Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu
ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit)
dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan
disebut urin. Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan
Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).
Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus
memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang
berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma
darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan
meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat tiga lapisan:
1. kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus
2. lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)
Gambar 2.2 anatomi glomerulus
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus, melewati ketiga lapisan
tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat
plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk
molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap
hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan
glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal. Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula
Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi
proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-
an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi.
Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan
terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian
besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis.
Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:
1. tubulus penghubung
2. tubulus kolektivus kortikal
3. tubulus kloektivus medularis
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung
macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi
renin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian
dibawa ke kandung kemih melewati ureter.
Ginjal juga mempunyai fungsi homeostatis yaitu mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air
dalam darah. Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium
dan hidroksil. Akibatnya, urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8. Kadar
ion natrium dikendalikan melalui sebuah proses homeostasis yang melibatkan aldosteron untuk
meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi.
Kenaikan atau penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau kekurangan air akan segera dideteksi
oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif. Kelenjar
pituitari mensekresi hormon antidiuretik (vasopresin, untuk menekan sekresi air) sehingga terjadi perubahan
tingkat absorpsi air pada tubulus ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan jaringan akan kembali menjadi 98%.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik menurut Prof. Dr Ketut Suwitra, Sp.PD didasarkan atas 2 hal, yaitu atas
dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnostic etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit, dibuat
atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(140 – umur) X BB
*) LFG (ml/mnt/1,73m2) =
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) Pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit:
Deraj Penjelasan LFG
at (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau naik ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
2.4 Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak jenis penyakit lain. Penyakit tersebut
antara lain sebagai berikut.
a. Infeksi saluran kemih, pielonefritis dan nefropati refluks
Infeksi Saluran Kemih (ISK) umumnya dibagi dalam dua subkategori besar: ISK bagian bawah
(uretritis, sistisis, prostatitis) dan ISK atas (pielonefritis akut). Sistisis akut (infeksi kandung kemih) dan
pielonefritis akut (infeksi pelvis dan interstitium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam
menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir dengan gagal ginjal progresif. Pielonefritis kronik
adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan kelainan parenkimal pada pemeriksaan PIV,
disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal. Akhir- akhir ini bukti
menunjukkan bahwa pielonefritis kronik terjadi pada pasien dengan ISK yang juga mempunyai kelainan
anatomi utama pada saluran kemihnya, seperti refluks vesikoureter (VUR), obstruksi, kalkuli, atau
kandung kemih neurogenik (Rose, 1987; Kunin, 1987). Diperkirakan bahwa kerusakan ginjal pada
pielonefritis kronik yang juga disebut sebagai nefropati refluks., diakibatkan oleh refluks dari kemih
yang terinfeksi ke dalam ueter yang kemudian masuk ke dalam parenkim ginjal (refluks intrarenal).
Pielonefritis kronik yang disebabkan oleh VUR adalah penyebab utama gagal ginjal tahap akhir pada
anak-anak, dan secara teoritis dapat dicegah dengan mengendalikan infeksi saluran kemih dan
memperbaiki kelainan struktural dari saluran kemih yang menyebebkan obstruksi.
Organisme penyebab infeksi saluran kemih yang paling sering ditemukan adalah Escherichia coli, yang
merupakan penghuni normal dari kolon. Organiosme-organisme lain yang juga dapat menimbulkan
infeksi adalah golongan Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, Enterokok, dan Staphylococcus. Pada
kebanyakan kasus, organisme tersebut dapat mencapai kandung kemih melalui uretra. E. coli
merupakan organisme penyebab infeksi yang paling sering ditemukan pada pielonefritis akut tanpa
komplikasi. Dari seluruh pasien infeksi ini, 90 % di antaranya memberi respons terhadap terapi
antibiotika, ttetapi 10% sisanya dapat mengalami infeksi akut berulang atau bakteriuria asimtomatik
yang menetap. Bila pielonefritis akut mengalami komplikasi obstruksi, maka bakteri rekuren atau
menetap ditemukan pada 50-80% pasien dalam waktu 2 tahun. Tidak diketahui dengan pasti berapa
banyak dari pasien-pasien ini yang akan mengalami kerusakan ginjal yang nyata atau berapa lama
proses itu akan berlangsung.
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dari dalam
glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi terutama
ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan,
mengakibatkan gagal ginjal kronik. Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan
oleh glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis akut biasanya disebabkan oleh Streptokok beta
hemolitik grup A tipe 12 dan 4. namun sebenarnya bukan Streptokok yang menyebabkan kerusakan
pada ginjal, diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan
unsur membrana plasma spesifik stertokok. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam daarah yang
bersirkulasi ke dalam glomerulus dimana kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membrana basaalis.
Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukopsit
polimerfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom
juga merusak endotel dan membrana basalis glomerulus (MBG). Sebagai respons terhadap lesiyang
terjadi, timbul ploriferasi sel-sel epitel. Akibat semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus,
maka protein dan sel darah erah dapat keluar ke dalam kemih yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria.
c. Penyakit vaskular hipertensif
Steniosis arteri renalis
Stenosis arteria renalis dapat unilateral maupun bilateral. Bilamana ukuran arteria berkurang sampai
70% atau lebih, maka terjadilah iskemia ginjal. Iskemia ginjal mengaktifkan sistem renin-angiotensin
yang diikuti hipertensi. Meskipun jarang menyebabkan hipertensi (sekitar 1-2% dari kasus hipertensi),
stenosis arteria renalis termasuk kasus penting karena perbaikan dengan jalan pembedahan dapat
mengurangi hipertensi dan menimbulkan perbaikan yang cukup nyata. Stenosis arteria unilateral tidak
saja menyebabkan atrofi iskemik ginjal yang terserang, tetapi akhirnya dapat menyebabkan
nefrosklerosis hipertensif dari ginjal kontralateral.
Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormon paratiroid merupakan penyakit yang secara
relatif jarang ditemukan. Penyakit ini pada akhirnay dapat mengakibatkan nefrokalsinosis dan
selanjutnya dapat menyebabkan gagal ginjal. Penyebab yang paling sering adalah adenoma kelenjar
paratiroid.
Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit metabolik di mana amiloid, suatu glikoprotein yang tidak dapat
larut dan berlilin tertimbun pada berbagai jaringan lunak tubuh. Saat ini dikenal dua bentuk klinis
utama. Amiloidosis primer atau kongenital lebih sering ditemukan pada lidah, jantung, saluran cerna
dan saraf perifer dari ginjal. Amiloidosis sekunder seringkali menyertai penyakit infeksi kronik seperti
tuberkulosis, artritis reumatoid kronik (25%), dan mieloma multipel (10%-20%), dan dengan paraplegia
(40%). Pada amiloidosis sekunder ginjal seringkali ikut terserang. Sindrom nefrotik dan kematian akibat
gagal ginjal sering terjadi pada penyakit ini.
g. Nefropati Toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan kimia karena alasan-alasan
berikut: (1) ginjal menerima 23% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan xat
kimia dalam jumlah besar; (2) interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah relatif hipovaskular; dan (3) ginjal merupakan jalur ekskresi obligator
untuk kebanyakan obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan
konsentrasi dalam cairan tubulus. Gagal ginjal kronik dapat diakibatkan penyalahgunaan analgesik dan
paparan timbal.
- Penyalahgunaan analgesik
Penyalahgunaan analgesik secara kronik dapat menyebabkan cedera ginjal. Gagal ginjal kronik yang
disebabkan oleh kelebihan pemakaian analgesik sering dijumpai dan mudah dicegah. Aspirin
menyebabkan iskemia medula dengan menghambat produksi prostaglandin (suatu hormon vasodilator
ginjal yang kuat) lokal, sehingga meningkatkan efek toksik dari metabolit fenasetin dan memperlambat
pengeluaran metabolit tersebut.
- Nefropati timbal
Timbal yang masuk ke dalam tunuh akan bergabung dengan tulang dan secaraa perlahan akan
dilepaskan kembali setelah selang waktu bertahun-tahun. Timbal juga akan terikat pada tubulus ginjal.
Lesi ginjal dasar adalah nefritis interstitial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang berjalan lambat.
PATOFISIOLOGI
Gangguan fungsi ginjal pada GGK dapat dijelaskan dengan dua pendekatan teoritis. Sudut pandang
tradisional menjelaskan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang
berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja
benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya lesi organic pada medula akan merusak susunan
anatomic dari lengkung Henle dan vasa kreta, atau pompa klorida pada pars ascebden lengkung Henle yang
akan menggangu psoses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar.
Pendekatan kedua dikenal dengan hipotesis nefron utuh atau hipotesis Bricker, yang berpendapat bila nefron
terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sis nefrron yang masih utuh tetap bekerja
tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Kecepatan filtrasi, beban solute dan
reabsorbsi pada setiap nefron mengalami peningkatan meskipun GFR untuk seluruh masa nefron dalam
ginjal turun dibawah nilai normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, jika sekitar 75% massa nefron sudah
hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan
glomerulus-tubulus (keseimbangan antara filtrasi glomerulus dengan reabsorbsi tubulus) tidak dapat lagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pda proses ekskresi maupun konversi solute dan air menjadi berkurang.
Sedikit perubahan pada diet dapat merubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena semakin rendah GFR
semakin besar perubahan ekskresi per nefron. Hilangnya kkemampuan memekatkan dan mengencerkan
kemih menybabkan berat jenis kemih tetap pada 1.010 atau 285 mOsmol (sama dengan konsentrasi plasma)
dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Hipotesis nefron utuh ini didukung oleh beberapa pengamatan eksperimental. Bricker dan fine (1969) telah
memperlihatkan bahwa pada penderita pielonefritis dan anjing-anjing yang ginjalnya dirusak pada
percobaan maka nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari keadaan
normal. Juga diketahui bila satu ginjal orang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami
hipertrofi dan fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh keduua ginjal itu
bersama-sama. Juga dibuktikan bahwa ginjal normal dalam keadaan dimana masa solut meningkat akan
bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal progresif.
2.5 WOC (terlampir)
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang dipulihkan (mis., obstruksi)
diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer,Bare.2002).
Menurut Smeltzer,Bare.2002; komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan
kolaboratif dalam perawatan mencakup:
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan masukan diet
berlebih. Dapat dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat serta pengambilan kalium dan
pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada setiap medikasi.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tempinade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiostenin-aldosteron.
4. Anemia (hemokrit <30%) akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan selama hemodialisis. Pada
pasien GGK ditangani Epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan tiga kali
seminggu dalam waktu 2-6 minggu (sampai hemokrit naik menjadi 33-38%). Epogen tidak
diindikasikan untuk pasien yang memerlukan koreksi anemia dengan segera. Efek samping
Epogen mencakup hipertensi (terutama selama tahap awal penanganan), peningkatan bekuan
pada tempat akses vaskuler, kejang dan penipisan cadangan besi tubuh.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif, eritropoetin, suplemen besi,
agen pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu mendapatkan penanganan dialisis yang
adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah (Smeltzer,Bare.2002).
Intervensi diet juga perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap
masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang dan pembatasan kalium. Pada saat
yang sama, masukan kalori yang adekuat dan suplemwen vitamin harus dianjurkan. Protein dibatasi karena
urea, asam urat dan asam organik (hasil pemecahan makanan dan jaringan) akan menumpuk secara cepat
dengan darah jika terjadi gangguan pada klirens renal. Cairan yang diperbolehkan 500-600 ml untuk 24 jam.
Karbohidrat dan lemak diperlukan untuk mencegah kelemahan. Konsumsi vitamin juga dibutuhkan
(Smeltzer,Bare.2002).
Pengkajian klinik menentukan:
1. Jenis penyakit ginjaladanya penyakit penyerta
2. Derajat penurunan fungsi ginjal
3. Komplikasi akibat penurunan fungsiginjal
4. Faktor risiko untuk penurunan fungsi ginjal
5. Faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
Penatalaksanaan meliputi:
a. Terapi penyakit ginjal
b. Pengobatan penyakit penyerta
c. Penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. Pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
Jika timbul gejala dan tanda uremia stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan:
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan laju filtrasi glomerulus dapat
mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal.
c. Pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien adanya
kerusakan ginjal.
(Rindiastuti, Yuyun.2008)
Sebagian besar individu dengan stadium dini penyakit ginjal kronik terutama dinegara berkembang tidak
terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera,
sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik
yang menyandang faktor risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronik. Pemeriksaan skrinning
seperti pemeriksaan kadar kreatinin serum dan ekskresi albumin dalam urin dianjurkan untuk individu yang
menyandang faktorrisiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada:
a. Pasien dengan diebetes melitus atau hioertensi
b. Individu dengan obesitas atau perokok
c. Individu berumur lebih dari 50 tahun
d. Individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, danpenyakit ginjal dalam
keluarga.
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
2.7 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini
penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dankardiovaskular adalah:
a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecilrisiko penurunan fungsi
ginjal
b.Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c. Penghentian merokok
d.Peningkatan aktivitas fisik
e. Pengendalian berat badan
f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE(angiotensin converting
enzyme) dan penyekat reseptor angiotensintelah terbukti dapat mencegah dan menghambat
proteinuria danpenurunan fungsi ginjal.
(Rindiastuti, Yuyun.2008).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pemeriksaan riwayat :
a. Identitas, mencakup nama klien, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, suku atau
bangsa, alamat, status perkawinan; nama suami, umur, suku bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat.
b. Diagnosa medis
Riwayat Keperawatan :
a. Keluhan utama, pada pasien gagal ginjal kronis sebagian besar mengalami nyeri pada abdomen
region kanan atas.
b. Riwayat penyakit, penyakit sebelumnya yang pernah diderita oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik :
a. Breath (B1) :
- Gejala: nafas pendek, dispnea nocturnal paroksimal, batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
- Tanda: takipnea, dispnea, peningkatan frekensi/kedalaman (pernafasan Kussmaul), batuk produktif
dengan sputum merah muda encer.
b. Blood (B2)
- Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada.
- Tanda: hipertensi (nadi kuat, edema jaringan, pitting pada kaki, telapak tangan), disritmia jantung,
pucat, kecenderungan perdarahan.
c. Brain (B3)
- Gejala: sakit kepalah, penglihatan kabur, gangguan tidur.
- Tanda: gangguan status mental, penurunan tingkat kesadaran, ketidakmampuan konsentrasi.
d. Bladder (B4) :
- Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria, atau anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
- Tanda: perubahan warna urine, oliguria
e. Bowel (B5)
- Gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
- Tanda: distensi abdomen, perubahan turgor kulit, pembesaran hati (tahap akhir)
f. Bone(B6)
- Gejala: kelelahan ekstremitaas, kelemahan, malaise.
- Tanda: penurunan rentang gerak, kehilangan tonus otot, kelemahan otot.
g. Integritas ego
- Gejala: faktor stress (finansial, hubungan)
- Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadiann.
h. Pemeriksaan Diagnostik:
Urine :
1. Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau bahkan tidak ada urine (anuria)
2. Warna : secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel
koloid, fosfat atau urat, sedimen kotor (kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin)
3. Berat Jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. Osmolalitas : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, dan rasio urine :
serum sering 1 : 1.
5. Klirens Kreatinin : mungkin agak menurun
6. Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
7. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
Darah :
1. BUN/kreatinin : Meningkat biasanya dalam proporsi.Kadar kreatinin 10 mg/dL, diduga tahap akhir
(mungkin rendah yaitu 5)
2. Hitung darah lengkap : Ht: Menurun pada adanya anemia. Hb : Biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
3. SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada azotemia.
4. GDA : pH: Penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan
ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun. PCO2 menurun.
5. Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan natrium” atau normal (menunjukkan
status dilusi hipernatremia).
6. Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis) atau
pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi
sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
7. Magnesium/Fosfat : Meningkat.
8. Kalsium : Menurun.
9. Protein (albumin): Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino
esensial.
10. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal,/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).
11. Pielogram Retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
12. Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
13. Sistouretrogram Berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, retensi.
14. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
15. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan pelvis ginjal; keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
16. EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
17. Foto Kaki, Tengkorak, Kolumna Spinal, dan Tangan : Dapat menunjukkan demineralisasi,
kalsifikasi.
Asidosis metabolik
Hiperventilasi
Kelelahan
DS: pt mengatakan mengalami gangguan Perubahan fisiologis: uremia, Perubahan proses
lapang pandang asidosis metabolik pikir
DO: disorientasi orang tempat waktu,
defisit memori. penurunan kesadaran
Nokturia
Intoleran aktivitas
DS: pt mengatakan nyeri pada regio GGK Nyeri, (akut),
suboksipital, melaporkan kekakuan leher. sakit kepala
DO: segan menggerakan kepala, TD>140 Hipertensi
mmHg
Peningkatan tekanan vaskular
serebral
Nyeri kepala
DS: pt mengaku mengalamifsu penurunan GGK Perub. Nutrisi <
BB, pt tidak nafsu makan kebutuhan
DO: pasien tampak lemah, takikardi Anemia
Mual-muntah
Keletihan
Risiko cedera
DS: - GGK Kerusakan
DO: edema integritas kulit,
Edema, akumulasi toksin kulit risiko tinggi thd
Timbang berat badan sesuai indikasi, waspadai Satu liter retensi cairan sama dengan pembentukan
penambahan berat badan secara tiba-tiba. berat badan 1 kg.
Balik dan posisikan ulang serta berikan Menurunkan tekanan dan friksi pada jaringan
perawatan kulit pada interval regular. edema yang lebih cenderung rusak dari pada
jaringan normal.
Berikan diet tinggi protein, rendah natrium, Peningkatan protein serum dapat meningkatkan
batasi cairan sesuai indikasi. gradient osmotic koloid dan meningkatkan aliran
balik cairan ke ruang vaskuler. Pembatasan
natrium dan air menurunkan retensi cairan
ekstraseluler.
Kolaborasi
Pantau pemeriksaan labolatorium, misal: Perpindahan cairan ekstraseluler, pembatasan
elektrolit, BUN. natrium dan air, fungus ginjal semua
mempengaruhi kadar natrium serum.
Untuk mencapai ekskresi kelebihan cairan, baik
Berikan diuretic, misal: Lasix, esidex, diuratik tunggal atau agen kombinasi dapat dipilih.
aldactone.
2. Diagnosa keperawatan : Pola napas tak efektif berhubungan dengan hiperventilasi akibat asidosis
metabolic.
Tujuan: membuat pola napas kembali efektif
Kritria hasil: Tidak ada gangguan/ komplikasi pernapasan, Pola pernapasan kembali efektif
Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan Kecepatan biasanya meningkat. Ekedalam
ekspansi dada. Kaji adanya retraksi otot pernapasan bervariasi tergantung derajat gagal napas.
bantu pernapasan/ pelebaran nasal.
Bantu pasien untuk membalik, batuk, dan Meningkatkan ventilasi semua segmen paru, dan
napas dalam secara periodik. memobilisasi.
Tinggikan kepala tempai tidur, pertahankan Memudahkan ekspansi paru sehinga memudahkan
posisi fowler rendah. pernapasan.
Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan bila Memaksimalkan dan menurunkan kerja napas.
diindikasikan.
Diskusikan dengan orang terdekat keadaan Mengerti bahwa aktifitas tersebut secara fisik
lelah dan emosi yang tidak stabil. meningkatkan koping terhadap situasi saat itu
dorongan dan saran orang terdekat untuk berspon
secara positif dan berikan dukungan pada pasien.
4. Diagnosa Keperawatan : Resiko tinggi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan
penekanan, produksi/sekresi eritpoietin, penurunan produksi Sel Darah Merah gangguan
faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi cedera.
Kriteria Hasil :
a. Pasien tidak mengalami tanda/ gejala perdarahan.
b. Pasien menunjukkan perbaikan/mempertahankan nilai laboratorium.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Perhatikan keluhan peningkatan kelelahan, Dapat menunjukkan anemia dan respon jantung
kelemahan. Observasi takikardia, untuk mempertahankan oksigenasi sel.
kulit/membran mukosa pucat, dispnea, dan
nyeri dada. Rencanakan aktivitas pasien
untuk mengindari kelelahan.
Awasi tingkat kesadaran dan perilaku. Anemia dapat menyebabkan hipoksia serebral
dengan perubahan mental, orientasi, dan respon
perilaku.
Evaluasi respons terhadap aktivitas, Anemia menurunkan oksigenasi jaringan dan
kemampuan untuk melakukan tugas. Bantu meningkatkan kelelahan, sehingga memerlukan
sesuai kebutuhan dan buat jadwal untuk intervensi, perubahan aktivitas, dan istirahat.
istirahat.
Batasi contoh vascular, kombinasikan Pengambilan contoh darah berulang/kelebihan
dengan tes laboratorium bila mungkin. dapat memperburuk anemia.
Observasi perdarahan terus menerus dari Perdarahan dapat terjadi dengan mudah karena
tempat penusukan, perdarahan/area kerapuhan kapiler/gangguan pembekuan dan dapat
ekimosis karena trauma kecil, petekie, memperburuk anemia.
pembengkakan sendi/membrane mukosa.
Hematemesis sekresi GI/darah feses.
Berikan sikat gigi halus, pencukur elektrik; Stres dan abnormalitas hemostatik dapat
gunakan jarum kecil bila mungkin dan mengakibatkan perdarahan GI.
lakukan penekanan lebih lama setelah Menurunkan resiko perdarahan/pembentukan
penyuntikan/penusukan vascular. hematoma.
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan laboratorium (darah Pada gagal ginjal kronis, hemoglobin dan
lengkap, Hb/Ht, jumlah trombosit, factor hematokrit biasanya rendah tetapi ditoleransi.
pembekuan, kadar PT) Penekanan pembentukan trombosit dan
ketidakadekuatan kadar factor III dan factor VIII
menggangu pembekuan dan resiko perdarahan.
Berikan darah segar, SDM kemasan sesuai Konsumsi protombin abnormal menurunkan kadar
indikasi. serum dan mengganggu pembekuan.
Berikan obat sesuai indikasi (sediaan besi, Diperlukan bila pasien dalam keadaan anemia
antasida, hemastatik, laksatif bulk) simtomatik. SDM kemasan biasanya diberikan
bila pasien kelebihan cairan atau dilakukan
dialysis, untuk mencegah hiperkalemia
sehubungan dengan darah yang disimpan.
Diperlukan untuk memperbaiki gejala anemia,
untuk profilaksis menurunkan/menetralkan asam
lambung, mengahambat perdarahan yang tidak
reda, mencegah perdarahan mukosa rectal.
Berikan bantuan dalam aktivitas bila perlu, Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan bila
memungkinkan pasien untuk melakukan pasien melakukan sesuatu sendiri.
sebanyak mungkin.
Rencanakan kemajuan aktivitas dengan Meningkatkan secar bertahap tingkat aktivitas
pasien, termasuk aktivitas yang pasien samapai normal dan memperbaiki tonus otot.
pandang perlu tingkatkan tingkat aktifitas
sesuai toleransi.
Gunakan teknik penghematan energi. Mendorong pasien melakukan banyak dengan
membatasi penyimpangan energi dan mecegah
kelemahan.
Anjurkan pasien untuk menghentikan Regangan/stres kardiopulmonal berlebihan/ stres
aktifitas bila palpitasi, nyeri dada, napas dapat menyebabkan kegagalan/ dekompensasi.
pendek, kelemahan atau pusing terjadi.