan special circumstances sebagaimana terdapat dalam Pasal
6 itu merupakan satu-satunya cara penentuan batas negara di landas kontinen
apabila tidak ada perjanjian, sedangkan norma umumnya adalah bahwa
pengukuran landan kontinen ditentukan berdasarkan prinsip keadilan (equitable
principles). Mahkamah Internasional dalam kasus Greenland/Jay Mayen antara
Norwegia dan Denmark menyatakan sebagai berikut : “ If the equidistance-
special circumstances rule of the 1958 Convention is, in the light of this 1977
Decision, to be regarded as expressing a general norm based on equitable
principles, it must be difficult to find any material difference – at any rate in
regard to delimitation between opposite coasts – between the effect of Article 6
and the effect of the customary rule which also requires a delimitation based on
equitable principles.”

Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi Jenewa yang


mengatur Landas Kontinen merupakan sebuah hukum kebiasaan internasional
sekurang-kurangnya untuk mengukur landas kontinen negara yang berhadapan
dengan menggunakan prinsip sama jarak dengan memperhatikan keadaan-
keadaan khusus. Dalam kasus Landas Kontinen antara Prancis dan Inggris itu,
pengadilan arbitrase menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 itu memiliki sifat
mengikatnya diwajibkan (obligatory force), yang berarti tidak mempunyai
kekuatan yang sama berdasarkan ketentuan hukum kebiasaan dan bahwa aturan
hukum kebiasaan itu adalah relevan dan bahkan merupakan cara yang penting
baik untuk menafsirkan maupun melaksanakan ketentuan Pasal 6 Konvensi
26

Jenewa 1958 tersebut. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam menentukan batas-


batas negara sesuai dengan hukum kebiasaan itu sering dijadikan oleh pengadilan
untuk menyelesaikan sengketa perbatasan antarnegara.

Ketentuan penetapan batas di landas kontinen menurut perjanjian


internasional terdapat dalam Pasal 83 (Delimitation of the continental
shelfbetween States with opposite or adjacent coasts) Konvensi Hukum Laut 1982
yang format bunyi pasalnya sama dengan Pasal 74, yaitu melalui kesepakatan
kedua negara atau lebih yang berhadapan atau berdampingan berdasarkan hukum
internasional. Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi sebagai berikut :

1. The delimitation of the continental shelf between States with opposite or


adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law,
as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in
order to achieve an equitable solution.
2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States
concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a
spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into
provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional
period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such
arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.
4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions
relating to the delimitation of the continental shelf shall be determined in
accordance with the provisions of that agreement.
Maksud ketentuan Pasal 83 ini adalah bahwa delimitasi landas kontinen
antara negara yang berhadapan atau berdampingan harus dilakukan melalui
persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana diatur oleh Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai solusi yang adil. Pasal 38
17
Statuta Mahkamah mengatur sumber hukum internasional, yaitu ada empat :
(1)perjanjian; (2)kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum;
(3)prinsip-prinsip umum hukum; (4)keputusan pengadilan dan ajaran sarjana
terkemuka. Keempat sumber hukum internasional dapat dijadikan acuan untuk
menentukan batas-batas negara di landas kontinen. Apabila belum ada

17
Article 38 of the Statute of the International Court of Justice : (a)international convention;
(b)international customary; (c)the general principles of law; (d)judicial decision and the teachings of the
most highly qualified publicists of the various nations as subsidiary means.
27

kesepakatan yang dicapai oleh negara-negara, maka negara yang bersangkutan


dapat menempuh prosedur sebagaimana diatur oleh Bab XV Konvensi Hukum
Laut 1982. Bab XV ini mengatur penyelesaian sengketa antarnegara dengan cara-
cara damai seperti diatur oleh Pasal 279-299 Konvensi Hukum Laut 1982 yang
memberikan mekanisme penyelesaian sengketanya yang diatur dalam. Pasal 279
menyatakan bahwa negara-negara berkewajiban menyelesaikan sengketanya
dengan cara damai (peaceful means) yang menunjuk ketentuan Pasal 33 Piagam
PBB sebagaimana dikemukakan di atas. 18

Pilihan prosedur penyelesaian sengketa menurut Konvensi terdapat dalam


Pasal 287, yaitu : (a)Mahkamah Internasional Hukum Laut (the International
Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS) yang diatur lebih lanjut dalam Annex VI;
(b)Mahkamah Internasional (the International Court of Justice-ICJ);
(c)Mahkamah Arbitrase (arbitral tribunal) yang diatur lebih lanjut dalam Annex
VII; (d)Mahkamah Arbitrase khusus (special arbitral tribunal) yang diatur lebih
lanjut dalam Annex VIII. Apabila belum ada perjanjian yang dimaksud ayat (1)
Pasal 83 di atas, maka negara-negara yang bersangkutan dalam semangat
pengertian dan kerja sama harus membuat pengaturan sementara (provisional
arrangements) selama waktu transisi yang tidak merusak atau membahayakan
perjanjian akhir atau delimitasi akhir, sehingga persoalan yang menyangkut
perbatasan landas kontinen ini harus mengacu pada kesepakatan sementara itu.

Penerapan hukum kebiasaan yang mengacu pada prinsip equidistance atau


equitable solution itu untuk mencapai penyelesaian secara adil itu digunakan
dalam beberapa kasus, seperti kasus Libya/Malta yang diselesaian oleh forum
Mahkamah Internasional pada tahun 1985 dan Greenland/Jan Mayend, North
Sea Continental Shelf tahun 1969, dan Tunisia/Malta tahun 1982. Dalam kasus
Laut Utara tahun 1969 itu, Mahkamah Internasional menganalisis ketentuan Pasal
6 Konvensi Landas Kontinen 1958 yang mempertimbangkan setiap keadaan
khusus (special circumstances) yang membenarkan penarikan garis tengah

18
Pasal 33 Piagam PBB : “the parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the
maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or
other peaceful means of their own choice”.
28

(median line) batas landas kontinen, sedangkan hukum kebiasaan internasional


meminta harus memperhatikan keadaan yang relevan (relevant circumstances).
Keadaan khusus atau special circumstances itu secara tradisional berarti sebagai
berikut : (a)keadaan pantai yang menyempit (fairly narrow in scope);
(b)konfigurasi pantai yang beda dengan konfigurasi pantai negara lain, (c)adanya
pulau-pulau (the presence of islands); dan (d)jalur yang digunakan pelayaran
(navigable channel). Sedangkan keadaan yang relevan atau relevant
circumstances itu berarti keadaan pantai yang meluas (much wider in scope)
seperti dalam kasus North Sea Continental Shelf dimana Mahkanah Internasional
menyarankan bahwa tidak ada batas terhadap jenis keadaan tersebut yang dapat
diperhatikan dalam menghasilkan delimitasi yang adil (equitable delimitation).
Dalam kasus Greenland/Jan Mayen Mahkamah Internasional menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 6 itu adalah sebuah kebiasaan internasional yang didalamnya
memperhatikan special circumstances dan relevant circumstances yang berbeda
asal-usulnya, tetapi keduanya dapat digunakan untuk mencapai hasil secara adil
(equitable result) khususnya negara-negara yang mempunyai pantai berhadapan
(opposite coasts) seperti kasus Libya/Malta dan Greenland/Jan Mayen dan
Mahkamah Internasional mempunyai pertimbangan yang luas untuk menentukan
hasil yang adil tersebut yang sering mengacu pada kasus-kasus sebelumnya.

Mahkamah internasional dalam berbagai putusan terhadap kasus-kasus


sengketa perbataan sangat memperhatikan keadaan khusus atau yang relevan
tersebut, seperti dalam kasus Tunisia/Libya memperhatikan perubahan arah garis
pantai Tunisia, kasus North Sea Continental Shelf karena dalam kasus ini garis
pantai Jerman mempunyai keadaan khusus. Demikian juga Mahkamah
mempertimbangkan keadaan yang relevan dalam hal kehadiran pulau (the
presence of islands). Pulau-pulau kecil biasanya diberikan aturan atau tindakan
tidak penuh (less than full effect), yaitu Mahkamah yang biasanya menggunakan
garis sama jarak (an equidistance line) sebagai cara untuk membuat perbatasan,
tetapi akan menggunakan jarak tidak sama (not equidistant) antara pulau itu
dengan pantai yang berhadapan, seperti dalam contoh kasus Anglo-French
Continental Shelf tahun 1977 dimana Mahkamah memperlakukan Pulau Sisilia
29

(the Scilly Isles) dengan setengah effek (half effect), yaitu garis perbatasan dibagi
dua atau setengah dari keduanya (halfway between). Demikian juga dalam kasus
Tunisia/Libya. Mahkamah memberikan tindakan sepenuh efek dalam kasus Libya
/Malta dan Greenland/Jan Mayen.

4. Garis Pangkal (Baselines) :

Garis Pangkal Normal


Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi : “Every State has the right
to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12
nautical miles, measured from baselines determined in accordance with this
Convention”, yang artinya adalah bahwa setiap negara mempunyai hak untuk
menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut yang
diukur dari garis pangkal sesuai dengan Konvensi ini. Konvensi ini mengatur tiga
jenis penetapan garis pangkal, yaitu garis pangkal normal (normal baseline), garis
pangkal lurus (straight baseline), dan garis pangkal kepulauan (archipelagic
baselines). Garis pangkal normal diatur oleh Pasal 5 Konvensi yang berbunyi :
“Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for
measuring the breadth of the territorial sea is the low water line along the coast
as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”, yaitu
garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah
sepanjang pantai yang ditandai dalam peta skala besar yang resmi diakui oleh
Negara pantai tersebut.
Garis Pangkal Lurus (Straight Baselines)
Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa apabila pantai
suatu negara menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam (deeply indented
and cut into) atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai (a fringe of
islands), maka dapat digunakan penarikan garis pangkal lurus (straight baseline)
untuk mengukur lebar laut teritorialnya. Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari arah umum pada pantai suatu negara. Garis pangkal
lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika di atasnya didirikan
30

mercu suar atau instalasi serupa yang permanen. Dalam menentukan garis
pangkal ini dapat diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus yang
kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktik yang berlangsung
lama. Pasal 7 ini juga menegaskan bahwa sistem penarikan garis pangkal lurus
tidak boleh digunakan, sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut
lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines)
Pasal 46-47 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan pengertian Negara
Kepulauan dan garis pangkal kepulauan. Pasal 46 huruf (a) berbunyi : (a)
"archipelagic State" means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other islands”, yaitu bahwa Negara kepulauan
berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain, sedangkan arti kepulauan terdapat dalam huruf
(b) yang berbunyi : “archipelago" means a group of islands, including parts of
islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic
geographical, economic and political entity, or which historically have been
regarded as such. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,
perairan diantaranya dan wujud alamiah lainnya yang hubungan satu sama lain
demikian erat, sehingga perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu
kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau secara historis dianggap
demikian.

Pasal 47 Konvensi Hukum Laut menjelaskan bahwa Negara Kepulauan


dapat menggunakan garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik
terluar dari pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan itu (outermost
points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago), dengan
ketentuan garis pangkal ini termasuk pulau-pulau utama (the main lands) dengan
perbandingan perairan dan daratan antara satu berbanding satu dan sembilan
berbanding satu (1 to 1 and 9 to 1). Panjang garis pangkal ini tidak boleh melebihi
100 mil kecuali hingga 3 % dari jumlah total garis pangkal yang mengelilingi
setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut sampai maksimu 125 mil.
31

Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi
umum kepulauan tersebut. Garis pangkal kepulauan tidak boleh ditarik ke dan
dari elevasi surut kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercusuar atau
instalasi yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apaabila
elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang
tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat. Penarikan garis pangkal
kepulauan tidak boleh memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau
zona ekonomi eksklusif. Garis pangkal kepulauan ini harus dicantumkan pada
peta dengan skal yang memadai menegaskan posisinya, atau sebagai gantinya
dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas merinciu datum
geodetik. Negara Kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta
atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan salinannya pada
Sekretaris Jenderal PBB.

Pasal 14 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi : “the Coastal State may
determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing
articles to suit different condition”, yang maksudnya adalah bahwa Negara Pantai
dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara
penarikan manapun yang diatur dalam Konvensi. Penetapan garis pangkal baik
garis pangkal normal, garis pangkal lurus, maupun garis pangkal kepulauan secara
bergantian ini telah dilakukan oleh Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus
Negara Kepulauan sebagaimana terdapat dalam aturan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Pasal 3 dari PP tersebut ditegaskan bahwa di antara
pulau-pulau terluar dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal
untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pangkal lurus kepulauan.
Berdasarkan PP ini ada Pulau Dana yang merupakan pulau terluar yang termasuk
Propinsi Nusa Tenggara Timur (dekat Pulau Roti) yang tidak berpenduduk tidak
ada suar yang berbatasan dengan Australia di Karang Ashmore (Ashmore reef).
Pulau Dana ini terletak di titik dasar 121 52’ 22’’ Bujur Timur dengan jarak 65.43
mil dan di pulau terluar ini Indonesia menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan.
32

VI. Implikasinya Bagi Kedaulatan NKRI di Pulau-Pulau Terluar

Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 terdapat 92 pulau


dengan statuts pulan terluar atau yang berbatasan langsung dengan negara-negara
tetangga, tetapi dari 92 pulau terluar itu hanya ada 12 pulau yang memerlukan
perhatikan serius pemerintah karena dikhawatirkan diokupasi oleh pihak asing.
Dinas Hidro-Oseanografi Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut yang selama ini mencatat dan memantau ke-12 pulau terluar RI yang
berbatasan dengan negara tetangga itu mengatakan perlu mendapat perhatian
khusus karena dikhawatirkan akan menjadi sengketa dengan negara tetangga
tersebut. Dengan adanya perhatian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
pulau-pulau terluar tersebut diharapkan tetap menjadi bagian dari kedaulatan dan
keutuhan NKRI. Pulau-pulau terluar tersebut adalah Pulau Rondo (1) yang berada
di Provinsi Aceh (Nagroe Aceh Darussalam) berbatasan dengan India, di mana
pulau ini tidak berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar. Pulau Berhala (2) yang
terletak di Provinsi Sumatra Utara, tidak berpenduduk, tetapi telah dibangun suar
berbatasan dengan Malaysia. Pulau Nipa (3) termasuk ke daerah Provinsi Riau,
tidak berpenduduk, telah dibangun suar dan berbatasan dengan Singapore. Pulau
Sekatung (4) masih termasuk Provinsi Riau, tidak berpenduduk, telah dibangun
suar dan berbatasan dengan Vietnam. Pulau Marore (5) dan Miangas (6) yang
keduanya berada di Provinsi Sulawesi Utara, berpenduduk, telah dibangun suar
dan berbatasan dengan Philipina. Di kedua pulau terluar ini sudah kental dengan
budaya negara tetangga tersebut bahkan kebutuhan sehari-hari masyarakatnya di
dapat dari Philipina. Pulau Fani (7) dan Pulau Fanildo/PP Mapia (8) dan Pulau
Bras/PP Mapia (9) atau termasuk Provinsi Irian Jaya (Papua), tidak berpenduduk,
di Pulau Fani telah dibangun suar, tetapi di Pulau Fanildo dan Bras belum ada
suar, ketiga pulau terluar ini berbatasan dengan Palau. Pulau Batek (10) termasuk
ke daerah NTT, tidak berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar berbatasan dengan
Timor Leste. Pulau Dana (11) berada di Provinsi NTT, tidak berpenduduk, belum
ada suar dan berbatasan dengan Australia, sedangkan pulau terluas ke-12 adalah
Pulau Marampit yang berada di Provinsi Maluku sudah ada penduduknya, tetapi
belum ada suar dan berbatasan dengan Philipina.
33

Beberapa perjanjian perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga adalah


sebagai berikut :

No. Pokok Perjanjian Indonesia – Tempat/tgl Status


Negara lain Perjanjian Perjanjian
1 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Kualalumpur, Ratifikasi dgn
Landas Kontinen RI- Malaysia 27 Oktober Keppres No.
Malaysia 1969 89/1969 (5 Nov
1969)
2 Perjanjian Garis Batas Indonesia - Kualalumpur, Ratifikasi dgn
Laut Wilayah RI – Malaysia 17 Maret 1970 UU No. 2/1971
Malaysia (10 Maret
1971)
3 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Canberra, 18 Ratifikasi dgn
Dasar Laut Tertentu di Australia Mei 1971 Keppres No.
Landas Kontinen RI- 42/1971 (1 Juli
Australia 1971)
4 Persetujuan Batas Landas Indonesia - Bangkok, 17 Ratifikasi dgn
Kontinen RI-Thailand Thailand Desember 1971 Keppres No.
21/1972 (11
Maret 1972)
5 Persetujuan Batas Landas Indonesia- Kualalumpur, Ratifikasi dgn
Kontinen RI-Malaysia- Malaysia- 21 Desember Keppres No.
Thailand Thailand 1971 20/1972 (11
Maret 1972)
6 Persetujuan Batas-Batas Indonesia – Jakarta, 9 Ratifikasi dgn
Laut Tertentu di Landas Australia Oktober 1972 Keppres No.
Konitinen Tambahan 66/1972 (4
Persetujuan 1971 Desember
1972)
7 Perjanjian Garis Batas Indonesia - Jakarta, 25 Mei Ratifikasi dgn
Laut Wilayah Singapore 1973 UU No.
7/11973 (8
Desember
1973)
8 Perjanjian Garis-Garis Indonesia - Jakarta, 12 Ratifikasi dgn
Batas Tertentu RI-PNG Australia Februari 1973 UU No. 6/1973
antara RI-Australia (8 Desember
1973)

9 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Jakarta, 8 Ratifikasi dgn


Landas Kontinen India Agustus 1974 Keppres No.
51/1974 (25
September
34

1974)
10 Persetujuan Perpanjangan Indonesia - New Delhi, 14 Ratifikasi dgn
Batas Landas Kontinen India Januari 1977 Keppres No.
6/1973 (8
Desember
1973)
11 Persetujuan Penetapan Indonesia – Jakarta, 22 Juni Ratifikasi dgn
Titik Pertemuan Tiga Thailand - India 1978 Keppres No.
Garis Batas & Penetapan 24/1978
Garis Batas Landas
Kontinen
12 Persetujuan Batas Indonesia - Jakarta, 13 Ratifikasi dgn
Maritim dan Kerjasama PNG Desember 1980 Keppres No.
tentang Masalah-Masalah 21/1982
bersangkutan RI – PNG
13 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Perth, 16 Maret Belum berlaku
ZEE dan Dasar Laut Australia 1997 karena belum
Tertentu RI - Australia diratifikasi
14 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Hanoi, 26 Juni Belum berlaku
Landas Kontinen RI - Vietnam 2003 karena belum
Vietnam diratifikasi
15 Batas RI – Australia di
ZEE sedang
dirundingkan

Dengan adanya perhatian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap pulau-pulau


terluar tersebut diharapkan tetap menjadi bagian dari kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Pulau-pulau terluar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pulau Rondo yang berada di Provinsi Aceh (Nagroe Aceh
Darussalam) berbatasan dengan India, di mana pulau ini tidak
berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar.
2. Pulau Berhala yang terletak di Provinsi Sumatra Utara, tidak
berpenduduk, tetapi telah dibangun suar berbatasan dengan Malaysia.
3. Pulau Nipa termasuk ke daerah Provinsi Riau, tidak berpenduduk,
telah dibangun suar dan berbatasan dengan Singapore.
4. Pulau Sekatung masih termasuk Provinsi Riau, tidak berpenduduk,
telah dibangun suar dan berbatasan dengan Vietnam.
5. Pulau Marore dan Miangas keduanya berada di Provinsi Sulawesi
Utara, berpenduduk, telah dibangun suar dan berbatasan dengan
35

Philipina. Di kedua pulau terluar ini sudah kental dengan budaya


negara tetangga tersebut bahkan kebutuhan sehari-hari masyarakatnya
di dapat dari Philipina.
6. Pulau Fani telah dibangun suar;
7. Pulau Fanildo/PP Mapia;
8. Pulau Bras belum ada suar ;
9. Pulau Fani telah dibangun suar, tetapi di Pulau Fanildo dan Bras belum
ada suar, ketiga pulau terluar ini berbatasan dengan Palau.
10. Pulau Batek termasuk ke daerah NTT, tidak berpenduduk, tetapi
sudah dibangun suar berbatasan dengan Timor Leste.;
11. Pulau Dana berada di Provinsi NTT, tidak berpenduduk, belum ada
suar dan berbatasan dengan Australia;
12. Pulau Marampit yang berada di Provinsi Maluku sudah ada
penduduknya, tetapi belum ada suar dan berbatasan dengan Philipina;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah


mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah pusat dengan daerah
kota/kabupaten, yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 yang berbunyi sebagai
berikut :
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan
36

pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Kewenangan provinsip diatur oleh Pasal 13 UU No. 32/2004, yaitu sebagai berikut :
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang
-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Sedangkan kewenangan daerah untuk kabupaten/kota terdapat dalam ketentuan Pasal
14, yaitu sebagai berikut :
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
37

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;


e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Daerah yang mempunyai wilayah laut diatur kewenangannya menurut ketentuan Pasal 18
UU No. 32/2004 sebagai berikut :

(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah
dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil,
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur
38

sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk
kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap
penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Pemerintah Kewenangan Daerah Keterangan


Pusat

1. Masalah politik, 1. Eksplorasi,eksploitasi, Perhatikan :


perdamaian, pertahanan, dan UU No. 24/2000
konservasi, dan pengelolaan
keamanan Negara tentang Perjanjian
kekayaan laut; Internasional

2. Perubahan wilayah atau 2. pengaturan administratif; UU No. 10/2004


penetapan batas wilayah tentang Pembentukan
Negara RI Peraturan Perundang-
undangan

3. Kedaulatan atau hak 3. pengaturan tata ruang UU No. 32/2004


berdaulat Negara tentang Pemeritah
Daerah

4. HAM dan Lingkungan 4. penegakan hukum perda


Hidup dan Pemerintah Pusat yang
dilimpahkan
5. Pembentukan kaidah 5. ikut serta dalam
hukum baru pemeliharaan keamanan
6. Pinjaman dan/atau hibah 6. ikut serta dalam
luar negeri pertahanan kedaulatan
Negara

Peran Daeran dan kasus-kasus cara Memperoleh Kedaulatan Teritorial


(Acquisition of Territory)
Dalam hukum internasional dikenal beberapa teori tentang cara-cara memperoleh
kedaulatan teritorial (territorial sovereignty), yaitu pendudukan atau okupasi
(occupation-conquest), pencaplokan atau aneksasi (annexation), penambahan alami atau
akresi (accretion), preskripsi atau kedaulatan atas wilayah yang berlangsung lama
(prescription), dan penyerahan (cession). Selain cara tradisional tersebut, terdapat cara
lain, yaitu putusan sebuah konferensi seperti Konferensi Perdamaian Versailles
39

(Versailles Peace Conference) tahun 1919, plebiscite (Soviet Doctrine), penetapan


perbatasan baik oleh putusan pengadilan atau tidak yang di dalamnya berlaku prinsip ex
aequo et bono. Kedaulatan teritorial diputuskan oleh Max Huber, hakim pada forum
arbitrase dalam kasus Pulau Palmas (the Island of Palmas Arbitration) tahun 1928
sebagai berikut : “Sovereignty in the relations between States signifies independence.
Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise therein, to the
exclusion of any other State, the functions of a State… the fact that the functions of a
State can be performed by any State within a given zone is, on the other hand, precisely
the characteristic feature of the legal situation pertaining in those parts of the globe
which, like the high seas or lands without a master, cannot or do not yet form the
territory of a State... tittle of acquisition of territorial sovereignty in present-day
international law are either based on an act of effective apprehension, such as
occupation or conquest or like cession.
Penerapan prinsip uti possidetis (as you possess, you shall continue to possess)
dalam kasus Burkina Faso-Republic of Mali Case tahun 1986, a special chamber
Mahkamah Internasional menerapkan prinsip tersebut yang mempunyai kepentingan luar
biasa (exceptional importance) benua Afrika dengan alasan bahwa tujuan utama dari
prinsip itu adalah untuk menjamin penghormatan terhadap perbatasan wilayah
(territorial boundaries) yang sudah ada pada waktu wilayah-wilayah Afrika memperoleh
kemerdekaannya, wilayah-wilayah itu sudah melaksanakan kepemilikannya sebagai dasar
pelaksanaan kedaulatannya. Kedaulatan teritorial (territorial sovereignty) telah
dikemukakan oleh Hakim Max Huber dalam kasus Island of Palmas seperti di atas.
Dalam kasus Western Sahara tahun 1975 Mahkamah Internasional memberikan Advisory
Opinion bahwa ada ikatan hukum (legal ties) kedaulatan teritorial dari orang dengan
tanahnya yang harus dibedakan dengan ikatan kesetiaan (ties of allegiance) dalam hal
orang dan hak-hak adat dengan tanahnya. Di lain pihak, aktivitas negara dalam skala
yang memadai menunjukkan pelaksanaan otoritas yang sebenarnya tanda adanya
eksistensi kedaulatan teritorial tersebut, yang sekaligus menunjukkan konsep pelaksanaan
fungsi negara (the functions of a State).
Pendudukan (occupation)
40

Pendudukan biasanya terjadi pada wilayah yang belum ada pemerintahan, terra
nullius. Wilayah yang di dalamnya terdapat suku atau masyarakat asli yang mempuyai
hubungan sosial dan politik tidak dapat disebut sebagai terra nullius. (Advisory Opinion
of the ICJ on the Western Sahara 1975). Pendudukan atas sebuah wilayah ada atau
tidak ada bergantung pada prinsip keefektivan (principle of effectiveness) terhadap
sebagian besar wilayah tersebut. Dalam kasus Eastern Greenland tahun 1933
Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ) menyatakan bahwa pendudukan harus efektif
dengan memenuhi dua unsur, yaitu pertama adanya maksud atau keinginan untuk
bertindak sebagai yang berdaulat (an intention or will to act as sovereign) dan yang
kedua adalah adanya pelaksanaan yang memadai atau menunjukkan adanya kedaulatan
(the adequate exercise or display of sovereignty). Dalam kasus Eastern Greenland
antara Norwegia dan Denmark itu, menurut PCIJ Denmark telah menunjukkan dua syarat
tersebut. Padahal Norwegia secara resmi membuat deklarasi tanggal 10 Juli 1931 bahwa
Eastern Greenland adalah milik Norwegia, tetapi Mahkamah memandang bahwa
deklarasi tersebut tidak efektif. Unsur keinginan dapat dilaksanakan secara resmi dalam
notifikasi resmi kepada para pihak yang berkepentingan dan melakukan kontrol,
sedangkan syarat kedua adalah adanya tindakan ril secara fisik sebagai bukti kepemilikan
atau adanya tindakan simbolik baik oleh eksekutif maupun legislatif yang mempengaruhi
wilayah yang diklaim itu, atau dengan adanya perjanjian dengan negara lain yang
mengakui klaim kedaulatan tersebut yang di dalamnya ada penetapan batas-batas negara
dan sebagainya.
Dalam kasus Clipperton Island Arbitration tahun 1931 antara Prancis dan
Meksiko dengan Arbitrator King Victor Emmanuel dari Itali yang menyatakan sebagai
berikut : “ … an actual manifestation of sovereignty on the locus of the territory may
serve to create a stronger title than a historic claim of right, unsupported by such a
concrete act. In point of fact, the actual award indicated also that importance was
attached to the circumstance, inter alia, that France, the claimant by virtue of the
symbolic act, had given due notice to the world of what it had done by the publication of
a declaration of sovereignty in English in a journal in Hawaii”.
Dalam kasus Minquiers and Ecrehos antara Inggris dan Prancis yang mengklaim
pulau kecil Channel, Mahkamah Internasional tahun 1953 menyatakan bahwa …”the
41

importance of actual exercise of State functions, eg. local administration, local


jurisdiction, and acts of legislative authority as proving the continuous display of
sovereignty necessary to confirm title. For this reason, upon the evidence as to long
continued exercise of state functions by British authorities, the Court preferred the claim
of Great Britain”. Prinsip pelaksanaan aktivitas negara dalam skala yang memadai,
dibedakan dengan routine or inconlusive acts not necessarily evidencing a firm intention
to establish territorial sovereignty, was applied also by the Court in 1975 dalam
Advisory Opinion kasus Western Sahara oleh Mahkamah Internasional tahun 1975. Max
Huber, arbitrator dalam kasus Palmas Island bahwa : “a mere act of discovery by one
state without more is not sufficient to confer a tittle by occupation and that such
incomplete appropriation must give way to a continuous and peaceful display of
authority by another state. In this arbitration, the contest of title lay between the US
claiming as successor to Spain which had originally discovered the island disputed, and
the Netherlands which according to the historical evidence submitted to the Arbitrator,
had for a very long period purported to acts as sovereign over the island. The Arbitrator
adjudged the island to the Netherlands, that long continuous exercise of effective
authority can confer tittle at international law”.
Ada 2 teori yang berkenaan dengan klaim atas kedaulatan teritorial, yaitu teori
kontinuitas (the theory of continuity) dan teori kontiguitas (the theory of contiguity).
Teori continuity menyatakan bahwa tindakan pendudukan atas wilayah tertentu menjadi
kedaulatan negara yang mendudukinya sejauh diperlukan untuk keamanan atau natural
development wilayah tsb. Teori contiguity adalah bahwa kedaulatan negara yang
mendudukinya mencakup wilayah berdekatan secara geografis. Teori contiguity ditolak
oleh Max Huber dalam kasus Pulau Palmas. Dalam beberapa kasus putusan hakim di atas
memperlihatkan bahwa daerah mempunyai peranan penting menjaga kedaulatan NKRI,
seperti peranan Kabupaten Natuna menjaga dan menunjukkan adanya fungsi pemerintah
daerah di pulau-pulau terluar, sehingga kasus Sipadan-Ligitan tidak terulang.

VII. Penutup
42

Penetapan batas-batas Negara sudah diatur oleh hukum internasional


khususnya Konvensi Hukum Laut 1985 dan Indonesia sudah meratifikasi tersebut
dengan UU No. 17/1985, sehingga Indonesia terikat untuk melaksanakan semua
ketentuan yang diatur oleh Konvensi tersebut sebagaimana implikasinya terhadap
kedaulatan dan jurisdiksi negara Indonesia di wilayah laut. Indonesia harus
menetapkan batas-batas Negara terutama di perbatasan pulau-pulau terluar dengan
Negara-negara tetangga dengan mengacu pada Konvensi itu dan ketentuan-
ketentuan hukum internasional lainnya atau memperhatikan prinsip-prinsip yang
diputuskan oleh mahkamah/pengadilan internasional, supaya tidak diokupasi
pihak asing. Oleh karena itu, pihak berwenang harus mengelola pulau-pulau
terluar yang menurut catatan Dishidros ada 12 pulau terluar yang memerlukan
perhatikan khusus.
Berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No. 5/1983 tentang
ZEE Indonesia, UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 3/2002
tentang Pertahanan Negara, UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan peraturan
pelaksanaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya termasuk menambah
kekuatan TNI-AL dan pihak terkait lainnya. Demikian juga pemerintah daerah
baik provinsi maupun kota/kabupaten mempunyai peranan penting dalam
menjaga kedaulatan NKRI sebagaimana dalam kasus arbitrasi internasional
bahwa local government dapat mewakili Negaranya sebagai pemilik suatu
wilayah. Oleh karena itu, pemerintah daerah seperti Kabupaten Natuna yang
berhadapan langsung dengan Negara tetangga harus menunjukkan bahwa ia
adalah bagian terpenting dari NKRI dalam menjaga dan melindungi wilayahnya,
jangan sebaliknya dengan adanya otonomi daerah semakin tidak terkendalinya
pengelolaan kekayaan sumber daya alam di wilayah laut hanya untuk mengejar
pendapatan daerahnya.

Daftar Pustaka
Buku :
43

Chairul Anwar, 1989, Hukum Internasional : Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta.
Churchill and Lowe AV, 1999, The Law of the Sea, Juris Publishing, Manchester
University Press.
Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 : Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing, Abardin, Bandung.
Harris, DJ., 1991, Cases and Materials on International Law, Fourth Edition, Sweet&
Maxwell, London.
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.
------------------, Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International
Studies, Jakarta, 1995.
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Alumni,
Bandung, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.
Rokhmin Dahuri, dkk., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Starke, JG., 1999, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworths,
London, 1989.

Jurnal :
Fordham International Law Journal, Vol. 24, Number 5, June 2001, hlm. 1480-1482.
Democratic Governance and International Law Journal, Cambridge University Press,
hlm. 239-240.
Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No. 2 Agustus 2002, Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Dokumen :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahana
Konvensi Hukum Laut (United Nations Covention on the Law of the Sea) 1982
Piagam PBB 1945 (United Nations Charter) dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional 1970
Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai