Anda di halaman 1dari 3

Politik dan Kebijakan Perikanan

Oleh : Eva Prasetiyono, S.Pi


Dosen UBB/Mahasiswa Pasca Sarjana
Program Studi Ilmu Akuakultur IPB

Telah dimuat di surat kabar Babel Pos, Sabtu, 2 Oktober 2010

Tak ada yang bisa memungkiri bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan yang dikelilingi
oleh Perairan. Potensi perairan yang terkandung di bumi Indonesia adalah keberkahan yang tak
ternilai harganya. Dalam tataran yang lebih mikro, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah
salahsatu daerah di wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang dianugerahi perairan yang begitu
luas. Lautan yang terbentang menghampar luas dengan total luasannya 65.301 Km 2. Ditambah
dengan perairan daratan yang berbentuk sungai dan kolong-kolong dengan jumlah yang ribuan.
Sebuah keanehan yang nyata bila dengan potensi perairan yang dimiliki, basis pengembangan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak bertumpu pada sektor perairan.

Potensi Perairan di Indonesia adalah domain garapan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Kementerian inilah yang mengeluarkan Kebijakan-kebijakan berkenaan dengan
pengelolaan, pemanfaatan termasuk penegakan hukum di sektor perairan. Di era otonomi daerah,
sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18, daerah yang memiliki laut berwenang untuk
mengelola wilayah perairan laut di daerahnya. Pada tataran prakteknya, pelaksanaan pengelolaan
perairan di daerah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk wilayah Provinsi
dan Dinas kelautan dan Perikanan Kabupaten untuk wilayah Kabupaten.

Orientasi Pengelolaan sektor perairan harus mampu memenuhi sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Oleh karena itu
dibutuhkan Kebijakan-kebijakan di sektor perikanan yang pro rakyat. Kebijakan yang dimaksud
mulai dari peraturan perundang-undangan sampai dengan pada tataran program kerja yang akan
diterapkan oleh dinas. Lebih dari itu, tak hanya sebatas program kerja saja namun harus ada
working hard dan smart ability untuk merelisasikan program kerja tersebut.

Konsep Trias politika di Indonesia menempatkan bahwa legalisasi UU/anggaran ada di


tangan DPR/DPRD (legislatif), sedangkan ranah pembuat dan pelaksana kebijakan pembangunan
di tangan eksekutif serta ranah hukum pada yudikatif. Berangkat dari konsep itulah maka
kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan. Setiap konsep dan Penerapan kebijakan
tidak pernah lepas dari proses politik yang mengiringi kebijakan tersebut. Termasuk Kebijakan
di sektor perikanan dan kelautan. Sebut saja UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan yang
disempurnakan dengan UU No. 45 tahun 2009 yang merupakan dasar hukum kebijakan
perikanan lahir melalui proses politik. Penetapan anggaran pemerintah dibidang perikanan-pun
harus melalui proses politik di rapat paripurna DPR untuk pemerintah pusat dan atau rapat
paripurna DPRD untuk tingkat provinsi/kabupaten. Sampai kemudian ditataran realisasi
anggaran dalam bentuk program kerja, proses politik ada didalamnya. Proses politik yang
dimaksud dalam tataran program kerja adalah proses politik yang berkenaan dengan strategi dan
cara dalam menyukseskan program tersebut serta muatan dalam pelaksanaannya.

Politik menempati peranan yang paling penting dalam pembangunan di Indonesia. Secara
makro politik memiliki definisi yang mencakup cara dalam memformulasikan effort untuk
mensukseskan tujuan yang diharapkan. Namun sayang terkadang kemampuan politik tidak
dimiliki oleh eksekutif sebagai pengambil dan pelaku kebijakan. Rentannya kelemahan
pengambil dan pelaku kebijakan perikanan dalam hal politik terlihat dengan merajalelanya
kerusakan perairan di bumi serumpun sebalai. Belum terlihat bargaining atau usaha-usaha politik
yang diambil oleh para pelaku kebijakan untuk menancapkan panji perikanan dengan
mengelaminir quo vadis dari kegiatan pertambangan (kapal isap/TI apung) yang merusak
perairan. Belum terlihat langkah konkrit yang dilakukan oleh pelaku kebijakan perikanan yang
memiliki kekuasaan terhadap perairan untuk memperjuangkan dan mengkampanyekan
kelestarian perairan dari kegiatan kapal isap dan TI apung.

Dalam UU no. 31 tahun 2004 pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Hukuman
terhadap pelanggaran pasal 12 ayat 1 terdapat dalam pasal 86 ayat 1 UU No. 31 tahun 2004 yang
berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Merujuk pada UU ini maka secara jelas, sah dan
meyakinkan bahwa aktivitas Kapal Isap dan TI apung yang mencemari perairan dan merusak
sumberdaya ikan serta lingkungan periaran adalah pelanggaran. Namun pada kenyataannya
sampai dengan detik ini kapal isap dan TI apung terus beroperasi, banyak penyebab hal tersebut.
Pertanyaannya adalah telahkah para pelaku kebijakan dibidang perikanan menjadi pionir dalam
mengkampanyekan dan mendorong penegakan UU ini?

Saat ini mata masyarakat masih memandang sebelah pada sektor perikanan. Ini terjadi
karena belum ada bukti nyata kesuksesan pembangunan dibidang perikanan yang mampu
mensejahterakan masyarakat. Karenanya kemudian aktivitas penambangan timah dan TI apung
terus beroperasi. Ada sebuah keyakinan besar bahwa ketika para pelaku kebijakan mampu
membangun perikanan yang maju maka secara perlahan masyarakat akan beralih profesi dari
penambangan timah ke sektor perikanan. Namun sampai detik ini bidang perikanan belum
berbicara banyak. Kelemahan skill politik para pelaku kebijakan perikanan untuk meyakinkan
pihak legislatif dalam mensahkan kebijakan perikanan adalah salahsatu penyebabnya. Tak jarang
karena program kerja yang diusulkan dimentahkan oleh legislatif, para pelaku kebijakan
perikanan menjalankan program yang sporadis, asal-asalan dan tak berarah. Kompleks memang.

Orientasi politik adalah untuk kepentingan rakyat maka kemakmuran rakyat adalah
segala-galanya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Skill
politik mutlak dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan perikanan. Skill politik bukan berarti
mempolitisi perikanan untuk tendensi pribadi namun skill politik untuk memperjuangkan
pembangunan perikanan bagi kepentingan rakyat dan kelestarian perairan. Skill politik yang
digunakan untuk mensukseskan pembangunan perikanan dan menjadikan perikanan sebagai
leading sector di Bangka Belitung.

Anda mungkin juga menyukai