Suatu Sore Di Kedai Kopi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

Suatu Sore di Kedai Kopi

Created by betjo

Suara hape berbunyi. Seorang pemuda berpakaian rapi, berjas, si empunya hape

tersebut, mengangkatnya. Klik!, tombol penerima di tekan.

" Hallo...Dharma..."

" Hallo Darma, ini aku, Binsar, temanmu semasa kuliah dahulu. Masih ingat tak?".

Mendengar suara dan logat khas si penelpon, membuat pemuda tersebut segera

mengingatnya.

" Tentulah aku ingat...Apa kabar kau Binsar ?"

" Baik² sajalah...Aku sekarang sedang jadi politisi sama seperti kau. Inginlah aku

seperti kau, jadi anggota dewan..."

" Ah kau ini Binsar...Jangan jadi 'pengekor' lah. Tak enak jadi anggota dewan. Di

demo terus..."

" Bah!...Kau ini masih pandai berkelakar rupanya. Eh, Dharma...Kau ada waktu

tidak sore ini ?. Aku ingin traktir kau makan di kedai kopi yang dingin itu. Kita

lanjutkanlah perbincangan kita di sana. Bagaimana ? "

" Oke...Kebetulan aku hendak bolos rapat sore ini. Kapan dan di mana?"

" Bah...Macam kuliah saja ada bolosnya hahahaa...Baiklah kalau begitu. Pukul tiga

sore, di kedai jalan M.H. Thamrin..."

" Siip...sampai nanti Sar.."

" Oke..."

Klik!. Suara tombol pemutus ditekan.

----
Pukul 3 sore lewat 15 menit. Sebuah mobil sedan hitam mulus bergerak mendekati

lapangan parkir sebuah kedai kopi, di jalan M.H. Thamrin. Petugas parkir

berseragam biru pun sibuk memandu pemarkiran sedan tersebut. "Kiri...kiri...Ya

dikit lagi...Oke...pass!"

Lalu, seorang pemuda rapi, necis dan bersisir keluar dari sedan tersebut. Ia

menunduk ke jendela depan mobilnya sambil berkata kepada si sopir ,

" Pak Ujo tunggu saya yah...Ada meeting dengan klien nih ".

" Beres boss...", jawab si sopir sambil mengangguk hormat.

Lelaki itu pun berjalan memasuki kedai kopi berlantai licin itu. Pintu kedai itu

terbuka otomatis. Ia pun menuju ke arah resepsionis.

" Selamat sore Pak. Ada yang bisa kami bantu," tanya si mbak ayu berparfum

wangi.

Pemuda itu mendehem sebentar, lalu berkata, " Ya, saya ada janji dengan pak

Binsar..."

" Tunggu sebentar ya Pak...Kami chek dahulu...", kata mbak ayu itu sambil

menekan - nekan tuts pada keyboard dengan jari - jemarinya yang lembut.

" Oh...Silahkan bapak ke meja nomor 10. Pak Binsar sudah menunggu anda di sana,

" katanya lagi.

" Terimakasih ".

Lalu, pemuda itu pun melangkah menuju meja nomor 10. Tampak olehnya Binsar,

temannya waktu kuliah dahulu sedang nyruput secangkir kopi hangat di meja
nomor 10. Meja dekat dengan para penghibur yang sedang mendendangkan lagu

klassik. Agak terpojok namun.

" Sudah lama kau menunggu Binsar ? ", sapanya kepada temannya itu.

Lelaki berbadan gemuk besar itu menoleh ke arahnya.

" Ah kau ini...Masih saja ngaret terus...", katanya, " Silahkan duduk..."

" Karet itu salah satu kekayaan alam negri kita. Makanya sebagai warga negara

yang baik, aku pun mempergunakan produk dalam negri kita...Jam karet ", jawab

pemuda itu berkilah akan keterlambatannya.

" Ya...Ya...Sudahlah. Kau pesanlah minuman dahulu..."

Pemuda itu pun memberi isyarat kepada pelayan kedai agar menghampirinya.

" Sore pak...Bapak hendak memesan apa ?", tanya pelayan tersebut. Rapi berdasi

kupu - kupu yang tidak bisa terbang.

" Saya pesan segelas strawberry lassy yah...", jawab pemuda itu sambil mengelus

sebelah kiri rambutnya yang tersisir rapi.

" Ada lagi pak ? ", tanya pelayan itu lagi.

" Cukup itu dulu..."

" Baiklah..."

Lalu pelayan itu, yang berdasi kupu - kupu tak bisa terbang itu, meninggalkan

mereka berdua.
" Wah, makin berkelas saja rupanya kau sekarang. Minumanmu pun sekarang beda.

Bukan seperti jaman kita kuliah dahulu. Kopi pahit di warung mbok Inem. Itu pun

kadang menghutang...", komentar temannya Binsar.

" Itu kan dulu Sar. Saat masa kere. Sekarang, aku sudah jadi orang terhormat.

Wakil rakyat di gedung dewan rakyat...", jawabnya, " By the way, ada apa ini kau

menraktirku di sini ? "

Belum sempat Binsar menjawab, pelayan yang berdasi kupu-kupu tak bisa terbang

itu datang membawa pesanan pemuda itu.

" Ini pesanan bapak. Segelas strawberry lassy...Selamat menikmati, " kata

pelayan itu sambil menaruhnya di depan pemuda itu.

" Terimakasih..."

Dan pemuda itu pun nyruput minumannya, memakai sedotan. Shrlupp.

" O ya...pertanyaanku tadi belum kau jawab Sar," tanyanya lagi kepada Binsar

sehabis menyeruput.

" Ini, aku perlu bantuanmu. Salah seorang anak buahku di partaiku terlibat kasus

korupsi. Korupsi masalah proyek pembangunan jalan. Bisa tidak kau bantu dia

supaya penyelidikan kasus tersebut dihentikan. Atau kau cari kambing hitam .

Masalahnya, kalau penyelidikan itu diteruskan..."

" Kau akan terseret juga bukan dalam kasus ini. Mana ada bawahan melakukan

sesuatu hal tanpa instruksi atasan. Betul khan dugaanku?", potong pemuda itu.

Binsar mengangguk, " Benar..."


Pemuda itu menghela nafas sebentar...

" Lantas keuntunganku apa sebagai imbalan kerjaku?," tanyanya.

" Tenang kawan. Kalau kau berhasil selesaikan urusan ini, kuberikan kau 30 persen

dari keuntungan proyek ini..."

" Hanya 30 persen ?. Kau bercanda Sar?...Ini bukan pekerjaan mudah. Masak

hanya 30 persen?"

" Okey lah...40 persen bagaimana? Soalnya 10 persen lagi untuk anak buahku itu...,

tawar Binsar lagi.

Pemuda itu seakan berpikir berat. Ia menggaruk-garuk sisiran rapi rambutnya

meski tak gatal.

" Okey lah...setuju!", katanya sambil mengulurkan tangannya tuk bersalaman.

Tanda setuju.

Dan temannya itu pun menyambut jabat tangan itu.

" Begitu dong...Namanya membantu teman..."

Pemuda itu menyeringai tipis.

Alunan musik klassik masih mengalun, Turn the page...


" Eh...Kau tahu tidak Sar. Kemarin para aktivis kampus kita mendatangi gedung

dewan. Berdemo masalah kenaikan BBM...", kata pemuda itu membuka

pembicaraan.

" Ya aku tahu...Aku melihatnya di berita televisi. Kenapa memangnya ? "

" Membuka memoriku saja...Kau ingat dahulu kita seperti mereka. Berdemo

mengkritik pemerintah. Saling dorong-dorongan dengan para polisi huru- hara dan

berlari blingsatan ketika pentung dan tendangan mereka mulai bicara...

Rambutku dulu juga masih gondrong, berpakaian kaos dan celana jeans belel, agak

luntur warnanya. Kau juga masih kurus dan tak terurus. Tidak seperti

sekarang...", kata pemuda itu sambil matanya seperti menerawang masa lalu.

" Hehehee...Kau masih ingat saja masa lalu, masa susah itu. Masa kau dan aku suka

berteriak- teriak dengan nurani. Meneriakkan kepentingan kita sebagai rakyat

jelata. Yang masih makan sekali sehari di warung mbok Inem. Itu pun ngutang

sampai datang kiriman dari kampung halaman...

Kenapa kau ingat-ingat masa itu kawan. Tak sukakah kau dengan keadaanmu

sekarang ?. Bermobil sedan dengan sopir pribadi dan terhormat. Jalan-jalan ke

luar negri lagi...Dengan uang rakyat sebagai wakil rakyat", kata Binsar.

Pemuda itu seperti terdera hatinya mendengar kata itu, 'rakyat' , yang terucap

dari mulut kawannya itu. Lelaki besar gemuk dihadapannya itu dahulu bersamanya

dan teman-teman lainnya berjuang di jalan menyuarakan suara rakyat, jeritan

rakyat kepada wakil rakyat. Dahulu, dia dan kawannya itu berkhayal. Jika mereka
menjadi wakil rakyat, tidak akan menindas rakyat dan selalu berjuang membela

rakyat.

Sekarang, ketika Tuhan mengabulkan keinginannya menjadi wakil rakyat di gedung

itu, yang pernah mereka duduki dahulu, mengapa dirinya berubah menjadi serupa

mereka. Wakil-wakil rakyat yang dahulu dirinya kritik habis-habisan. Bahkan

berteman baik dengan mereka. Dengan serigala-serigala berbulu domba yang

menjilat-jilat majikan dan memakan mangsanya, kaum lemah, rakyat jelata.

" Kau pikir apa kawan?...Eh kau tahu tidak si Amir kawan kita dahulu...", kata

Binsar membuyarkan pemikiran pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng.

" Tidak...Mengapa memangnya?".

" Kuceritakan ya...Dia itu sok idealis...Sok suci. Tak mau dia menerima uang suap

ketika bekerja di perpajakan. Atasannya tak suka dengannya. Ia pun lalu

mengundurkan diri. Tahukah engkau sekarang jadi apa dia?..."

Pemuda itu menggeleng lagi...

" Ia jadi guru madrasah aliyah dengan gaji dibawah satu juta rupiah...Di rumahnya

yang sempit itu, istrinya buka warung. Berjualan makanan biar dapur mereka

terus ngebul...", jelas si Binsar, " Begitulah kalau terlalu idealis..."

'Idealis'. Lagi-lagi kata itu mendera hati pemuda itu. Dahulu aku pun seorang

pemuda yang idealis. Tegar di jalan perjuangan bersama rakyat. Sekarang ?...
Dan alunan musik klassik itu menyembunyikan pertanyaan pemuda itu di antara

not - not, Beethoven...

Suatu sore di kedai kopi...

Anda mungkin juga menyukai