Anda di halaman 1dari 6

JAKARTA - Tubuh manusia normal terdiri atas 46 kromosom.

Setiap kromosom menyimpan misteri


bawaan yang kini sedang gencar dipecahkan oleh para ilmuwan genetika. Sejak tahun 1990, Proyek
Genoma Manusia (Human Genome Project) telah dimulai oleh Departemen Energi dan National Institutes
of Health Amerika Serikat (AS). Rencananya proyek penguraian kode genetika manusia yang terdapat
dalam kromosom ini akan berlangsung selama 15 tahun.
Cukup banyak gangguan kesehatan yang muncul akibat kelainan kromosom. Down Syndrome (DS)
hanya salah satunya. Kondisi ini merupakan kelainan genetika sejak lahir. Menurut Dr.Alida Harahap,
peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, DS merupakan keadaan di mana dalam tubuh manusia
menderita kelebihan kromosom 21.
Dalam tubuh manusia ada milyaran sel. Semua sel memiliki pusat informasi genetik yang disebut
kromosom. Sebagian besar sel itu mengandung 23 pasangan kromosom (total 46 kromosom). Hanya sel
reproduksi, yaitu sperma dan ovum yang memiliki 23 kromoson tanpa pasangan. Pada kasus DS,
kromosom nomor 21 jumlahnya tidak dua sebagaimana umumnya, melainkan tiga, sehingga total 47
kromosom. Jumlah kromosom yang tidak normal ini bisa ditemukan di seluruh sel (92 persen kasus atau
di sebagian sel tubuh). Akibat jumlah kromosom 21 yang berlebihan itu, terjadi goncangan sistem
metabolisme di sel yang berakibat munculnya DS.
”Penyebab ini baru diketahui pada tahun 1930-an oleh Waardenberg dan Blayer. Namun baru 30 tahun
kemudian dapat dibuktikan kelebihan kromosom 21. Keadaan ini secara akademis disebut Trisomi 21,”
jelas Alida.
Nama DS sendiri berasal dari nama seorang dokter yang pertama kali melaporkan kasus hambatan
tumbuh kembang psikomotorik dan berakibat gangguan mental pada 1866. Dokter tersebut adalah Dr.
John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai monglismus, sebab
memang penderitanya memiliki ciri fisik menyerupai ras mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini
diganti menjadi DS. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada
ras mana saja tanpa membedakan jenis kelamin.
” Sejak bayi baru lahir atau neonatus, DS bisa dideteksi. Bahkan kemajuan teknologi memungkinkan
dilakukannya amniosentesis, yaitu pengambilan cairan kandungan untuk diperiksa keadaan kromosom
janin bayinya,” kata Dr. dr. Wahyuning Ramelan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI).

Empat Kelompok
Wahyuning mengelompokkan kelainan kromosom DS terdiri atas empat kelompok. Kelompok terbesar
adalah DS primer, diderita oleh 70-80 persen pasien DS. Sementara jenis DS lain adalah DS sekunder,
DS tertier dan DS kuarterner.
Menurut Wahyuning, antara DS primer dan sekunder mempunyai gejala hampir sama. Sedangkan DS
tertier atau mosaik sangat bervariasi, sebab masih ada sebagian sel tubuh yang normal. Demikian pula
DS kuarterner yang kadang bisa ” menipu” orang lain. Dari penampilan penderita tampak normal, padahal
punya kelainan kromosom.
Secara umum, hampir semua penderita DS berwajah sama. Mayoritas mereka punya wajah melebar,
kesan rata dengan hidung kecil, gigi tak teratur dan daun telinga agak tak normal. Mata menyipit dengan
ujung medial lebih renggang dari normal (hipertelorismus). Bibir agak tebal dengan lidah sering menonjol
karena lebih besar dari normal.
Yang fatal adalah mereka berisiko menderita kelainan jantung sebanyak 40 persen. Diikuti pula oleh
kelainan sistem pencernaan, ginjal, kelenjar tiroid dan adrenalin. Organ reproduksi laki-laki DS tidak
berkembang baik, sehingga umumnya mereka mandul. Sedang pada perempuan mengalami gangguan
fungsi ovarium dan menstruasi tak teratur, tapi fertilitas masih cukup baik. Cacat spesifik lain adalah
tingkat IQ di bawah normal. Bahkan sebagian besar mereka sama levelnya dengan penderita idiot, yaitu
di bawah 30. Akibatnya psikomotorik mereka terganggu.

Masih Misteri
” Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan berbagai kelainan klinis pada DS. Antara lain adanya
suatu produk yang disebut sebagai radikal bebas yang bersifat toksik dalam jaringan,” jelas Alida.
Menurut Alida, dalam keadaan normal pun dalam tubuh kita selalu terbentuk radikal bebas, tapi tubuh
manusia normal dapat menetralisirnya. Pada kasus DS karena ada ketidakseimbangan enzim tertentu
maka terjadi kelebihan radikal bebas. Penetralannya bisa dibantu dengan pemberian anti oksidan seperti
vitamin E. Sayangnya telah terbukti bahwa pemberian anti oksidan ini tidak terlalu membantu. Hal ini
menurut Alida disebabkan oleh adanya faktor lain yang belum kita ketahui.
Sampai saat ini pemicu kelainan kromosom belum bisa diungkap. ”Dalam dunia kedokteran, DS tidak
bisa diobati secara causatif karena kromosom yang mengalami kelainan itu sudah menyebar ke seluruh
tubuh. Yang bisa dilakukan hanya memberi latihan dan terapi fisioterapi agar otak dan organ tubuhnya
bisa dirangsang berfungsi baik,” komentar Wahyuning.
Sementara menurut berita dari BBC News, tanda-tanda penyembuhaan DS sudah mulai tampak dengan
selesainya pemetaan gen kromosom 21 oleh sebuah konsorsium di Jerman dan Jepang pada Mei 2000.
Hingga saat ini baru kromosom 22, selesai akhir tahun 1999, dan kromosom 21 yang secara lengkap
telah dipetakan. Hasil proyek Genom Manusia itu memberi harapan besar ke arah riset DS yang lebih
mendasar serta pengembangan metode terapi dan pengobatan. Contohnya, dari hasil pemetaan 225 gen
pada kromosom 21, kemungkinan akan berhasil diidentifikasi gen-gen atau interaksi antargen yang
menyebabkan keterbelakangan mental penderita DS. Dengan diketahuinya gen-gen itu, terapi dapat
dikembangkan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan penyebab keterbelakangan mental. (mer)

Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan kelainan genetik yang terjadi pada
kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3,[1] yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi
klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan
mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri
yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar
menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun 1970an
para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut
dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini
penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Gejala atau tanda-tanda


 2 Definisi sindrom down
 3 Pencegahan
o 3.1 Pemeriksaan diagnostik
o 3.2 Penatalaksanaan
 4 Rujukan

] Gejala atau tanda-tanda


Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama
sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.

Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang
menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian
anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar,
mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi
sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian
tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari
pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.

Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini
juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.

Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya
berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui
kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal
atresia).

Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti
muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih
lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.

Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio APP (bahasa Inggris: amyloid
precursor protein)[2] seperti pada penderita Alzheimer.

Kelainan kromosom kerap diungkap dokter sebagai penyebab keguguran, bayi meninggal
sesaat setelah dilahirkan, maupun bayi yang dilahirkan sindrom down. Bukankah kromosom
merupakan tempat DNA atau zat dasar yang mencetak manusia?

Kelainan kromosom, terang ahli genetika dari Laboratorium Klinik Utama “Johar” Jakarta,
dr. Singgih Widjaja, umumnya terjadi saat pembuahan, yaitu saat sperma ayah bertemu sel
telur ibu. Namun sebelum ovum dan sperma ini matang, terjadi pembelahan 2 kali yang
mengurangi jumlah kromosom dari 46 menjadi 23. “Nah, pada pembelahan inilah bisa
terjadi gangguan. Misal, saat pematangan sel telur, salah satu kromosom tak bisa pisah
alias

Setelah matang, ovum punya 22 pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom X.
Sedangkan separuh sperma punya 22 kromosom autosom dan 1 kromosom Y. “Padahal
hasil dari pertemuan ovum dan sperma yang dinamakan zigot, bila kelak jadinya
perempuan seharusnya punya 44 kromosom autosom dan 1 kromosom XX. Sedangkan
zigot yang menjadi pria punya 44 kromosom autosom dan kromosom XY.”

Dengan demikian, kromosom normal orang tua bisa diturunkan sebagai kromoson normal
pada anaknya, namun bisa pula diturunkan abnormal jika pada proses penurunannya ada
kelainan atau gangguan.
ANEKA KELAINAN

Ada 4 tipe penyebab kelainan kromosom, yaitu (1) nondisjunction: ada gangguan dalam
pelepasan sepasang kromosom, entah terjadi pada sebagian atau seluruhnya; (2)
translokasi: terjadi penukaran 2 kromosom yang berasal dari pasangan berbeda; (3)
mosaik: terjadi salah mutasi pada mitosis/pembelahan di tingkat zigot; dan (4) reduplikasi
atau hilangnya sebagian kromosom.

“Namun yang terberat bila ada bagian kromosom yang hilang atau ditambahkan yang
disebut trisomi, atau karena struktur kromosom yang berubah,” jelas Singgih. Nah, dari
ketidakseimbangan autosom ini, kelainannya pun macam-macam, antara lain:

* Trisomi 21: Pada kelainan ini, kromosom nomor 21 ada 3 buah, bukan 2 buah seperti
seharusnya. Itulah mengapa, kelainan ini sering dikatakan trisomi 21. Dampaknya, bayi
yang dilahirkan mengalami mongoloid atau sindrom down.

* Trisomi 18: Kromosom nomor 18 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan mengalami sindrom
edward, biasanya akan meninggal sesaat setelah lahir.

* Trisomi 17: Kromosom 17 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan akan meninggal setelah lahir.

* Trisomi 13: Kromosom 13 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan mengalami sindrom patau,
juga meninggal sesaat setelah lahir.

* Cat eye syndrome: Pada kasus ini, kromosom 22 hilang sebagian. Bayi yang dilahirkan
akan mempunyai kelainan pada bentuk muka dan jantungnya.

Sementara kelainan kromosom seks lebih sedikit dibanding kelainan autosom, yaitu:

* Sindrom turner: Biasanya terjadi pada wanita, yaitu jumlah kromosomnya ada 45 buah
dengan kromosom seksnya cuma 1 X, bukan XX seperti umumnya. Otomatis, anak
perempuan yang mengalami sindrom ini tak bisa mentruasi.

* Sindrom poli-X atau superfemale: Juga Terjadi pada wanita. Jumlah kromosomnya 47
XXX. Biasanya anak dengan sindrom ini jadi kurang IQ-nya atau retardasi mental ringan.

* Sindrom kleinefelter: Biasanya terjadi pada lelaki, yaitu jumlah kromosomnya 47 XXY.
Padahal, kromosom lelaki harusnya XY. Jadi, dalam kelainan ini, meski kromosomnya lelaki
tapi fisiknya perempuan. Soalnya, ia tak punya uterus atau rahim, hingga ia tak akan bisa
mengalami menstruasi apalagi punya anak. Hal ini disebabkan pertumbuhan hormon yang
tak bisa ke testis, hingga larinya ke payudara. Jadi, testis biasanya ada tapi kecil. Pun
vaginanya sangat kecil dan cetek.

PEMERIKSAAN KROMOSOM

Adapun mereka yang berisiko tinggi dalam terjadinya kelainan kromosom, antara lain:

a. Orang dengan kelainan genetik kongenital (bawaan), yaitu ayah atau ibu yang membawa
kelainan kromosom. “Misal, yang kromosomnya mengalami translokasi. Mungkin pada
mereka tak menjadikan masalah kecacatan karena kromosomnya tetap seimbang. Artinya,
translokasinya terjadi karena di nomor tertentu hilang, tapi menempel ke nomor lain. Itulah
mengapa untuk mereka tetap bisa normal. Namun tak demikian halnya pada anak-anak
mereka, karena yang diturunkan yang jelek itu, maka jatuh ke anaknya bisa tak seimbang.
Akibatnya, anaknya cacat.”

b. Pembawa mutasi gen, seperti penderita hemofilia atau anaknya menderita thalasemnia,
albino.

c. Mengalami keguguran berulang kali yang mungkin penyebabnya susunan kromosom tak
seimbang.

d. Memiliki anak dengan kelainan kromosom, hingga perlu diselidiki apakah karena
keturunan atau bukan. Untuk itu, perlu dilakukan analisa kromosom pada saudara-saudara
dan ayah-ibunya.

e. Memiliki anak retardasi mental/kebodohan tanpa diketahui penyebabnya.

f. Memiliki anak dengan jenis kelamin diragukan (sex ambigua).

g. Penderita leukimia dan tumor ganas.

h. Suami-istri yang mengalami infertilitas.

i. Wanita dengan manore primer (tak pernah haid); wanita hamil usia di atas 35 tahun.

Dengan demikian, mereka yang berisiko tinggi dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kromosom. Adapun cara pemeriksaannya:

1. Paling gampang lewat darah karena dalam darah ada sel-sel limposit atau sel darah
putih. Sel-sel inilah yang dikembangkan hingga mengalami pembelahan jadi 2 dan didapat
kromosomnya. “Darah diambil sebanyak 3 ml, lalu ditaruh dalam botol dan dicampur
dengan media tertentu. Selanjutnya, ditaruh dalam inkubator dengan temperatur 37
derajat celcius. Setelah 3-4 hari, sel darah merah dihancurkan hingga tinggal sel darah
putih yang kita pecah dengan hykotonic atau garam sampai menggembung, yang setelah
kering akan pecah. Saat itulah keluar kromosomnya. Dari situ kita lihat, apakah ada
kelainan.”

Umumnya cara ini dilakukan terutama pada indikasi: bila jenis kelaminnya diragukan (sex
ambigua); wanita dengan manore primer (tak pernah haid); anak dengan kelebihan
kromosom; kasus leukimia dan tumor ganas; retardasi mental atau kebodohan tanpa
diketahui penyebabnya; keguguran berulang kali; serta infertilitas.

2. Skrining janin lewat cairan amnion atau ketuban ibu hamil pada usia kehamilan 16-20
minggu. Soalnya, janin mengeluarkan sel, minum, dan kencing dalam air ketuban. Nah, air
ketuban ini diambil 20 ml dan dimasukkan ke dalam tabung, lalu diputar-putar hingga
muncul endapan yang merupakan sel-sel janin. Selanjutnya, sel-sel ini dimasukkan ke
dalam botol dan dicampur dengan medianya, lalu ditempatkan di tempat bersuhu 37
derajat celcius. Makan waktu 2 minggu baru bisa memisah-misahkan kromosomnya.

Pemeriksaan cara ini dilakukan bila ada indikasi: wanita hamil di atas usia 35 tahun; umur
suami lebih dari 65 tahun; bila ada anak atau saudara kandung si janin yang mengalami
cacat/retardasi mental/sindrom down; ibu pernah mengalami keguguran lebih dari 2 kali
dan tak diketahui penyebabnya; terdapat kecurigaan pada janin ada kelainan fisik, semisal
dari hasil USG diketahui lehernya tebal, mukanya mongo- loid, atau tangannya
menggenggam; dan bila janin ada tanda-tanda pertumbuhan terhambat.

KEPUTUSAN DI TANGAN IBU

Jadi, Bu-Pak, alangkah baiknya bila pemeriksaan tersebut dilakukan. Terlebih jika bayi
pertama ada yang cacat, sebaiknya pada kehamilan berikut dilakukan pemeriksaan
kromosom. Soalnya, jika penyebabnya translokasi, setiap anak bisa saja terkena. Jadi,
sangat gambling.

Itulah mengapa, saran Singgih, jika tak ingin anak kita kelak punya kelainan, sebaiknya
lakukan deteksi dini. Caranya:

* Skrining janin lewat air ketuban pada ibu hamil yang diketahui membawa kelainan
genetik.

* Diagnosa dini pada orang dengan kelainan genetik kongenital (bawaan), serta konseling
genetik pada orang tua dan keluarga dekat yang berisiko tinggi.

* Deteksi pembawa mutasi gen atau translokasi kromosom yang diikuti konseling genetik.

* Memonitor kehamilan berisiko tinggi pada janin dengan cacat berat.

* Menghindari faktor-faktor lingkungan yang jelek seperti pekerjaan yang memungkinkan


terkena radiasi, obat bius, ionisasi, infeksi bakteri atau virus, merokok, dan alkohol.
“Orang-orang yang perokok, suka minum alkohol, dan sebagainya ada kemungkinan
kromosomnya mengalami kelainan. Nah, kalau ingin anaknya enggak cacat atau mati, ya,
lebih baik menghindari ini semua.”

Namun bila hasil pemeriksaan menunjukkan janin mengalami kelainan kromosom, berarti
tak bisa diobati lagi. Bila yang sindrom down, bayinya pasti hidup tapi cacat; sedangkan
trisomi lainnya pasti si bayi meninggal sesaat setelah dilahirkan.

Dengan demikian, “keputusan di tangan si ibu sendiri, mau diteruskan atau digugurkan
kehamilannya,” bilang Singgih. “Kita kembalikan ke hukum agamanya masing-masing.
Selain itu, hukum di negera kita sendiri sudah melegalisir abortus jenis ini atau belum?”

Bagaimana dengan solusi bayi tabung seperti dilakukan di Amerika pada keluarga-keluarga
berisiko tinggi terkena kelainan kromosom? Menurut Singgih, dengan cara bayi tabung
memang bisa dipilih zigot dengan kromosom yang baik saja yang diteruskan jadi bayi,
sementara zigot yang berasal dari kromosom jelek tak diteruskan. “Namun sel telur dan sel
sperma yang kromosomnya jelek ini, kan, sebenarnya juga bakal embrio yang telah
disatukan Tuhan. Dengan demikian, bila dibuang, apakah bukan berarti tindakan aborsi?
Jadi, kembali ke legalitas tadi.”

Sebuah pilihan yang dilematis, ya, Bu-Pak?

Anda mungkin juga menyukai

  • Sistem Operas I
    Sistem Operas I
    Dokumen555 halaman
    Sistem Operas I
    birunya_biru
    Belum ada peringkat
  • Narkoba
    Narkoba
    Dokumen5 halaman
    Narkoba
    fezudiana
    Belum ada peringkat
  • KROMOSOM
    KROMOSOM
    Dokumen6 halaman
    KROMOSOM
    fezudiana
    Belum ada peringkat
  • Narkoba
    Narkoba
    Dokumen5 halaman
    Narkoba
    fezudiana
    Belum ada peringkat
  • Battery
    Battery
    Dokumen1 halaman
    Battery
    fezudiana
    Belum ada peringkat