Anda di halaman 1dari 20

A.

Islam Politik dan Demokrasi: Sebuah Pengantar


Telaah atas eksistensi Islam dalam kaitannya dengan politik kenegaraan,
memang terasa sangat dilematis, terlebih di era modern1 seperti sekarang ini, di
mana peradaban manusia sudah semakin mengglobal dan nilai-nilai humanisme
nyaris terpinggirkan.2 Dilema tersebut di antaranya nampak secara nyata pada
realitas bahwa di satu sisi, Islam sebagai sebuah doktrin sangat diyakini oleh
sekalangan umatnya memiliki sebuah kesempurnaan dan kelengkapan ajaran,
yang –juga diyakini—sanggup mengatasi semua problem kemanusiaan di muka
bumi ini.3 Namun di sisi lain, realitas yang berjalan juga memberikan gambaran

1
Kata “Modern” berasal dari bahasa latin Modo yang memiliki arti “masa kini” atau
“mutakhir”. Lihat, David B. Guralnik (ed.), Webster’s New Dictionary of the American Language,
(New York: Warner Books, 1987), hal. 387.
2
Barangkali ini sangat terkait dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Yusuf
Qordhawi. Menurut Qordhawi, setiap peradaban diyakini memiliki “tubuh” dan “jiwa” seperti
halnya manusia, di mana "tubuh" peradaban tersimbolkan dalam keberhasilan-keberhasilan
materiil berupa bangunan, industri dan sarana-sarana lain, yang memiliki relasi kuat dengan
kemakmuran hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi manusia. Sedangkan "jiwa"
peradaban adalah seperangkat ideologi, konsep dan tata nilai kehidupan, moralitas serta tradisi
yang tercermin dalam perilaku individu-individu maupun perilaku kelompok dalam setiap
interaksi kehidupannya. Maka dengan demikian, lanjut Qordhawi, setiap peradaban tentu akan
membawa dampak langsung bagi seluruh dimensi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat
positif maupun dampak yang bersifat negatif. Lihat, Yusuf al-Qardhawi, al-Islam Khadaratul
Ghad (Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1995), hal. 19.
3
Dengan kata lain, ajaran Islam --bagi sekalangan penganutnya-- adalah sebuah harga
mati, yang sempurna dan komprehensif, paripurna, bersifat final, mengikat dan telah mengatur
sekaligus menjawab seluruh persoalan yang dihadapi oleh manusia, termasuk persoalan-persoalan
yang terkait dengan politik-kenegaraan. Keyakinan tersebut pada umunya dilandaskan atas nilai-
nilai teologis-doktrinal, di mana –sebagian-- umat Islam sangat meyakini bahwa syari’at, dengan
segenap perangkat dan tata nilainya, merupakan manifestasi kongkrit kehendak-kehendak Allah
(al-Syari’) terhadap manusia --dan alam semesta—di muka bumi ini, yang berarti bahwa segala
maksud penciptaan makhluk, tata relasi antara sang kholiq –pencipta-- dan makhluk, serta tugas-
tugas dan pakem aturan yang harus dijalankan manusia –sebagai al-Ahsan al-Taqwim--, secara
sempurna telah tertuang di dalamnya. Parahnya lagi, sebagian umat Islam –umumnya biasa disebut
sebagai Islam kanan--, berpendapat bahwa sepeninggalan Rasulullah SAW, syari’at –yang
tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis--telah bersifat paripurna dan bahkan tertutup peluang untuk
melakukan interpretasi ulang terhadapnya. Hal inilah yang sering disebut-sebut oleh beberapa
kalangan --yang apriori terhadap pendapat tersebut di atas-- sebagai biang keladi atas timbulnya
kestatisan dan kejumudan ajaran Islam, yang ujung-ujungnya telah membuat eksistensi Islam
kehilangan relevansinya, dalam menjawab tuntutan-tuntutan jaman yang semakin berkembang.
Menurut kalangan yang umumnya dimotori tokoh-tokoh Islam beraliran liberal ini, syari’at Islam
pada hakikatnya adalah sebuah fenomena interaksi antara teks dengan realitas sejarah umat Islam.
Karenanya, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak harus dikonsumsi apa adanya, melainkan baru
dikonsumsi setelah teks-teks tersebut berinteraksi secara nyata dengan kehidupan manusia itu
sendiri, yang berarti bahwa syari’at Islam --dalam tugasnya menjawab persoalan-persoalan
kehidupan—tidak sepenuhnya hanya mengandalkan teks-teks suci, melainkan harus bersifat
kontekstual. Lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam; Pergumulan Teks dan realitas,

1
2

fakta bahwa doktrin Islam ternyata belum mampu menjadi sebuah ideologi yang
sanggup mengantarkan umatnya menuju gerbang kemapanan, khususnya dalam
wilayah perpolitikan dan kenegaraan.4
Realitas di atas, sungguh merupakan titik balik dari perkiraan-perkiraan
yang sebelumnya telah dibuat oleh banyak pengamat. Pada sekitar tahun 60-an
misalnya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa Islam akan tampil menjadi
salah satu kekuatan politik yang sangat penting di panggung peradaban dunia,5
dengan mengemukakan prediksi akan munculnya gelombang 'kebangkitan' Islam,
sebagai gerakan politik yang semakin go public, yang berwatak semakin inklusif.6

terj. Abdul Mustaqim (Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003), hal. xiii.


4
Hal ini ditandai dengan lontaran pemikiran Robert N. Bellah yang menyentakkan
kalangan Islam. Bellah mengemukakan bahwa problem modernisasi yang terbesar bagi kalangan
umat Islam bukanlah pada; apakah ia dapat memberikan kontribusi bagi modernisasi politik,
keluarga dan personal, melainkan pada; apakah ia dapat secara jitu menemukan solusi atas
kebutuhan agama bagi pemeluknya dalam era modern seperti saat ini. Dengan kata lain,
pernyataan Bellah tersebut adalah sindiran terhadap kalangan agamawan yang selama ini selalu
berargumen bahwa agama yang dianutnya telah memiliki kesempurnaan, yang sanggup
memberikan jawaban atas tantangan dan kebutuhan manusia. Lihat, Robert N. Bellah, Beyond
Belief ; Essay on Religion in a Post-Traditional World, (New York : Harper & Row Publisher,
1986), hal. 13. Hal inilah yang rupanya menjadi kegusaran Abdurrahman Wahid. Menurut Wahid,
di kalangan umat Islam telah muncul upaya-upaya untuk melakukan labelisasi agama dalam segala
aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik. Padahal, lanjut Wahid, formalisasi aturan
syari’at dalam kehidupan sehari-hari seharusnya dengan mempertimbangkan aspek lokalitas
budaya, yang dapat diperoleh melalui proses ijtihad, sebab Islam sendiri tidak pernah memiliki
sebuah master plan tentang bagaimana seharusnya sebuah negara, melainkan hanya mengatur dan
memuat nilai-nilai interaksi sosial-humanitas semata, yang tentu untuk mengaplikasikannya
dibutuhkan ijtihad, dan bukannya bersikap taken for granted. Lihat, Abdurrahman Wahid,
“Hindari Negara Berasumsi Agama”, Makalah seminar “Negara Islam Indonesia; Mungkinkah?”,
tanggal 28 Nopember 1999, di PP. “Mamba’ul-Ma’arif” Denanyar-Jombang. Atau lihat juga,
Abdurrahman Wahid, Islam Negara dan Demokrasi (Jakarta: Erlangga, 1999).
5
W. Montgomery Watt, Islamical Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1968), hal. Kata pengatar.
6
Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance, (New York and London: Routledge, 1996), hal. Kesimpulan. Pendapat lain menyatakan
bahwa tren kebangkitan politik Islam ini mulai bersemi pada akhir tahun 1979, ketika revolusi
rakyat yang dipimpin oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini, mampu menumbangkan monarkhi Reza
Pahlevi, yang lantas disusul dengan berdirinya republik Islam di Iran. Peristiwa tersebut sangat
mengejutkan bagi banyak orang, khususnya bagi kalangan Barat. Sebab pada titik ini, Islam
ternyata mampu tampil menjadi ideologi politik yang revolusioner, sekaligus memiliki daya tarik
yang luar biasa. Lihat, Shireen T. Hunter, “Pendahuluan”, dalam, Shireen T. Hunter, Politik
Kebangkitan Islam; Keragaman dan Kesatuan, Terj. Adjat Sudrajat (Yogyakarta:Tiara Wacana,
2001), hal. xxi. Bandingkan dengan, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme
Dalam Islam, Kristen Dan Yahudi, Terj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung & Jakarta: Mizan &
Serambi Ilmu Semesta, 2000), hal. x. Sedangkan menurut Azyumardi Azra, gerakan Islam yang
muncul dalam gelombang yang disebut sebagai kebangkitan Islam itu, seringkali digeneralisasikan
secara sepihak dalam sebuah istilah yakni ‘gerakan fundamentalisme’. Lihat, Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme
3

Tentu ramalan tersebut tidak sepenuhnya salah, walaupun juga tidak sepenuhnya
terbukti, ketika fakta yang terjadi kemudian berkata lain. Setidaknya, hal ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa negara-negara yang menggunakan syari’at Islam
sebagai sistem politiknya masih dapat dihitung dengan jari, dan kalaupun ada,
tentu dengan model dan bentuk yang saling berbeda. Ini –sekali lagi--, menjadi
salah satu bukti bahwa ajaran Islam –dan agama apapun-- masih belum –
dipercayai--mampu menjadi sumber solusi yang otoritatif dan praktis dalam
mengatasi semua problem kehidupan –termasuk politik--, saat ia dipaksa menjadi
sebuah aturan yang bersifat taken for granted, sebagaimana pemahaman sebagian
kalangan penganutnya.7
Sementara di bagian lain, muncul pula fenomena yang tak kalah
menariknya, yang terjadi dalam kancah global percaturan politik dunia.
Kehancuran ideologi komunis-sosialis, telah menyisakan demokrasi --di Barat--
sebagai satu-satunya peradaban dan ideologi politik yang dewasa ini masih diakui
eksistensinya. Bahkan, kemudian banyak orang yang menyatakan bahwa
demokrasilah satu-satunya sistem yang terbaik dan telah terbukti efektif
mengatasi problem-problem politik suatu negara.8 Hanya saja, ketiadaan ideal

(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 107. Sebagai tambahan wacana, lihat juga, R. Hrair Dekmejian,
Islam In Revolution; Fundamentalism in the Arab World (New York: Syracuse University Press,
1985), hal. 3.
7
Dalam hal ini, ada baiknya disimak juga pendapat yang dikemukakan oleh Akh.
Minhaji, yang menyatakan bahwa belakangan ini justru ada kecenderungan yang diperlihatkan
oleh beberapa negara muslim untuk kembali mendasarkan segala aspek kehidupan termasuk
politik, pada ketentuan-ketentuan syar’i dan hukum Islam. Penyebabnya, menurut Minhaji
diantaranya adalah mereka merasa bahwa keterbelakangan yang diderita oleh sebagian umat
muslim selama ini disebabkan oleh terlalu jauhnya mereka meninggalkan ajaran-ajaran hukum
Islam yang sebenarnya. Yang lebih parah lagi, lanjut Minhaji, mereka yakni bahwa pintu ijtihad
telah tertutup rapat. Penyebab lainnya adalah sebagaian kaum muslim berpegang pada konsep la
ijtihada fi madzhabi fihi al-nash –tidak ada ijtihad pada hal-hal yang telah dicakup oleh al-Qur'an
dan Hadis--. Artinya, umat Islam hanya diperbolehkan memikirkan hal-hal yang belum dicakup
secara eksplisit oleh ke-duanya, dan menerima apa adanya segala sesuatu yang telah dicakum oleh
ke-duanya. Lihat, Akh. Minhaji, “Hak Asasi Manusia Dalam hukum Islam; Ijtihad Baru Tentang
Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi Studi Islam; Teori & Metodologi
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal. 336.
8
Argumentasi ini banyak dikemukakan, setelah melihat adanya kenyataan runtuhnya
negara-negara yang menganut ideologi politik lain. Uni Soviet misalnya, yang menganut ideologi
komunis-sosialis, yang pada akhirnya runtuh dan tercerai berai menjadi beberapa negara kecil.
Banyak kalangan menilai, bahwa hancurnya Soviet tersebut akibat sistem politiknya yang tidak
lagi mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Untuk itu, kalangan ini
kemudian menawarkan bahwa persoalan-persoalan kenegaraan hanya akan bisa teratasi dengan
penerapan demokrasi, yang meniscayakan keterlibatan langsung dari rakyat. Namun, menurut
4

type demokrasi lalu memunculkan sebuah kesulitan, yakni demokrasi model


manakah yang akan di adopsi?. Karenanya, nilai-nilai demokrasi lantas
mengalami berbagai interpretasi, dengan maksud untuk merumuskan tipe
demokrasi yang operasional, hingga ia lantas muncul dalam bentuk dan varian
yang berbeda pada masing-masing negara, sesuai dengan keadaan yang dipandang
realistis oleh kekuatan politik di negara yang bersangkutan.9
Maka, pada titik inilah Islam --sebagai satu kekuatan politik—juga turut
mengalami euforia, dan berupaya untuk menggali kaidah-kaidah yang bernuansa
demokratis,10 saat nilai-nilai teologis-doktrinal dirasa tidak mampu lagi menjawab
persoalan-persoalan kenegaraan.11 Upaya ini sangat nampak banyak dilakukan
oleh para intelektual, para politisi dan pemuka-pemuka umat Muslim, yang
berupaya keras mencari titik temu antara demokrasi dan ajaran Islam, melalui

analisis penulis, argumentasi tersebut –walaupun tidak salah--, cenderung terlalu


menyimplifikasikan persoalan, sebab runtuhnya sebuah negara –Soviet misalnya--, terkadang
bukan hanya karena persoalan politik internal maupun ideologi, melainkan sering juga diakibatkan
oleh intervensi kepentingan dari luar negeri. Contoh yang paling baru dalam hal ini adalah Iraq,
yang runtuh akibat diserang oleh Amerika, dengan alasan akan membebaskan rakyat Iraq dari
cengkeraman rezim tiran penguasanya, dan akan merubahnya menjadi negara yang demokratis.
Namun bukti yang tampak adalah, pasca runtuhnya Iraq, masyarakatnya tidak lantas terbebas dari
masalah, malah menemukan masalah baru –atau justru semakin tersiksa?--, walaupun pemilu –
sebagai langkah awal penciptaan negara demokratis-telah dilaksanakan di negeri itu. Ini
membuktikan bahwa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Iraq bukanlah semata-mata
persoalan ideologi politik, yang bisa terjawab dengan pemberlakuan demokrasi.
9
Lihat argumentasi senada dalam, Aswab Mahasin, “Agama dan Demokrasi; Bukan
Pohon Tanpa Akar”, dalam Bernard Adeney-Risakotta, (ed.), Keadilan dan HAM Dalam
Perspektif Agama-Agama (tk:tp,tt), hal. 28.
10
Dengan logika anti tesis, lawan kata demokrasi adalah totalitarianisme. Jika tidak
demokratis, pasti totaliter. Totalitarianisme memiliki kesan buruk, kejam, dan bengis. Akibatnya,
negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun
diembel-embeli sebagai “Demokrasi Sosialis” atau “Demokrasi Kerakyatan”. Dalam kaitannya
dengan masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan, “…Mungkin untuk pertama kali
dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua
sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh…” Lihat, S.I. Benn and R.S. Peters, Principles of Political Thoughts, (t.k. : Collier
Books, 1974), hal. 363.
11
Namun ironisnya, sebagian umat Islam justru mengeksploitasinya sebagai sebuah
langkah untuk melindungi kepentingan politiknya. Mereka mencoba merumuskan nilai-nilai
demokrasi yang relevan dengan ajaran Islam, dan kemudian mengklaim diri mereka sebagai
kalangan Islam yang “paling demokratis” agar tidak terkena serangan panah beracun dari pihak
Islamophobia yang terlanjur mencap Islam sebagai agama totaliter dan dogmatis. Fatalnya lagi,
ungkapan-ungkapan mereka terkadang bernada defensif apologetik, yang justru menyebabkan
ajaran Islam malah menjadi kabur. Lihat, Al-Muhammy Ahmad Husein Ya’qub, Al-Nizam al-
Siyasi fi al-Islam: Ra’yu al-Sunnah wa Ra’yu al-Syi’ah (Amman: Maktabah al-Kitab, 1989), hal.
345.
5

proses-proses ijtihad.12 Pada umumnya, kalangan yang merupakan komunitas


muslim berpandangan inklusif, terbuka dan liberal ini berpendapat bahwa nilai-
nilai demokrasi yang tumbuh subur di Barat, memiliki kesamaan dengan kaidah-
kaidah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Argumentasi yang mereka
kemukakan adalah bahwa demokrasi sangat mengagungkan nilai-nilai untuk
kebaikan bersama –seperti kemufakatan, musyawarah, kepentingan kalangan
mayoritas, penghargaan atas hak-hak asasi, menghormati perbedaan dan
sebagainya--. Sementara, Islam pun mengajarkan nilai-nilai yang sama persis,
walaupun dalam istilah yang berbeda. Salah satu contoh yang dikemukakan oleh
kalangan ini untuk menunjukkan benang merah antara demokrasi dan Islam,
adalah adanya konsep syura dalam al-Qur’an. Menurut mereka, konsep tersebut
menghendaki agar umat Islam lebih mendahulukan kepentingan khalayak, dari
pada kepentingan individu, di mana penyelesaian semua persoalan dilakukan
lewat mekanisme musyawarah, sama seperti mekanisme dasar yang terdapat
dalam sistem demokrasi.13 Oleh karena itu, kalangan ini menyimpulkan bahwa
demokrasi adalah sistem yang juga Islami, dan layak untuk diterima serta di
aplikasikan oleh umat Islam, dalam menjawab setiap problem-problem ketata-
kenegaraan.
Namun demikian, upaya yang dilakukan sekalangan pemeluk Islam di
atas, bukannya tidak mendapatkan pertentangan. Beberapa kelompok umat Islam
yang lain tidak menyetujui upaya-upaya mempertautkan nilai-nilai demokrasi
12
Kata “ijtihad” sudah menjadi istilah yang baku dalam kajian yurisprudensi Islam.
Meskipun di sana-sini, kata tersebut acapkali dipakai dalam disiplin ilmu Islam dan ilmu sosial
lain. Misalnya, ijtihad politik, ijtihad filsafat, dan lainnya. Berdasarkan terminologi fiqh Islam,
ijtihad mempunyai pengertian yang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan ijtihad adalah upaya
mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan, namun dalam urf para
ulama, kata tersebut digunakan secara spesifik untuk menyebut seorang mujtahid yang
mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat. Lihat,
Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1971), hal. 54 hal. 350. Sedangkan Al-Dahlawi, sebagaimana dikutip dari Muhammad
Achyar, memberikan penjelasan yang lebih tegas dan rinci dengan mengemukakan pandangan
bahwa hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat
dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali kepada empat macam dalil yakni al-
Qur'an, sunnah, ijma, dan qiyas. Lihat, Muhammad Achyar, “Pintu Ijtihad Yang Terbuka”, Jurnal
al-Afkar, Vol. 2 tahun 1998. Bandingkan dengan, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah
Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 197.
13
Noval Maliki, “Syura Dalam Perspektif Muhammed Abid al-Jabiri”, skripsi fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, tidak diterbitkan.
6

dengan nilai-nilai akidah Islam. Mereka menyebutkan bahwa kaidah-kaidah dan


konsep dalam Islam –termasuk syura—adalah sesuatu yang sama sekali berbeda
dan tidak layak sama sekali untuk dipersandingkan.14 Argumentasi yang kerapkali
diutarakan oleh kelompok ini adalah bahwa demokrasi adalah budaya yang
dihasilkan oleh manusia, sedangkan nilai-nilai teologis Islam adalah sesuatu yang
sakral, karena berasal langsung dari Tuhan, dan karenanya tidak layak disamakan.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa nilai-nilai Islam adalah sesuatu yang
bersifat praktis dan menyeluruh, yang berlaku universal dan tidak terikat oleh
ruang maupun waktu, sehingga manusia tinggal mengaplikasikan tanpa harus
melakukan interpretasi-intrepretasi terhadapnya. Karenanya, mereka sangat
menentang setiap upaya ‘mendemokrasikan Islam’ dan ‘mengislamkan
demokrasi’, karena mereka meyakini bahwa upaya itu hanya akan membuat
kemurnian ajaran Islam menjadi tercemar dan luntur.15
Berangkat dari realitas yang demikian, tentu hal ini lantas menyisakan
persoalan yang harus segera ditemukan jawabannya. Sebab bila ternyata upaya
untuk menggali nilai-nilai demokrasi dalam Islam membawa pengaruh terhadap
kemurnian ajaran Islam, masih layakkah demokrasi menjadi bagian dari panggung
peradaban Islam?. Tidakkah Islam memiliki sistem politik alternatif yang lebih
sesuai?. Namun sebaliknya, bila ternyata demokrasi memiliki relevansi dengan
ajaran Islam, dan kehadirannya justru akan lebih membawa manfaat dan
maslahat, mengapa kemudian harus ditolak?.

B. Melacak Akar dan Prinsip-prinsip Demokrasi

14
Pada umumnya, kalangan ini berangkat dari komunitas Islam beraliran syi’ah, yang
terkenal berwatak literal, elitis, jumud, dan tertutup terhadap perubahan. Sepanjang sejarah Islam,
pendapat kelompok ini sering kali berhadapan secara diametral dengan kalangan Islam sunniy,
yang cenderung berwatak lebih terbuka, egaliter dan adaptatif terhadap perubahan.
15
Namun menurut hemat penulis, pandangan-pandangan kaum ini cenderung
tendensius, sebab penolakan mereka terhadap sistem demokrasi bukanlah semata-mata karena
mereka melihat adanya kelemahan-kelemahan dalam sistem tersebut –khususnya bila
dibandingkan dengan ajaran Islam--, melainkan lebih karena memandang bahwa demokrasi adalah
budaya –bagian—peradaban Barat, yang selama ini sangat mereka benci. Mereka terlanjur
dihantui stigma bahwa peradaban dan –juga—negeri Barat adalah ancaman terbesar bagi
eksistensi Islam, dan karenanya sesuatu yang berbau Barat harus ditolak dan dilawan secara
radikal.
7

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, ketiadaan ideal type dalam


demokrasi, telah menjadikan konsep tersebut terasa sangat sulit dipahami.
Terlebih lagi, demokrasi juga memiliki banyak konotasi makna dan variatif,16
sehingga semakin tidak mudah membuat suatu definisi yang jelas atasnya.17 Di
samping itu, demokrasi juga tidak statis dan jumud, melainkan berwatak evolutif
dan dinamik.18 Dengan demikian, apa yang dipahami sebagai gagasan-gagasan
demokrasi pada masa Yunani kuno misalnya, tidak harus selalu sesuai dan relevan
dengan gagasan-gagasan demokrasi yang berkembangan dewasa ini. Karena
alasan itu pula, demokrasi kemudian menjadi obyek yang menarik untuk
diperdebatkan. Sebagai contoh, barangkali dapat dilihat gagasan demokrasi pada
masa Yunani kuno, yang mengundang perdebatan yakni, apakah gagasan
demokrasi pada masa itu bersifat universal atau spesifik?. Sebab bila demokrasi
diartikan sebagai pemerintahan –yang-- dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
maka bisa dikatakan bahwa nilai-nila demokrasi Yunani kuno itu adalah sesuatu
yang bersifat universal, karena memberikan penghargaan, hak politik dan
kesempatan yang sama kepada semua rakyat untuk berkuasa. Namun, yang patut
dipertanyakan kemudian adalah siapakah yang dimaksud rakyat dalam konsep
demokrasi Yunani kuno tersebut? apakah ia memiliki pengertian yang sama
16
Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa
sebuah negara berhak mengklaim bahwa negaranya adalah negara yang demokratis, meskipun
nilai-nilai yang dianut dan diaplikasikan dalam menjalankan kekuasaannya itu sangat bertentangan
dengan nilai-nilai dasar demokrasi. Karenanya, di dunia ini banyak lantas berkembang banyak
tipologi demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi
komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan lain sebagainya.
Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 230.
17
Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat,
dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Sebagaimana yang
telah diulas, istilah demokrasi --sebagaimana halnya istilah sosial-politik lainnya-- ini tidak
memiliki definisi yang baku dan stabil. Pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad
sebelum Masehi. Sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk menyebut suatu sistem
demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka
berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif dan yudikatif. Lihat, Muhammad
Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), hal. 71.
18
Demokrasi berwatak evolutif dan dinamis artinya, konsep demokrasi selalu
mengalami perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya, maupun aspek substansialnya, sesuai
dengan konteks dan dinamika sosio-historis, di mana konsep demokrasi itu lahir dan berkembang.
Demokrasi berkembang secara evolutif, secara perlahan tapi pasti. Lihat, Ahmad Suhelmi,
Pemikiran..., hal. 230.
8

dengan pengertian rakyat dewasa ini?, bila pengertiannya berbeda, tentu konsep
demokrasi Yunani kuno itu dengan sendirinya menjadi sesuatu yang bersifat
spesifik.19 Bila ditelusuri lebih lanjut, sistem demokrasi yang diaplikasikan di
Yunani kuno tersebut, pertama kali dikembangkan oleh seorang negarawan
Athena bernama Princles, dengan menganut beberapa prinsip pokok yakni
kesetaraan warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap hukum dan
keadilan, serta kebajikan bersama (civic virtue). Di masa Princles inilah model
demokrasi langsung (direct) dapat mulai diterapkan.20 Namun, demokrasi yang
berkembang di Yunani ini dipandang –khususnya oleh kaum agamawan—sebagai
sistem yang tidak terikat oleh nilai-nilai spiritualitas agama, dan karenanya
dipandang amat sekuler, sebab segala sesuatu ditentukan oleh rakyat, dan sama
sekali tidak ada campur tangan Tuhan.21
Pada tahap berikutnya, gagasan demokrasi ini juga berkembang di Barat,
namun dalam model yang agak berbeda. Bila pada masa sebelumnya demokrasi
cenderung berwatak sekuler, pada masa ini demokrasi berpadu dengan nilai-nilai
agama. Di mulai sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi, gereja-gereja

19
Aristoteles merumuskan bahwa konsep rakyat pada masa Yunani kuno itu berbeda
dengan perngertian rakyat di masa kini. Aristoteles mengkategorikan rakyat sebagai kelompok
sosial yang disebutnya dengan istilah warga negara (citizen), di mana mereka merupakan
kelompok sosial minoritas dalam negara kota (polis) yang memiliki hak-hak istimewa dalam
bidang politik. Warga negara ini memiliki kesempatan yang sangat luas untuk berpartisipasi aktif
dalam proses pembuatan kebijakan negara. Dengan kata lain mereka adalah penentu nasib negara
kota tersebut. padahal mayoritas penduduk Yunani pada masa itu adalah budak dan pedagang-
pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani. Namun mereka tidak memiliki hak-hak
istimewa seperti kaum warga negara. Sebab mereka ini adalah kelompok sosial kelas dua dalam
struktur negara demokratis Yunani kuno. Pada titik ini dapat dilihat bahwa konsep demokrasi pada
masa Yunani kuno tersebut tidak memiliki kesamaan makna dengan pengertian demokrasi yang
dipahami dewasa ini. Lihat, J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1988), hal. 41.
20
Model demokrasi langsung ini dapat diterapkan pada masa ini karena jumlah
penduduk negara-kota Yunani pada waktu itu tidak lebih dari 300.000 jiwa, wilayahnyapun tidak
begitu luas, dan struktur politiknya juga masih sangat sederhana. Selain itu, penduduk yang terlibat
langsung hanya kelompok sosial warga negara, yang merupakan penduduk minoritas di negara itu.
Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran..., hal. 231. Namun, beberapa pemikir menganggap bahwa
sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu,
Jean Jacques Rousseau misalnya –dan beberapa filosof lain--, menyempurnakannya dengan teori
demokrasi perwakilan, yakni sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah.
21
Sebab dalam sistem politik yang sekularistik, agama hanya menjadi “inspirasi moral
dan alat penyembuhan”, dan kehendak akal manusialah yang menjadi penentu semua keputusan
--the will of the people--. Dengan demikian, agama tidak memiliki peran apapun. Lihat, Harvey
Cox, Religion in the Secular City, (New York : Simon and Schuster, 1984), hal. 184.
9

Kristen mulai memasuki arena kekuasaan politik. Hal ini ditandai dengan
penggabungan kekuasaan negara dan urusan gereja oleh Kaisar Konstantin
--penguasa Romawi yang pertama kali memeluk agama Kristen--, yang membuat
pihak gereja juga memiliki peranan besar dalam setiap pengambilan keputusan
politik. Seiring dengan itu, sejak tahun 476 M kerajaan-kerajaan lokal juga mulai
bermunculan di Eropa. Seperti halnya Romawi, gereja pun turut menjadi penentu
dalam sepak-terjang penguasa kerajaan-kerajaan lokal tersebut, sedangkan para
bangsawan dan politikus --yang umumnya dari keluarga kaya--, hanya menjadi
boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Hal ini kemudian memunculkan
problem, sebab ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan. Karena itu,
pihak gereja kemudian membuat berbagai fatwa, sesuai dengan kemauan dan
kepentingan mereka sendiri, yang kemudian diklaim sebagai wewenang yang
diterimanya dari Tuhan.22
Keadaan di atas, membuat gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi,
hampir dalam setiap urusan. Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya
pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan Tuhan, di mana hasil
“komunikasi” itu kemudian diajukan kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan
sebagai keputusan politik. Dalam hal ini, Eropa juga memiliki sejarah yang cukup
berdarah, di mana ribuan wanita dibunuh, saat gereja mengeluarkan fatwa yang
mencap perempuan sebagai tukang sihir,23 dan kaum ilmuwan yang tidak setuju
dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan dibunuh, seperti yang

22
Tidak aneh jika fatwa-fatwa inilah yang kemudian menjadikan sosok kerajaan-
kerajaan Eropa saat itu mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum
mengenal agama. Hal inilah yang juga menjadi fokus dari kritik Karl Marx terhadap agama.
Menurut Marx, para kaum gereja yang beginilah yang akan menyebabkan kaum proletar semakin
mengalami ketertindasan, dan mereka akan semakin kehilangan martabat kemanusiaannya, sebab
fatwa-fatwa itu hanya menina bobokkan para kaum tertindas dengan janji-janji surgawai yang
palsu, demi untuk kelangsungan kepentingan pihak gereja yang berkolaborasi dengan penguasa.
Untuk lebih lengkapnya lihat, O Hashem, Marxisme dan Agama, (Bandung: Pustaka, 1984), hal.
17. lihat juga, Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis, Ke
Perselisihan Revisionis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999).
23
Konon, fondasi London Bridge dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan
tulang-belulang perawan. Lihat Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan Biologis Umat
Manusia; Etika, Gender, Teknologi, (Bandung : Mizan, 1992), hal. 43.
10

menimpa diri Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus. Tak hanya itu, tanah milik
rakyatpun dirampas untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja.24
Kelaliman gereja --yang difasilitasi oleh penguasa-- tersebut, dan
ditambah dengan kekalahan telak Pasukan Salib atas Pasukan Khilafah Islamiyah,
serta munculnya kegeraman para pemikir Eropa terhadap gereja, lantas
menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14,25 yang puncaknya
adalah tahun 1618, saat meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa, antara para
pendukung dan penentang supremasi gereja.26 Perang yang berlangsung selama 30
tahun tersebut, pada akhirnya menghabiskan sepertiga penduduk serta
meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Akibat perang ini,
para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok: (1) Yang mempelajari filsafat Yunani,
disebut Naturalis, yang meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan
semua persoalan; (2) Yang berpihak pada gereja, disebut Realis, yang meyakini
ajaran gereja sebagai kebenaran. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan
oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran
peran agama –Kristen-- dari kehidupan negara, yang kelak dikenal dengan istilah
sekularisme.27 Kenyataan ini benar-benar menggembirakan hati para filosof, sebab
tidak akan ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Begitu
pula dengan wilayah Politik dan segala urusan duniawi, telah menjadi sangat
bebas nilai karena tidak ada satu pun yang membatasi, tidak nilai agama dan tidak

24
Bahkan orang yang hendak mati pun tak luput dari pemerasan yang dilakukan pihak
gereja. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan terbesar gereja, yang berasal dari penjualan
Kunci Surga --Keys to Heaven--, yaitu surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak
meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-
dosanya telah diampuni dan telah memiliki tiket untuk memasuki surga. Lihat, Ibid., hal. 43.
25
Yang juga menjadi sebab munculnya era rasionalisme ini adalah gencarnya
penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa sejak abad ke-10 yang
berpusat di Andalusia –Spanyol--. Kegemilangan peradaban Islam telah memberi inspirasi kepada
para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi seluruh daratan Eropa saat itu,
yang dikenal sebagai era Dark Ages--Masa Kegelapan--. Lihat, Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah
al-Fikr al-‘Arabi al-Islam, Terj. Hasyim Shalih (Beirut: Markaz al-Luna' al-Qaumi, 1986), hal.
52.
26
Umumnya para pendukung gereja adalah kaum agamawan dan kaum awam,
sedangkan para penentangnya adalah kelompok cendekiawan. Lihat, Ibid., 52.
27
Masa ini kemudian di tahbiskan sebagai awal masa pencerahan di Eropa yakni
dengan bangkitnya kembali aliran rasionalisme. Masa ini jugalah yang menandai dimulainya
proses modernisasi peradaban. Lihat, Budi Hardiman, F., Kritik Ideologi, (Yogyakarta : Kanisius,
1990), hal. 46.
11

pula nilai moral. Masa ini selanjutnya dikenal sebagai era pencerahan
(renaissance), di mana gerakan ini telah memberikan fondasi yang kokoh bagi
munculnya gagasan-gagasan demokrasi.28 Beberapa pemikir antara lain,
Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh
yang secara khusus mulai mengembangkan teori-teori demokrasi pada masa ini,
yang ide-ide dan gagasan-gagasannya kelak menjadi landasan bagi penciptaan
sistem demokrasi. Dari Rousseau dan Locke, muncul teori tentang teori kontrak
sosial,29 sementara Montesquieu merumuskan tentang Trias politika,30 yang kedua
teori tersebut menjadi ruh utama sistem demokrasi yang dipraktekkan di beberapa
negara seperti, Amerika Serikat, Perancis dan beberapa negara lain termasuk
Indonesia.
Dari sini kemudian dapat disimpulkan, bahwa bila ditinjau dari sudut
sejarah, bentuk-bentuk demokrasi adalah, pertama, “demokrasi langsung”. Ke-
dua adalah “demokrasi tidak langsung” yakni model demokrasi melalui
perwakilan rakyat atau biasa disebut dengan demokrasi parlementer. Demokrasi
jenis ini timbul sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk, dan semakin
luasnya wilayah sebuah negara. Ciri-ciri model demokrasi ini di antaranya:
terdapatnya mekanisme voting, adanya oposisi, dapat timbul mosi tidak percaya,
membuka kesempatan kepada berbagai kalangan untuk mengungkapkan aspirasi
melalui demonstrasi dan munculnya sistem multi partai. Model ini juga sering
disebut dengan istilah demokrasi liberal.
Selain dua model itu ada pula yang disebut dengan “demokrasi rakyat”
yakni demokrasi yang didasari paham sosialisme –komunisme – marxisme.
28
Menurut Masykuri Abdillah, Namun, ide-ide demokrasi modern berkembang pesat
pada masa ini, seiring dengan munculnya tradisi-tradisi abad pencerahan. Tradisi tersebut
diantaranya berupa ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccola Machiavelli, ide negara
kontrak oleh Thomas Hobbes, dan ide-ide lain, yang menjadi jiwa dari demokrasi. Lihat, Masykuri
Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999), hal. 72.
29
Gagasan dasar teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Rousseau ini adalah,
pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang bersifat taken for granted dan berasal dari
Tuhan, melainkan merupakan sebuah produk perjanjian sosial antara individu. Kedua, bahwa
dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari dari alam, yang mengandung prinsip-prinsip keadilan
universal, yang berlaku untuk semua kalangan tanpa terkecuali –kesetaraan--. Lihat, Jean Jacques
Rousseau, Kontrak Sosial, terj. Sumardjo (Jakarta: Erlangga, 1986), hal. 22.
30
Pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Menurut Montesquieu, bila kekuasaan hanya dipegang oleh sebuah institusi saja, maka akan
mudah terjadi penyelewengan dan otoritarianisme. Lihat, Ahmad Suhelmi, Pemikiran..., hal. 231.
12

Demokrasi ini memiliki slogan demi rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, serta sama rata, sama rasa, dengan pemerintahan dipegang oleh sebagian
kecil penguasa. Ciri-cirinya ; menonjolkan sistem otoriter, pemusatan kekuasaan
di tangan penguasa tertinggi, dan adanya partai tunggal. Model demokrasi yang
lain adalah “demokrasi pancasila” yaitu demokrasi yang dijiwai oleh falsafah
hidup bangsa Indonesia –pancasila--. Ciri utamanya adalah Musyawarah mufakat
dengan prinsip keseimbangan kepentingan.31
Sampai detik ini, demokrasi menjadi sebuah konsep politik kenegaraan
yang banyak diagungkan, sebab dirasa merupakan sistem yang memiliki resiko
paling minimum, namun paling efektif dalam menjawab persoalan-persoalan yang
muncul dalam ranah politik kenegaraan. Beberapa poin penting demokrasi
diantaranya: (1) Adanya pengakuan kesetaraan seluruh individu. (2) Nilai-nilai
yang melekat pada individu berada di atas nilai-nilai yang melekat pada negara. (3)
Pemerintah merupakan pelayan masyarakat. (4) Ada aturan-aturan hukum. (5) Ada
pengakuan atas nalar, eksperimentasi dan pengalaman. (6) Ada pengakuan
mayoritas atas hak-hak minoritas. (7) Ada prosedur dan mekanisme demokratis
sebagai cara mencapai tujuan bersama. 32
Berdasar prinsip-prinsip di atas, kiranya dapat diterima bahwa demokrasi
pada akhirnya mengandaikan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis.
Dengan demikian, setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan
kemampuan yang relatif sama dan seimbang untuk memperjuangkan kepentingan
politisnya, tanpa ada pihak lain atau sesuatu halpun yang dapat membatasi. Prinsip
kesetaraan inilah yang kemudian dianggap sebagai basis prinsip demokrasi. 33
31
Sri Sumantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasinya, (Bandung : Alumni, 1969),
hal. 25. Lihat juga, al-Zarkasy, al-Siyasah al-Adwayan, (Damaskus : Mujamma’ al-Kutub, 1995),
hal. 102-103. Bandingkan dengan, M. Topan, Demokrasi Pancasila, Analisa Konsepsional
Aplikatif, (Jakarta : Sinar Grafika, 1989), hal. 30-31.
32
Mahmoud Mohamed Taha, Syari'ah Demokratik, terj. Anom S. Putra (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), hal. 232-233.
33
Dapat diartikan bahwa penekanan dari demokrasi adalah bahwa rakyat seharusnya
menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang
bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat
menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi
wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil
rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara
mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk
13

C. Islam Sebagai Satu Kekuatan politik; Kaidah-kaidah Demokrasi Yang


Terdapat Di Dalamnya
Memandang Islam sebagai satu kekuatan politik, tentu mengandaikan
pengertian bahwa Islam memiliki pemahaman dan ajaran integral tentang hal yang
bersifat duniawi dan yang ukhrawi,34 yang secara otomatis juga memposisikan
nabi Muhammad sebagai seorang tokoh agama, sekaligus tokoh politik. Di sini
dapat dicatat bahwa gerakan-gerakan yang dijalankan oleh rasulullah pada
awalnya memang tidak memiliki relevansi politis yang jelas, melainkan tak lebih
hanya gerakan yang bersifat moral dan religius.35 Akan tetapi, pada akhirnya
gerakan religius Nabi ini disegani juga oleh pedagang-pedagang besar di Mekkah,
sebab gagasan religius Nabi ternyata mampu menjadi jawaban atas situasi
Mekkah saat itu, sehingga lambat laun gerakan Nabi tersebut memiliki relevansi
dengan kegiatan politik di tanah Arab.36 Contoh yang lain adalah, ajaran
keterbukaan dan penghormatan kepada sesama manusia --makhluk Allah—yang
terdapat dalam ajaran Islam dan notabene merupakan sesuatu yang bersifat
doktrin, ternyata juga dijadikan sebagai basis penggerak oleh nabi, untuk
membuat komunitas yang pluralistik --dengan Piagam Madinah--.
Kedua contoh di atas, agaknya dapat menjadi bukti bahwa bagaimanapun
politik tidak dapat sama sekali terbebas dari nilai-nilai agama. Dengan kata lain,
Islam sebagai kekuatan politik, tentu tidak terlepas dari Islam sebagai suatu gejala
teologis, sebab apa yang dihayati sebagai bagian dari aspek kerohanian, tentu
akan terwujud pula dalam aspek kejasmanian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Islam sebagai gejala teologis, secara historis terejawantah dalam Islam sebagai

dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable)
menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang
cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah
perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Lihat,
John Dunn (ed.), Democracy The Unfinished Journey (New York: Oxford University Press, 1992),
hal. 73, 115.
34
Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), hal. 188. Lihat juga, Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1997), hal. 4-6.
35
Ini sesuai dengan pernyataan nabi dalam sebuah hadis, yang menyatakan bahwa
terutusnya dirinya mengemban sebuah misi utama yakni pembenahan akhlak dan moral.
36
W. Montgomery Watt, Political...., hal. 3-30.
14

gejala ideologis, yang berarti menunjukkan bahwa agama Islam memiliki


ideologi-ideologi yang mendasari bagaimana ia hidup dalam tatanan sosial politik.
Lebih radikal lagi, dari sini juga dapat diterima adanya argumentasi bahwa ajaran
Islam –dan juga agama-agama lain-- memiliki kaitan yang istimewa dengan
negara,37 yang kemudian memunculkan beberapa penafsiran dan gerakan dalam
Islam. Kelompok yang lebih moderat tentu saja tidak memutlakkan institusi
negara Islam, sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok fundamental. Bahkan,
kebanyakan para tokoh muslim tidak menolak adanya kompromi bahwa negara
Islam perlu dimengerti sebagai suatu negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
dan bukan negara yang segala-galanya diatur menurut kaidah Islam.38
Dengan penafsiran yang lebih terbuka itu,39 Islam memang tidak akan
mampu menemukan ide dasar syari'ah bagi demokrasi, mengingat bahwa
demokrasi bukanlah gagasan yang murni Islami.40 Namun demikian, tidak lantas
berarti bahwa Islam tidak compatible dengan gagasan itu, sebab prinsip-prinsip
yang diusung dalam demokrasi, dapat pula dijumpai dalam kaidah-kaidah Islam.
Sebagai salah satu contoh, prinsip dasar dalam demokrasi yang mengandaikan
prinsip kesetaraan, dapat diderivasikan pada Surah Al-Hujurat (49): 13, yang

37
Walaupun hubungan antara Islam dan negara itu tidak dapat lantas dipahami sebagai
satu pola hubungan yang bersifat statis dan kaku, dalam arti keinginan membentuk sebuah negara
Islam, sekuat keinginan menjalankan ajaran agama Islam itu sendiri. Pendapat yang kaku seputar
hal ini banyak dikemukakan oleh kalangan Islam garis keras –fundamentalis--, yang menyatakan
bahwa tanpa terbentuknya negara Islam, mustahil ajaran Islam dapat dijalankan secara sempurna.
Sebagai penyeimbang, muncul pula pendapat dari kaum liberal Muslim yang menyatakan bahwa
walaupun dari segi historis dapat ditemukan adanya negara Islam dalam arti sebagaimana yang
dialami oleh Nabi, namun hal itu tidak dapat dimutlakkan bahwa tatanan negara Islam itu harus
diwujudkan dalam masa sekarang ini. Menurut kalangan ini, untuk menjalankan ajaran Islam,
negara Islam tidak mutlak harus didirikan. Lihat, Salim al-Bahnasawi, Asy-Syari’ah al-Muftara
‘Alaiha (Kairo: Dar al-Wafa al-Manshurah, 1995), hal 171. Sebagai tambahan, saat ini relatif
banyak literatur yang membahas soal interpretasi terhadap suatu negara Islam (Islamic state).
Sebagai contoh lihat pendapat dalam, Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1994), hal. 3-4.
38
Gagasan tentang tidak adanya negara Islam ini diantaranya disampaikan oleh Amien
Rais yang mendapat dukungan dari Mohamad Roem. Lihat, Agus Edi Santoso (ed.), Tidak Ada
Negara Islam : Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1997), hal. 1-11.
39
Karena Al-Qur'an dan hadis –sebagai sumber yurisprudensi Islam-- sendiri tidak
menyebutkan dan mengatur secara jelas soal negara Islam ini, melainkan hanya mengutarakan
semangat dan nilai-nilai interaksi semata.
40
M. Imam Aziz, (ed.), Agama, Demokrasi & Keadilan, (Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 63-66.
15

menunjukkan adanya pola teosentrisme41 dalam Islam, yang menyatakan bahwa


kesatuan merupakan awal eksistensi manusia, di mana pluralitas kebangsaan yang
terjadi pada akhirnya harus dikembalikan kepada prinsip asali dengan kaidah
ta'arruf (saling mengenal). Kaidah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan,
kebebasan, dan juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap
yang lain.
Selain kaidah di atas, kaidah lain yang juga senafas dengan prinsip dasar
demokrasi diantaranya Surah Asy-Syura (42):38 dan Ali' Imran (3):159, yang
mengungkapkan adanya kewajiban bermusyawarah dalam memutuskan setiap
perkara, agar bisa diterima oleh semua kalangan.42 Kaidah berikutnya adalah
ta'awun yang didasarkan pada Surah Al-Maidah (5):2 yang menyatakan adanya
tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan' seluruh manusia.43 Kaidah yang lain,
yang juga banyak dijumpai dalam Al-Quran adalah mashlahah, yang berfungsi
sebagai moral force, supaya setiap individu selalu berbuat baik, sehingga
menguntungkan pihak lain (amar ma'ruf nahi munkar). Kaidah lainnya adalah
'Adl atau adil, yang ditemukan dalam Surah An-Nisa' (4):58, dan dilanjutkan juga
pada Surah Al-An'am (6):152, di mana prinsip keadilan ini merupakan elemen
penting demokrasi.44 Sedangkan kaidah yang terakhir adalah Taghyir atau
perubahan, yang dapat ditemukan dalam Surah Ar-Ra'd (13):11, yang menyatakan

41
Teosentrisme adalah aliran yang memiliki pandangan bahwa Tuhan merupakan sentra
pemikiran kefilsafatan. Kebalikannya adalah Antroposentrisme, yang berpandangan bahwa
manusialah yang merupakan pusat pemikiran kefilsafatan. Theosentrisme membentuk manusia
yang hanya mengarahkan orientasi dan dasar hidupnya bagi pemenuhan hidup kerohania dan
pencapaian keselematan serta ketenangan jiwa belaka. Sedangkan Antroposentrisme mengarahkan
manusia pada usaha-usaha pemenuhan kenikmatan dan kesenangan duniawi semata secara
sporadis. Lihat, Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta : Kanisius, 1988),
cet. IV, hal. 5. Bandingkan dengan, I Bambang Sugiharto, Postmodernisme ; Tantangan Bagi
Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hal. 58. Lihat juga, Amsal Bahtiar, Filsafat Agama,
(Jakarta : Logos, 1990), hal. 13
42
Prinsip ini juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang
dilakukan oleh Nabi sendiri. Kaidah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena juga terbuka
bagi kelompok non-muslim. Lihat, Bernard Lewis, Bahasa..., hal. 194.
43
Di sini prinsip untuk demokrasi dipahami secara positif, yakni sebagai prinsip untuk
membangun iklim yang kondusif bagi hidup komunitas.
44
Keadilan yang dimaksud oleh kaidah ini mencakup keadilan individu, sosial
(distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice), dan keadilan dalam seluruh
aspek..
16

bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup.45 Kaidah ini
merupakan satu elemen yang tidak dapat dihindari oleh demokrasi, yang tidak
mengakomodasi kecenderungan status quo,46 sebab demokrasi menuntut suatu
perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia, yang
berwatak selalu ingin mengadakan perbaikan.
Namun sekali lagi, dari sekian banyak kaidah syari'ah yang telah
disebutkan di atas, tentu saja tidak ada satu pun yang menyebutkan secara
eksplisit istilah demokrasi, dan dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan
menjadi semacam rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible
dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya
kontak dengan arus perkembangan, sembari tetap memegang teguh nilai-nilai
ajaran. Maka, pada titik ini, diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan
politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistem peradaban yang diakui
secara universal menjadi cita-cita.

D. Demokrasi Vis-a-vis Islam: Analisa


Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu
disampaikan terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus
diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam
level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat
dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed,
code, community. Sementara, demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu
sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan.
Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam
Islam.
Kedua, demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui
bersama. Kalau demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib
dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi. Demokrasi
tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi

45
Kuntowijoyo, Identitas..., hal. 11.
46
John Dunn (ed.), Democracy..., hal. 1.
17

maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi


pengertian, memberi isi dan mengimplementasikan –nilai-nilai—demokrasi sesuai
dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam, walaupun tentu saja,
penafsiran, pengertian dan demokrasi yang dipraktekkan dalam Islam ini –
dimungkinkan—akan berbeda dengan pemaknaan dan praktek demokrasi di
tempat lain.
Kedua catatan ini cukup penting, sebagai titik tolak untuk melihat sifat
relasi antara Islam dan demokrasi. Sebab, Islam dan demokrasi bukanlah dua
entitas yang dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu
blok'. Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi compatible dengan Islam, namun di
lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu hanya terdapat dalam batas-
batas tertentu. Hal tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Islam versus Demokrasi
Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi
tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui
adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola
hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak
sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara, Islam bersifat
mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial
Islam. 47
Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa
Islam menjadi tujuan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun
pentingnya sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian
piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat
dikatakan bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi.
Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan
--setidak-tidaknya menurut klaim agama-- sistem gagasannya. Dengan
klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup
yang lebih menyeluruh, bila dibandingkan demokrasi. Selain itu, relasi
47
Hal ini juga dapat dibandingkan dengan pola hubungan Islam dan budaya misalnya.
Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, dan
tidak pernah sebaliknya. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam ; Agama.., hal. 36.
18

antara demokrasi dan gagasan teologis Islam –yang konsisten dengan


prinsip tauhid-- juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam
menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus
menyesuaikan diri dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan"48 Kalau
demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada
perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir
manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat
dan dapat saja perubahan ini justru merongrong nilai abadi dalam Islam.49
Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan
demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri
berhadapan dengan gagasan demokrasi --yang tentunya tidak dilandasi
oleh perwahyuan transendental--. Kasus Mahmud Mohamed Taha --yang
dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama-- dapat
menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan,
biar bagaimanapun keadaannya, memiliki sistem kepercayaan yang dapat
bertentangan dengan gagasan demokrasi.50

b. Demokrasi Islamiah
Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak
memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama, walau compatible
dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi
Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna
kepada demokrasi berarti menginklusivkan demokrasi dalam Islam atau
lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi, sebab
kenyataannya, Islam juga memiliki kaidah-kaidah yang senafas dengan
nilai-nilai demokrasi. Di sini dapat dipahami pula bahwa syari'ah
demokratis lantas menjadi deep driving force yang menentukan pola
tingkah laku manusia. Pada titik ini, demokrasi tidak dipandang sebagai
48
Maulana Muhammad Ali, Islamologi: Dinul Islam, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,
1996), hal. 106.
49
Ahmad Suaedy, (ed.), Spiritualitas Baru ; Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta :
Penerbit Institut Dian/Interfidei, 1994), hal. 271-273.
50
Ibid., hal. 273.
19

satu 'budaya' luar --Barat misalnya--, tetapi memang secara internal ada
dalam Islam sehingga harus dieksternalisasikan sesuai syari'ah Islam.
Dengan pemahaman yang demikian, demokrasi tidak lagi menjadi kutub
yang berdiri secara diametral dan dihadapi oleh Islam, sehingga tidak ada
konflik antara keduanya. Kalau toh ada konflik, hal itu hanya akan
memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan
politik lain yang menjadi lawannya,51 yakni medium dalam pergulatan
interpretasi antara aspek-aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan
politik yang lain, yang memang sama-sama memiliki hak untuk
menginterpretasikan demokrasi.
Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya letak konflik bukan
antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik
lain. Islam dan demokrasi, biar bagaimanapun, dalam batas catatan kedua
tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible
dengan demokrasi dan sebaliknya, syari'ah demokratis memberi legitimasi
pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang Islamiah.
Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan
ciri-ciri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar
achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang
sama, pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis telah
menjadi bukti yang menunjukkan eksistensi Islam sebagai kekuatan politik
yang memiliki sistem dan tata nilai ajaran yang luar biasa pada masanya.52

-oOo-

51
Dalam sejarah Indonesia dapatlah dilihat bagaimana konflik muncul antara militer dan
Islam. Kelompok militer cenderung melihat Islam sebagai kekuatan politik yang mengancam
kesatuan bangsa Indonesia. Lihat, Douglas E. Ramage, Politic..... khususnya sub-bab "The armed
forces as defenders of Pancasila".
52
Nurcholish Madjid, Islam ; Agama.., hal.188-189
i

Anda mungkin juga menyukai