Anda di halaman 1dari 3

KANDUNGAN SURAT THAAHAA

DALAM KAITANNYA DENGAN KEBENARAN


SEBAGAI TUJUAN FILSAFAT

Disusun oleh:
Sri Fitriani
(H1A08015)

Bismillahirrahmanirrahim....

Artinya: “ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy”
(Qs: Thaahaa: 05)

Sebagai wahyu Al-Quran berisi ayat-ayat yang mendorong menusia agar


menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Penjelasan dan penggunaan akal
dalam Al-Quran dituangkan dalam bentuk kata kerja bukan kata benda.
Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia dianjurkan untuk berpikir dan
menggunakan akalnya.
Untuk apa manusia menggunakana akalnya? Salah satunya, agar manusia
ingat dan percaya kepada Allah. Selain itu agar manusia memperoleh pemahaman
tentang kebenaran yang dimaksudkan oleh Allah SWT sebagai Pencipta. Manusia
diharuskan menggunakan akal dan inderanya agar menusia tidak salah untuk
memahami mana kebenaran sesungguhnya, mana kebenaran yang dibenarkan,
atau yang dianggap benar.
Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran yang menunjukan
adanya hubungan antara ide dan fakta, dan bukan kebenaran yang memiliki

1
hubungan antara ide dengan ide. Kebenaran ini menyangkut pemahaman dengan
menggunakan pikiran terhadap apa yang terkandung dalam kalam Allah,
kemudian ditafsirkan menjadi sebuah pemikiran yang diungkapkan dalam batas
dapat diterima oleh akal manusia. Misalnya kebenaran tentang adanya Tuhan,
Allah sebagai Pencipta dan wujud dari Zat yang diyakini sebagai Tuhan itu
sendiri. Kebenaran yang diwujudkan secara objektif hanya mungkin dapat
dipelajari secara khusus. Dalam filsafat aliran ini disebut Theistic realism. Dan
sebagai manusia kita tidak akan dapat mencapai kebenaran secara sempurna, akan
tetapi mrupakan suatu pencapaian yang luar biasa jika dapat mendekati kepada
kebenaran yang sesungguhnya.
Menurut Toshiko Izutsu ada dua ragam tanda atau ayat Tuhan yang perlu
diketahui oleh manusia, yaitu: pertama ayat-ayat yang bercorak verbal
(linguistik), menggunakan bahasa manusia. Kedua tanda-tanda yang bercorak
non-verbal, berupa gejala-gejala alami. Tanda-tanda (ayat-ayat) yang pertama
dikenal sebagai wahyu ilahi ( Al-Quran) dan yang kedua disebut Sunnatullah, tak
terpisahkan, karena keduanya sama-sama mengandung kebenaran dari Tuhan.
(Toshiko Izutsu, 1964).
Ayat diatas menyebutkan bahwa Allah bersemayam diatas ’Arsy. Maksud
dari kalimat tersebut adalah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan
kebesaran Allah dan kesucian-Nya. ’Arsy Allah diartikan oleh sebagian besar
mufassirin dengan makna tahta atau singgasana Allah yang tidak dapat diketahui
hakikatnya dan hanya dapat diyakini kebenarannya.
Allah sebagai Rabb dan Ilah Tuhan berbeda dengan makhluk-Nya. Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Tidak bersekutu dan tidak memerlukan
penolong dari kehinaan karena Dia adalah Yang Maha Agung (42:11, 112:1-4).
Oleh kerena itu kehati-hatian dalam menakwilkan ayat yang berkenaan dengan
ayat-ayat yang mutasyabihat atau ayat-ayat tentang ’Arsy Allah, sifat-sifat Allah,
dan yang lainnya, sangat diperhatikan serta tidak boleh diserupakan dengan
makhluk-Nya dan harus didasari dengan penjelasan didalam Al-Quran dan Hadist.
Dengan menggunakan pendekatan terhadap wahyu ini sebagai usaha
memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan. Kebenaran dicari
dengan merenungkan, menggali, menafsirkan, memperbandingkan,

2
menghubungkan serta mentakwilkan informasi yang terkandung dalam wahyu
Allah. Kebenaran yang dicari bukan suatu kebenaran baru sebagai alternatif,
melainkan pemahaman terhadap kebenaran mutlak yang terkandung dalam wahyu
tersebut. Dengan menggunakan kemampuan berpikir, manusia diajak untuk
mencari kebenaran yang mutlak tersebut. Meskipun berangkat dari keyakinan
terhadap kebenaran wahyu, tidak berarti meniadakan proses berpikir. Kebenaran
yang diperoleh bukan merupakan kebenaran yang dianugerahkan begitu saja
(pereninial truth), melainkan kebenaran yang dicari (acqiured truth).
Adapun keyakinan terhadap kebenaran wahyu, dalam upaya mencari
kebenaran, dalam proses ini dijadikan sebagai pembanding untuk menemukan
kebenaran yang dinilai sebagai kebenaran yang mendekati kebenaran mutlak.
Dengan demikian kebenaran yang dicari adalah kebenaran dalam batas-batas
kemampuan akal manusia, namun walaupun tidak mencapai tingkat kebenaran
mutlak tetapi sejalan dengan kebenaran mutlak wahyu.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Billahit-taufiq wal-hidayah

Daftar Pustaka
Alquran dan Terjemahannya.
Haidiri, Choiruddin, SP, Klasifikasi Kandungan Al-Quran, Jakarta : Gema Insani.
2005.
Jalaludin, Dr, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Grafindo. 1994.

Anda mungkin juga menyukai