Anda di halaman 1dari 7

SOSIOLOGI HUKUM

DALAM SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL1

Oleh: I Wayan Suardana, SH

Reformasi hukum di Indonesia sampai saat ini belum mampu menjawab persoalan bangsa,
maraknya korupsi dan suburnya praktek mafia hukum di Indonesia cukup menjelaskan keadaan
tersebut. Selanjutnya, ketimpangan hukum di negeri ini, menguak tajam kepermukaan cenderung
menghujam nurani keadilan masyarakat.. Disparitas hukum yang sangat tinggi terpotret jelas
dalam berbagai kasus seperti; ringannya vonis bagi para koruptor secara kualitas, berbanding
terbalik dengan vonis yang harus diterima oleh ibu minah yang mencuri 3 (tiga) buah kakao
ataupun oleh sepasang suami istri pencuri setandan pisang. Disisi lain hukum mengganjar
keluhan Prita Mulia Sari atas dugaan malpraktik Rumah Sakit OMNI Internasional dengan
peradilan perdata dan Pidana; lalu kriminalisasi pimpinan KPK yang sedemikian agresif namun
tidak mampu secara cepat memeriksa aktor-aktor di belakangnya.

Situasi yang membuat publik tersadar bahwa hukum tidak mampu lagi menjamin terwujudnya
keadilan. Hukum berkutat di wilayah kepastian hukum sehingga hukum tidak lagi bekerja untuk
manusia. Hukum saat ini seolah-olah bekerja untuk dirinya sendiri dan tidak bekerja untuk
sesuatu yang lebih luas. Kerap yang terjadi dalam sitem hukum di Indonesia adalah,setiap ada
permasalahan hukum, bukan hukumnya yang diubah namun sering manusialah yang dipaksa-
paksa untuk dimasukan dalam skema hukum.

Hukum modern memainkan peran sebagaimana dimaksud diatas (termasuk sistem hukum
Indonesia yang mentasbihkan diri kepada sistem hukum eropa kontinental), dimana hukum
modern menjadikan institusi hukum sarat dengan birokrasi dan prosedur yang pada akhirnya
berpotensi kepada peminggiran kebenaran dan keadilan. Hukum modern kerap hanya mampu
mewujudkan keadilan formal dan bukan keadilan secara substansi.
1
Tulisan ini sebagaian besar adalah artikel penulis yang berjudul “Urgensi gagasan Hukum Progresif; Mengenang
Satjipto Raharjo melalui pemikirannya, dimuat di harian Bali Express tanggal 03 Februari 2010, kolom opini, hal. 4,
selanjutnya untuk kepentingan tugas kuliah diberikan tambahan tulisan dan analisis.
Hukum Progresif dan Pembebasan

Gagasan hukum progresif lahir dari keresahan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini, sebagaimana yang telah dikemukakan
diatas. Demikian pula, bahwa kehadiran dari gagasan hukum progresif lahir sebagai koreksi
terhadap kelemahan hukum modern yang kerap meminggirkan keadilan sejati. Secara moral,
Hukum progresif menghendaki agar cara berhukum tidak mengikuti model status quo, melainkan
secara aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran hukum dalam
masyarakat lebih meningkat. Oleh karena itu, hukum progresif sangat setuju dengan pikiran-
pikiran kreatif dan inovatif dalam hukum untuk menembus kebuntuan dan kemandegan. (Satjipto
Raharjo; 2009)

Kemandegan hukum di indonesia ditenggarai karena system hukumnya yang mengutamakan


hukum yang bekerja secara analitis (analytical jurisprudence) yaitu yang mengedepankan
“peratutan dan logika belaka (rule and logic) cara kerja analitis yang berkutat dalam ranah
hukum positif tidak akan banyak menolong hukum untuk membawa Indonesia keluar dari
keterpurukannya secara bermakna. Kehadiran gagasan hukum Progresif oleh Satjipto Raharjo,
justru mengunggulkan aliran realisme hukum dan penggunaan optic sosiologis dalam
menjalankan hukum.

Dalam kerangka tersebut, hukum progresif tidak melihat hukum sebagai suatu produk final,
melainkan secara terus menerus masih dibangun (law in the making). Hukum dalam kacamata
hukum progresif dipandang sebagai proses artinya bahwa proses dan pembangunan hukum tidak
harus melalui hukum, namun konsep perubahan dan pengubahan Karl Renner adalah pilihan dari
hukum progresif agar hukum tidak mandeg.

Atas hal tersebut maka hukum progresif selalu peka dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat baik lokal, nasional, maupun global. Dengan demikian hukum progresif tidak
ingin mempertahankan status quo terlebih bila keadaan tersebut menimbulkan dekadensi suasana
korup dan merugikan masyarakat. Watak tersebut membawa hukum progresif kepada
“perlawanan dan pemberontakan” yang akhirnya berujung kepada penafsiran progresif terhadap
hukum.

Yang terpenting dari gagasan ini adalah hukum progresif membebaskan kita dari cara berhukum
yang selama ini dijalankan. Cara berhukum yang selama ini berpegangan pada kata-kata atau
kalimat dalam teks hukum. Sebuah cara yang selama ini dilazimkan di kalangan komunitas
hukum yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks dan tetap seperti
tersebut sebelum diubah legislative.

Tak ayal permasalahan hukum di negeri ini kerap diwarnai dengan perdebatan-perdebatan
“kepastian hukum’ yang seringkali melupakan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan sejati.
Pada akhirnya penegakan hukum menjadi masinal, dimana para penegak hukum menjadi sekrup-
sekrup dari mesin besar bernama peraturan perundang-undangan. Tanpa sadar pada akhirnya
hukum justru membelenggu kita.

Gagasan progresif diharapkan dapat membantu kita keluar dari kungkungan cara berhukum yang
sudah dianggap baku. Dengan hukum progresif maka hukum akan kembali kepada fitrahnya
bahwa hukum adalah untuk manusia. Tentu saja dengan kesediaan untuk membebaskan diri dari
paham status quo, sehingga suatu saat cara berhukum progresif ini secara otomatis akan
melahirkan penegakan hukum progresif dimana berhukum tidak hanya tekstual, melainkan juga
melibatkan predisposisi personal (Satjipto Raharjo 2004).

Pertanyannya yang selanjutnya muncul adalah dengan begitu mengakarnya cara berhukum yang
bersandar pada paradigma positivistic analitis, mampukah hukum progresif akan tumbuh dan
berkembang secara efektif si Indonesia? Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa
system eropa kontinental dengan ciri legalitasnya adalah system hukum yang saat ini dianut di
Indonesia. semua ketentuan tentang hukum pidana, dapat dikatakan bahwa dalam sistem Eropa
Kontinental lebih terjamin adanya kepastian hukum. Walaupun kepastian hukum yang
terkandung dalam sistem ini adalah kepastian hukum yang bersifat formal yang dalam hal-hal
tertentu selalu tertinggal oleh perkembangan peradaban dan kesadaran hukum masyarakat.
Karena itulah di negara-negara Eropa Kontinental sudah semakin berkembang kepastian hukum
yang bersifat materil (Syafruddin, 2002, h. 5-6)

Berbeda dengan system hukum di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, Inggris,
dan negara-negara ex-dominionnya seperti Malaysia, Filipina, dan lain-lain sumber utama
hukum pidananya bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah terkodifikasi tetapi
adalah hukum umum (Common Law) baik berupa undang-undang (Statue act), Yurisprudensi
maupun perundang-undangan lain (delegated Legislation). Sumber-sumber ini berkembang terus
dan bertambah tahun demi tahun, sehingga untuk memperlajarinya harus mengumpulkan terlebih
dahulu berbagai yurisprudensi dan perundang-undangan yang bersangkutan (Syafruddin, 2002,
h. 5-6).

Oleh karena sumber hukum pidana yang utama adalah Common Law, kepastian hukum yang
bersifat material yang dalam prakteknya senantiasa dapat mengikuti perkembangan kesadaran
hukum dalam masyarakat. Hal ini nampaknya sejalan dengan ajaran Paul Van Schalten tentang
“Het Open Sistem vanm Het Recht” yang pada dasarnya mengakui kesadaran hukum yang
berkembang baik di kalangan penegak hukum dan masyarakat. (Syafruddin, 2002, h. 5-6)

Demikian pula bila memperhatikan system peradilan pidana di dalam system hukum eropa continental
dan Anglo Saxon. Dalam system hukum Eropa Kontinental Di negara-negara Eropa Kontinental
dianut sistem di mana Hakim atau Majelis Hakim yang mengadili perkara pidana; dengan kata
lain hakim atau majelis hakimlah yang menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dan
sekaligus menjatuhkan putusannya baik berupa pemidanaan ataupun pembebasan. Sedangkan
didalam Sistem hukum Anglo Saxon, kepastian hukum yang bersifat material ini lebih dihargai
lagi bila kita lihat dari sistem pelaksanaan peradilan di negara-negara Anglo Saxon yaitu sistem
Juri. Menurut sistem ini dalam suatu persidangan perkara pidana para Juri-lah yang menentukan
apakah terdakwa atau tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah
pemeriksaan selesai. Jika Juri menentukan bersalah barulah Hakim (biasanya tunggal) berperan
menentukan berat ringannya pidana atau jenis pidananya. Bila Juri menentukan tidak bersalah
maka Hakim membebaskan terdakwa (tertuduh) (Syafruddin, 2002, h. 5-6).
Perbandingan singkat antara system hukum tersebut, selanjutnya Penulis komparasikan dengan
pendapat dari Satjipto Rahardjo tentang
Berbeda dengan system hukum Anglo Saxon. Dalam Selanjutnya sistem hukum pidana Eropa
Kontinental mempergunakan sistem peradilan yang berbeda dengan sistem Anglo Saxon.

Dalam manifesto Hukum progresif Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa: “Apabila hukum itu
bertumpu pada ‘peraturan dan perilaku’, maka hukum yang progresif lebih menempatkan faktor
perilaku di atas peraturan”. Dengan demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih
menentukan daripada peraturan yang ada (Satjipto Rahardjo, 2004. H. 6). Hal ini berarti bahwa
dalam paradigma hukum progresif, manusia merupakan “core” dari hukum. Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa: “faktor manusia ini adalah simbol daripada unsur-unsur greget
(compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination)” ((Satjipto
Rahardjo, 2004. H. 6).

Apabila memperhatikan paparan diatas, penulis berpendapat bahwa gagasan hukum progresif
tersebut akan berhadapan dengan “tembok tebal” bernama legalitas. Ciri utama dari system
hukum Eropa Kontinental yang menjadi system hukum di Indonesia.Mengakarnya system
hukum tersebut, bahkan seolah-olah menjadi satu-satunya cara berhukum dalam praktek hukum
di Indonesia menjadi tantangan yang besar bagi hukum progresif dan bagi sosiologi hukum pada
umumnya. Menyandarkan faktor manusia sebagai pusat dari hukum dalam arti sebagai motor
penggerak dalam hukum ditengah system hukum yang mengedepankan peraturan dan kepastian
hukum sebagai pusat hukum bukanlah sesuatu yang ringan. Argumentasi ini pula yang penulis
kerap denganr tatkala membahas carut marutnya penegakan hukum di Indonesia.

Menurut hemat penulis, hukum progresif yang bekerja pada aras sosiologis akan lebih mudah
bekerja bila system hukum di Indonesia adalah system hukum yang menepatkan kepastian
hukum material sebagai landasannya. Artinya system hukumlah yang memberikan celah dan
peluang sosiologis hukum bekerja secara luas. Sehingga kajian sosiologis hukum menjadi
kewajiban bagi setiap praktisi dalam berhukum. Sehingga faktor manusia sebagai pusat hukum
adalah menjadi komponen utama diatas peraturan. Sehingga bekerjanya sosiologi hukum bukan
karena keberanian dan kemauan manusia tetapi karena keharusan dari sebuah system hukum
yang berlaku.
Sepanjang system hukum di Indonesia bersandar pada paradigma positivistic analitis dan tetap
dengan system hukum eropa kontinental maka sulit untuk mewujudkan keadilan sejati. Pun sulit
diingkari bahwa sosiologi hukum sebagai sebuah madzab akan mengalami mati suri di
Indonesia. Atau dengan kata lain hanya akan menjadi iklan dan sebatas teori dalam bangku
kuliah. Dengan demikian di masa depan tragedi hukum seperti Prita Mulya Sari, Ibu Minah yang
harus menjadi korban “kerangkeng hukum” status quo akan tetap terbuka lebar..

————————————————-

Daftar bacaan:

Kusuma Mahmud, 2009, Menyelami semangat hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Bagi
lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta, AntonyLib

Nonet &Selznick,2008, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung

Raharjo, Satjipto, “Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif”, Kompas Senin 6 September 2004

Raharjo, Satjipto, “Demokrasi Butuh Dukungan Hukum Progresif”, Kompas Senin 6 September
2004

Raharjo, Satjipto, “Membangun Fakultas Hukum sebagai Kekuatan Sosial”, Makalah Seminar
disampaikan dalam rangka Dies Natalies ke-49, FH UNDIP, 2006

Raharjo, Satjipto, 2009, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia; Sebuah Pendekatan
Lintas Disiplin, Genta Publising, Yogyakarta.

Raharjo, Satjipto, 2009, Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising,
Yogyakarta.

Syafruddin, “Signifikansi Perbandingan Hukum Pidana Dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana”,
2002, diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1582/1/pidana-
syafruddin3.pdf

Anda mungkin juga menyukai