Anda di halaman 1dari 4

“Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak” “Maaf ayah hari ini aku tidak memperoleh ikan”.

hari ini aku tidak memperoleh ikan”. jawab Indra dengan wajah meter dari permukaan laut ini terletak di dua kabupaten di Provinsi Sumatra
Disebuah kampung di daerah Sumatera Barat, hiduplah keluarga pak Buyung, ia kusut. Barat, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Menurut cerita,
tinggal disebuah gubuk dipinggir laut dengan istri dan seorang anaknya yang “mengapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan”, tanya ayahnya. danau yang juga merupakan hulu Sungai Batang Ombilin ini dahulu memang
masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, pak “Maaf ayah saya sangat letih dan lapar”, jawab Indra. merupakan lautan luas. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa,
Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan “Apa yang akan kamu makan jika tidak memperoleh ikan”, kata ayahnya. air laut tersebut menyusut. Peristiwa Apakah yang menyebabkan air laut tersebut
dilaut. Setiap pagi ia pergi kebukut Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan “Saya sudah berusaha ayah tapi tidak berhasil”, jawab Indra. menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda
dan damar untuk dijual kepasar, jika musim hujan tiba mereka pergi kelaut untuk “Ayah, ibu, adakah sesuatu yang bisa saya makan”, tanya Indra. ikuti dalam cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak berikut ini.
memancing ikan dengan menggunakan bubu atau jala. “Tidak! hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas seperti kamu”, kata
Setelah Indra berumur sepuluh tahun maka Indra sering membantu ibunya atau ayahnya. ***
orang tuanya kehutan maupun kelaut. Indra sangat rajin tetapi Indra makannya “Tapi saya lapar”, kata Indra.
sangat banyak sampai-sampai nasi habis setengah bakul dengan lauk beberapa Baiklah kamu boleh makan tapi dengan satu syarat kamu harus mencuci ijuk ini Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak
piring. sampai putih, Indra langsung pergi mencuci ijuk tersebut karena ingin Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang
Pada suatu saat musim paceklik tiba baik hutan maupun hasil laut sangat sulit menndapatkan makanan dari kedua orang tuanya, Ketika Indra kelaut kedua anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan
diperoleh, untuk itu mereka hemat terutama menahan selera makan. Jika tidak orang tuanya melanjutkan makan nasi dan pangek. Selesai makan ia kembali keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan
ada nasi ia memakan ubi atau pun talas. menyembunyikan makanan yang masih tersisa dibawah tempat tidur. Kemudian menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih
Cukup lama musim paceklik berlangsung sehingga mereka semakin kesulitan si Indra datang ketika masuk kedalam gubuk, Indra melihat kedua orang tuanya untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan
untuk mendapatkan makanan, akhirnya mereka hanya mementingkan dirinya masih duduk bersantai. tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu
masing-masing. “Bagaimana ijuk itu sudah bersih kamu cuci?”, tanya ibunya. ataupun jala.
Sudah beberapa hari keluarga pak Buyung makan ubi bakar, tentu itu tidak “Sudah, bu”, jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu didepan ibunya. “tapi bu,
mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari si Indra menangis minta makanan aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya
kepada kedua orang tuanya. Ayahnya hanya menjawab kalau kamu lapar carilah campuran pasir tapi masih tetap berwarna hitam”, sanggah Indra. ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya
sendiri makanan kehutan atau kelaut, sana!! terus jawaban itu disanggah istrinya “Cuci lagi ijuk itu kelaut”, kata ayahnya. mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat
bukankan anak kita masih kecil tentu ia belum bisa mencari makanan sendiri. Dengan langkah sempoyongan Indra kembali kelaut ia terus berusaha mencuci mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya
Tapi ayahnya menjawab bukankah Indra yang lebih banyak makannya. dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali tetapi tetap saja berwarna hitam. amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah
Mendengar bantahan pak Buyung sang istri pun diam, ia membujuk Indra agar Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak tahu kalau ijuk yang hitam itu tidak bakul dengan lauk beberapa piring.
pergi sendiri kebukit Junjung Sirih untuk mencari hasil hutan. Sebelum akan pernah berobah menjadi putih.
berangkat kehutan Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam Menjelang senja Indra kembali kegubuk, ketika hendak masuk keruang tengah ia Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut
piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang seekor ayam yang pandai, setiap tidak lagi melihat kedua orang tuanya duduk-duduk, dengan pelan-pelan ia sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama
si Indra pulang ia selalu berkokok, menyambut kedatangan tuannya. menuju keruang dapur dia melihat kedua orang tuanya tertidur pulas dan menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi,
Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil, esoknya ayahnya memerintahkan disamping mereka berserakan piring-piring kotor, bakul nasi, dan bakul pangek mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik
pergi kelaut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi kelaut, ayah dan ibunya yang telah kosong. Hanya kuah dan beberapa cuil daging pensi yang tersisa. berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu
tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka sudah putus asa menghadapi Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap
kesulitan hidup, keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra kedua orang tuanya telah menipu dan membohonginya. Ia pun kembali keluar anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir
merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk istirahat beberapa hari. dari gubuk dengan sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan
Pada suatu saat Indra berkata pada ayahnya berada diluar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. mencari ikan ke laut.
“ayah badanku terasa sangat letih, bolehkah saya istirahat beberapa hari?” Kemudian ia duduk diatas batu disamping gubuknya sambil mengusap-usap bulu
Tapi ayahnya menjawab si Taduang. Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu
“kamu tidak boleh beristirahat, besok kamu harus kembali kelaut!” “Taduang, rupanya ayah dan ibuku telah menipuku, untuk apa lagi aku tinggal tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan
Ia tidak ingin membantah perintah ayahnya, esoknya ia kembali kelaut dengan bersama mereka disini, kalau mereka sudah tidak menyayangi aku lagi”, kata kepada kedua orangtuanya.
lelahnya, terus ibunya tidak tahan melihat Indra kelaut dengan badan yang lelah, Indra kepada ayam nya.
akhirnya Indra diikutinya dari belakang, tapi ia menuju ke sebuah tanjung. Agak Mendengar pernyataan itu ayam nya berkokok beberapa kali pertanda bahwa ia “Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.
jauh dari tempat Indra memancing ikan. Sementara ayahnya pergi kehutan. mengerti apa yang diucapkan oleh tuannya si Indra. Si Taduang mengepak-
Siangnya pak Buyung pulang dari hutan membawa seikat ijuk sesampainya ngepak sayapnya, Indra pun mengerti bahwa sayapnya itu mengajaknya pergi “Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke
dirumah ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi. Setelah membersihkan meninggalkan kampung itu. Indra pun berpegangan pada kaki si Taduang, Saat laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.
pensi itu sang istri pun segera membuatkan bumbu dan memasak nya. Tak lama tubuh si Indra terangkat, anehnya semakin tinggi ia terbang batu itu semakin
kemudian aroma masakan pangek pun tercium oleh pak Buyung. membesar. Akirnya si Taduang sudah tidak kuat untuk menahan batu tersebut, “Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan
“Bu apakah pangek ini cukup kita makan bertiga? akirnya si Indra menyentakkan kakinya pada batu itu, sehingga batu itu meleset sendiri,` sahut sang Ibu.
“Cukup” jawab istrinya. jatu kebumi dan menghantam salah satu bukit yang ada disekitar lautan.
“Apakah ibu lupa kalau Indra makannya banyak tentu pangek ini tidak cukup ia Hantaman itu membentuk sebuah lubang yang memanjang, dengan cepat air laut “Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,”
makan sendiri, bagaimana kalau kita makan secara diam-diam selagi si Indra pun cepat mengalir kearah lubang itu dan menembus bukit sehingga membentuk bantah sang suami.
masih berada dilaut” aliran sungai.
“Sebentar lagi kan ia pulang” kata istrinya. Khabarnya itulah menjadi asal mula sungai Batang Ombilin yang bermuara Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk
“Jika si Taduang berkokok berarti si Indra sudah pulang kata pak Buyung. kedaerah Riau, semakin lama air laut itu semakin menyusut sehingga lautan itu Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil
Sang istri mengangguk-angguk mendengar jawaban suami nya, namun baru berubah menjadi danau singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan,
makan beberapa suap akhir nya si Indra pulang dari laut sang ayah dan ibu masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama
mendengar kokokan si Taduang ia langsung berhenti makan dengan mencuci kesayangannya si Taduang hingga kini tidak tahu keberadaannya. Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si
tangan sebelumnya, setelah itu ia cepat-cepat menyembunyikan nasi dan pangek Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.
kekolong tempat tidur itu. Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak
“Hai Indra mana ikan yang kamu peroleh”. kata ayahnya. Danau Singkarak dengan luas 107,8 m2 merupakan danau terluas kedua setelah Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan
Danau Toba di Pulau Sumatra, Indonesia. Danau yang berada di ketinggian 36,5 harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat
Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, “Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya. sanggah Indra.
mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan
demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat “Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung. “Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.
lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.
Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut,
Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya: pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi
tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak
“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk
hari?” pinta Indra. menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.
melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya
“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi. Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah
harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah. gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-
“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya. pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat
Oleh karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka
pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam “Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong.
ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari kusut. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.
tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.
“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya. Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa
Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak
Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis “Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra. yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya.
kerang berukuran kecil). Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di
“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam
“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya. kembali bertanya. kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping
gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.
“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku “Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.
melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya “Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal
aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya. “Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata
pinta Indra kepada kedua orangtuanya. Indra kepada ayamnya.
“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi
sebelumnya? ” tanya Pak Buyung. “Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya. Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda
bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-
“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak “Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya. ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan
jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya. mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera
“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang
“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan. ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra
mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan. terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin
Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun
Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat
memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka. hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat
Buyung. menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan.
“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut
“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya. pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk
Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur. aliran sungai.
Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami
“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung. istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke
perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu
“Tentu saja cukup,” jawab istrinya. menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan
beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam
“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung. orangtuanya masih sedang duduk bersantai. ***

`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya. “Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.

“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” “Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya. Demikian cerita Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak dari daerah
saran Pak Buyung. Sumatra Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang
“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari
“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya. putih,” ujar ibunya. cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat suka mementingkan diri sendiri. Sifat
ini tercermin pada sikap dan perilaku Pak Bujang bersama istrinya yang lebih
“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung. “Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku mementingkan diri mereka sendiri dan melalaikan anak mereka yang sedang
menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” kelaparan. Akibatnya, mereka pun ditinggal pergi oleh anaknya. Dikatakan
dalam tunjuk ajar Melayu: Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang” “Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
kerja beramai,
“Telah lama orang menekat “Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan
makan sendiri Membuat baju kebaya lebar langsung menyerang Kukuban.
Sudah lama abang terpikat
Asal Usul Danau Maninjau Hendak bertemu dada berdebar” Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran
melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan “Rupa elok perangaipun cantik serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau Hidupnya suka berbuat baik jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan
dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini Orang memuji hilir dan mudik jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan
merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Siapa melihat hati tertarik” menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah
Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi
yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, “Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi “Aduh, sakit...! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah
danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga sambil menjerit kesakitan.
berikut ini! suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu
***** “Buah nangka dari seberang lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut.
Sedap sekali dibuat sayur Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat Sudah lama ku nanti abang dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam
tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, Barulah kini dapat menegur” hati.
dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur
dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada “Jika roboh kota Melaka Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu
di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami Papan di Jawa saya tegakkan akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika
berupa abu gunung. Jika sungguh Kanda berkata cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk
Badan dan nyawa saya serahkan” Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau
bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, “Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih
Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena
Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang “Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya. kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan
Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat “Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?”
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran sambung Kaciak.
orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu
pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat Bujang Sembilan bekerja di sawah. “Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang
terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang
mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku. melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan “Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita,
seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,”
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira ungkap Datuk Limbatang.
seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri
tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil “Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa
termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari bagian dalam acara tersebut. senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik
sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka dan rajin,” sambut si Kudun.
keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah
Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya. lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing- Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara
masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang
rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di “Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,”
Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam seru Kukuban dengan wajah memerah.
pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban
hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani. berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu “Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas
masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Sudah lama merendam selasih seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang
Barulah kini mau mengembang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang. “Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya
yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang. benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran. ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang Bujang Sembilan menjadi ikan!”
perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan “Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan
sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah. dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan
peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum. Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata
menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang,
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya. gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas
biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang. pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget. dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau
sambut Kukuban. “Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat.
lukamu itu!” ujar Giran. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata
Datuk Limbatang. Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. ***
Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat,
Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan
tangannya ke lantai. beberapa warga lainnya. lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung
itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu “Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan
pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun,
Datuk Limbatang, yang terlihat tenang. Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai
menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka. Batang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan
kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang. “Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral
yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata “Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat
mencoreng mukaku di tengah keramaian?” Sani yang terkena duri,” kata Giran. dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani
telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa “Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang
itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan bentak Kukuban. lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat
keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya “Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke
Datuk Limbatang. sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga. siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. kalau suka berdendam kesumat,
mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi alamat hidup akan melarat
karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh
menerimanya. Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan
dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan
kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya,
dengan ketus. keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut
terhindar dari malapetaka.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap
semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung
seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya. Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau
dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi
pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya kesempatan untuk berbicara.
itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak
kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung “Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa
memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir,
namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi. “Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-

Anda mungkin juga menyukai