Anda di halaman 1dari 2

Writer and Political Activist

Copyright © 2009 All Rights Reserved


contact@fadlizon.com

Kini ibu-ibu sudah berani keluar arena

Oleh Fadli Zon

Kini ibu-ibu sudah berani keluar arena. Emansipasi wanita bagai sebuah monumen
proklamasi kemerdekaan ibu-ibu untuk menyamaratakan haq-haqnya dengan bapak-bapak.
Bapak-bapak keluar rumah, ibu-ibu tak mau kalah.
Alasan yang paling klise dan vokal untuk menjawab ini adalah tuntutan ekonomi keluarga.
Yang lain mengatakan ingin menyalurkan pendidikan yang pernah diterimanya, dan tidak
sedikit pula yang hanya luntang-lantung sana-sini hanya untuk men-dapat predikat wanita
karier.
Scpintas terdengar seperti sebuah kema-juan luar biasa. Ibu-ibu mutakhir sudah jadi
presiden, perdana menteri, menteri hingga astronot. Dapur rumah jadi bagian si bibik,
kebutuhan anak dilayani baby sitter. Rumah bagai hotel gratis yang dibuka siang malam. Ibu-
ibu keasyikan bergelut dengan aktifitas non rumah tangga sampai tak terasa sesung-guhnya ia
melepaskan keibuannya pelan-pclan. Tugas utamanya mendidik anak dan
mengurusi rumah tangga terbengkalai, sebuah kronologi masuk akal.
Fenomena di atas hampir jadi panorama biasa di kehidupan jaman ini apalagi kalau
menyimak kajian Naisbitt dalam "Megatrends 2000" tentang dasawarsa kepemim-pinan
wanita. Dikatakannya wanita dan ma-syarakat informasi berkembang subur, wanita mulai
memasuki angkatan kerjanya. Kemana saja revolusi informasi menyebar, wanita berbondong-
bondong memasukinya.
Nampak jelas keadaan yang digambar-kan Naisbitt merupakan suatu tuntutan wanita
modern. Mereka terutama adalah bagian dari masyarakat yang cukup berpen-didikan.
Pendidikan mungkin mengharus-kan wanita berpacu mengejar masa depan. Pendidikan tidak
menyiapkan wanita men-jadi seorang ibu yang akan sanggup mendidik anak-anaknya,
pendidikan tidak menjamin. Karenanya kaum wanita dihadapkan pada suatu situasi yang
dilematis, di satu sisi pendidikan dapat membuat wanita semakin teralietiasi dari kehidupan
keluarga seperti mengurus anak-anak namun di sisi lain, pendidikan adalah syarat utama
dalam merebut masa depan. Relatif sedikit wanita yang terhindar dari dilema ini, mereka itu
adalah ibu-ibu berpendidikan, yang berkarir namun tetap dapat mengurus anak-anak mereka.
Sudah menjadi kodrat sebenarnya, ibu dan bapak, wanita dan pria, duduk sederajat,
mempunyai tugas yang sama berat, mempunyai haq-haq yang sama. Hanya, tentu saja dalam
format yang berbeda. Dan kesalah pahaman ide emansipasi kebanyakan terletak pada
problem format ini. Apakah bentuk tugas dan haq-haq wanita itu harus sama dengan laki-laki?
Jika format itu sama, kemungkinan besar akibatnya menjadi timpang sebagaimana yang
kita lihat sendiri. Apakah tidakjanggal kalau-kalau sebuah bis kota harus dikondekturi seorang
ibu? Ada lagi Galanita, yang mcmaksa ibu-ibu rumah tangga harus lari-lari menubruk bola dan
Writer and Political Activist
Copyright © 2009 All Rights Reserved
contact@fadlizon.com
disoraki. Ang-kat besi wanita, bina raga wanita, sampai pelinju ibu-ibu.
Padahal tugas fitrah wanita bisa dipan-dang sebagai suatu hal yang tak kalah kua-litasnya
dengan pria. Sama-sama berat, sama-sama berharga dan penting. Pembagian tugas secara
kualilatif begini mana bisa di-lakukan kalau kedua pihak tidak menghendakinya Sementara
tugas seorang ibu tak bisa digantikan bapak. Tugas bapakpun sebenarnya tak harus dilakukan
ibu-ibu. Suami, bagaimanapun perlu dilayani, karena tanpa itu buat apa mesti ada suami dan
istri. Anak perlu dibimbing dengan penuh per-halian, karena itu yang akan menentukan masa
depan generasi.
Peranan ibu dalam menciptakan suatu kondisi bagi anak sedini mungkin mem-pengaruhi
perkembangan anak pada taraf pertumbuhan bcrikulnya. Jika orang tua menyuguhkan
suasana yang jelek, akan terbentuk oleh kondisi itu. Suatu hasil test psikologi membuktikan
bahwa pen-cernaan ingatan dari suatu kondisi tertentu yang dihasilkan dari pendengaran
adalah 10-15%, dari penglihatan 15-30%' dan dari pengalaman yang dilakukan 30-50%.
Dengan besarnya pengaruh anak atas lingkungan rumah tangga wajarlah kiranya
diperlukan satu kondisi yang sanggup mengatisipasi masalah ini. Secara alamiah, peranan ibu
menjadi penting. Hubungan jiwa raga antara ibu dan anak berlangsung sejak anak belum
lahir. di dalam kandungan, janin mendapat makan dari makanan ibu melalui placenta. Sctclah
lahir anak masih mendapat air susu ibu. Kontak langsung ini memberi cukup alasan mengapa
ibu diharapakan lebih berperan mendidik anaknya.
Anak yang mendapat susu ibu, jiwanya akan kuat sebab otomatis terjalin hubungan batin
ibu-anak yang menentukan jiwa anak. Sebaliknya anak yang disuguhi botol dan berada dalam
pendidikan pembantu rumah tangga jiwanya akan lemah dan kede-katannya secara batin pada
ibu menjadi kurang. Hingga tak heran kalau banyak anak menjadi pembangkang nasehat-
nasehat orang tuanya. Pada fase perkembangan berikutnya pembangkangan yang tadinya
cuma "bandel" atau "nakal" akan menjelma pemberontakan-pemberontakan anak yang
destruktif sampai merusak tatanan masyarakat. Sebagai ekses lahirlah profesi-profesi yang
kita kenal sekarang sebagai pembunuh, pencandu narkotik, penjudi, perampok bahkan pelajar
berkelahi. Mereka menjadi "anak yang hilang" yang pada saatnya pada kuantitas tertentu
menjadi "generasi yang hilang".
Demikian penting tugas seorang ibu, hingga surga berada di bawah telapak kaki-nya.
Dapatlah dikatakan secara kualitatif tugas ini relatif sama dengan tugas suami

Anda mungkin juga menyukai