Anda di halaman 1dari 2

DKI Jakarta, sebuah kota metropolitan, pusat pemerintahan,

perdagangan, perindustrian, dan berbagai bidang vital manusia berjalan


di kota ini. Tak ayal, kota ini pun diserbu banyak orang dari berbagai
penjuru desa , kota, dan pulau untuk saling mengadu nasib. Hal ini pun
menjadikan kota Jakarta sebagai kota terpadat penduduknya di Indonesia.
Dari pernyataan mendasar tersebut, akan muncul banyak permasalahan
di kota Jakarta, mulai dari pendidikan, kriminalitas, kesehatan, moral,
hingga pergesekan antar etnis. Namun dalam hal ini, saya akan menyoroti
lebih khusus, yaitu masalah lingkungan, khususnya perihal persediaan air
tanah, dan kondisi tanah di DKI Jakarta.

Dalam Koran Seputar Indonesia, Kamis 8 Juli 2010, diberitakan


bahwa permukaan tanah di DKI Jakarta setiap tahun mengalami
penurunan. Faktanya, dalam kurun waktu 18 tahun (1989-2007)
penurunan permukaan tanah mencapai 40-60 cm. Dari tahun 2007-2025
pun diperkirakan akan terjadi penurunan permukaan tanah mencapai 40-
60 cm. Dengan demikian, selama 36 tahun akan terjadi penurunan
permukaan tanah hingga 80-120 cm.

Hal tersebut terjadi karena banyak hal, salah satunya yaitu akibat
tingginya penggunaan air tanah di Jakarta. Sebenarnya, hal ini telah
diantisipasi oleh Pemerintah dengan mengadakan Perusahaan Air Minum
(PAM). Perusahaan ini bertujuan mengalihkan masyarakat DKI Jakarta
yang masih menggunakan sumber air tanah kepada suplai air bersih dari
pemerintah. Sehingga, penggunaan air tanah dapat berkurang dan
penurunan permukaan tanah dapat diminimalisir. Namun, hal ini tidak
dapat berlangsung mudah begitu saja, berdasarkan data, hanya 47%
konsumen air bersih yang menggunakan fasilitas PAM, sisanya, masih
menyedot air tanah untuk keperluannya sehari-hari. Tak heran, hal ini
mungkin terjadi karena kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat
mengenai dampak penggunaan air tanah dan pasokan air PAM yang
digunakan pemerintah. Banyak masyarakat perumahan yang masih takut
menggunakan air PAM, alasannya, air PAM dipasok dari sungai-sungai di
DKI Jakarta yang kemudian difilterisasi sehingga jernih kembali dan layak
pakai. Bagi masyarakat DKI Jakarta, yang setiap hari melihat buruknya
kualitas air sungai di DKI Jakarta, akan merasa enggan dan jijik apabila
mereka harus menggunakan air sungai tersebut untuk keperluan sehari-
hari, sekalipun telah melalui banyak proses filterisasi. Selain itu, pasokan
air PAM terkadang tidak stabil, sering ada kerusakan dan kekurangan
pasokan air, sehingga, masyarakat tidak dapat mengandalkan PAM
sebagai pemasok air bersih satu-satunya, dengan kata lain, kembali
beralih ke air tanah dan menjadikan PAM sebagai cadangan pemasok air
bersih. Dan terakhir, alasan klasik yang ada yaitu, kendala ekonomi yang
semakin mencekik masyarakat ibukota. Dengan penggunaan air bersih
dari air tanah, maka mereka tidak perlu membelanjakan uang mereka
setiap bulannya. Karena dalam benak mereka, selama masih ada yang
gratis, untuk apa mencari yang berbayar. Sehingga, uang tersebut dapat
dialokasikan kepada kebutuhan lainnya yang juga mendesak.

Pemerintah dipastikan harus melakukan berbagai upaya untuk


mengatasi hal ini bila tidak mau Perusahaan Air Minum yang didirikannya
itu terbengkalai begitu saja. Banyak cara yang dapat ditempuh
pemerintah, diantaranya yaitu dengan mengadakan sosialisasi dan
penyuluhan mengenai dampak penggunaan air tanah di DKI Jakarta. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama melalui kelurahan-kelurahan
setempat sehingga akan lebih efektif. Selain itu, pemerintah juga harus
membenahi kinerja Perusahaan Air Minum, dengan menampung segala
keluh kesah masyarakat dan mengadakan perbaikan. Sehingga, akan
tercapai kepercayaan masyarakat terhadap PAM untuk kebutuhan air
bersih mereka.

Anda mungkin juga menyukai