AGROFORESTRI
1. PENDAHULUAN
Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga
dengan terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal
pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman semusim.
Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan erosi
sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah luas.
Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989), Muthoo and Chipeta (1991),
agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin
keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya
dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi
sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan
pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem
ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah
diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana
kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang
menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi konservasi tanah dan air, serta
perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan
berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan
kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).
Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah,
baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur
hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi
tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997). Degradasi lahan adalah masalah
penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai
potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”.
Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah
dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami
kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).
Tabel 1. Klasifikasi Sistem Agroforestri (Huxley, 1986; Young 1989; Nair ,1990)
Rotational
Shifting cultivation
Taungya
Spatial mixed
Trees on cropland
Perennial-crop combination
Spatial zoned
Boundary planting
Contour hedgerows
Spatial mixed
Trees on pastures (parkland systems)
Spatial zoned
Hedges and live fences
Folder banks
Reclamation agroforestry
India dengan variasi iklim, altitude, topografi, tanah, ternak, dan budaya
masyarakat seperti halnya Indonesia merupakan daerah adopsi pengembangan
agroforestri. Dengan tradisi, sosial, agama, dan kepercayaan masyarakat tentang
penanaman pohon, mengangap hal itu merupakan bagian dari kehidupan mereka,
sehingga saat ini dijumpai adanya pohon asam jawa, mangga dan lain-lain yang berumur
100 hingga 500 tahun di seluruh India. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan, maka
integrasi tanaman hortikultura, kehutanan dan pertanian merupakan solusi utama yang
akan memberikan produksi yang beragam.
Salah satu bentuk agroforestri di Indonesia yang telah banyak dijumpai sejak
berabad-abad yang lalu seperti Repong di pesisir Krui yang dikenal dengan forest Damar.
Agroforest Damar di pesisir Krui merupakan salah satu bentuk agroforestri di Indonesia.
Pesisir Krui adalah daerah di tepi Barat Propinsi Lampung, yang terletak di ujung Selatan
sisi Barat Pegunungan Bukit Barisan. Daerah ini terbagi ke dalam tiga Kecamatan yaitu :
Pesisir Selatan, Tengah, dan Utara yang luasnya sekitar 300.000 ha dengan dataran pantai
yang melebar dari Utara-Selatan hingga berbukit dan bergunung yang mencapai
ketinggian 2.000 m dpl. Topografi yang sulit dan kesuburan tanah yang relatif rendah
menjadi faktor pembatas dalam melakukan intensifikasi pertanian. Di sepanjang dataran
pantai terdapat banyak sawah dan daerah perbukitan didominasi oleh agroforest damar.
Agroforest damar tersebut awalnya berupa ladang padi, kebun kopi rakyat, dan vegetasi
sekunder yang secara bertahap berubah menjadi agroforest kompleks yang mirip hutan
alam, didominasi pohon penghasil getah damar.
Tahun ke-1 :
Pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan (hutan rimba, belukar, atau
alang-alang), dan penanaman padi pertama, sayuran dan buah-buahan seperti
pisang dan pepaya.
Tahun ke-2:
Penanaman bibit damar disela tanaman kopi, buah-buahan, penghasil kayu, dll.,
dan penanaman padi tidak lagi dilakukan. Panen kopi perrtama berlangsung pada
tahun ke 4 dengan hasil sekitar 600 kg/ha sampai 3 atau 4 tahun berikutnya,
hasilnya menurun menjadi sekitar 100 kg/ha.
Produksi damar di daerah Krui yang merupakan tanaman utama dari tahun
ketahun meningkat pesat. Pada tahun 1937 produk damar baru sekitar 358 ton dan
meningkat menjadi 8.000 ton tahun 1984, kemudian meningkat lagi menjadi 10.000 ton
pada tahun 1994.
Kawasan geografis A B C D E
Jumlah Desa 20 16 10 14 10
Produksi 100 340 53 32 131
Prosentase
Pola integrasi ternak dalam suatu sistem agroforestri atau berintegrasi dengan sub
sektor lain rupanya telah ditanggapi dan mendapat perhatian yang cukup baik dari
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari adanya paket
bantuan ternak yang dilaksanakan Proyek Pengembangan Infrastruktur di Areal
Perkebunan yang diberikan kepada para petani perkebunan teh rakyat di desa Cisitu,
Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Contoh keterpaduan lain seperti yang
telah diprogramkan oleh Departemen Pertanian adalah pola usahatani terpadu dalam
bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi -Ternak (SIPT) (Direktorat
Pengembangan Peternakan, 2003 2)
Sumber daya di alam ini dibagi dua bagian besar yaitu (1) bahan yang tidak dapat
diperbarui. Di banyak negara, alam dewasa ini telah dieksploitasi dan menghasilkan
polusi yang berasal dari perkembangan teknologi. Minyak yang berasal dari fosil,
batubara, telah digunakan dan menyebabkan emisi 50 % gas metan, 97 % Sulfor
Dioksida, 88 % Nitrogen Oksida, 50 % carbon oksida dan lebih dari 99 % carbon
dioksida. (2). Bahan yang dapat diperbarui, seperti air, dewasa ini merupakan bahan
ekonomi yang sangat penting. Semakin berkembang suatu masyarakat maka kebutuhan
air semakin meningkat (International Union for the Conservation of Nature, 1998).
Dalam menunjang ketersediaan sumber daya alam tersebut di atas, vegetasi dan hutan
memegang peranan penting.
Untuk kotoran itu sendiri dapat diupayakan suatu teknologi yang bermanfaat
meningkatkan manfaatnya. Hal ini guna mengurangi masalah yang disebabkan oleh
kotoran yang mana apabila ditumpuk begitu saja dapat mencemari air tanah. Suatu
contoh teknologi sederhana yang diterapkan Canadian Environmental Technology
Advancement Corporation (2002) dengan teknik liquid-solid separation system pada
kotoran babi, yang ternyata dapat mengurangi terutama masalah bau yang disebabkan
oleh kerja bakteri anaerob pada tumpukan kotoran yang di bagian bawah tumpukan.
Mekipun dalam contoh tersebut digunakan kotoran babi, untuk kotoran sapi dapat pula
diupayakan teknologi sederhana semacam ini.
Hal ini dapat dijadikan penekanan mengingat kegagalan konservasi lahan dengan
cara reboisasi umumnya juga menyangkut kemiskinan manusianya.
Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993), sapi dan kerbau menghasilkan
sejumlah besar kotoran per ekor per tahun. Kotoran tersebut mempunyai nilai ekonomis.
(1) Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan dijual sebagai
pupuk kandang. (2) Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk di tanah dan
menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya. Nilai ekonomisnya, adalah bahwa
petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi biaya untuk
pupuk.
1. Lahan marginal dicirikan dengan tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air
sangat rendah, telah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidrologis maupun
ekonomi yang diakibatkan oleh erosi air atau angin, selain itu telah mengalami
penurunan status unsur hara, bahan organik, serta aktifitas biologi tanah, terjadi
salinitas dan pencemaran
3. Peran agroforestri sebagai salah satu tindakan konservasi tanah dan air pada lahan
marginal kiranya menjadi salah satu pilihan yang dapat mengatasi degradasi lahan dan
penggunaan lahan yang bekelanjutan yang telah diterima oleh masyarakat. Sistem
agroforestri ini perlu dikembangkan dan modifikasi pada kondisi iklim dan budaya
masyarakat setempat.
Prospek Teknologi Olah Tanah
Konservasi Dalam Pembangunan
Hutan Tanaman Pola Tumpangsari
12/11/2007 08:02
Ringkasan :
Pengelolaan hutan tanaman tumpangsari tanaman pangan terbukti memberikan nilai tambah
berupa meningkatnya pendapatan petani, dan terpeliharanya tanaman pokok yang lebih baik.
Namun demikian, pengelolaan yang eksploitatif tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah,
berpotensi menurunkan produktivitas lahan, sehingga dalam jangka panjang tidak
menguntungkan bagi manajemen kehutanan. Olah Tanah Konservasi (OTK) merupakan
alternatif teknologi yang mamou mengatasi masalah ini, disamping memberdayakan masyarakat
desa hutan melalui kemampuan menggarap lahan lebih luas untuk tumpangsari hutan tanaman.
Pengelolaan hutan tanaman tumpangsari ubi kayu sistem OTK dapat menghemat biaya
penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman sebesar Rp. 170.000/ha. Penerapan teknologi OTK
di areal hutan tanaman tumpangsari layak dikembangkan, karena berpotensi
mempertahankan/meningkatkan produktivitas, disamping meningkatkan pendapatan petani.
Dalam jangka panjang dapat mendukung pembangunan hutan tanaman berkelanjutan.
Summary :
Forest plantation management using agro forestry pattern with cassava and
implementing of conservation tillage decreases land preparation and plant
maintenance cost about Rp. 170.000 per hectare. Conservation tillage in
forest plantation using agro forestry pattern is suitable to be implemented,
because it has the potential to increase land productivity and farmer income
and, in the long run, the method could support the development of
sustainable forest plantation.
Kesimpulan :