1
Kata “Modern” berasal dari bahasa latin Modo yang memiliki arti “masa kini” atau
“mutakhir”. Lihat, David B. Guralnik (ed.), Webster’s New Dictionary of the American Language,
(New York: Warner Books, 1987), hal. 387.
2
Barangkali ini sangat terkait dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Yusuf
Qordhawi. Menurut Qordhawi, setiap peradaban diyakini memiliki “tubuh” dan “jiwa” seperti
halnya manusia, di mana "tubuh" peradaban tersimbolkan dalam keberhasilan-keberhasilan
materiil berupa bangunan, industri dan sarana-sarana lain, yang memiliki relasi kuat dengan
kemakmuran hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi manusia. Sedangkan "jiwa"
peradaban adalah seperangkat ideologi, konsep dan tata nilai kehidupan, moralitas serta tradisi
yang tercermin dalam perilaku individu-individu maupun perilaku kelompok dalam setiap
interaksi kehidupannya. Maka dengan demikian, lanjut Qordhawi, setiap peradaban tentu akan
membawa dampak langsung bagi seluruh dimensi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat
positif maupun dampak yang bersifat negatif. Lihat, Yusuf al-Qardhawi, al-Islam Khadaratul
Ghad (Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1995), hal. 19.
3
Dengan kata lain, ajaran Islam --bagi sekalangan penganutnya-- adalah sebuah harga
mati, yang sempurna dan komprehensif, paripurna, bersifat final, mengikat dan telah mengatur
sekaligus menjawab seluruh persoalan yang dihadapi oleh manusia, termasuk persoalan-persoalan
yang terkait dengan politik-kenegaraan. Keyakinan tersebut pada umunya dilandaskan atas nilai-
nilai teologis-doktrinal, di mana –sebagian-- umat Islam sangat meyakini bahwa syari’at, dengan
segenap perangkat dan tata nilainya, merupakan manifestasi kongkrit kehendak-kehendak Allah
(al-Syari’) terhadap manusia --dan alam semesta—di muka bumi ini, yang berarti bahwa segala
maksud penciptaan makhluk, tata relasi antara sang kholiq –pencipta-- dan makhluk, serta tugas-
tugas dan pakem aturan yang harus dijalankan manusia –sebagai al-Ahsan al-Taqwim--, secara
sempurna telah tertuang di dalamnya. Parahnya lagi, sebagian umat Islam –umumnya biasa disebut
sebagai Islam kanan--, berpendapat bahwa sepeninggalan Rasulullah SAW, syari’at –yang
tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis--telah bersifat paripurna dan bahkan tertutup peluang untuk
melakukan interpretasi ulang terhadapnya. Hal inilah yang sering disebut-sebut oleh beberapa
kalangan --yang apriori terhadap pendapat tersebut di atas-- sebagai biang keladi atas timbulnya
kestatisan dan kejumudan ajaran Islam, yang ujung-ujungnya telah membuat eksistensi Islam
kehilangan relevansinya, dalam menjawab tuntutan-tuntutan jaman yang semakin berkembang.
Menurut kalangan yang umumnya dimotori tokoh-tokoh Islam beraliran liberal ini, syari’at Islam
pada hakikatnya adalah sebuah fenomena interaksi antara teks dengan realitas sejarah umat Islam.
Karenanya, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak harus dikonsumsi apa adanya, melainkan baru
dikonsumsi setelah teks-teks tersebut berinteraksi secara nyata dengan kehidupan manusia itu
sendiri, yang berarti bahwa syari’at Islam --dalam tugasnya menjawab persoalan-persoalan
kehidupan—tidak sepenuhnya hanya mengandalkan teks-teks suci, melainkan harus bersifat
kontekstual. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam; Pergumulan Teks dan realitas,
1
2
fakta bahwa doktrin Islam ternyata belum mampu menjadi sebuah ideologi yang
sanggup mengantarkan umatnya menuju gerbang kemapanan, khususnya dalam
wilayah perpolitikan dan kenegaraan.4
Realitas di atas, sungguh merupakan titik balik dari perkiraan-perkiraan
yang sebelumnya telah dibuat oleh banyak pengamat. Pada sekitar tahun 60-an
misalnya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa Islam akan tampil menjadi
salah satu kekuatan politik yang sangat penting di panggung peradaban dunia,5
dengan mengemukakan prediksi akan munculnya gelombang 'kebangkitan' Islam,
sebagai gerakan politik yang semakin go public, yang berwatak semakin inklusif.6
Tentu ramalan tersebut tidak sepenuhnya salah, walaupun juga tidak sepenuhnya
terbukti, ketika fakta yang terjadi kemudian berkata lain. Setidaknya, hal ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa negara-negara yang menggunakan syari’at Islam
sebagai sistem politiknya masih dapat dihitung dengan jari, dan kalaupun ada,
tentu dengan model dan bentuk yang saling berbeda. Ini –sekali lagi--, menjadi
salah satu bukti bahwa ajaran Islam –dan agama apapun-- masih belum –
dipercayai--mampu menjadi sumber solusi yang otoritatif dan praktis dalam
mengatasi semua problem kehidupan –termasuk politik--, saat ia dipaksa menjadi
sebuah aturan yang bersifat taken for granted, sebagaimana pemahaman sebagian
kalangan penganutnya.7
Sementara di bagian lain, muncul pula fenomena yang tak kalah
menariknya, yang terjadi dalam kancah global percaturan politik dunia.
Kehancuran ideologi komunis-sosialis, telah menyisakan demokrasi --di Barat--
sebagai satu-satunya peradaban dan ideologi politik yang dewasa ini masih diakui
eksistensinya. Bahkan, kemudian banyak orang yang menyatakan bahwa
demokrasilah satu-satunya sistem yang terbaik dan telah terbukti efektif
mengatasi problem-problem politik suatu negara.8 Hanya saja, ketiadaan ideal
(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 107. Sebagai tambahan wacana, lihat juga, R. Hrair Dekmejian,
Islam In Revolution; Fundamentalism in the Arab World (New York: Syracuse University Press,
1985), hal. 3.
7
Dalam hal ini, ada baiknya disimak juga pendapat yang dikemukakan oleh Akh.
Minhaji, yang menyatakan bahwa belakangan ini justru ada kecenderungan yang diperlihatkan
oleh beberapa negara muslim untuk kembali mendasarkan segala aspek kehidupan termasuk
politik, pada ketentuan-ketentuan syar’i dan hukum Islam. Penyebabnya, menurut Minhaji
diantaranya adalah mereka merasa bahwa keterbelakangan yang diderita oleh sebagian umat
muslim selama ini disebabkan oleh terlalu jauhnya mereka meninggalkan ajaran-ajaran hukum
Islam yang sebenarnya. Yang lebih parah lagi, lanjut Minhaji, mereka yakni bahwa pintu ijtihad
telah tertutup rapat. Penyebab lainnya adalah sebagaian kaum muslim berpegang pada konsep la
ijtihada fi madzhabi fihi al-nash –tidak ada ijtihad pada hal-hal yang telah dicakup oleh al-Qur'an
dan Hadis--. Artinya, umat Islam hanya diperbolehkan memikirkan hal-hal yang belum dicakup
secara eksplisit oleh ke-duanya, dan menerima apa adanya segala sesuatu yang telah dicakum oleh
ke-duanya. Lihat, Akh. Minhaji, “Hak Asasi Manusia Dalam hukum Islam; Ijtihad Baru Tentang
Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi Studi Islam; Teori & Metodologi
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal. 336.
8
Argumentasi ini banyak dikemukakan, setelah melihat adanya kenyataan runtuhnya
negara-negara yang menganut ideologi politik lain. Uni Soviet misalnya, yang menganut ideologi
komunis-sosialis, yang pada akhirnya runtuh dan tercerai berai menjadi beberapa negara kecil.
Banyak kalangan menilai, bahwa hancurnya Soviet tersebut akibat sistem politiknya yang tidak
lagi mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Untuk itu, kalangan ini
kemudian menawarkan bahwa persoalan-persoalan kenegaraan hanya akan bisa teratasi dengan
penerapan demokrasi, yang meniscayakan keterlibatan langsung dari rakyat. Namun, menurut
4
14
Pada umumnya, kalangan ini berangkat dari komunitas Islam beraliran syi’ah, yang
terkenal berwatak literal, elitis, jumud, dan tertutup terhadap perubahan. Sepanjang sejarah Islam,
pendapat kelompok ini sering kali berhadapan secara diametral dengan kalangan Islam sunniy,
yang cenderung berwatak lebih terbuka, egaliter dan adaptatif terhadap perubahan.
15
Namun menurut hemat penulis, pandangan-pandangan kaum ini cenderung
tendensius, sebab penolakan mereka terhadap sistem demokrasi bukanlah semata-mata karena
mereka melihat adanya kelemahan-kelemahan dalam sistem tersebut –khususnya bila
dibandingkan dengan ajaran Islam--, melainkan lebih karena memandang bahwa demokrasi adalah
budaya –bagian—peradaban Barat, yang selama ini sangat mereka benci. Mereka terlanjur
dihantui stigma bahwa peradaban dan –juga—negeri Barat adalah ancaman terbesar bagi
eksistensi Islam, dan karenanya sesuatu yang berbau Barat harus ditolak dan dilawan secara
radikal.
7
dengan pengertian rakyat dewasa ini?, bila pengertiannya berbeda, tentu konsep
demokrasi Yunani kuno itu dengan sendirinya menjadi sesuatu yang bersifat
spesifik.19 Bila ditelusuri lebih lanjut, sistem demokrasi yang diaplikasikan di
Yunani kuno tersebut, pertama kali dikembangkan oleh seorang negarawan
Athena bernama Princles, dengan menganut beberapa prinsip pokok yakni
kesetaraan warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap hukum dan
keadilan, serta kebajikan bersama (civic virtue). Di masa Princles inilah model
demokrasi langsung (direct) dapat mulai diterapkan.20 Namun, demokrasi yang
berkembang di Yunani ini dipandang –khususnya oleh kaum agamawan—sebagai
sistem yang tidak terikat oleh nilai-nilai spiritualitas agama, dan karenanya
dipandang amat sekuler, sebab segala sesuatu ditentukan oleh rakyat, dan sama
sekali tidak ada campur tangan Tuhan.21
Pada tahap berikutnya, gagasan demokrasi ini juga berkembang di Barat,
namun dalam model yang agak berbeda. Bila pada masa sebelumnya demokrasi
cenderung berwatak sekuler, pada masa ini demokrasi berpadu dengan nilai-nilai
agama. Di mulai sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi, gereja-gereja
19
Aristoteles merumuskan bahwa konsep rakyat pada masa Yunani kuno itu berbeda
dengan perngertian rakyat di masa kini. Aristoteles mengkategorikan rakyat sebagai kelompok
sosial yang disebutnya dengan istilah warga negara (citizen), di mana mereka merupakan
kelompok sosial minoritas dalam negara kota (polis) yang memiliki hak-hak istimewa dalam
bidang politik. Warga negara ini memiliki kesempatan yang sangat luas untuk berpartisipasi aktif
dalam proses pembuatan kebijakan negara. Dengan kata lain mereka adalah penentu nasib negara
kota tersebut. padahal mayoritas penduduk Yunani pada masa itu adalah budak dan pedagang-
pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani. Namun mereka tidak memiliki hak-hak
istimewa seperti kaum warga negara. Sebab mereka ini adalah kelompok sosial kelas dua dalam
struktur negara demokratis Yunani kuno. Pada titik ini dapat dilihat bahwa konsep demokrasi pada
masa Yunani kuno tersebut tidak memiliki kesamaan makna dengan pengertian demokrasi yang
dipahami dewasa ini. Lihat, J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1988), hal. 41.
20
Model demokrasi langsung ini dapat diterapkan pada masa ini karena jumlah
penduduk negara-kota Yunani pada waktu itu tidak lebih dari 300.000 jiwa, wilayahnyapun tidak
begitu luas, dan struktur politiknya juga masih sangat sederhana. Selain itu, penduduk yang terlibat
langsung hanya kelompok sosial warga negara, yang merupakan penduduk minoritas di negara itu.
Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran..., hal. 231. Namun, beberapa pemikir menganggap bahwa
sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu,
Jean Jacques Rousseau misalnya –dan beberapa filosof lain--, menyempurnakannya dengan teori
demokrasi perwakilan, yakni sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah.
21
Sebab dalam sistem politik yang sekularistik, agama hanya menjadi “inspirasi moral
dan alat penyembuhan”, dan kehendak akal manusialah yang menjadi penentu semua keputusan
--the will of the people--. Dengan demikian, agama tidak memiliki peran apapun. Lihat, Harvey
Cox, Religion in the Secular City, (New York : Simon and Schuster, 1984), hal. 184.
9
Kristen mulai memasuki arena kekuasaan politik. Hal ini ditandai dengan
penggabungan kekuasaan negara dan urusan gereja oleh Kaisar Konstantin
--penguasa Romawi yang pertama kali memeluk agama Kristen--, yang membuat
pihak gereja juga memiliki peranan besar dalam setiap pengambilan keputusan
politik. Seiring dengan itu, sejak tahun 476 M kerajaan-kerajaan lokal juga mulai
bermunculan di Eropa. Seperti halnya Romawi, gereja pun turut menjadi penentu
dalam sepak-terjang penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut, sedangkan para
bangsawan dan politikus --yang umumnya dari keluarga kaya--, hanya menjadi
boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Hal ini kemudian memunculkan
problem, sebab ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan. Karena itu,
pihak gereja kemudian membuat berbagai fatwa, sesuai dengan kemauan dan
kepentingan mereka sendiri, yang kemudian diklaim sebagai wewenang yang
diterimanya dari Tuhan.22
Keadaan di atas, membuat gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi,
hampir dalam setiap urusan. Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya
pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan Tuhan, di mana hasil
“komunikasi” itu kemudian diajukan kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan
sebagai keputusan politik. Dalam hal ini, Eropa juga memiliki sejarah yang cukup
berdarah, di mana ribuan wanita dibunuh, saat gereja mengeluarkan fatwa yang
mencap perempuan sebagai tukang sihir,23 dan kaum ilmuwan yang tidak setuju
dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan dibunuh, seperti yang
22
Tidak aneh jika fatwa-fatwa inilah yang kemudian menjadikan sosok kerajaan-
kerajaan Eropa saat itu mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum
mengenal agama. Hal inilah yang juga menjadi fokus dari kritik Karl Marx terhadap agama.
Menurut Marx, para kaum gereja yang beginilah yang akan menyebabkan kaum proletar semakin
mengalami ketertindasan, dan mereka akan semakin kehilangan martabat kemanusiaannya, sebab
fatwa-fatwa itu hanya menina bobokkan para kaum tertindas dengan janji-janji surgawai yang
palsu, demi untuk kelangsungan kepentingan pihak gereja yang berkolaborasi dengan penguasa.
Untuk lebih lengkapnya lihat, O Hashem, Marxisme dan Agama, (Bandung: Pustaka, 1984), hal.
17. lihat juga, Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis, Ke
Perselisihan Revisionis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999).
23
Konon, fondasi London Bridge dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan
tulang-belulang perawan. Lihat Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan Biologis Umat
Manusia; Etika, Gender, Teknologi, (Bandung : Mizan, 1992), hal. 43.
10
menimpa diri Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus. Tak hanya itu, tanah milik
rakyatpun dirampas untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja.24
Kelaliman gereja --yang difasilitasi oleh penguasa-- tersebut, dan
ditambah dengan kekalahan telak Pasukan Salib atas Pasukan Khilafah Islamiyah,
serta munculnya kegeraman para pemikir Eropa terhadap gereja, lantas
menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14,25 yang puncaknya
adalah tahun 1618, saat meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa, antara para
pendukung dan penentang supremasi gereja.26 Perang yang berlangsung selama 30
tahun tersebut, pada akhirnya menghabiskan sepertiga penduduk serta
meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Akibat perang ini,
para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok: (1) Yang mempelajari filsafat Yunani,
disebut Naturalis, yang meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan
semua persoalan; (2) Yang berpihak pada gereja, disebut Realis, yang meyakini
ajaran gereja sebagai kebenaran. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan
oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran
peran agama –Kristen-- dari kehidupan negara, yang kelak dikenal dengan istilah
sekularisme.27 Kenyataan ini benar-benar menggembirakan hati para filosof, sebab
tidak akan ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Begitu
pula dengan wilayah Politik dan segala urusan duniawi, telah menjadi sangat
bebas nilai karena tidak ada satu pun yang membatasi, tidak nilai agama dan tidak
24
Bahkan orang yang hendak mati pun tak luput dari pemerasan yang dilakukan pihak
gereja. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan terbesar gereja, yang berasal dari penjualan
Kunci Surga --Keys to Heaven--, yaitu surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak
meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-
dosanya telah diampuni dan telah memiliki tiket untuk memasuki surga. Lihat, Ibid., hal. 43.
25
Yang juga menjadi sebab munculnya era rasionalisme ini adalah gencarnya
penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa sejak abad ke-10 yang
berpusat di Andalusia –Spanyol--. Kegemilangan peradaban Islam telah memberi inspirasi kepada
para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi seluruh daratan Eropa saat itu,
yang dikenal sebagai era Dark Ages--Masa Kegelapan--. Lihat, Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah
al-Fikr al-‘Arabi al-Islam, Terj. Hasyim Shalih (Beirut: Markaz al-Luna' al-Qaumi, 1986), hal.
52.
26
Umumnya para pendukung gereja adalah kaum agamawan dan kaum awam,
sedangkan para penentangnya adalah kelompok cendekiawan. Lihat, Ibid., 52.
27
Masa ini kemudian di tahbiskan sebagai awal masa pencerahan di Eropa yakni
dengan bangkitnya kembali aliran rasionalisme. Masa ini jugalah yang menandai dimulainya
proses modernisasi peradaban. Lihat, Budi Hardiman, F., Kritik Ideologi, (Yogyakarta : Kanisius,
1990), hal. 46.
11
pula nilai moral. Masa ini selanjutnya dikenal sebagai era pencerahan
(renaissance), di mana gerakan ini telah memberikan fondasi yang kokoh bagi
munculnya gagasan-gagasan demokrasi.28 Beberapa pemikir antara lain,
Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh
yang secara khusus mulai mengembangkan teori-teori demokrasi pada masa ini,
yang ide-ide dan gagasan-gagasannya kelak menjadi landasan bagi penciptaan
sistem demokrasi. Dari Rousseau dan Locke, muncul teori tentang teori kontrak
sosial,29 sementara Montesquieu merumuskan tentang Trias politika,30 yang kedua
teori tersebut menjadi ruh utama sistem demokrasi yang dipraktekkan di beberapa
negara seperti, Amerika Serikat, Perancis dan beberapa negara lain termasuk
Indonesia.
Dari sini kemudian dapat disimpulkan, bahwa bila ditinjau dari sudut
sejarah, bentuk-bentuk demokrasi adalah, pertama, “demokrasi langsung”. Ke-
dua adalah “demokrasi tidak langsung” yakni model demokrasi melalui
perwakilan rakyat atau biasa disebut dengan demokrasi parlementer. Demokrasi
jenis ini timbul sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk, dan semakin
luasnya wilayah sebuah negara. Ciri-ciri model demokrasi ini di antaranya:
terdapatnya mekanisme voting, adanya oposisi, dapat timbul mosi tidak percaya,
membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk mengungkapkan aspirasi
melalui demonstrasi dan munculnya sistem multi partai. Model ini juga sering
disebut dengan istilah demokrasi liberal.
Selain dua model itu ada pula yang disebut dengan “demokrasi rakyat”
yakni demokrasi yang didasari paham sosialisme –komunisme – marxisme.
28
Menurut Masykuri Abdillah, Namun, ide-ide demokrasi modern berkembang pesat
pada masa ini, seiring dengan munculnya tradisi-tradisi abad pencerahan. Tradisi tersebut
diantaranya berupa ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccola Machiavelli, ide negara
kontrak oleh Thomas Hobbes, dan ide-ide lain, yang menjadi jiwa dari demokrasi. Lihat, Masykuri
Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999), hal. 72.
29
Gagasan dasar teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Rousseau ini adalah,
pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang bersifat taken for granted dan berasal dari
Tuhan, melainkan merupakan sebuah produk perjanjian sosial antara individu. Kedua, bahwa
dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari dari alam, yang mengandung prinsip-prinsip keadilan
universal, yang berlaku untuk semua kalangan tanpa terkecuali –kesetaraan--. Lihat, Jean Jacques
Rousseau, Kontrak Sosial, terj. Sumardjo (Jakarta: Erlangga, 1986), hal. 22.
30
Pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Menurut Montesquieu, bila kekuasaan hanya dipegang oleh sebuah institusi saja, maka akan
mudah terjadi penyelewengan dan otoritarianisme. Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran..., hal. 231.
12
Demokrasi ini memiliki slogan demi rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, serta sama rata, sama rasa, dengan pemerintahan dipegang oleh sebagian
kecil penguasa. Ciri-cirinya ; menonjolkan sistem otoriter, pemusatan kekuasaan
di tangan penguasa tertinggi, dan adanya partai tunggal. Model demokrasi yang
lain adalah “demokrasi pancasila” yaitu demokrasi yang dijiwai oleh falsafah
hidup bangsa Indonesia –pancasila--. Ciri utamanya adalah Musyawarah mufakat
dengan prinsip keseimbangan kepentingan.31
Sampai detik ini, demokrasi menjadi sebuah konsep politik kenegaraan
yang banyak diagungkan, sebab dirasa merupakan sistem yang memiliki resiko
paling minimum, namun paling efektif dalam menjawab persoalan-persoalan yang
muncul dalam ranah politik kenegaraan. Beberapa poin penting demokrasi
diantaranya: (1) Adanya pengakuan kesetaraan seluruh individu. (2) Nilai-nilai
yang melekat pada individu berada di atas nilai-nilai yang melekat pada negara. (3)
Pemerintah merupakan pelayan masyarakat. (4) Ada aturan-aturan hukum. (5) Ada
pengakuan atas nalar, eksperimentasi dan pengalaman. (6) Ada pengakuan
mayoritas atas hak-hak minoritas. (7) Ada prosedur dan mekanisme demokratis
sebagai cara mencapai tujuan bersama. 32
Berdasar prinsip-prinsip di atas, kiranya dapat diterima bahwa demokrasi
pada akhirnya mengandaikan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis.
Dengan demikian, setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan
kemampuan yang relatif sama dan seimbang untuk memperjuangkan kepentingan
politisnya, tanpa ada pihak lain atau sesuatu halpun yang dapat membatasi. Prinsip
kesetaraan inilah yang kemudian dianggap sebagai basis prinsip demokrasi. 33
31
Sri Sumantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasinya, (Bandung : Alumni, 1969),
hal. 25. Lihat juga, al-Zarkasy, al-Siyasah al-Adwayan, (Damaskus : Mujamma’ al-Kutub, 1995),
hal. 102-103. Bandingkan dengan, M. Topan, Demokrasi Pancasila, Analisa Konsepsional
Aplikatif, (Jakarta : Sinar Grafika, 1989), hal. 30-31.
32
Mahmoud Mohamed Taha, Syari'ah Demokratik, terj. Anom S. Putra (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hal. 232-233.
33
Dapat diartikan bahwa penekanan dari demokrasi adalah bahwa rakyat seharusnya
menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang
bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat
menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi
wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil
rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara
mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk
13
dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable)
menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang
cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah
perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Lihat,
John Dunn (ed.), Democracy The Unfinished Journey (New York: Oxford University Press, 1992),
hal. 73, 115.
34
Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), hal. 188. Lihat juga, Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), hal. 4-6.
35
Ini sesuai dengan pernyataan nabi dalam sebuah hadis, yang menyatakan bahwa
terutusnya dirinya mengemban sebuah misi utama yakni pembenahan akhlak dan moral.
36
W. Montgomery Watt, Political...., hal. 3-30.
14
37
Walaupun hubungan antara Islam dan negara itu tidak dapat lantas dipahami sebagai
satu pola hubungan yang bersifat statis dan kaku, dalam arti keinginan membentuk sebuah negara
Islam, sekuat keinginan menjalankan ajaran agama Islam itu sendiri. Pendapat yang kaku seputar
hal ini banyak dikemukakan oleh kalangan Islam garis keras –fundamentalis--, yang menyatakan
bahwa tanpa terbentuknya negara Islam, mustahil ajaran Islam dapat dijalankan secara sempurna.
Sebagai penyeimbang, muncul pula pendapat dari kaum liberal Muslim yang menyatakan bahwa
walaupun dari segi historis dapat ditemukan adanya negara Islam dalam arti sebagaimana yang
dialami oleh Nabi, namun hal itu tidak dapat dimutlakkan bahwa tatanan negara Islam itu harus
diwujudkan dalam masa sekarang ini. Menurut kalangan ini, untuk menjalankan ajaran Islam,
negara Islam tidak mutlak harus didirikan. Lihat, Salim al-Bahnasawi, Asy-Syari’ah al-Muftara
‘Alaiha (Kairo: Dar al-Wafa al-Manshurah, 1995), hal 171. Sebagai tambahan, saat ini relatif
banyak literatur yang membahas soal interpretasi terhadap suatu negara Islam (Islamic state).
Sebagai contoh lihat pendapat dalam, Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1994), hal. 3-4.
38
Gagasan tentang tidak adanya negara Islam ini diantaranya disampaikan oleh Amien
Rais yang mendapat dukungan dari Mohamad Roem. Lihat, Agus Edi Santoso (ed.), Tidak Ada
Negara Islam : Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1997), hal. 1-11.
39
Karena Al-Qur'an dan hadis –sebagai sumber yurisprudensi Islam-- sendiri tidak
menyebutkan dan mengatur secara jelas soal negara Islam ini, melainkan hanya mengutarakan
semangat dan nilai-nilai interaksi semata.
40
M. Imam Aziz, (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan, (Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 63-66.
15
41
Teosentrisme adalah aliran yang memiliki pandangan bahwa Tuhan merupakan sentra
pemikiran kefilsafatan. Kebalikannya adalah Antroposentrisme, yang berpandangan bahwa
manusialah yang merupakan pusat pemikiran kefilsafatan. Theosentrisme membentuk manusia
yang hanya mengarahkan orientasi dan dasar hidupnya bagi pemenuhan hidup kerohania dan
pencapaian keselematan serta ketenangan jiwa belaka. Sedangkan Antroposentrisme mengarahkan
manusia pada usaha-usaha pemenuhan kenikmatan dan kesenangan duniawi semata secara
sporadis. Lihat, Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta : Kanisius, 1988),
cet. IV, hal. 5. Bandingkan dengan, I Bambang Sugiharto, Postmodernisme ; Tantangan Bagi
Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hal. 58. Lihat juga, Amsal Bahtiar, Filsafat Agama,
(Jakarta : Logos, 1990), hal. 13
42
Prinsip ini juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang
dilakukan oleh Nabi sendiri. Kaidah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena juga terbuka
bagi kelompok non-muslim. Lihat, Bernard Lewis, Bahasa..., hal. 194.
43
Di sini prinsip untuk demokrasi dipahami secara positif, yakni sebagai prinsip untuk
membangun iklim yang kondusif bagi hidup komunitas.
44
Keadilan yang dimaksud oleh kaidah ini mencakup keadilan individu, sosial
(distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice), dan keadilan dalam seluruh
aspek..
16
bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup.45 Kaidah ini
merupakan satu elemen yang tidak dapat dihindari oleh demokrasi, yang tidak
mengakomodasi kecenderungan status quo,46 sebab demokrasi menuntut suatu
perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia, yang
berwatak selalu ingin mengadakan perbaikan.
Namun sekali lagi, dari sekian banyak kaidah syari'ah yang telah
disebutkan di atas, tentu saja tidak ada satu pun yang menyebutkan secara
eksplisit istilah demokrasi, dan dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan
menjadi semacam rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible
dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya
kontak dengan arus perkembangan, sembari tetap memegang teguh nilai-nilai
ajaran. Maka, pada titik ini, diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan
politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistem peradaban yang diakui
secara universal menjadi cita-cita.
45
Kuntowijoyo, Identitas..., hal. 11.
46
John Dunn (ed.), Democracy..., hal. 1.
17
b. Demokrasi Islamiah
Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak
memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama, walau compatible
dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi
Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna
kepada demokrasi berarti menginklusivkan demokrasi dalam Islam atau
lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi, sebab
kenyataannya, Islam juga memiliki kaidah-kaidah yang senafas dengan
nilai-nilai demokrasi. Di sini dapat dipahami pula bahwa syari'ah
demokratis lantas menjadi deep driving force yang menentukan pola
tingkah laku manusia. Pada titik ini, demokrasi tidak dipandang sebagai
48
Maulana Muhammad Ali, Islamologi: Dinul Islam, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,
1996), hal. 106.
49
Ahmad Suaedy, (ed.), Spiritualitas Baru ; Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta :
Penerbit Institut Dian/Interfidei, 1994), hal. 271-273.
50
Ibid., hal. 273.
19
satu 'budaya' luar --Barat misalnya--, tetapi memang secara internal ada
dalam Islam sehingga harus dieksternalisasikan sesuai syari'ah Islam.
Dengan pemahaman yang demikian, demokrasi tidak lagi menjadi kutub
yang berdiri secara diametral dan dihadapi oleh Islam, sehingga tidak ada
konflik antara keduanya. Kalau toh ada konflik, hal itu hanya akan
memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan
politik lain yang menjadi lawannya,51 yakni medium dalam pergulatan
interpretasi antara aspek-aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan
politik yang lain, yang memang sama-sama memiliki hak untuk
menginterpretasikan demokrasi.
Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya letak konflik bukan
antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik
lain. Islam dan demokrasi, biar bagaimanapun, dalam batas catatan kedua
tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible
dengan demokrasi dan sebaliknya, syari'ah demokratis memberi legitimasi
pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang Islamiah.
Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan
ciri-ciri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar
achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang
sama, pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis telah
menjadi bukti yang menunjukkan eksistensi Islam sebagai kekuatan politik
yang memiliki sistem dan tata nilai ajaran yang luar biasa pada masanya.52
-oOo-
51
Dalam sejarah Indonesia dapatlah dilihat bagaimana konflik muncul antara militer dan
Islam. Kelompok militer cenderung melihat Islam sebagai kekuatan politik yang mengancam
kesatuan bangsa Indonesia. Lihat, Douglas E. Ramage, Politic..... khususnya sub-bab "The armed
forces as defenders of Pancasila".
52
Nurcholish Madjid, Islam ; Agama.., hal.188-189
i