Anda di halaman 1dari 3

Analisis dan Strategi Pencegahan Banjir

Naik Sinukaban

Suara Pembaruan : 11 Februari 2008

Banjir kembali melanda beberapa daerah di Indonesia. Biasanya banjir terjadi pada
Januari atau Februari, tetapi pada musim hujan kali ini banjir besar terjadi akhir Desember 2007.
Bahkan, pada awal musim hujan banjir sudah meluas di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat
mengejutkan karena luapannya sangat luas menggenangi beberapa kabupaten, mulai dari
Karanganyar, Solo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Selain banjir DAS Bengawan
Solo, banjir DAS Wulan dan Juwana juga menggenangi sawah dan pemukiman di Pati, Kudus,
dan Demak. Banjir ini merusak ribuan rumah warga, menghancurkan sawah penduduk, dan
merenggut korban jiwa. Kalau digabungkan dengan akibat longsor maka jumlah penduduk yang
tewas lebih dari 60 orang. Hal ini sudah sangat memprihatinkan dan harus menjadi perhatian
khusus pemerintah.

Banjir di DKI Jakarta pada Rabu dan Kamis 2-3/1/2008 hanya diakibatkan oleh hujan, Selasa,
yang curahnya hanya 92 mm selama 24 jam. Hujan dengan curah 92 mm/hari di DAS Ciliwung
tergolong hujan yang intensitasnya normal. Walaupun hujan masih normal, bahkan di bawah
rata-rata hujan harian maksimum dengan periode ulang dua tahun, tetapi banjir yang
diakibatkannya sudah besar. Beberapa kelurahan di Kampung Melayu dan Cawang dilanda
banjir yang kedalamannya mencapai dua meter.

Hal yang hampir sama terjadi di DAS Bengawan Solo (Jawa Tengah dan Jawa Timur), DAS
Wulan, dan Juwana (Jawa Tengah). Seperti dikemukakan di atas, curah hujan tidak luar biasa
dan dalam kategori normal. Apabila kondisi DAS di wilayah itu baik maka sebenarnya banjir
luar biasa tidak akan terjadi. Namun, kenyataannya terjadi banjir besar. Semua keadaan ini
mengindikasikan bahwa sudah terjadi degradasi lahan di DAS tersebut. Hal ini sejalan dengan
data yang dipublikasikan oleh Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan bahwa jumlah lahan kritis
dan sangat kritis di Indonesia sudah mencapai 30 juta hektare. Apabila digabung dengan lahan
agak kritis maka jumlahnya mencapai 70 juta ha. Jumlah hutan terdegradasi di seluruh Indonesia
sudah mencapai 59 juta ha.

Degradasi lahan tersebut mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Kapasitas infiltrasi
DAS menurun dan koefisien aliran permukaan meningkat. Berdasarkan analisis pada 2005,
koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung secara rata-rata sudah mencapai 0,54 dan sekarang
mungkin sudah melebihi angka tersebut. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Dirjen
RLPS, jumlah yang tergolong DAS Prioritas I mencapai 60, sedang yang tergolong Prioritas II
mencapai 228.

Penyebab Degradasi
Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan
disebabkan beberapa faktor. Pertama, penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari
Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang
diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi
dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian dialihfungsikan menjadi
permukiman atau industri, dan sebagainya.

Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang
semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang
hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan yang
kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang
intensif atau jadi permukiman.

Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik
konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan,
pertanian, industri, permukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik
konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan
belum tentu memadai di lahan yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu
bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan,
hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk
dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan
mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi
(tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip
(strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).

Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan
masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap penggunaan
lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk
melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.

Faktor kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal ini
terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik
konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan
penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam
Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi
konservasi tanah dan air.

Hal ini pun terindikasi dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005 - 2025. Dalam rancangan awal RPJPN tidak diindikasikan bahwa pencegahan
degradasi lahan sebagai prioritas penting. Apabila hal ini berjalan terus maka minat generasi
muda untuk mempelajari dan mendalami pencegahan degradasi sumber daya lahan akan
memudar yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tidak ada lagi orang yang mengetahui
teknologi pencegahan degradasi lahan. Apabila ini terjadi maka malapetaka banjir, seperti yang
dialami oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, akan semakin sering terjadi.
Untuk mencegah dan menanggulangi degradasi lahan maka strategi berikut harus menjadi
prioritas. Pertama, kaji ulang tata ruang nasional, wilayah, dan daerah agar didasarkan pada
kemampuan lahan. Kedua, penyimpangan tata ruang yang sudah berdasarkan kemampuan lahan
harus ditindak tegas. Ketiga, semua sumber daya lahan harus diklasifikasikan berdasarkan
kemampuannya. Keempat, penggunaan lahan harus didasarkan pada kemampuan lahan. Kelima,
teknologi konservasi tanah dan air yang memadai harus diterapkan di setiap tipe penggunaan
lahan. Keenam, penyusunan UU konservasi tanah dan air perlu dipercepat. Ketujuh, departemen
terkait harus memprogramkan pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas utama. Kedelapan,
pemerintah perlu memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi
konservasi tanah dan air dalam kurikulum pendidikan.

Penulis adalah Guru Besar Konservasi Tanah dan Air IPB, pengamat pembangunan pertanian
dan lingkungan hidup

Anda mungkin juga menyukai