Anda di halaman 1dari 11

SINKRONISASI PERENCANAAN

PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR


INDONESIA DALAM RANCANGAN
RPJMN 2010-2014 BERDIMENSI
KEWILAYAHAN
 View
 What links here
 Track

Posted Mon, 16/11/2009 - 15:37 by Stevent Febriandy

Hal yang sering terlupakan dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional sejak tahun 1969
hingga sekarang adalah masih tingginya kesenjangan perkembangan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) yang meliputi Pulau Sulawesi, Maluku, Papua, dan kepulauan Nusa Tenggara,
dibandingkan dengan perkembangan Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti
permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya; masih adanya kasus busung lapar yang
diderita warga; rendahnya kualitas kesehatan; kemiskinan dan keterisolasian; terbatasnya
ketersediaan prasarana dasar; terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi; masih
terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas; bencana alam;
masih rendahnya kualitas hidup masyarakat; serta masih rawannya ancaman separatisme.

Terdapat 3 strategi pokok dalam upaya percepatan pembangunan KTI berdasarkan rancangan
RPJM Nasional 2010-2014, yaitu: pertama, pendekatan perwilayahan untuk percepatan
pembangunan. Dalam hal ini, upaya membangun koordinasi dan komunikasi antar-propinsi di
KTI akan menjadi sangat penting peranannya. Kedua, peningkatan daya saing dengan tujuan
akhir untuk mensejahterakan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan
ekosistem lingkungan hidup. Ketiga, perubahan manajemen publik, yang juga memiliki korelasi
yang sangat kuat untuk membangkitkan daya saing wilayah, dengan memperhatikan birokrasi
pemerintah yang responsif terhadap tantangan, potensi dan masalah daerah.

Saat ini, Bappenas sedang menyiapkan naskah akademis RPJMN 2010-2014  sebagai  proses
teknokratis dalam siklus perencanaan.  Proses teknokratis ini selanjutnya akan diintegrasikan
dengan program-program prioritas dari ‘Visi dan Misi’ Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Proses selanjutnya adalah proses partisipatif dimana semua pihak akan dimintai masukannya atas
dokumen perencanaan yang telah disusun. Selain itu juga dilakukan proses bottom-up, yaitu
dokumen perencanaan tersebut dikonsultasikan dan disinkronkan dengan perencanaan
pembangunan dari semua provinsi dan sektoral.

Terkait rencana pengembangan wilayah dalam sistem perencanaan pembangunan, UU Nomor


17/2004 tentang RPJPN 2005–2025 mengamanatkan bahwa pengembangan wilayah
diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumber daya darat
dan/atau laut di setiap wilayah, serta memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya
dukung lingkungan.  Tujuan utama pengembangan wilayah adalah peningkatan kualitas hidup
dan kesejahteraan masyarakat serta pemerataannya.  Pelaksanaan pengembangan wilayah
tersebut dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor
dan bidang.  Substansi dalam RPJMN 2010-2014 selain perencanaan berbasis isu/sektoral juga
akan disusun perencanaan berdimensi kewilayahan atau pulau-pulau besar.

Sosialisasi Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Dalam


Rancangan RPJMN 2010-2014 Berdimensi Kewilayahan bertujuan sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan hasil penyusunan strategi pembangunan Kawasan Timur Indonesia.


2. Sinkronisasi dan harmonisasi perencanaan sektoral, daerah dan spasial di Kawasan Timur
Indonesia sebagai penyempurnaan hasil penyusunan strategi pembangunan Kawasan
Timur Indonesia dalam RPJMN 2010-2014 Berdimensi Kewilayahan.

Lokakarya Sosialisasi Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Dalam


RPJMN 2010-2014 Berdimensi Kewilayahan  diharapkan menghasilkan keluaran berikut.

(1)         Adanya kesepahaman dan kesepakatan tentang rumusan strategi pembangunan Kawasan
Timur Indonesia;

(2)         Adanya masukan dari hasil sosialisasi rumusan strategi pembangunan Kawasan Timur
Indonesia;

(3)         Rekomendasi terkait strategi dan kebijakan pembangunan Kawasan Timur Indonesia
sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN 2010-2014 Berdimensi Kewilayahan;

(4)         Alternatif skenario Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Lokakarya ini secara teknis dikoordinasikan oleh Forum KTI, BaKTI (Bursa Pengetahuan
Kawasan Timur Indonesia), Decentralization Support Facility (DSF) bekerja sama dengan
Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas yang dalam hal ini
menunjuk Direktorat Pengembangan Wilayah selaku koordinator teknis dari Bappenas.

Dalam acara Sosialisasi RPJMN 2010-2014 Wilayah Sulawesi, Wakil Menteri PPN/Wakil
Kepala Bappenas memaparkan mengenai arah pengembangan wilayah Sulawesi sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2010-2014. Dalam RPJMN 2010-2014, wilayah Sulawesi memiliki
beberapa isu strategis, yakni: (1) Optimalisasi pengembangan sektor unggulan yang berdaya
saing tinggi; (2) Interkonektivitas domestik intrawilayah; (3) Kualitas sumber daya
manusia dan kemiskinan; (4) Kapasitas energi listrik; (5) Revitalisasi modal sosial; (6)
Pembangunan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terpencil; (7) Reformasi birokrasi dan
tata kelola; (8) Konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup serta mitigasi bencana
alam.

Dengan memperhatikan isu-isu strategis tersebut serta permasalahan spesifik di setiap wilayah,
maka arah pengembangan wilayah Sulawesi dalam kurun 2010-2014 adalah: (1) Pengembangan
wilayah Sulawesi sebagai sentra produksi pertanian dan perikanan dan lumbung pangan nasional;
(2) Pengembangan gugus industri unggulan wilayah; (3) Pengembangan jalur wisata alam dan
budaya dengan strategi memperkuat jalur wisata Toraja-Tomohon-Bunaken dengan Bali; (4)
Pengembangan wilayah Sulawesi sebagai satu kesatuan ekonomi domestik; (5) Pengembangan
Sulawesi sebagai hub Kawasan Timur Indonesia; (6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia;
(7) Peningkatan kapasitas dan integrasi sistem jaringan listrik; (8) Penguatan ketahanan dan
harmonisasi masyarakat; (9) Pembangunan kawasan perbatasan sebagai beranda depan wilayah
nasional; (10) Penguatan daerah otonom dan kualitas pelayanan publik; serta (11) Peningkatan
daya dukung lingkungan dan mitigasi bencana.

Selain itu, Wakil Menteri PPN/Wakil Kepala Bappenas menegaskan bahwa dokumen RPJMN
2010-2014 hendaknya dapat dijadikan pegangan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan
dalam lima tahun ke depan baik di pusat maupun di daerah yaitu menjadi acuan bagi penyusunan
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian dan Lembaga serta penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD).(Humas/ www.bappenas.go.id/13 April 2010 )

Genjot Ekonomi, Sulut Upayakan Semangat


 

Enterpreneurship
Senin, 25 Agustus 2008 - 14:24 wib
TEXT SIZE :  

JAKARTA - Pemerintah Sulawesi Utara (Sulut) menitikberatkan pertumbuhan perilaku enterpreneurship


seluruh pelaku ekonomi regional dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi lokalnya.

Gubernur Provinsi Sulut S Sarundajang mengungkapkan, upaya itu ditempuh melalui jalur pembangunan,
baik pembangunan sektoral di daerah maupun jalur pembangunan sektor regional.

"Titik berat implementasi pembangunan di tingkat regional akan menjadi stimulus swakarsa pelaku
ekonomi lokal di daerah," ujar Sarundajang dalam Seminar 'Reformulating Regional Development in
Indonesia di Gedung Bappenas, Jalan Taman Suropati, Jakarta, Senin (25/8/2008).

Selain menumbuhkan semangat enterpreneurship, lanjut dia, Pemprov Sulut juga menekankan beberapa
strategi pembangunan ekonomi lainnya. Diantaranya yaitu spesialisasi potensi ekonomi, menumbuhkan
industri berdaya saing, menekankan sektor ekonomi unggulan, memfokuskan strategi pengembangan pada
produk berdaya saing dan berorientasi pada pasar regional.

Dengan strategi demikian, ungkapnya, Sulawesi Utara telah berhasil mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi triwulan II-2008 7,19 persen dari 6,96 persen triwulan sebelumnya. Pada saat yang sama,
pendapatan domestik regional bruto juga naik menjadi Rp3,76 triliun dari Rp3,14 triliun.

Sedangkan dari sisi kebutuhan investasi, tambahnya, pada triwulan II-2008, Sulut berhasil menarik investasi
sekira Rp8,89 triliun naik dari Rp6,91 triliun tahun 2007. Masing-masing berasal dari investasi pemerintah
Rp3,11 triliun dan investasi swasta/masyarakat Rp5,78 triliun.(Zaenal Muttaqin /

STRATEGI PENYIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PROPINSI SULAWESI UTARA


PADA ERA OTONOMI1

Rudy C Tarumingkeng2

PENGANTAR

Dengan pemberlakuan otonomi maka daerah dituntut lebih mandiri dalam pengurusan “rumah
dan isi rumah” nya, dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin berkurang.
Proses pemandirian ini sekaligus merupakan pemberdayaan bagi sumber daya manusia di
daerah. 

Dalam konteks ini, sumber daya manusia (SDM) menempati posisi strategis dan mencakup
seluruh masyarakat, aparatur pemerintah dan seluruh pelaku pembangunan. Artikulasi
bahasan ini adalah strategi penyiapan SDM untuk implementasi otonomi daerah agar
dambaan masyarakat akan kesejahteraan dan kemakmuran dapat dicapai secara optimum.
Dambaan ini hanya dapat dicapai jika SDM memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk
mengelola dan mengolah kekuatan yang dimilikinya (sumber-sumber yang tersedia),
memanfaatkan peluang-peluang, mengatasi kelemahan dan ancaman yang dihadapinya
-dengan etos membangun (kerja keras, jujur, kreatif profesional dan inovatif). Secara
keseluruhan, pemberdayaan SDM dalam rangka otonomi bukan saja bermakna meningkatkan
kapasitas (capacity building), tapi juga akuntabilitas (accountability) SDM dalam arti yang
luas.

Sorotan terhadap penyiapan SDM, terutama kepada: 

1. Peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas local actors (pemimpin dan pelaksana,


baik pemerintah maupun swasta).
2. Penyiapan tenaga professional, managers /eksekutif pembangunan, di semua sektor
baik dalam lingkup pemerintah maupun swasta.
3. Peningkatan peran masyarakat khususnya terciptanya persepsi positif terhadap
upaya pembangunan dan pemupukan sikap kreatif, inovatif dan kerja keras.

Mengawali diskusi ini, akan disinggung pendapat masyarakat mengantisipasi otonomi daerah,
dalam beberapa jajak pendapat yang dilakukan oleh media masa. 

Jajak pendapat (poll) Harian Kompas 14, 15 dan 17 Maret 2000 (13 kota, a.l. Manado)
mengindikasikan  bahwa sebagian masyarakat berpendapat otonomi sekalipun di era
reformasi, tidak serta merta mengubah mental aparat birokrasi. Responden berasumsi
bahwa otonomi hanya akan memindahkan praktek KKN dari pusat ke daerah, bahkan akan
menciptakan sentral-sentral kekuasaan kecil di tiap-tiap daerah. Sebagian masyarakat
ternyata masih menyangsikan jika otonomi yang dijalankan secara otomatis akan membuat
daerah lebih maju dan menikmati keadian dalam pemanfaatan sumberdaya alam di
daerahnya, karena kelemahan sistem dan infrastruktur. Sentralisasi yang telah lama
berjalan membudayakan perilaku birokrasi menunggu instruksi dari pusat, sulit
mengedepankan kepentingan daerah dan masyarakat, kurang proaktif dan inovatif -karena
perencanaan dan kebijakan ditentukan oleh pemerintah pusat. 

Polling yang diselenggarakan Kompas tgl 28-29 Maret 2000, di 4 kota besar (Jakarta,
Surabaya, Medan, dan Makassar) menunjukkan, secara umum sebagian besar responden
yakin bahwa dengan diberlakukannya otonomi daerah kesejahteraan rakyat akan meningkat.
Namun, masyarakat berpendapat otonomi belum bisa meredam keinginan beberapa daerah
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI.  Dengan ungkapan lain, masyarakat
mengharapkan agar pemberlakuan otonomi daerah dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga
menjamin kestabilan ekonomi, sosial dan politik. 

SUMBER DAYA MANUSIA DI ERA OTONOMI DAERAH

Dambaan akan otonomi daerah sesungguhnya telah lama. Beberapa pergolakan dan tuntutan
daerah antara lain bermotifkan otonomi. Bahkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, juga dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan otonomi
itu, tetapi dapat dikatakan tidak dapat dijalankan untuk memenuhi dambaan masyarakat.
Dalam suasana reformasi, diterbitkannya UU22/99 dan UU25/99, memberikan secercah
harapan bagi masyarakat Indonesia untuk lepas dari sentralisasi kekuasaan pusat atas
daerah, dan daerah dapat menentukan sendiri sebagian besar kebijkan pembangunannya. 

Secara eksklusif, UU22/99 yang mengatur pembagian kewenangan di tingkat pusat dan
propinsi dan selanjutnya mengatur wewenang kabupaten atau kota --belum menekankan
pentingnya pemberdayaan penyelenggara negara dan masyarakat yang diperintah/diatur.
Padahal, determinan keberhasilan implementasi otonomi terletak pada kualitas SDM.
Demikian pula dengan UU25/99 yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Dalam ungkapan lain, UU22/99 mengatur otoritas pemerintahan dan
UU25/99 mengatur keuangan. Lalu, dari segi legalitas di mana letaknya pengaturan
sumberdaya manusia yang demikian strategis itu?

Dalam konteks implementasi otonomi daerah yang efektif dan efisien, mungkin penting
untuk diangkat di sini adanya UU28/99 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari KKN. Khususnya, asas-asas kepentingan umum, keterbukaan dan akuntabilitas
yang begitu penting dan menentukan, ditinjau dari pemberdayaan dan peningkatan kualitas
SDM, baik pemerintah maupun masyarakat. Berbagai pendapat telah dikemukakan dalam
media masa dan seminar-seminar, antara lain, mengenai akuntabilitas pemerintah daerah
dalam melayani masyarakat di daerahnya, khususnya tentang hak dan kewajiban pemerintah
dalam menjalankan fungsinya dan hak kewajiban masyarakat di daerah untuk mendapatkan
pelayanan, memberikan masukan dan memperoleh laporan dalam konteks akuntabilitas
publik. 

Dengan paparan di atas maka kunci kesiapan sumberdaya manusia yang handal dan
berkualitas dalam melaksanakan pembangunan  adalah pemberdayaan masyarakat bawah
(the grass root)  dan peningkatan kualitas penyelenggara daerah agar kapabel untuk
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, memanfaatkan masukan dari
masyarakat dan memberikan laporan dalam konteks akuntabilitas publik kepada masyarakat.
Masyarakat perlu diyakinkan akan kinerja dan akuntabilitas aparat pelaksana / pemerintah
yang akan berdampak positif pada perubahan sikap (attitude) dan motivasi masyarakat
untuk meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan pembangunan. 

Dengan persepsi, ini strategi utama dalam penyiapan SDM di era otonomi adalah
mensinkronisaikan ketiga undang-undang ini sehingga visi dan misi pembangunan daerah
dapat dicapai secara optimum.  Kinerja pemerintah dan masyarakat akan ditentukan oleh
penguasaan dan penerapan kriteria-kriteria yang dituangkan dalam asas-asas umum
penyelenggaraan negara tersebut. 

Dalam konteks pencarian strategi penyiapan SDM, khususnya Provinsi Sulawesi Utara, perlu
diacu Visi pembangunan Propinsi Sulawesi Utara: “ … untuk mewujudkan masyarakat
Sulawesi Utara terdepan dalam peradaban, perdamaian, supremasi hukum, keadilan dan
kemakmuran serta menjadi pusat keunggulan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” 

Manifestasi visi yang sangat ideal ini dituangkan dalam misi yang komprensif mengantisipasi
perubahan sebagai tuntutan demokrasi pada era otonomi dan globalisasi. 
Butir-butir 1, 2, 3, 4,  langsung menunjuk kepada pengembangan SDM, sedangkan butir-
butir yang lainnya tidak terkecuali mengacu kepada SDM sebagai pelaksana dan sasaran
pembangunan. 

STRATEGI PENYIAPAN SDM

Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah enam Pelita pembangunan  bidang ekonomi, politik,
sosial dan budaya --Sulawesi Utara telah menunjukkan kinerja dan kemajuan yang memadai.
Indikator ke arah itu ditunjukkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi dan penurunan jumlah
penduduk miskin. 

Penyiapan SDM bukanlah berdiri sendiri. Strategi pengembangan SDM sangat terkait
dengan strategi pembangunan ekonomi (pertanian, industri dan jasa), yang pada saat ini
perlu mengacu kepada upaya menarik investasi, penyiapan infrastruktur yang mendukung
pembangunan ekonomi dan upaya-upaya penyejahteraan masyarakat. Butir-butir strategis
pengembangan SULUT pada tingkat pembuat kebijakan dan pelaksana pembangunan di
semua sektor, yang  sebagian besar telah kami kemukakan pada Seminar Pembangunan
Sulut, 13 Oktober 1997 di Jakarta, kami kemukakan kembali  karena derivasinya 
merupakan strategi penyiapan SDM pada era otonomi.

1. Tingkatkan efisiensi

Memasuki era globalisasi dan otonomi daerah yang menandai milenium ke tiga dan abad 21
terdapat tantangan yang perlu dicermati. Di bidang ekonomi, globalisasi yang berimplikasi
borderless world kondisi pasar cenderung berubah menjadi persaingan sempurna. Barang
dan jasa dengan bebasnya berpindah dari satu negara ke negara lain.  Maka dalam era ini
kata kunci yang paling menentukan adalah efisiensi. Pihak yang paling efisienlah yang sukses
memenangkan persaingan. Meningkatkan efisiensi menuntut profesionalisme yang tinggi dan
penguasaan atas kiat-kiat manajemen. 

2. SDM Agribisnis, perikanan, biotek, industri

Inefisiensi antara lain bersumber dari kualitas SDM yang belum memadai. Hal ini juga
terlihat dari masih dominannya SDM yang berada di sektor pertanian, walaupun sektor ini
merupakan salah satu tumpuan perkembangan ekonomi daerah. Sifatnya yang memberikan
value added yang relatif lebih rendah karena berlakunya kaidah diminishing return
hendaknya memacu kita untuk meningkatkan efisiensi dengan penguasaan manajemen
agribisnis dan bioteknologi;  dan lebih berpaling ke sektor-sektor industri (termasuk
perikanan dan jasa (terutama di sektor swasta) yang akan lebih berperan nanti karena
pertumbuhan ekonomi akan berakibat terjadinya perubahan struktural yang semula
didominasi sektor pertanian dalam produksi nasional (produk domestik bruto) beralih ke
dominasi sektor industri  dan kemudian ke sektor jasa. Pergeseran ini memerlukan dukungan
SDM yang memadai. Kelambatan pembangunan infrastruktur dan penyiapan SDM yang
trampil, terlatih, berpengetahuan dan professional akan memperlambat akselerasi
perubahan struktural tersebut.

3. SDM pariwisata dan industri lainnya

Keberlanjutan (sustainability) pertumbuhan ekonomi juga ditentukan oleh adanya leading


sector. Bagi daerah Sulawesi Utara, sektor jasa, khususnya pariwisata tampaknya
berpotensi menjadi leading sector yang sangat promising. Pariwisata memerlukan
penanganan yang serious agar nantinya pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung dalam
tingkat yang tinggi. Bahkan mungkin dapat diharapkan Sulawesi Utara menjadi growth
center bagi Kawasan Timur Indonesia.

Globalisasi juga menimbulkan paradigma baru yaitu co-opetition (cooperation-competition)


di mana kerjasama untuk bersaing mulai berkembang. Dalam kaitan ini, kerjasama regional
di bidang ekonomi semakin berkembang dengan intensitas yang tinggi, yang dapat kita lihat
dari upaya percepatan AFTA dan APEC. Sulawesi Utara yang menempati lokasi geografis
yang strategis (Asia Pasifik), dalam kerjasama ekonomi regional tersebut perlu
mengintensifkan dialog-dialog regional guna mencari komoditi-komoditi yang memiliki
competitive advantage di kawasan-kawasan tersebut. Pembangunan pariwisata, seperti
halnya industri mempersyaratkan adanya investasi, pembangunan infrastruktur, dan SDM
pengelola yang profesional, yang perlu dipersiapkan. Dalam kaitan dengan investasi, salah
satu hal yang perlu diperhitungkan sekarang adalah melemahnya ekonomi Amerika Serikat
mulai tahun 2001 yang diperkirakan akan mempengaruhi negara-negara adidaya ekonomi
dunia lainnya dan kemungkinan akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Lagi pula,
situasi politik kita saat ini (keamanan yang melemah) cenderung menyebabkan divestasi
(modal berpindah ke negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Kambodya dsb.). Peluang ini
hendaknya dimanfaatkan Sulut (yang relatif lebih aman?) untuk menarik investasi.  

4. SDM di sektor swasta


 

Pembangunan ekonomi di sektor swasta semakin dominan dalam perekonomian nasional dan
sudah tentu juga berlaku bagi pembangunan ekonomi regional. Sektor swasta merupakan
asset daerah dalam ikut memberikan sumbangan besar bagi upaya ke arah kemandirian
daerah khususnya sumber pendapatan asli daerah. Lebih jauh, sektor swasta perlu
ditingkatkan dan diberi pembinaan serious karena peranannya sebagai agent of
development, dengan memberikan peluang dan kemudahan berusaha, eliminasi hambatan
birokrasi, merampingkan proses perijinan sehingga tercipta iklim berusaha yang kondusif.
Pelaksana pemerintahan yang bersih (jujur dan bebas KKN) dan pelaku bisnis/pengusaha
yang memegang teguh etika bisnis merupakan prasyarat untuk memajukan sektor swasta. 

5. SDM middle managers yang berorientasi global

Pada milenium ketiga terdapat dua sumber daya utama yang intensitas pergerakannya
sangat cepat dan sulit untuk dibendung. Kedua sumber daya yang dimaksudkan adalah modal
dan tanaga kerja. Kita lihat kini bagaimana sektor keuangan negara kita tergoncang akibat
mobilisasi pasar uang yang demikian tinggi dinamikanya sehingga dalam waktu relatif sangat
singkat mengakibatkan gejolak nasional yang telah mengakibatkan berbagai kesulitan dalam
investasi untuk pembangunan dan bahkan telah menggoncang tatanan ekonomi kita.  Bukan
modal saja akan bebas bergerak tetapi juga akan terjadi peningkatan dalam mobilisasi
sumber daya manusia antar daerah dan negara. Tidak dapat dielakkan kebutuhan Sulut akan
tenaga berkualitas akan berpaling ke daerah-daerah yang sanggup memasoknya bahkan dari
luar negeri.  Misalnya, tenaga kerja middle managers Asia yang terdidik (a.l. MBAs) dengan
kemampuan plus dalam berbahasa Inggeris, Jepang  atau Mandarin dan ketersediaan
mereka untuk menerima gaji yang relatif lebih rendah dari tenaga kerja asing yang lain 
-merupakan tantangan bagi tenaga kerja kita di di daerah SULUT. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah rekuperatif- untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
agar tidak tertinggal dalam era otonomi ini.  Sejak sekarang SULUT membutuhkan tenaga
middle management yang mampu berkiprah global termasuk ahli hukum yang mampu
menginterpretasikan konvensi-konvensi perdagangan global dan melakukan negosiasi, tenaga
teknologi informasi (IT specialists), managers korporasi bisnis dan industri, tenaga middle
management yang proaktif dan progresif dalam mengantisipasi perubahan yang berlangsung
demikian cepat --serta teknokrat yang lebih berorientasi praksis dalam menciptakan
produk-produk teknologi yang menunjang produksi, informasi, komunikasi, transportasi
dll.

 
6. SDM IPTEK dan manajemen lingkungan hidup

Upaya peningkatan pendapatan daerah memerlukan pertimbangan yang mendalam tentang


daya dukung lingkungan, kelestarian sumber (resource sustainability), serta dampak-dampak
pengurasan sumber daya alam (SDA). Kekeliruan dapat berdampak “merusak rumah sendiri”,
bencana seperti punahnya sumber (“tragedy of the common”), bencana “alam” ulah manusia
(banjir, longsor), pencemaran yang berakibat fatal serta dampak-dampak lain yang
dirasakan generasi sekarang dan mendatang. SDM yang menguasai IPTEK lingkungan hidup
sangat diperlukan oleh perencana dan pelaksana pembangunan. Perlu diingat bahwa
peraturan dan kebijaksanaan nasional yang berlaku sekarang mengacu kepada beberapa
daerah saja, dan dibuat oleh perencana di pusat yang bukan tidak mungkin, kurang
menguasai keadaan spesifik Sulut. Sifat daratan Sulut yang rawan bencana, tidak seluas
daerah-daerah lain, mengisyaratkan perlunya penyiapan SDM lingkungan hidup yang
tangguh.

7. SDM pemerintahan

SDM pemerintahan telah banyak di singgung pada awal bahasan ini, terutama berkaitan
dengan UU28/99. Perlunya perampingan kepegawaian kantor-kantor pemerintah telah
teridentifikasi jauh sebelum adanya undang-undang otonomi, di sini perlu diingatkan kembali
dengan pertimbangan efektivitas dan efieiensi kerja mengingat anggaran yang terbatas
pada awal era otonomi ini. Perampingan struktur dan kepegawaian kantor-kantor pemerintah
yang memang akan berdampak negatif kepada situasi angkatan kerja, tapi jika tidak
ditangani sejak awal akan merupakan pemborosan yang menghambat “take off”
pembangunan otonomi daerah.

PENUTUP

Butir-butir strategis yang telah kami kemukakan di atas -menunjuk kepada satu pokok yaitu
pengembangan sumber daya manusia, khususnya penyiapan tenaga kerja yang mampu dan
handal dengan bermotivasikan semangat kerja keras, jujur, profesional  dan disiplin. 

Penyiapan tenaga kerja yang handal ini menuntut perubahan strategi/orientasi dalam
pengembangan program-program pendidikan dan latihan pada semua aras (level) baik pada
lembaga pendidikan yang sudah ada maupun yang direncanakan untuk diadakan di Sulut. 
Urgensi untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal dalam
semua sektor pembangunan pada aras middle management, sangat ditekankan. Khususnya,
penguasaan kiat-kiat manajemen dan IPTEK (infotek, biotek) untuk sektor-sektor swasta
seperti perdagangan, bisnis (termasuk agribisnis), industri, dan jasa. 

Sasaran pengembangan tenaga kerja kita sekarang ini terutama terarah kepada kelompok
usia muda (0 - 35 tahun) yang berperan dalam era abad 21. Dan apa yang kini direncanakan
mungkin baru akan dilaksanakan 2 - 5 tahun yang akan datang, dan memberikan hasilnya 4 -
10 tahun berikutnya.

Dan untuk melaksanakannya memerlukan perubahan dalam pandangan (visi) dan sikap
masyarakat dan aparatur pemerintah serta kerelaan dari para perencana dan pelaksana
pembangunan untuk dapat menerima paradigma baru otonomi mendukung pembangunan abad
21 itu. 

Mengubah sikap dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia tidaklah semudah dan
sesederhana memekikkan kata-kata “reformasi” dan “otonomi”. Mengubah kultur birokrasi dan
pemberdayaan masyarakat yang telah tertinggal selama lebih dari setengah abad memerlukan 
perencanaan, tahapan dan waktu. Dan prasyarat utama adalah adanya panutan bagi masyarakat.
Perubahan sikap birokrat dan seluru aparatur pemerintah daerah merupakan prasyarat bagi
pemberdayaan masyarakat. 

Akhirnya, pembangunan yang berdampak kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menuntut


perubahan sikap mental para pelaksananya, dengan menunjukkan sikap humble servant,
mengabdi untuk masyarakat yang dilayani.

Anda mungkin juga menyukai