Anda di halaman 1dari 20

Sejarah Kerajaan 

Sriwijaya
Posted on September 26, 2010 by Mariana City

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวช ั atau “Ṣ̄rī wichạy”) adalah salah satu
ิ ย
Kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara
dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya”
dan wijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari
abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan . Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga
berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran
pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun
1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah
kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa, kerajaan ini takluk di bawah kerajaan
Majapahit.

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan
kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-
Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia). Namun
Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang, yaitu pada
kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.

Historiografi

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”,
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih
atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara
dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Pembentukan dan Pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kekaisaran Sriwijaya telah
ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing.

Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak
memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian
berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar
Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas
tiga zona utama – daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang
berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi
pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga
untuk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah
pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa,
Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya
emas telah meningkatkan prestise kerajaan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau
Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau
Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand

Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu
dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-
candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri
imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,
Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama
masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.

Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung
Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut,
kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Possibly related posts: (automatically generated)

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Dalam bahasa Sansekertasri berarti “bercahaya” danwijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal
mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti paling
tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang
bertarikh 682.

Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di
Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya
Sumatera Jawa Kalimantan dan Sulawesi.

Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan


beberapa peperangandiantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun
1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah
kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah kerajaan
Majapahit.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum
nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.

Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau
San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara
dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn
Sriwijaya.

Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès
dari École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang
Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.

Pembentukan dan Pertumbuhan Kerajaaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak
memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi
utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai
berkembang di wilayah sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama
daerah ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai
daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan.
Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok
Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung tetap diperintah
oleh datu setempat.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan candi-
candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya
meneruskan dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer
memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama.

DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa
Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas
telah meningkatkan prestise kerajaan.

BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada
akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan
Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan
ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada Sriwijaya peristiwa ini
bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan
jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat
Karimata.

Abad ke-7 orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan
Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi
bagian kerajaan. Di masa berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara
Langkasuka juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan
Sriwijaya meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku
Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan
maritim yg hebat hingga abad ke-13.

Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi
militer tetapi lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun 825.

Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya

Sebagaipusat pengajaran Budha Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan 695 serta di
abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan dalam mengembangkan
Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan
sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha
aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
Relasi Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional

Dari catatan sejarah danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera
Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan
Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya mengakumulasi
kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India.

Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir
kerajaan tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya
Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka
860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada
Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah
Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.

Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan
pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan
kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga
takluk dan menjadi daerah bawahan.

Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song
perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran
Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi
dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja
terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok
utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu
Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh
Islam di dalam kerajaan.

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Rajendra Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan
Kedah dan merampas dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut keseluruh imperium Sriwijaya
berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap
memberikan peluang kepada raja-raja yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk
kepadanya. Setelah invasi tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya dan
kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri dan kemudian muncul
Kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung
malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.

Istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tak lagi identik dgn Sriwijaya melainkan telah
identik dgn Dharmasraya dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah jadi dari
daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yg
sebelum merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai Sriwijaya beserta
daerah jajahan lainnya.
Antara tahun 1079 - 1088 kronik Tionghoa masih mencatat bahwaSan-fo-ts’i masih
mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao
disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu
Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari
raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg diserahi urusan negara
San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan rumbia dan 13 potong pakaian. Dan
kemudian dilanjutkan dgn pengiriman utusan selanjut di tahun 1088.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg ditulis pada tahun 1178 Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya
yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama
Budha dan Hindu sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha dan memiliki 15 daerah
bawahan yg meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-si-kia
(Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang)
Ji-lo-t’ing (Cherating pantai timur semenanjung malaya) Ts’ien-mai (Semawe pantai timur
semenanjung malaya) Pa-t’a (Sungai Paka pantai timur semenanjung malaya) Tan-ma-ling
(Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kia-lo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-
lin-fong (Palembang) Kien-pi (Jambi) Sin-t’o (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan
(Kamboja).

DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut ‘Arya Damar’ sebagai bupati
Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343 Prof.
C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347
Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dgn manuskrip yg
terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang
Tanjung Tanah yg kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi
palimbang.

Pada tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi dalam
Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg dikenal dgn nama
Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca
Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya
seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit
sebagai pengganti Singhasari dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta
memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk
kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah
tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn Nagarakretagama
yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit.

Perdagangan Kerjaaan Sriwijaya

Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok
yakni dgn penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya
memiliki aneka komoditi seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan
timah yg membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia Tenggara.

Pengaruh Budaya dan Agama Islam

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425
Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan
kebudayaan Melayu di Nusantara.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia
Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai dikunjungi pendatang
dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa
kerajaan yg semula merupakan bagian dari Sriwijaya kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya.

Pengaruh orang muslim Arab yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial
Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah
satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dgn
permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.

Warisan Sejarah Kemaharajaan Sriwijaya

Berdasarkan Hikayat Melayu pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang
keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada
abad ke-15 keagungan gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai
sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.

Nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota dan nama
ini telah melekat dgn kota Palembang dan Sumatera Selatan.Universitas Sriwijaya yg didirikan
tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pulaKodam
Sriwijaya (unit komando militer) PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera
Selatan)Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang) Sriwijaya TV Sriwijaya Air (maskapai
penerbangan) Stadion Gelora Sriwijaya dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola
Palembang) semua dinamakan demikian utk menghormati memuliakan dan merayakan
kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

Di samping Majapahit kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber
kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi
sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah khusus bagi penduduk kota Palembang
provinsi Sumatera Selatan dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang keluhuran
Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yg sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yg menciptakan kembali
tarian Sevichai (Sriwijaya) yg berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Raja-raja Sriwijaya : Para Maharaja Sriwijaya


Tahun Nama Raja Ibukota Catatan Sejarah

671 Dapunta Hyan

1.     Sejarah dan Lokasi

      Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.

      Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera
Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago
and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah
Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota
Palembang sekarang

2.     Sumber Sejarah

      Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.

B.     Sumber Asing

Sumber Cina
            Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M.
Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama
belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya  dan tinggal selama beberapa tahun
untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.

            Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke
Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M

Sumber Arab

            Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan
sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil
bumi lainya.

 
Sumber India

            Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di
India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda
disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti
Nalanda

 
Sumber lain

            Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan
suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan
pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di
tepi Sungai Musi.
 

            Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan
Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang
tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai
sebutan atau gelar raja

 C.     Sumber Lokal atau Dalam Negeri

            Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.

 Prasasti Kota Kapur

            Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah
perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara
dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.

 Prasasti Kedukan Bukit

            Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta
Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan.
Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud
Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu
sangat strategis untuk perdagangan

 Prasasti Talangtuo

            Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra
atas perintah Raja Dapunta Hyang.

 Prasasti Karang Berahi


            Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

 Prasasti Ligor

            Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan
untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

 Prasasti Nalanda

            Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari
Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar
mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa
Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

 Prasasti Telaga Batu.

            Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk
kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti
ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.
Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar
melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya
ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya

            Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Melayu Kuno.

3.     Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya


Ekonomi

Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh,
kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak,
kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter
dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan
Madagaskar.

Politik

Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan
kerajaan lain.  Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664 M, dengan
menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga
bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu
mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya.
Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa
termasuk sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu
menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada
tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya,   yaitu :

1.      Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya

2.      Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya

3.      Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya

Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :


1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)   

Sosial dan Budaya

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang iklim yang
kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Itsing, seorang pendeta Cina pernah menetap
selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang
si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau,


Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim selalu
berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.

Prasasti dan situs yang ditemukan disekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M),
Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M),
Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.

Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di jambi, Sumatera Selatan dan
Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi
Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi.
Di Lampung, prasasti yang ditemukan, yaitu Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung).
Di Riau, Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

 4.     Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua
kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola
berhasil menawan Raja Cri Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan
bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya.

Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di
sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan
memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah
semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut,
kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan
kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya
di hancurkan oleh Kerajaan Majapahit.

Catatan : Diolah dari berbagai Sumber    

Tags: sejarah, sriwijaya

Prev: Sejarah Nasional Indonesia 1-6


Next: KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA

reply share

Sponsored Links
Shop at the Multiply Marketplace
Low Prices on Shoes, Jewelry, Clothing, Food, Accessories, T-Shirts, Electronics and

Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di
Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan.
Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit
di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar tahun 1200 - 1300
karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta,
sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".Setelah Sriwijaya jatuh,
kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi
Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École
française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).

Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera,
akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini
sudah tentu berkaitan langsung dengan kesadaran politik, kesanggupan dan tanggungjawab
dari bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera
sebenamya tidak terlepas dari berbagai keperluan dan kepentingan.

Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang
kuasa besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya
mengapa I-Tsing, seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku
Mulasarvastivada, yang meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke
Canton. Itulah sebabnya mengapa Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau
Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas (Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-
bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita
mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah novel fiksi yang mengisahkan
petualangan di angkasa dalam fihn Star Track di layar TV anda, akan tetapi merupakan bukti
nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera. Sebagaimana
diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292, sudah
berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem
pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan pedagang dari India, Cina Arab dan Eropa
terus terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan
secara profesional mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model
pemerintahan yang megah dan disegani di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya:
KERAJAAN SRIWIJAYA
Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu
kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perdagangan hasil bumi
Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan,
pertahanan darat dan laut yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah
dalam sejarah dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan
Melayu yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya
untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir
luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para sejarawan telah
menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model pemerintahan yang modern
pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di
Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada
tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan
dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi”1). Wang Gungwu, “The
Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea”, 1958, (Halaman):
135.

Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang


semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang
panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara
Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan
pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak
bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada
kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi
tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina.” Demikian dituturkan oleh Chou
Chù-Fei, malahan “Jambi dan Palembang sebagai pusat perdagangan yang sangat maju” 2).
Rockhill, Notes on relations and trade of China, (Halaman): 134-l 38.

Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh
Chèn Tsàng-chi: “dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-
Sumatera yang mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur
barus yang dipandang sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan. Sebab
pada kurun masa itu, kapur Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga
kebanyakan negara selain Sriwijaya telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu
telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di
Barat Laut India, , kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara melakukan perkara yang sama.” 3). J.G
Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964, (Halaman): 114.

Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus),
hingga kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di
bawah kerajaan Sriwijaya. “Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur
bar-us, yang hablur-nya mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching”. 4) G.
Ferrand, Relations de Voyages et testes Geographyques, (Halaman): 56-57, yang dikutip dari
catatan Ibnu al-Fakih, 902.
Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: “Pada
zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat maju dan masyhur,
oleh itu wajar dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan
barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada
kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya
Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan
perdagangan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada sebelumnya dalam catatan yang
telah kita selidiki.” 5) O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu Kajian Asal Usul
Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 312.

Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan


hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak
abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi
dengan Cina. Hampir setiap tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton”. 6) Prof.
Wealtly, Golden Khersonese, (Halaman): 58.

Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan dagang seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat
antara Jambi-Palembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya.
“Ini harus dipandang sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia
merasa tidak perlu mengingatkan orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung
dengan sering mengirim utusan” 6). O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, suatu Kajian
Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 323.

Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perdagangan, akan tetapi juga dalam
bidang militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. “Sriwijaya di
Sumatera Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting
dalam perdagangan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan
kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang Melayu, mereka
membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer tertua di dalam sejarah
kebangsaan mereka.” 7) Idem, (Halaman): 1.

Seterusnya dikatakan: “raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk
melaksanakan kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militernya bergantung kepada kapal-
kapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda
kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.” 8) Sung Shih, Suma
Oriental, (Halaman):. 235-236.

Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: “untuk memperkuat
angkatan laut dalam usaha mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan
tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara
lain, mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua
menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan” 9). Chu Fan
Chih, Indonesian trade and socities, (Halaman): 106.

Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera
bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India
dan Arab merupakan mitra dagangnya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum
menetapkan peraturan tertulis (perjanjian dagang) mengenai cukai dagang, perjanjian
mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan dagangnya di Selat Melaka.
Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang tidak disadari pada ketika itu,
sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap
Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perdagangan telah dijadikan alasan yang sengaja
dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post dagang Sriwijaya, mitra
dagang yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi “selama dua
abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli
pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri”. 10). O. W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu
kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 336.

Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang tidak dapat lagi
dielakkan. Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada
batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting dalam sejarahnya, yaitu:
1. Prasasti (batu bersurat) di Muara Takus;
2. Prasasti (batu bersurat) di Telaga Batu, Palembang;
3. Prasasti (batu bersurat) di Kota Kapur, Pulau Bangka.

Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah mempengaruhi mentalitas
bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang
panjang dan melelahkan itu telah banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus
meruntuhkan peradaban yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis,
peperangan ini telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran
ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga mampu
melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya sendiditulis p16.48.00

Reaksi: 

0 komentar:

Anda mungkin juga menyukai