Anda di halaman 1dari 2

telapak.

org

Tantangan Etis Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas,

Kebutuhan Masyarakat atau Keinginan Agen Perubah.

BAGIAN PERTAMA

I. Pendahuluan

Pengelolaan hutan di Indonesia diserahkan Pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta yang mengajukan
permohonan ijin pengelolaan. Pemerintah melalui Departemen Kehutanan akan memberikan hak konsesi untuk jangka
waktu tertentu. Hak Pengusaha Hutan atau lebih dikenal HPH melakukan penebangan dan penanaman berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku (UU Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967 dan segala turunannya).

Sistem pengelolaan hutan yang diserahkan ke swasta tidak efektif terhadap utamanya kesejateraan masyarakat
pinggiran hutan. Walau Pemerintah mengakui bahwa pendapatan devisa dari ekspor kayu adalah nomor dua setelah
minyak. Begitu juga kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh cara pengelolaan ini.
Setelah hampir 33 tahun banyak masyarakat baik yang berada langsung di pinggiran hutan atau masyarakat luas
lainnya, tidak mendapat keuntungan signifikan dari sistim pengelolaan ini. Alih-alih terjadi konflik dan ketidakpuasan dari
banyak pihak masyarakat.

Masyarakat pinggiran hutan memiliki sendiri sistem pengelolaan sumberdaya alamnya, yang kemudian lebih kita kenal
sebagai pengelolaan tradisional atau adat. Setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lokal
daerahnya.

Ketidakmampuan Pemerintah dalam mengenali keberadaan sistem-sistem pengelolaan ini, merupakan satu
penghancuran terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Hal ini diperparah dengan menerapkan satu sistem yang berlaku
general di semua wilayah Indonesia yang notabene terdiri dari suku dan adat yang berlainan.
Perumusan masalah dalam tulisan ini akan mengarah pada sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat
setempat. Benarkah pengelolaan hutan sebaiknya dilakukan masyarakat langsung? Apakah keinginan untuk
pengelolaan yang basisnya dilakukan masyarakat adalah kebutuhan masyarakat, atau keinginan agen perubahan ?

II. Berbagai Pendapat


II.1. Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Jeremy Bentham (1748-
1832) memulai dengan menilai sebuah kebijakan publik, menilai suatu kebijakan sosial, politik, ekonomi dan legal secara
moral. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan
obyektif dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau
sebaliknya kerugian bagi orang-orang terkait.

II.2. Etika lingkungan hidup


Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan
hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan
manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects),
sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. ‘Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika
tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia’ Albert Schweitzer.
Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adnya perluasan cara pandang dan perilaku moral
manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.

II.2.1. Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang
diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

II.2.2. Biosentrisme dan Ekosentrisme


Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan
begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang
http://www.telapak.org Powered by Joomla! Generated: 23 July, 2007, 09:10
telapak.org

antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas
keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas
yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).

http://www.telapak.org Powered by Joomla! Generated: 23 July, 2007, 09:10

Anda mungkin juga menyukai