Anda di halaman 1dari 5

Globalisasi, Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial

Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat membuat bola dunia terasa makin
kecil dan ruang seakan menjadi tak berjarak lagi. Cara pandang terhadap duniapun
sudah berubah. Teknologi informasi dalam perubahan cara pandang itu telah menjadi
ujung tombak berbagai perubahan lain yang dirasakan manusia di muka bumi ini.
Namun, perubahan macam apa yang diciptakan dan ke arah mana perubahan itu
berjalan? Siapa yang diuntungkan dan siapa pula yang dirugikan?

Globalisasi : Proses yang Adil?

Globalisasi adalah satu kata yang mungkin paling banyak dibicarakan orang selama
lima tahun terakhir ini dengan pemahaman makna yang beragam. Namun, apa yang
dipahami dengan istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran bagi manusia,
bahwa semua penghuni planet ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja
satu sama lain walau ada rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia
dipandang sebagai satu kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung
satu sama lain dalam jaring-jaring kepentingan yang amat luas.Pembicaraan mengenai
globalisasi adalah pembicaraan mengenai topik yang amat luas yang melingkupi
aspek mendasar kehidupan manusia dari budaya, politik, ekonomi dan sosial.
Globalisasi di bidang ekonomi barangkali kini menjadi kerangka acuan dan sekaligus
contoh yang saat ini paling jelas menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan global
bisa berdampak pada banyak orang di tingkat lokal, sementara wacana globalisasi
dalam hal yang lain mungkin tidak begitu mudah diamati secara jelas.

Contoh yang bisa diangkat mungkin adalah perdagangan internasional, kebijakan


dana moneter internasional hingga ijin operasi perusahaan multi nasional yang
menunjukkan bahwa mata-rantai-dampaknya pada akhirnya akan berakhir pada
pelaku ekonomi lokal, baik positif maupun negatif. Desain globalisasi ekonomi
sendiri misalnya, memang pada awalnya dinilai beritikad positif, yaitu menaikkan
kinerja finansial negara-negara yang dianggap masih terbelakang secara ekonomi
dengan melakukan kerjasama perdagangan dan kebijakan industri. Namun, dampak
negatifnya ternyata tidak bisa dielakkan ketika penyesuaian kebijakan global itu tidak
bisa dilakukan di tingkat lokal. Situasi menang-menang yang ingin dicapai berubah
menjadi situasi kalah-menang yang tak terhindarkan bagi pelaku ekonomi lokal.
Kasus fenomenal seperti yang tak kunjung usai, penjualan perkebunan kelapa sawit
oleh pemerintah baru-baru ini, atau kasus lain yang nyaris tidak terliput secara luas
seperti hilangnya jutaan plasma nuftah di hutan dan Papua Barat, menunjukkan hal itu
dengan jelas. Tentu masih ada banyak yang lain.

Maka, tidak heran apabila kemudian sebagian merasa bahwa isu globalisasi
berhembus ke arah negatif, yaitu bahwa globalisasi hanya menguntungkan mereka
yang sudah lebih dahulu kuat secara ekonomi dan punya infrastruktur untuk
melanggengkan dominasi ekonominya, sementara negara yang terbelakang hanya
merasakan dampak positif globalisasi yang artifisial, namun sebenarnya tetap
ditinggalkan. Sebagian yang lainnya tetap optimis dengan cita-cita hakiki globalisasi
dan yakin bahwa tata manusia yang setara di muka bumi ini akan terwujud suatu saat
nanti dengan upaya-upaya membangun kebersatuan sebagai sesama penghuni bola-
dunia.
Nampaknya, apapun esensi perdebatannya, yang ada di depan mata adalah
berjalannya proses globalisasi di hampir segala bidang tanpa bisa dihentikan.

Teknologi Informasi (TI)

Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini. Mulai
dari wahana TI yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga
internet dan telepon gengam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi
mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang.

Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan
jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham
sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang
dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang
ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi
oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka. Demikian juga peragaan busana di Paris,
yang pada waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo, Sulawesi.

TI telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang lambat dan mengandalkan


interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang serba cepat dan
mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global. Peran Internet tidak
bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global ini sehingga dalam derajat
tertentu, TI disamaratakan dengan Internet. Internet sendiri memang fenomenal
kemunculannya sebagai salah satu tiang pancang penanda kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Internet menghilangkan semua batas-batas fisik yang
memisahkan manusia dan menyatukannya dalam dunia baru, yaitu dunia “maya”.
Setara dengan perkembangan perangkat keras komputer, khususnya mikro-prosesor,
dan infrastruktur komunikasi, TI di internet berkembang dengan kecepatan yang sukar
dibayangkan. Konsep perdagangan elektronik melalui internet, yang dikenal dengan
nama e-Commerce yang lahir karena perkawinan TI dengan globalisasi ekonomi
belum lagi genap berusia lima tahun dikenal –dari fakta bahwa sebenarnya sudah ada
sekitar 20 tahun yang lalu—ketika sudah harus merelakan dirinya digilas dengan
konsepsi e-Business yang lebih canggih. Jika e-Commerce “hanya” memungkinkan
seseorang bertransaksi jual beli melalui internet dan melakukan pembayaran dengan
kartu kreditnya secara on-line, atau memungkinkan seorang ibu rumah tangga
memprogram lemari-esnya untuk melakukan pemesanan saribuah secara otomatis jika
stok yang disimpan di kulkas itu habis dan membayar berbagai tagihan rumah
tangganya melalui instruksi pada bank yang dikirim dengan menekan beberapa
tombol pada telepon genggamnya, maka dengan e-Business, transaksi ekspor impor
antar negara lengkap dengan pembukaan LC dan model cicilan pembayarannya juga
bisa dilakukan dengan wahana dan media yang sama.

Karena itu, wajar jika pemerintah negara-negara Asia, negara yang dianggap kurang
maju, kini mulai secara resmi mendukung perkembangan TI setelah sekian lama
diam-kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perkembangan
teknologi yang demikian cepat ini. Bagi Asia, yang saat ini sedang bekerja keras
mengejar ketinggalan dari negara-negara maju dan pada saat yang sama mengalami
perubahan sosial politik, keberadaan internet khususnya merupakan masalah yang
pelik. Lebih buruk lagi, krisis ekonomi yang dialami Asia pada akhir tahun 90an
menunda perkembangan TI di saat AS dan negara-negara Eropa sedang berkembang
pesat dalam penggunaan teknologi itu.

Pertemuan Asian Regional Conference of the Global Information Infrastructure


Commission (GIIC) di Manila pada bulan Juli 2000 menghasilkan rencana untuk
membangun jaringan komunikasi, menyediakan perangkat pengakses informasi dari
internet untuk masyarakat, menyusun framework penggunaan TI, membangun
jaringan online-pemerintah, serta mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan
daya saing Asia. Namun memang masih ada hambatan, terutama antara lain sumber
daya yang terbatas, masih kakunya sistem pemerintahan, serta perbedaan sosial politik
di antara negara-negara yang kini harus bekerjasama –yang bila gagal diatasi, akan
tetap menempatkan Asia di pihak yang merugi. Salah satu tindakan yang akan
dilakukan oleh pemerintah Asia yang disepakati dalam pertemuan GIIC itu adalah
mempersiapkan hukum mengenai transaksi, kejahatan internet, merek dagang, hak
cipta dan masalah lain.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Tabloid Kontan On-line tanggal 9 Oktober


2000 yang mengutip IDC (Information Data Corporation), dana yang sudah
dibelanjakan untuk kepentingan TI di Indonesia cukup besar. Tahun 2000 ini
diperkirakan US$ 772,9 juta, naik dari US$ 638,4 juta tahun lalu. Jumlah ini belum
termasuk investasi dotcom yang sempat bergairah obor-blarak dalam dua tahun
terakhir. Dari US$ 772,9 juta itu, sebagian besar (57,7%) dibelanjakan untuk
perangkat keras seperti PC dan notebook. Sebagian yang lain (14,4%) dibelanjakan
untuk perangkat lunak. Seharusnya, angka untuk perangkat lunak ini jauh lebih besar
daripada untuk perangkat kerasnya. Hal ini diduga keras karena di Indonesia tingkat
pembajakan masih di atas 90%. Sementara dari 17 sektor yang membelanjakan uang
untuk TI tadi, sektor yang paling banyak mengeluarkan uang adalah komunikasi &
media (19,3%), diikuti oleh discreet manufacturing (16,9%), pemerintah (12,4%), dan
perbankan (11,8%).

TI yang Mendorong Perubahan Sosial?

Sampai dengan bulan Juni 1999, masih menurut sumber dari Kontan On-line, dari
seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa, jumlah personal computer
yang ada di negeri ini hanya sekitar 2 juta unit. Itu berarti hanya 0,95% dari jumlah
penduduk. Angka ini masih sangat kecil jika dijadikan pijakan konsepsi utopis TI
yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial.

Namun, angka sekecil itu yang diperkuat dengan TI, khususnya pemanfaatan jaringan
internet, bisa cukup menimbulkan dilema bagi pemerintah, lebih khusus lagi bagi
negara yang memiliki peraturan ketat. Di jaman Orde Baru berkuasa dulu, TI disikapi
dengan penuh kebingungan, seperti misalnya dalam kasus penggerebekan salah satu
Internet Service Provider (ISP) di Jakarta saat “Kudatuli” –kerusuhan dua puluh tujuh
juli—yang menghebohkan itu. Kasus ini layaknya menghadapkan kemajuan TI
dengan alat perang dan kekuasaan. Dan seperti biasanya, senjata lebih berkuasa
daripada teknologi. Namun, kekuatan TI yang ditekan itu kemudian tampil “jumawa”
dalam episode jatuhnya Orde Baru. Konon, dipercaya bahwa gerakan mahasiswa dan
bantuan logistiknya dikoordinasikan dengan memanfaatkan kecanggihan TI ini.
Bahkan, komunikasi militer pun disadap dan semua sandi militer diterjemahkan oleh
para aktivis dan dibagikan lewat pager, telepon gengam dan email pada para
koordinator lapangan untuk mengantisipasi blokade militer yang menyapu Jakarta dan
kota-kota lainnya saat itu, 1998 dan 1999. TI, secara langsung atau tidak,
berkontribusi atas terjadinya suatu perubahan sosial yang bermakna di Indonesia yaitu
jatuhnya rejim militeristik yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya.

Tapi, entah dimana salahnya, pemerintah baru yang terpilih secara relatif demokratis
pasca rejim Orde Baru ini juga gagap menanggapi kemajuan TI. Keppres 96/2000
yang garis besarnya berisi larangan masuknya investor asing di bidang industri
multimedia di Indonesia, menunjukkan dengan jelas kebingungan pemerintah dalam
merespon perkembangan bisnis multimedia, yang tentu ada dalam mainstream TI.
Dengan Kepres itu, tersirat inferioritas yang luar biasa dalam diri pemerintah.
Pemerintah beranggapan bahwa proteksi itu diberikan dengan asumsi tidak mungkin
pemain-pemain lokal mampu bersaing dengan investor asing dalam dunia TI. Padahal,
justru banyak pemain lokal yang berteriak dan menentang keppres ini. Satu-satunya
pemain lokal yang terlihat paling getol mendukung dikeluarkannya keppres tersebut
hanyalah PT. Telkom. Kebingungan ini juga terlihat jelas dalam perumusan UU
Telekomunikasi beserta PP yang menyertainya. Dalam PP No 52/2000 misalnya,
apabila seseorang ingin mendirikan warung internet, untuk mengurus ijin pendirian
warnet, harus meminta ijin yang ditandatangani oleh menteri (!). Jelas, bahwa
kebijakan pemerintah saat ini menimbulkan semakin banyak masalah yang timbul
dalam pengembangan TI.

Dalam hal politik, meningkatnya tribalisme saat ini mungkin bisa dianggap terkait
dengan kemajuan TI karena memperjelas banyak hal sehingga setiap orang dapat
mengetahui peristiwa yang terjadi di mana saja, yang pada masa lalu tidak terlihat –
tapi bukannya tidak ada. Demokrasi melanda dunia dan dunia menerapkan demokrasi
itu melalui sistem telekomunikasi global. Dengan semakin banyaknya informasi yang
diterima masyarakat, pemerintah harus mulai berubah ke arah sistem dimana
peraturan dan hukum didasarkan bukan pada kemauan pemerintah, melainkan pada
legitimasi masyarakat. Konsep Negara Kesatuan misalnya, jika dilihat dari kacamata
TI dan globalisasi secara paradoks bisa jadi sudah punah karena negara yang efektif
justru memecah dirinya menjadi bagian lebih kecil dan lebih efisien. Kenichi Ohmae
dalam bukunya yang terkenenal The End of the Nation State, melihat dengan jelas
bahwa gagasan “pemerintah pusat adalah bagian yang terpenting dari sebuah
pemerintahan” sudah saatnya ditinggalkan. Dunia dalam kacamata TI saat ini adalah
dunia tentang pribadi orang per orang, bukan negara (state). Dunia yang saat ini,
menurut pencetus ide “The Third Way” Anthony Giddens dengan teori strukturasi
modernisnya, sedang bermetamorfosa dari swapraja menuju swakelola.

Pilihan Strategi Pemanfaatan TI

TI modern memungkinkan kerjasama yang luar biasa antar masyarakat, pelaku


ekonomi dan negara. Sebuah paradoks: karena ekonomi global makin membesar,
maka negara-negara yang mengambil peran akan semakin mengecil. Tanpa TI,
informasi tidak ada, dan tanpa informasi maka semua kegiatan akan berhenti.

Globalisasi, dalam hal informasi dan dilihat dari kacamata TI, jelas adalah
keniscayaan. Tak ada jalan untuk mundur lagi. Menurut Amartya Sen, pemenang
hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 1998, teknologi harus berpihak dan mengabdi
pada manusia. Maka yang harus dilakukan dalam konteks perkembangan TI dan
globalisasi ini adalah membangun kembali keberpihakan TI melalui strategi yang
membela mereka yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan dalam arus globalisasi.

Bagaimana memulai? Pertama, dari yang lokal, yaitu dengan memberikan kesempatan
pada yang kecil. Dengan populasi mencapai 2,1 juta unit usaha yang “tahan banting”
–sudah teruji dalam krisis ekonomi—maka pengusaha kecil, menengah dan koperasi
merupakan sasaran pokok yang harus didorong dan diberdayakan dalam
memanfaatkan TI untuk melakukan perdagangan elektronik karena keterbatasan
modal, sumber daya manusia dan keahlian.

Kedua, adanya infrastruktur perangkat keras ataupun lunak. Dalam hal ini, pemerintah
harus mempunyai visi yang jelas. Dulu Indonesia pernah mempunyai konsep
Nusantara 21, yang sebenarnya sudah diresmikan penggunaannya pada akhir 1996.
Konsep ini harus diakui meniru konsep Singapore One, dan juga Malaysia
Supercoridor. Implementasinya pun saat itu sudah ada, yaitu dengan banyak
munculnya wasantara.net, hasil kerjasama antara PT Telkom dan PT Pos dan
munculnya banyak ISP. Tapi konsep Nusantara 21 terhenti dan terganggu karena
krisis ekonomi dan politik. Sekarang, konsep ini sebenarnya bisa dilanjutkan lagi
karena embrionya sudah muncul di masyarakat yang berupa ISP, warnet dan lain-lain.
Mungkin ini akan lebih mudah karena dulu Nusantara 21 itu sebuah proyek menara
gading yang di bawahnya masih kosong. Nah, sekarang tinggal pemerintahnya.
Adakah visi ke sana?

• Penulis adalah Sekretaris Jenderal Uni Sosial Demokrat Jakarta, Sekretaris


Yayasan Elsppat Bogor dan Staf Pengajar Luarbiasa Jurusan Teknik Industri
Universitas Trisakti Jakarta. Saat ini sedang meneruskan program studi
magister sains di bidang Sistem Informasi di Departemen Komputasi,
University of Manchester – Institute of Science & Technology (UMIST),
Manchester, Inggris.

http://audentis.wordpress.com/2000/12/25/globalisasi-teknologi-informasi-dan-
perubahan-sosial/

Anda mungkin juga menyukai