Anda di halaman 1dari 4

IBD adalah salah satu usaha mengembangkan kepribadian mahasiswa dwngan cara memperluas

wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai – nilai budaya. Yang semulanya IBD
berasal dari bahasa inggris The Humanities, yaitu istilah latin humanus, yang berati manusiawi,
berbudaya, dan halus. Agar orang tersebut dapat mempelajarinya lebih dari itu.
Sastra juga didukung oleh cerita. Dengan cerita orang akan lebiyh mudah tertarik, dan dengan cerita
orang lebih mudah mengemukakan gagasan – gagasannya dalam bentuk yang tidak normative. Akan
tetapi dalam bentuk musik misalnya, kata – kata penciptanya yang tertelan oleh melodinya.
B. ILMU BUDAYA DASAR YANG DIHUBUNGANKAN DENGAN PROSA
Istilah prosa banyak pandanannya. Dalam bahasa Indonesia istilah prosa tadi sering kita terjemahkan
menjadi cerita rekaan dan didefinisikan menjadi bentuk serita atau prosa kisahan yang mempunyai
pemeran, lakuan, peristiwa dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, yaitu roman, atau
novel, atau cerpen.
Contohnya prosa lama dan prosa baru yang kesusastraannya dari dalam Indonesia.
· Prosa lama meliputi:
1. Fabel.
2. Legenda.
3. Cerita rakyat (fokslore).
4. Tambo.
5. Cerita pelipur lara.
· Prosa baru meliputi:
1. Roman.
2. Riwayat.
3. Antologi.
4. Resensi.
5. Kritik.
. ILMU BUDAYA DASAR YANG DIHUBUNGKAN DENGAN PUISI
Puisi dipakai sebagai media sekaligus sebagai sumber belajar sesuai dengan tema-tema atau pokok
bahasa yang terdapat di dalam ilmu budaya dasar.
Adapun alasan-alasan yang mendasari penyajian puisi pada perkulian ilmu budaya dasar adalah
sebagai berikut :
1.Hubungan puisi dengan pengalaman hidup manusia.
2.Puisi dan keinsyafan / kesadaran individual.
3.Puisi dan keindyafan social.
Puisi-puisi umumnya syarat akan nilai-nilai etika,estetika dan juga kemanusiaan.Salah satu nilai
kemanusiaan yang banyak mewarnai puisi-puisi adalah cinta kasih(yang terpaut di dalamnya kasih
saying, cinta, kemesraan dan renungan).
S
Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia
hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal
melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.

PARA sastrawan Indonesia kini bukanlah ahli waris kebudayaan dunia. Kelompok avant-garde tahun
40-an, Angkatan 45, memang menganggap diri demikian. Tapi mereka sebenarnya ahli waris dari
lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang
menjauh dan masa depan yang belum pasti.
Dalam titik ini, kesusastraan Indonesia mewakili keraguan dan kebimbangan—yang kadang terdengar
seperti kata lain dari pencarian. Hidup, apa pun jadinya, tidak lagi merupakan lingkaran tertutup.
Sekalipun tidak seterbuka sebagaimana-nampaknya.
Sampai tingkat tertentu, ini memang merupakan pilihan yang merepotkan. Apa yang berlanjut dari
situasi ini ialah beberapa bentuk pertikaian batin yang tak kunjung usai, di hadapan alternatif-alternatif
sejarah: memilih salah satu sama halnya dengan memungut kans untuk menerobos ambang yang tak
diketahui.
Boleh dikata, kesusastraan Indonesia dimulai dengan protes.
Tema novel-novel yang menonjol yang ditulis pada tahun 20-an kebanyakan memperlihatkan kepada
pembaca kesulitan berlakunya adat, pola-pola hidup tradisional. Ketika Marah Rusli menulis Sitti
Nurbaja (terbit 1922), konon, demikianlah ditafsirkan, ambisinya yang terutama bukanlah ingin
menjadi novelis; ia hanya tak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang
tidak sehat” pada zamannya.
Sekalipun begitu, enam tahun kemudian, sebuah karya penting lain, Salah Asuhan, yang ditulis oleh
Abdul Muis, mengingatkan bahwa pemberontakan sedemikian barangkali tak akan membawa apa-apa
kecuali malapetaka. Pendidikan dan adat kebiasaan Barat dari si tokoh, penolakannya untuk menerima
kerangka hidup kebudayaan bumiputra, merusak keharmonisan kehidupan keluarga. Hanafi, tokoh
tersebut, meninggal dengan penyesalan yang tipikal. [1]
Begitulah kebimbangan kita. Perdebatan terkenal pada akhir tahun 30-an, yang dikemukakan para
pengarang Indonesia dan kaum intelektual lain, juga merupakan contoh yang baik. Perdebatan yang
dihimpun dengan kata pengantar oleh Achdiat Kartamihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1954)
itu berlangsung antara mereka yang mengambil inspirasi Barat dan mereka yang enggan menerimanya
sebagai Mekkah baru.
Dalam sejarahnya, kesusastraan Indonesia memang mencerminkan pengembaraan dan ketidaktetapan
kita, karena tetap tinggal dua dunia impian dan kepercayaan, dan perselisihan, mungkin juga dialog,
yang berulang-ulang antara mereka.
Itulah alasan yang menjelaskan masalah yang kita hadapi adakah seorang pengarang perlu
menanggungkan rasa bersalah seperti anak hilang dari komunitasnya, atau haruskah ia memulihkan
kembali keharmonisan dengan kerabat dan sekitarnya; haruskah ia berhak mengejutkan
lingkungannya, dari tidur pastoral, atau mempertahankan sifat idilis dalam melawan gelombang
modernitas yang membingungkan?
Kesusastraan Indonesia kontemporer tak mau menyiratkan bawah-sadar suatu masyarakat
masa transisi tempat ia tumbuh. Keadaannya bagaikan bayi dalam saat-saat yang sulit
selama proses kelahiran: bagian bawah tubuh masih berada dalam rahim ibunya, tapi pada
saat itu pula kepalanya telah berada di dunia luar.

Terdapat memang suatu masa, ketika kebimbangan kelihatannya tidak terasa lagi, yaitu dalam
kehidupan dan karya-karya Chairil Anwar (1922-1949). Ia, tak pelak lagi, merupakan tokoh yang
paling penuh warna dari generasinya, tampil mengejutkan di depan puing-puing suram dunia kolonial
dan pemandangan bersahaja dari udik negerinya.
“Kita, anak dari masa lain,” serunya dalam salah satu pidatonya. “Pengetahuan dan teknik zaman ini
tinggi sudah.” Beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati, menurut Chairil, pada suatu
saat, akan dipanjat, dan akan dipotong cabang-cabangnya yang merindang-merimbun tak perlu. “Aku
berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah,” katanya lagi.
Itulah penjelasan bagi seluruh pemberontakannya: suatu postur modern total. Puisinya, yang
kebanyakan ditulis di Jakarta, memproyeksikan, ke dalam sederetan kata-kata yang intens, keresahan
seorang individualis kota besar—sesuatu yang sangat jauh dari nada santai lingkungannya.
Saya ragu adakah ia sadar tentang kontradiksi ini: betapa pun juga, sebenarnya ia merupakan hasil
yang penuh gairah dari pertemuan rohani dengan dunia cendekiawan metropolis, yang diwakili oleh
para pengarang Eropa dan Amerika, sedangkan lingkungannya yang terdekat adalah tipikal kehidupan
kampung.
Dalam kata-kata Sitor Situmorang, penyair penting lain dari generasinya yang kemudian menjadi
seorang nasionalis yang bersemangat: “……kenyataan tetap tunggal bahwa akhirnya daerah puisi
Chairil Anwar itu, yang kosmopolitis dan individualistis berada di tengah-tengah daerah-daerah luas
yang asing dari padanya.” [2]
Tak mengherankan, kritik-kritik pun ditembakkan kepadanya kemudian: seluruh karyanya merupakan
pencarian seorang individualis yang tak punya lindungan, pelopor yang seolah-olah tak bersejarah,
yang mengejutkan latar kebudayaan tradisional dari mayoritas di sekitar diri dan kelompoknya.
Angkatan 45 dan khususnya Chairil Anwar, dengan meneriakkan kata-kata yang menghujat surga dan
menggedor kesusilaan yang lazim, agaknya terpukau oleh cakrawala cerah tahun-tahun baru
kemerdekaan, dan abai untuk menghiraukan kekuatan nyata dari unsur-unsur tradisional dalam
masyarakat.
Dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, mereka mengumumkan: “Kami adalah ahli waris yang sah
dari kebudayaan dunia…. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami
memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat…. Revolusi bagi kami ialah penempatan
nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.”
Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia
hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal
melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.

Kurang dari tujuh tahun setelah Chairil Anwar mati muda dengan penyakit yang hinggap dari jalanan,
pemberontakannya berangsur-angsur dipertanyakan. Pengarang-pengarang lain muncul, dan tahun 50-
an praktis menjadi zaman post-Chairil. Juru bicara kelompok pengarang yang menyatakan mewakili
zaman ini adalah Ajip Rosidi (lahir di tahun 1938), yang kumpulan sajaknya yang pertama, Ketemu di
Djalan (diterbitkan dengan karya dua penyair lainnya) terbit tahun 1956.
Dalam pidato yang disampaikannya di sebuah simposium sastra mahasiswa di Jakarta tahun 1960, ia
memaklumkan lahirnya “Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia”, yang mengecam Chairil Anwar dan
teman-teman semasanya.
“Secara rohaniah,” tulis Ajip, “tanah air mereka adalah Belanda dan Eropa.” Sedang generasinya
sendiri, kata Ajip, merupakan hasil “pertumbuhan yang, wajar dan berakar di bumi tanah air.” [3]
Tentunya di sini terdapat sedikit hal yang agak dilebih-lebihkan, untuk mendapatkan kontras. Tetapi
yang paling penting adalah semangat di belakang pernyataan ini. Setelah zaman bergelora dan
kontroversial yang pendek yang diberi ciri oleh Chairil Anwar, bandul kelihatan berayun kembali
sekali lagi ke arah lain. Ketimbang meretakkan keharmonisan antara mereka sendiri dengan kehidupan
bersama di sekeliling mereka, dan merasa perlu meraba kembali akar untuk tak tercerabut, pengarang
tahun 50-an cenderung menulis karya-karyanya di atas “bumi sendiri.”
Demikianlah ketenangan meraja, dan ide pemberontakan merupakan sesuatu yang tak galib. Zaman itu
penyair-penyair muda Indonesia menulis pastoral yang hangat, keindahan legenda dan permainan
anak-anak, serta balada romantis yang diterbitkan oleh berkala seperti Kisah, Seni (keduanya di
Jakarta) dan Budaja (di Yogya). Sebuah buku puisi yang tipikal buat tahun 50-an antara lain adalah
Priangan si Djelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah sang penyair.
Pengarang dari karya yang penuh getar muda ini adalah Ramadhan K.H., penerjemah puisi dan lakon
Federico Garcia Lorca.
Lainnya adalah Balada Orang-orang Tertjinta oleh W.S. Rendra. Warna-warninya dalam banyak hal
memberi kesan diangkat dari alam sekitar di daerah, dan tokoh-tokoh yang mirip legenda.
Perlu disebutkan pula di sini Romansa Perdjalanan oleh Kirdjomuljo. Kumpulan sajak ini, meskipun
kurang berhasil ditinjau dari segi sastra, masih termasuk salah satu contoh kesusastraan Indonesia
tahun 50-an. Setidak-tidaknya, suatu pencerminan dari perasaan yang terdapat di mana-mana pada
zaman itu.
Corak umum dari karya-karya ini sangat berbeda dengan karya-karya kelompok avant-garde tahun 40-
an: ungkapannya lebih manis, temanya kurang bersifat polemis, dan tentunya lebih diperindah dengan
corak atau warna lokal. Individualitas nampak dalam siluet. Dengan mudah dapat diraba, suatu
keinginan yang tersirat untuk mendapatkan kembali surga—sejenis kerinduan untuk balik kembali ke
rahim Ibu Bumi, sang Pertiwi.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita di sini menemui suatu gerakan kesusastraan yang secara
sadar sepenuhnya berorientasi kepada sifat kebangsaan. Apa yang sedang saya coba tunjukkan adalah
salah satu gejala yang paling berarti dari tahun 50-an: masalah keseorangan nampaknya semakin
kurang relevan dalam pembicaraan kesusastraan: kualitas kenasionalan merupakan hal pertama yang
penting dibicarakan. Jelas, ada secercah sikap nasionalistis di sini, terkadang dengan sentuhan perasaan
kedaerahan.
Dan itu wajar saja. Pernyataan kelahiran yang dikemukakan Ajip Rosidi di atas, hanyalah satu contoh
dari ciri suatu semangat zaman yang tersembunyi, yang nampak juga dalam kegiatan-kegiatan lain,
misalnya dalam hal pencarian suatu identitas nasional yang lebih terumuskan. Kemerdekaan saja
nampaknya tidak cukup, tidak sekadar pengertian bebas dari penjajahan pra-1945. Semangat ini,
sebagai nampak dalam perkembangan selanjutnya, mencapai kepesatannya pada tahun-tahun
“pemerintahan revolusioner” Presiden Soekarno: 1958-1966.
Zaman Soekarno bukanlah zaman kesusastraan yang didikte, setidak-tidaknya pada permulaan periode
itu. Ada pendapat yang dalam membicarakan masa pemerintahan “demokrasi terpimpin” itu seringkali
mengesankannya sebagai pemerintahan yang bertipe totaliter lengkap, suatu impian buruk novel
George Orwell, 1984. Memang, kebebasan berbeda pendapat semakin terbatas, setidaknya jauh
berkurang dari beberapa belas tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Tetapi sampai derajat tertentu perbedaan pendapat toh tetap ada—meskipun ini lebih disebabkan oleh
kenyataan bahwa perbedaan pendapat itu tidak dapat dihindarkan, ketimbang oleh suatu filsafat
kekuasaan yang sengaja membiarkan perbedaan itu. Dalam situasi seperti itu yang tak cukup kita
miliki ialah suatu sistem modern untuk mengelola konflik-konflik pendapat tadi.
Dalam hal seperti itulah, zaman Soekarno bisa menimbulkan sebuah kenangan yang gamblang tentang
sejenis pemerintahan gaya kerajaan lama, bersifat otoriter tetapi tidak rnengembangkan alat
pengawasan politik yang efisien dan tuntas. Jika ditilik kembali, masa itu dapat nampak sebagai
semacam kelahiran baru dari beberapa nilai sosial tradisional, dengan aksen Jawa. Kata-kata besar
pada zaman itu, seperti “Kembali kepada kepribadian Indonesia” dan “Kebudayaan nasional”
menggambarkan perasaan utama periode tersebut.
Sekalipun demikian, tak ada blueprint yang jelas tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia
akan dibangun, sesuatu yang umumnya harus diharapkan dari suatu ideologi negara yang revolusioner.
Hal ini telah mengakibatkan timbulnya perdebatan yang riuh di antara beberapa kelompok, yang akan
saya bahas nanti.
Soekarno sendiri bukanlah seorang pemikir yang sistematis, dan ternyata tidak mempunyai ide yang
jelas mengenai apa yang harus dilakukan sepanjang menyangkut masalah-masalah kebudayaan. Tetapi
setidak-tidaknya ia telah berhasil mengobarkan suatu perasaan dan menanamkan suatu kebiasaan—
perasaan persatuan dan kebiasaan untuk mengalihkan segala sesuatu kepada ideologi.
Mulai saat itu, terjadi pemudaran individualitas, setidaknya sebagai issue, dalam ekspresi seni dan
sastra. Cuaca kehidupan politik mencegah para sastrawan untuk berbicara mengenai perasaan dan
masalah-masalah diri yang intim: untuk hal-hal semacam itu kita melakukan penyensoran terhadap diri
sendiri.
Maka periode itu pun merupakan periode yang penuh dengan percakapan hal-hal besar dan kata-kata
abstrak dalam sajak. Tema-tema yang berkenaan dengan masalah cinta, seks, kesepian dan absurditas
kematian kurang dianggap patut.
Tapi itulah semangat yang merangsang tahun-tahun pertama 60-an. Sesungguhnya, ideologi negara,
yang dikodifikasikan dari pidato-pidato Soekarno itu, mempunyai daya tarik sejati bagi orang banyak.
Tentu saja ideologi itu sendiri tidak lengkap; bahkan mungkin di beberapa bagian tidak jelas benar.
Meskipun demikian, seperti dikatakan dengan kena oleh Herbert Feith tentang periode ini, tanggapan
umum terhadap ideologi tersebut pada masa itu ialah, bahwa “ini mungkin bukan suatu ideologi yang
sangat baik dan lengkap, tetapi suatu ideologi merupakan hal yang kita butuhkan.” [4]
Tidaklah mengherankan, bahwa ideologi yang begitu terdengar revolosioner, tetapi sekaligus tak
lengkap, rela —atau terpaksa—membuka kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari komunisme,
khususnya bila ideologi itu harus berbicara mengenai kebudayaan. Di antara kekuatan politik yang ada,
hanya orang-orang komunislah dewasa ini yang menaruh perhatian yang serius pada masalah-masalah
kebudayaan.
Alasannya sangat sederhana, seperti ditunjukkan oleh George Steiner: Marxisme-Leninisme dan rezim
politik yang memainkan peranan atas nama ideologi tersebut menanggapi perkara kesusastraan (dan
karya-karya seni lainnya) secara serius, bahkan secara berlebihan serius. Mereka mempunyai tradisi
kesusastraan dan kritik tersendiri, sebagai bagian dari sejarah revolusi mereka. Dan sebagian untuk
memenuhi kebutuhan terhimpunnya “front persatuan nasional”, dan sebagian lagi untuk memperoleh
bantuan dari kaum cendekiawan, Partai Komunis Indonesia mendirikan organisasi kebudayaan
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sebuah badan penerbitan yang aktif.
1958

Anda mungkin juga menyukai