Hal tersebut terjadi karena banyak hal, salah satunya yaitu akibat
tingginya penggunaan air tanah di Jakarta. Sebenarnya, hal ini telah
diantisipasi oleh Pemerintah dengan mengadakan Perusahaan Air Minum
(PAM). Perusahaan ini bertujuan mengalihkan masyarakat DKI Jakarta
yang masih menggunakan sumber air tanah kepada suplai air bersih dari
pemerintah. Sehingga, penggunaan air tanah dapat berkurang dan
penurunan permukaan tanah dapat diminimalisir. Namun, hal ini tidak
dapat berlangsung mudah begitu saja, berdasarkan data, hanya 47%
konsumen air bersih yang menggunakan fasilitas PAM, sisanya, masih
menyedot air tanah untuk keperluannya sehari-hari. Tak heran, hal ini
mungkin terjadi karena kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat
mengenai dampak penggunaan air tanah dan pasokan air PAM yang
digunakan pemerintah. Banyak masyarakat perumahan yang masih takut
menggunakan air PAM, alasannya, air PAM dipasok dari sungai-sungai di
DKI Jakarta yang kemudian difilterisasi sehingga jernih kembali dan layak
pakai. Bagi masyarakat DKI Jakarta, yang setiap hari melihat buruknya
kualitas air sungai di DKI Jakarta, akan merasa enggan dan jijik apabila
mereka harus menggunakan air sungai tersebut untuk keperluan sehari-
hari, sekalipun telah melalui banyak proses filterisasi. Selain itu, pasokan
air PAM terkadang tidak stabil, sering ada kerusakan dan kekurangan
pasokan air, sehingga, masyarakat tidak dapat mengandalkan PAM
sebagai pemasok air bersih satu-satunya, dengan kata lain, kembali
beralih ke air tanah dan menjadikan PAM sebagai cadangan pemasok air
bersih. Dan terakhir, alasan klasik yang ada yaitu, kendala ekonomi yang
semakin mencekik masyarakat ibukota. Dengan penggunaan air bersih
dari air tanah, maka mereka tidak perlu membelanjakan uang mereka
setiap bulannya. Karena dalam benak mereka, selama masih ada yang
gratis, untuk apa mencari yang berbayar. Sehingga, uang tersebut dapat
dialokasikan kepada kebutuhan lainnya yang juga mendesak.