Anda di halaman 1dari 81

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENDIDIKAN TEMPO DOELOE

Oleh Suparlan *)
Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi
lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran(James Thurber)
Siapa yang tidak dapat memberikan lebih banyak daripada yang ia terimaadalah nol besar dan telah lahir
dengan sia-sia(Multatuli)
Semua keberhasilan agenda reformasi pendidikan,pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang berada di
front terdepan, yaitu guru. Hak-hak guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota
masyarakat, dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam
reformasi(Mohammad Surya, Ketua Umum PB PGRI)
Pertama-tama penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada almarhum Dedi Supriadi yang telah
berhasil menjadi editor penulisan buku Guru di Indonesia, yang penulisan buku itu didukung
sepenuhnya oleh Direktorat Tenaga Kependidikan. Di dalam buku itu telah dibahas cukup lengkap
tentang sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia sejak zaman kolonial sampai dengan era reformasi.
Tulisan Dedi Supriadi dalam bab pendahuluan buku itu telah mengingatkan kembali keinginan penulis
untuk mempelajari tentang kaitan antara masalah rendahnya mutu pendidikan di negeri tercinta ini
dengan kebijakan pendidikan yang telah diambil selama ini.
Mungkinkah kebijakan pendidikan di negeri ini salah arah dan sasaran? Itulah pikiran-pikiran yang
kadang muncul di benak penulis sejak lama. Bahkan sejak penulis berada di Malaysia hampir selama lima
tahun dengan banyak informasi tentang ragam kebijakan pendidikannya.
Dua macam kutub kebijakan pendidikan
Dedi Supriadi telah mengambil kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan yang pernah diambil pada
setiap masa selalu diharapkan pada dua kutub yang berlawanan. Pertama, kebijakan pendidikan elitis.
Kebijakan pendidikan elitis adalah kebijakan yang arah dan sasarannya terbatas untuk kepentingan
orang-orang yang terbatas, misalnya kaum priyayi. Hal itu diambil karena berbagai macam
pertimbangan. Mungkin pertimbangann dana, mungkin aspek teknis pelaksanaan, aspek politis, dan
aspek lainnya. Kebijakan tentang Sekolah Rendah pada masa kolonial, sebagai contoh, lebih
diperuntukkan bagi kaum priyayi, bukan untuk semua rakyat pribumi (inlander). Melalui kebijakan inilah
Ki Hajar Dewantara memperoleh kesempatan dapat bersekolah di ELS, atas jasa baik Tuan Abendanon.
Kebijakan ini telah dipertanyakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang ketika itu masih berumur sekitar 7
tahun. ”Mengapa Sariman (teman bermain Ki Hajar Dewantara) tidak dapat ikut sekolah, Ayahanda?”,
tanya Suwardi Suryaningrat kepada Ayahanda. ”Sariman itu orang kebanyakan. Jadi ia tidak boleh
bersekolah seperti kamu”, begitulah kira-kira jawab RM. Suryaningrat kepada putranya Suwardi. Meski
akhirnya Ki Hajar Dewantara masuk juga ke sekolah itu bersama dengan anak orang-orang Belanda,
dalam benaknya terbesit rasa ketidakadilan. Ki Hajar Dewantara bersumpah untuk membantu
pendidikan Sariman dan rakyat jelata seperti Sariman, dan janji itulah yang telah terwujud dengan
Perguruan Taman Siswa, dan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Ya, kebijakan pendidikan seperti itulah yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan elitis. Ketika itu,
Belanda tidak mau repot secara teknis operasional mengurus banyak penduduk pribumi yang 100% buta
huruf. Belanda ketika itu juga tidak mau membelanjakan uang yang banyak untuk itu, meskipun uang itu
mereka telah peras dari bumi tumpah darah orang-orang pribumi.
Kedua, kebijakan pendidikan populis, yakni kebijakan yang arah dan peruntukannya bagi rakyat banyak.
Sebagian orang Belanda di Indonesia saat itu pun banyak yang menginginkan adanya kebijakan
pendidikan yang populis. Bahkan seorang keturunan Belanda bernama Multatuli sangat geram dengan
sikap Belanda yang hanya mengambil kebijakan untuk kaum priyayi. Multatuli mengetahui bahwa
kekayaan yang telah diperas dari bumi Nusantara sudah demikian besarnya. Tetapi, masih sangat sedikit
yang telah dikeluarkan untuk mereka. Itulah sebabnya Multatuli menyatakan dengan geram bahwa
”Siapa yang tidak dapat memberikan lebih banyak daripada yang ia terima adalah nol besar dan telah
lahir dengan sia-sia”. Kritik terhadap kebijakan pendidikan yang elitis, dan ditambah dengan kritik
terhadap rencana peringatan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda, telah melahirkan kebijakan yang lebih
moderat, yakni Politik Etis, atau Politik Balas Budi. Salah satu pemrakarsa kebijakan seperti itu adalah
Van Deventer dengan Triloginya, yakni (1) irigasi, (2) migrasi, dan (3) edukasi. Kebijakan seperti ini
dikenal dengan kebijakan pendidikan moderat.
Dalam konsep, kebijakan pendidikn ini sangatlah bagus. Tetapi dalam praktik niat baik ini kenyataannya
juga tetap mengarah kepada kepentingan Belanda. Kebijakan itu punya latar belakang untuk dapat
mengeruk kekayaan lebih besar lagi. Kebijakan irigasi, ternyata juga hanya untuk kepentingan
perkebunan Belanda. Kita tahu, Belanda memang ahli dalam bidang irigasi ini. Dam besar dibangun,
saluran primer dan sekunder dibangun. Tetapi, itu semua tidak lain juga untuk kepentingan agar Belanda
dapat memperoleh keuntungan besar dalam usaha perkebunannya. Kebijakan migrasi juga demikian.
Banyak orang-orang Jawa yang telah dipindahkan ke daerah perkebunan karet milik Belanda, seperti ke
Sumatera, bahkan banyak pula yang dipindahkan ke Suriname, dan daerah lainnya. Meski ada sedikit
manfaat bagi rakyat, keuntungan besarnya tetap mengalir ke pihak Belanda. Sama halnya dengan
kebijakan edukasi. Belanda akhirnya juga membuka beberapa sekolah khusus untuk kaum pribumi.
Apakah Belanda benar-benar akan mencerdaskan mereka? Oh, tidak. Tidak. Sekali-kali tidak!. Anak-anak
pribumi yang disekolahkan ternyata hanya untuk kepentingan Belanda, yakni menjadi pegawai rendahan
yang harus dapat mengabdi untuk kepentingan Belanda. Ada manfaatnya bagi Nusantara memang.
Akhirnya, banyak tokoh perjuangan kemerdekaan yang ternyata lahir di sini. Putra Nusantara yang lulus
dari pendidikan Belanda, ternyata memiliki hati nurani yang membela ibu pertiwi. Merekalah yang telah
melahirkan organisasi-organisasi pembela kemerdekaan, seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo,
dan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian bahu-membahu dengan semua elemen perjuangan bangsa yang
lainnya telah berjuang dengan gigih untuk kemerdekaan Indonesia.
Mekanisme Kelahiran Kebijakan Pendidikan
Dari kebijakan pendidikan pada zaman kolonial itu, kita dapat menarik pelajaran bahwa kelahiran
kebijakan selalu melalui mekanisme sebagai berikut:
Pertama, kebijakan pendidikan merupakan kebijakan politik dan sekaligus sebagai kebijakan publik
Kebijakan pendidikan seyogyanya memang harus menjadi keputusan pihak pemerintah dan wakil rakyat
yang duduk di DPR. Mereka adalah wakil rakyat, yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dengan demikian, terjadilah proses pro dan kontra terhadap kebijakan yang diajukan pemerintah.
Kecenderungannya akan muncul kebijakan elitis atau kebijakan populis, atau perpaduan antara
keduanya. Dengan argumentasinya masing-masing, para politisi akan membahas rancangan kebijakan
yang diajukan oleh pemerintah dan memberikan persetujuan atau menolaknya.
Pemerintah, dalam hal ini melalui Departemennya masing-masing mengajukan kebijakan dalam Renstra
yang telah disusun oleh para pejabat birokrasi dan teknokrasi. Bahkan pokja Resntra telah dibentuk
untuk menyusun berbagai kebijakan pendidikan yang akan diambil untuk periode tertentu. Bahkan
sebelum era otonomi daerah, acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) selalu digelar untuk memperoleh
masukan yang bersifat ’bottom up” untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan
daerah dan rakyat banyak. Jadi, kebijakan itu juga merupakan kebijakan untuk rakyat banyak atau
kebijakan publik. Mengingat proses perumusan kebijakan memang memerlukan proses yang cukup
panjang, maka proses ini harus dilakukan jauh sebelum rumusan kebijakan itu dituangkan dalam
dokumen resmi yang akan diluncurkan.
Kedua, kebijakan pendidikan terlahir dari pemikiran cemerlang para pejabat birokrasi dan teknokrasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan itu memang lahir dari buah pemikiran. Bahkan dari buah
perenungan yang mendalam. Tetapi, karena pemikiran orang banyak biasanya akan lebih baik dari
pemikiran seseorang, maka proses perumusan kebijakan biasanya dihasilkan dari kerja Kelompok Kerja,
atau dari kegiatan Rapat Kerja Nasional, atau kerja keras tim ahli yang dibentuk untuk itu. Sebagai
contoh, Kementerian Pendidikan Malaysia telah membentuk satu Task Force untuk menyusun program
”Smart School” atau ”Sekolah Bestari”, yang sejak tahun 1997 program itu telah menjadi kenyataan.
Ketiga, kebijakan pendidikan itu memiliki arah dan tujuan yang transparan.
Sudah barang tentu, kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah sebagai kebijakan publik selalu
harus dikonsultasikan dengan publik melalui uji publik yang memadai. Arah dan tujuan kebijakan itu juga
harus transparan. Tidak boleh ada udang dibalik batu, seperti yang terjadi dengan kebijakan Triloginya
Van Deventer tempo dulu. Sebagai kebijakan publik yang transparan, pelaksanaan kebijakan itu,
bagaimana proses dan hasilnya, darimana anggaran dan untuk apa digunakan, juga harus
dipertanggungjawabkan secara transparan pula. Inilah hakikat masyarakat madani yang diharapkan.
Transparansi, demokratis, dan akuntabelitas pelaksanaan kebijakan pendidikan menjadi ciri utama
pemerintahan yang bersih dan berwibawa di mata masyarakat.
Keempat, kebijakan pendidikan harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
Kebijakan pendidikan harus menjadi rujukan setiap program dan kegiatan yang dirancang oleh semua
jajaran di lingkungan departemen. Tidak boleh ada satu pun program dan kegiatan yang tidak
bersumber dari kebijakan yang telah disepakati bersama. Bahkan, seharusnya rambu-rambu program
dan kegiatan memang harus telah tampak dengan jelas dalam Renstra yang telah ditetapkan.
Konsekuesni dan konsistensi pelakasanaan kebijakan tampak dalam program dan kegiatan, anggaran
yang disediakan, serta pelaksanaannya. Kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi kemudian tidak
disediakan anggarannya, sama saja dengan membunuh janin dalam rahim sang ibunda.
Akhir Kata
Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi
lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran. Demikian penegasan James Thurber, untuk mengakhiri
tulisan singkat ini. Masa lalu tidak untuk disesali, tetapi untuk dijadikan bahan pelajaran (lesson learned)
untuk menatap dan menghadapi masa depan dengan penuh keberanian. Apakah kebijakan pendidikan
kita dewasa ini telah dirumuskan dengan arah dan tujuan yang jelas? Kita harus dapat menilainya secara
jernih, kemudian menyempurnakan jika ada kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu, sebuah tim ahli
yang kuat dapat dibentuk untuk melaksanakan tugas yang berat itu. Pertanyaan tentang apakah
masalah pendidikan kita sebagian disebabkan oleh mekanisme kelahiran kebijakan yang tidak on the
right track, hanya tim kerja yang harus menjawabnya. Mudah-mudahan.
*) E-mail: http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/post?
postID=yU62fnxCAE_Eoh1DVW6E8TZPllIMzkSTkbCLOrwjJ0tWCrP20vtTDmRV_8LHHJOX__e_36tbOCCKs
w. Website: http://www.suparlan.com/.

Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi

Pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke
hari manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin
menurun meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu
menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-
negara lain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun."Kebijakan pendidikan kita tidak pernah jelas.
Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite eksklusif dengan kurikulum elitis yang hanya
bisa ditangkap oleh 30 persen anak didik," kata Dr Mochtar Buchori, mantan Rektor IKIP
Muhammadiyah Jakarta, Jumat (3/9).Keprihatinan terhadap pendidikan Indonesia yang bergerak tanpa
arah yang jelas, kegagalan perguruan tinggi yang diunggulkan di dalam negeri berkompetisi di tingkat
global dan regional, bahkan pencapaian kuantitatif pendidikan Indonesia yang mulai dikejar negara-
negara kecil, yang selama ini tidak diperhitungkan, muncul pula dalam diskusi panel ahli yang
diselenggarakan redaksi Kompas baru-baru ini.Liputan pendidikan sejumlah wartawan Kompas ke
sejumlah negara yang dimuat dalam rubrik Fokus hari ini makin mengukuhkan keprihatinan itu.Dr
Francis Wahono, aktivis organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan di
masyarakat bawah, mengemukakan, apabila proses involusi yang tengah terjadi dalam pendidikan di
Indonesia dibiarkan terus berlangsung, dalam kurun waktu tujuh sampai sepuluh tahun mendatang
Indonesia akan menjadi bangsa paria di kawasan Asia Tenggara. "Kinerja sektor pendidikan kita sungguh
mengenaskan. Indeks pembangunan manusia (HDI), yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-111,
mencerminkan betapa miskinnya pemikiran dan kacaunya penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air,"
kata Wahono.Salah kaprahStaf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Ace Suryadi mengatakan, investasi
pendidikan yang dilakukan sejak pemerintahan Soeharto telah salah kaprah. Perluasan pendidikan tanpa
memerhatikan mutu-seperti pada masa Orde Baru-jika dilanjutkan hanya akan menabrak batu. Menurut
Ace, sejak reformasi bergulir sampai sekarang belum ada restrukturisasi program pendidikan yang
berarti. Penambahan dana pendidikan saja, jika tanpa diikuti restrukturisasi dalam proses pembangunan
pendidikan, tak akan banyak memperbaiki situasi pendidikan di Indonesia."Dari dulu sampai sekarang,
kebijakan pendidikan kita masih terlalu umum. Belum ada kebijakan besar dalam pendidikan, misalnya
untuk mengejar keunggulan sampai tahun 2020," kata Ace.Menurut Buchori, sistem pendidikan yang
diberlakukan saat ini merupakan kelanjutan dari sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulum hanya
bisa diikuti oleh 30 persen dari peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti. Ketika
jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadi pengatrolan-pengatrolan dan sebagainya,
yang merusak nilai-nilai pendidikan.Untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bersifat massal,
lanjut Buchori, sistem itu harus diubah. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur: jalur anak-anak berbakat
dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan suatu negara,
tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat inklusif. Suatu kelompok kecil
orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli pada nasib orang lain, dan punya semangat
egaliter. Pada lapisan lainnya adalah kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang
melek huruf dalam arti luas."Untuk menciptakan lapisan elite yang unggul memang perlu dibentuk
lembaga-lembaga pendidikan yang elitis, tetapi juga memiliki semangat egaliter. Jadi, jangan terlalu
berlebihan, sampai menyediakan fasilitas pacuan kuda dan lain- lainnya. Sikap berlebih-lebihan itu yang
menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya," katanya.Salah arahGuru besar
bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak kebijakan pendidikan di
Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam membangun pendidikan tidak perlu terlalu
menyalahkan dan menggantungkan diri pada pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang
pernah memimpin sebuah jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan
tinggi swasta."Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana pemerintah.
Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti perusahaan atau industri. Lembaga
pendidikan memang harus dikelola seperti badan usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan
dikembalikan untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan itu," katanya. (wis)Sumber: Harian Kompas,
4 September 2004.

Jakarta, kompas - Dampak kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak
diperhitungkan jauh ke depan. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih didasarkan pada
kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan pendidikan berkualitas bagi anak
bangsa.
“Karena pendidikan itu lebih bergantung pada struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan
bangsa ini juga sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah,
ya, pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain,” kata tokoh
pendidikan HAR Tilaar di Jakarta, Selasa (7/8).
Tilaar menyampaikan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia dewasa ini dalam acara Principal’s
Chat 2007 yang digelar Bina Nusantara (Binus) International. Acara ini merupakan forum diskusi tahunan
antara Binus International dan guru serta kepala SMA di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi.
Menurut guru besar (emeritus) Universitas Negeri Jakarta ini, kuatnya kepentingan politik dalam
kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-gantinya kebijakan pendidikan
setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak kebijakan pendidikan pada tingkat nasional
maupun lokal juga tidak didukung dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di
sekolah dan masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih kontroversial, menurut
Tilaar, bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk peningkatan kualitas lulusan pendidikan di
Indonesia. Namun, kebijakan itu terus dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses
pendidikan secara menyeluruh.
HAR Tilaar mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman yang sangat cepat dewasa ini, kebijakan
pendidikan Indonesia memang tepat diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan. Apalagi jika melihat
dari laporan UNDP tahun 2006, yang menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia di
peringkat ke-108 dari 177 negara.
Sayangnya, peningkatan mutu itu sering kali dicapai dengan kebijakan yang tidak berakar dari guru,
kepala sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemerintah masih terus saja berjalan dengan
kebijakan yang coba-coba dan berganti-ganti.
Hanya berdasarkan asumsi
Kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan berdasarkan pada asumsi yang kurang jelas,
bukan berdasarkan situasi belajar dan pembelajaran anak Indonesia. “Kita memang bisa belajar dari
sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bangsa- bangsa yang lain. Akan tetapi, semua itu tetap perlu
dicek dan divalidasi dalam situasi konkret di dalam masyarakat Indonesia,” kata Tilaar.
Kebijakan nasional yang juga mendapat sorotan Tilaar adalah upaya meningkatkan profesionalisme guru
dan pelaksanaan Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Menurut Tilaar, kebijakan ini merupakan upaya yang baik dalam pelaksanaan
reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak juga belajar dari masa lalu,
dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa persiapan.
“Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang matang. Selain
persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi, seperti juga perubahan-
perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini merupakan suatu surprise sehingga
menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan,” kata Tilaar.
Dalam penyesuaian kurikulum dengan tuntutan lokal yang menjadi jiwa KTSP, ternyata soal muatan lokal
hanya dialokasikan dua jam pelajaran. Seharusnya muatan lokal yang bukan dalam pengertian sempit itu
merupakan roh dari keseluruhan KTSP. Dengan kata lain, seluruh mata pelajaran haruslah disesuaikan
dengan kebutuhan lingkungan.
Anton, salah satu guru SMA swasta di Jakarta, mengatakan bahwa para pendidik sering kali
dibingungkan dengan kebijakan pemerintah yang sering kali berubah-ubah. Di satu pihak ada upaya
untuk bisa memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan diri sesuai dengan
kebutuhan mereka sendiri, tetapi di lain pihak mereka tidak pernah dipersiapkan dengan kebijakan baru
yang akan diterapkan. (ELN)
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm, Rabu, 08 Agustus 2007
August 8th, 2007 by susuwongi in Berita Lain Lain

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TNPA DISKRIMINASI


Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA
A. PENDAHULUAN
Pada prinsipnya pendidikan merupakan bentuk kesadaran masyarakat yang ingin meningkatkan
peradabannya, sehingga mereka menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai jati diri. Peran serta
masyarakat di bidang pendidikan sejak semula sudah terlihat, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan
maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan. Seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Mathla’ul Anwar, Persis, Al-Khairat di Gorontalo dan Sulawesi Tengah, Al-Washliyah di Sumatera,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Taman Siswa, MKGR, Kosgoro dan masih banyak lagi yang
kontribusinya sangat nyata terhadap pendidikan. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, maka tidak
mungkin Pemerintah mampu mengemban tugasnya dengan baik untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Di sinilah dibutuhkan adanya dialektik akrab antara pemerintah dan masyarakat.
Saat ini kita telah memiliki perangkat perundang-undangan yang cukup baik, dan bisa dijadikan acuan
dasar bagi peningkatan mutu pendidikan nasional, di antaranya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bahkan, kita juga sudah memiliki
payung hukum untuk meningkatkan profesionalisme, kompetensi serta kesejahteraan para pendidik
kita, yakni UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Untuk mewujudkan apa yang digariskan dan diamanatkan dalam berbagai perangkat peraturan
tersebut, kita memerlukan strategi dan perencanaan yang matang dan didasarkan pada analisis yang
benar-benar obyektif terhdap kondisi pendidikan kita saat ini. Salah satu yang diupayakan Pemerintah
adalah dengan memperbarui Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan Nasional, yang diharapkan bisa
menjadi rujukan pelaksanaan program-program pendidikan dalam beberapa tahun mendatang.
Muaranya adalah pada pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan.
B.Garis Besar Renstra Pendidikan Nasional
Renstra Pendidikan Nasional Tahun 2006 dilandaskan pada visi: “terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah”. Adapun misi yang dilakukan untuk merealisasikan visi tersebut adalah:

mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
seluruh rakyat Indonesia;
membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai
akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan
kepribadian yang bermoral;
meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip
otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Dasar-dasar dari visi dan misi tersebut dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Bab I tentang Ketentuan Umum. Dari UU tersebut kita bisa melihat bahwa yang
dimaksud dengan manusia berkualitas adalah manusia seutuhnya. Pengertian ini berbeda dengan
paradigma klasik yang menganggap manusia sebagai tenaga kerja alat yang dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dan tuntutan-tuntutan akumulasi modal dalam sistem ekonomi
kapitalis. Bukan semacam ini paradigma pendidikan yang kita kembangkan. Kita tidak bisa
membayangkan seperti apa output pendidikan kita jika kita menggunakan paradigma klasik tersebut.
Pendidikan yang kita kembangkan adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu: olah kalbu, olah
pikir, olah rasa dan olahraga. Olah kalbu adalah pendidikan akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur,
sehingga peserta dididik memiliki kepribadian yang unggul. Ini adalah aktualisasi dari potensi hati
manusia dan merupakan bagian pendidikan yang paling mendasar dan paling penting. Dalam istilah
pendidikan, hal itu termasuk merupakan aspek afeksi. Dalam keyakinan agama kita –berdasarkan
sebuah riwayat hadits dari Imam Muslim– dijelaskan bahwa, semua perbuatan (amal) berangkat dari
kualitas niat. Pendidikan afeksi adalah bagaiamana membangun manusia berhati baik dan prakarsanya
menjadi baik, karena didasarkan pada niat baik pula. Niat yang baik dan postif akan bisa menjadikan
manusia bersifat produktif. Inilah yang dalam istilah populer saat ini disebut dengan kecerdasan
spiritual.
Olah pikir berarti membangun manusia agar memiliki kemandirian serta menguasi ilmu pengetahun dan
teknologi. Olah pikir berorientasi pada pembangunan manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif. Olah
rasa bertujuan menghasilkan manusia yang apresiatif, sensitif serta mampu mengekspresikan keindahan
dan kehalusan. Ini sangat penting, karena tidak ada rasa syukur manakala kita tidak memiliki apresiasi
terhadap keindahan dan kehalusan. Ini merupakan bagian terpenting dari potensi kehidupan manusia.
Aspek ini pula yang selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga kita merasakan kegagalan dalam
mendidik para pelajar kita. Salah satu dampaknya adalah bahwa kita tidak terbiasa untuk memberikan
apresiasi kepada orang lain dan mudah dihasut serta berprilaku destruktif. Sedangkan olah raga
merupakan proses pembangunan manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi
berfungsinya hati, otak dan rasa.
Oleh sebab itu, orientasi pendidikan yang memiliki paradigma manusia seutuhnya sebagaimana
disebutkan di atas adalah sejalan dengan konsep insan kamil. Pendidikan yang ingin kita bangun adalah
pendidikan yang menciptakan manusia yang “arif” seperti para Nabi; “cerdas” seperti Einsten; dan
“kuat” seperti Mike Tyson. Jadi, UU Nomor 20 tentang Sisdiknas itu pada dasarnya sangat islami.
Misi perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu sejalan dengan prinsip pendidikan UNESCO,
“education for all”. Islam juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim.
Islam bahkan mengajarkan bahwa kewajiban belajar tidak hanya pada usia 7-15 tahun saja, tetapi
sepanjang hayat. Hal ini sejalan dengan QS. Alu Imran, 3 : 191 yang berbunyi “(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”. Itulah cermin manusia seutuhnya yang
menggunakan hati dan pikirannya untuk selalu berdzikir kepada Allah, bertafakkur mengamati alam
semesta, sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini bukan
untuk main-main, tetapi dengan tujuan yang amat tinggi dan mulia yaitu tujuan kehidupan manusia
yang tidak berhenti di dunia ini saja. Oleh sebab itu, ayat-ayat selanjutnya berisi do’a agar diberi
petunjuk oleh Allah dan selalu ditempatkan pada jalan yang benar dan diridlai-Nya.
Alam semesta dan kehidupan di dalamnya merupakan lembaga pendidikan bagi manusia yang pada
akhirnya mengelompokkan manusia ke dalam dua golongan. Ada yang sukses meraih kelulusan,
sehingga menjadi manusia yang berbahagia mendapat surga dan ada yang tidak berhasil, sehingga
menjadi penghuni neraka. Hidup adalah wahana pendidikan dari Tuhan yang di dalamnya terdapat
proses pembelajaran dan pengujian. Di sinilah kita bisa memahami mengapa menuntut ilmu diwajibkan
dalam Islam.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa sehingga mereka sendiri
merubah apa yang ada di dalam dirinya. Termasuk yang ada di dalam diri manusia adalah hati, fikir, rasa
dan raga. Maka, tepat sekali jika pada amandemen tahun 2000 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa,
pendidikan adalah hak asasi manusia, dan pada amandemen tahun 2002 terhadap UUD 1945 disebutkan
bahwa, tanggung jawab negara dalam pendidikan diwujudkan dalam APBN sekurang-kurangnya 20%. Ini
merupakan keputusan yang bisa disebut lompatan quantum, karena diambil pada saat negara sedang
mengalami kesulitan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi memang itu harus dilakukan jika kita
mengharapkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. Amandemen UUD tersebut ini kemudian
ditindaklanjuti dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang sangat islami. Meskipun hasilnya
tidak bisa kita lihat sekaligus, akhir-akhir ini kita melihat geliat yang begitu tinggi di masyarakat untuk
memajukan pendidikan. Akhir-akhir ini, misalnya, banyak pesantren yang membuka pendidikan formal,
dan itu akan dapat dilihat hasilnya 10-15 tahun mendatang.
Oleh sebab itu, pendidikan nasional harus diarahkan pula untuk bagaimana membantu dan
memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa. Dengan cara inilah kita bisa melihat apa
sesungguhnya yang kita miliki saat ini dan bagaimana melakukan upaya terus menerus untuk
mengembangkan potensi yang ada pada anak-anak bangsa kita. Pendidikan sendiri sebagaimana
pengertiannya yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.”
Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari peningkatan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan;
profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan; serta upaya untuk memberdayakan peran serta
masyarakat dalam konteks otonomi dan negara kesatuan.
Dengan demikian, maka ada tiga pilar kebijakan dan prioritas untuk pencapaian sasaran dalam
pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu,
relevansi dan daua saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Inilah yang
direncanakan dan akan dilakukan melalui kerjasama sinergis antara Depdiknas RI, Depag RI dan
tentunya juga masyarakat.
Pemerataan dan perluasan akses terkait masalah-masalah pendidikan yang kita temukan di masyarakat
saat ini. Pemerintah saat ini sedang menyusun program agar pemerintah daerah (Pemda) ikut serta
memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keberadaan sekolah yang telah menerima dana
BOS di kota-kota di daerah saat ini, memang sulit sekali untuk menggratiskan biaya pendidikan kepada
peserta didiknya. Sebagai contoh, SD Muhammadiyah di Suragaya mempunyai RAPBS tiap tahun sebesar
Rp. 500.000.000,-, sedangkan dana BOS yang mereka terima hanya sebesar Rp. 250.000.000,-. Begitu
juga madrasah-madrasah Maarif unggulan dengan siswa yang tinggal di asrama dan dengan pelayanan
yang memadai, tentu akan kesulitan untuk menggratiskan biaya pendidikan. Tapi, dengan adanya dana
BOS, paling tidak pungutan kepada siswa agak menurun, tidak sebesar sebelumnya. Akan tetapi, pernah
juga ditemukan sekolah di sebuah desa terpencil yang memang betul-betul menggratiskan biaya
pendidikan. Di Yogyakarta, dijumpai beberapa sekolah yang sudah dapat menggratiskan biaya. Bahkan di
Jawa Timur, Pemda mampu memberikan tambahan biaya sebesar Rp. 10.000,- persiswa, sehingga biaya
pendidikan semakin ringan.
Berkaitan dengan sarana dan pra sarana, Depdiknas RI telah menandatangani MoU untuk rehabilitasi
gedung sekolah dengan Pemda, dengan komposisi tanggungan 50% pusat dan 50 % daerah. Prioritas
Pemerintah adalah daerah pedesaan.
Masalah lainnya juga berkaitan dengan angka buta aksara di Indonesia yang pada tahun 2006 ini
mencapai 8,3 persen. Pada tahun 2004 tercatat 10,6. Pemerintah berencana menuntaskan
pemberantasan buta aksara, sehinga pada tahun 2008 mencapai 5,0 persen. Daerah buta aksara
terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Barat, dan Banten. Yogyakarta Bali, NTB dan NTT
termasuk tinggi. Mengingat Jawa Timur merupakan basis Ma’arif yang cukup besar, maka Pemerintah
benar-benar menginginkan adanya kerjasama yang kuat dengan NU untuk menuntaskan pemberantasan
buta aksara dan penyukesesan wajar dikdas.
Angka buta aksara perempuan adalah dua kali lipat dari laki-laki. Namun ada fenomena menarik di sini.
Di Madura, ada seorang perempuan cantik dan kaya, tetapi buta aksara. Ironisnya, kalau disuruh
membaca “duit”, dia mengerti. Biasanya, buta aksara identik dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Inilah yang harus kita berantas, sejalan dengan amanat QS. al-Ma’un, yakni memberdayakan orang-
orang yang lemah. Oleh sebab itu, Menteri Pendidikan Nasional sudah menandatangani MoU dengan
organisasi-organisasi perempuan termasuk Muslimat NU dan Aisyiyah untuk penanganan buta aksara.
Khusus kedua organisasi tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan untuk berdakwah di kalangan
akar rumput.
Secara keseluruhan, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan meliputi:
Pendanaan satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar (wajar).
Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di sekolah/madrasah, termasuk di pesantren salafiyah, dan satuan
pendidikan keagamaan lainnya, serta satuan/program pendidikan nonformal
Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di SLB dan sekolah inklusif
Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk
jarang dan terpencar
Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan pelaksana program wajar
Penyediaan sarana dan prasarana satuan pendidikan pelaksana program wajar
Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia di atas 15 tahun
Perluasan akses pendidikan melalui ICT dan TV Edukasi
Perluasan pendidikan kecakapan hidup, termasuk bagi santri Pondok Pesantren
Perluasan akses SMA/MA/SMK/MAK dan SM terpadu
Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/MA/MAK/SM Terpadu, SLB, dan
PT
Peningkatan akses lulusan SMA/MA berprestasi/berbakat istimewa ke pendidikan lanjutan di PT
Unggulan di dalam dan luar negeri
Perluasan akses PT/PTA
Pelaksanaan advokasi pendidikan yang responsif gender
Perluasan akses PAUD, termasuk TK, RA, BA, KB, TPA, TPQ
Kondisi saat ini dan target ke depan berkaitan dengan kebijakan perluasan dan pemerataan akses
pendidikan bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1
Indokator Kunci dan Target Pilar
Kebijakan Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan
SASARAN
INDIKATOR KUNCI
KONDISI DAN TARGET
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Perluasan Akses Pendidikan
APK Pra Sekolah
39,09%
42,34%
45,19%
48,07%
50,47%
53,90%
APM SD/Paket A/MI/SDLB
94.12%
94.30%
94.48%
94.66%
94.81%
95.00%
APK SMP/Paket B/MTs/SMPLB
81.22%
85.22%
88.50%
91.75%
95.00%
98.00%
APK SMA/SMK/Paket C/MA/SMALB
48.25%
52.20%
56.20%
60.20%
64.20%
68.20%
APK PT/PTA, termasuk UT
14.62%
15.00%
15.57%
16.38%
17.19%
18.00%
Prosentase Buta Aksara > 15 th
10.21%
9.55%
8.44%
7.33%
6.22%
5.00%
Pemerataan Akses Pendidikan
Disparitas APK PAUD antara kab dan kota
16.94
16.94
15.54
14.04
12.54
11.04
Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kab dan kota
2.49
2.49
2.40
2.30
2.15
2.00
Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kab dan kota
25.14
25.14
23.00
19.00
16.00
13.00
Disparitas APK SMA/MA/SMK/SMALB antara kab dan kota
33.13
33.13
31.00
29.00
27.00
25.00
Disparitas gender APK di jenjang pendidikan Menengah
6,16
6,07
5,98
5,89
5,80
5,71
Disparitas gender APK di jenjang pendidikan tinggi
9,90
9,62
9,33
9,05
8,76
8,48
Disparitas gender persentase buta aksara
7.32
6.59
5.86
5,13
4.40
3.65
Adapun kebijakan untuk meningkatan mutu, relevansi dan daya saing dilakukan salah satunya dengan
cara memberikan akses yang sama terhadap seluruh lembaga pendidikan untuk semua. Saat ini, telah
ditandatangai Permendiknas RI yang menjangkau semua, bahkan pendidikan non formal dan informal
untuk bisa ikut dalam perhelatan olimpiade. Target tahun depan dapat mengalahkan China sebagai juara
umum dalam olimpiade fisika.
Selain itu, Depdiknas RI sementara ini tidak lagi membuka SMA tetapi SMK. Depag RI pun sebaiknya
tidak membuka MA tetapi membuka MAK, kecuali di tempat-tempat tertentu yang memang masih
sangat dibutuhkan. Sekolah dapat mengeluarkan sertifikat-sertifikat life skill, seperti komputer, bahasa
Inggris, bahasa Arab, akuntansi dan lain-lain.
Secara keseluruhan, kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing ini meliputi:

Pengembangan sekolah/madrasah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota


Pengembangan SMA/MA/SMK/MAK berbasis keunggulan lokal di setiap Kab/Kota
Pengembangan satuan pendidikan berwawasan multikultural dan budaya sekolah berbasis nilai-nilai
keagamaan
Pengembangan MA Keagamaan
Peningkatan kualitas proses pembelajaran pendidikan agama, ahklak mulia, dan kepribadian
Perluasan dan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan perpustakaan termasuk taman bacaan
masyarakat
Pengembangan guru sebagai profesi
Pengembangan kompetensi dan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan
Penjaminan mutu secara komprehensif dan terprogram dengan mengacu kepada SNP
Implementasi dan penyempurnaan SNP oleh BSNP
Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi, termasuk pendidikan kedinasan
Peningkatan sarana dan prasarana satuan pendidikan
Pengembangan pembelajaran berbasis ICT dan TV, termasuk pada pendidikan nonformal serta
pendidikan agama dan keagamaan
Akselerasi jumlah program studi vokasi, profesi, dan keagamaan
Peningkatan peran PT/PTA dalam pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kemiskinan, dan
keterbelangkangan dalam rangka memecahkan masalah bangsa
Penyesuaian program pendidikan kedinasan dengan peraturan perundangan, serta peningkatan mutu
dan relevansinya
Pengembangan kerjasama PT/ PTA dengan PT Unggulan Dalam dan Luar Negeri
Mendorong jumlah jurusan di PT/PTA agar masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar dunia atau
berakreditasi OECD/Internasional
Peningkatan kepemimpinan dan enterpreneurship lulusan PT/PTA
Peningkatan mutu dan kompetensi lulusan PT/PTA, serta peningkatan akses lulusan ke lapangan kerja
yang beragam
Peningkatan kompetensi dan profesionalisme dosen PT/PTA
Peningkatan intensitas dan kualitas penelitian di PT dan penyebarluasan hasilnya
Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI
Tabel 2
Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan
Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
SASARAN
INDIKATOR KUNCI
KONDISI DAN TARGET
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Mutu dan Daya Saing Pendidikan
Rata-rata nilai UN SD/MI
-
-
-
-
5.00
5.50
Rata-rata nilai UN SMP/MTs
5.26
6.28
6.54
6.72
7.00
7.00
Rata-rata nilai UN SMA/SMK/MA
5.31
6.52
6.68
6.84
7.00
7.00
Guru yg memenuhi kualifikasi S1/DIV
30%
30%
32%
34%
37.5%
40%
Dosen yg memenuhi kualifikasi S2/S3
50%
50%
55%
60%
65%
70%
Pendidik yang memiliki sertifikat pendidik
-
-
-
5%
20%
40%
Jumlah Prodi masuk 100 besar Asia, 500 besar Dunia, atau akreditasi bertaraf OECD/Int.
-
1
3
4
5
10
Perolehan medali emas pd Olimpiade Internasional
13
15
17
19
20
20
Jumlah Paten yg diperoleh
5
10
20
30
40
50
Sekolah/Madrasah bertaraf Internasional
-
-
50
85
120
155
Sekolah/Madrasah berbasis keunggulan lokal
-
100
400
700
1.000
1.333
Kenaikan Publikasi Internasional
5.0%
7.5%
10%
20%
30%
40%
Relevansi Pendidikan
Rasio Jumlah Murid SMK : SMA
30:70
32:68
34:66
36:64
38:62
40:60
APK PT vokasi (D2/D3/D4/Politeknik)
1.47%
1.50%
1.70%
1.80%
1.90%
2.00%
Rasio Jumlah mahasiswa Profesi terhadap jumlah lulusan S1/D4
10%
10%
15%
17.5%
20%
20%
Persentase peserta pendidikan life skill terhadap lulusan SMP/MTs atau SMA/SMK/MA yang tidak
melanjutkan.
5.0%
6.5%
8.6%
10.7%
12.8%
15.0%
Jumlah sertifikat Kompetensi yg diterbitkan
Jenjang Pendidikan Menengah
Jenjang Pendidikan Tinggi

75.000
40.000

100.000
50.000

125.000
60.000
Kebijakan penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik diarahkan agar proses pendidikan bisa
berjalan dengan pengelolaan yang profesional, tepat guna, akuntabel dan menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap program-program pendidikan baik secara institusional maupun prosesnya.
Kebijakan ini meliputi:

Penataan regulasi pengelolaan pendidikan


Peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang-undangan
Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN
Penyelesaian temuan-temuan pemeriksaan pengawas internal dan eksternal
Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh pengawas internal dan eksternal
Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh pengawas internal
Peningkatan SPI berkoordinasi dengan pengawas eksternal
Peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat pengawas internal
Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
Peningkatan mutu manajemen dan layanan pendidikan
Peningkatan kualitas tata kelola melalui sistem ISO 9001:2000
Peningkatan kualitas tata kelola melalui aplikasi SIM
Peningkatan citra publik
Tabel 3
Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan
Penguatan Tata Kelola dan Citra Publik
SASARAN
INDIKATOR KUNCI
KONDISI DAN TARGET
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Governance dan Pencitraan Publik
Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah
Disclaimer
Disclaimer
Wajar dg catatan
Wajar tnp syarat
Wajar tnp syarat
Wajar tnp syarat
Persentase temuan BPK ttg penyimpangan di Pemerintah terhadap obyek yang diperiksa
1~0,5%
1~0,5%
1~0,5%
<0.5%
IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN
TERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN
DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
DI ERA OTONOMI DAERAH1
Oleh : Wasitohadi2
ABSTRAK
Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya
perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam
iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan
pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah
bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan
pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa
dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan,
termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar
instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta
forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis
lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan
pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-
benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk
mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan” menyangkut
berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan
substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated.
Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem
pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan
pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial
dan berurutan.
Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan partisipatif, kebijakan
pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi.
1 Makalah ini adalah sebuah pemikiran awal yang dibuat dalam rangka Simposium Tahunan Penelitian
Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008.
2 Mahasiswa S3 program studi Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang
mempersiapkan proposal disertasi tentang ”Refleksi Hubungan Paradigma Baru Pendidikan: Sistem dan
Praksisnya (Kajian Kasus Pendidikan SD di Kota Salatiga).”
1
3 Alhumani, misalnya, dalam Kompas (2000), menyebutkan empat kemungkinan dampak positif dari
kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) peningkatan mutu, (2) efisiensi keuangan dan administrasi,
(3) relevansi pendidikan, dan (4) perluasan atau pemerataan pendidikan. Namun, laporan Bank Dunia
(1998:73) mengingatkan : “Clearly, decentralization is not answer to all education problems, but
experience shows that it is a necessary, while not a sufficient, condition for improving teaching and
learning”. Selanjutnya, Husen & Postlethwaite (1994:1413) menyatakan : “…four factors are associated
with decentralization “successes” and “Failures”. There are (a) cultural context, (b) political support from
national leaders and local elites, (c) adequate planning and management, and (d) local empowerement”.
A. Pendahuluan
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk
kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen
ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang
kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut
adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah
paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada
paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya
mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun
implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi
daerah :
”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi),
dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi
kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan
nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan
pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.3

Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di
daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa
berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang
pendidikan,
2
otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam
pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta
berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas
pendidikan oleh masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan dalam
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata
Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa
rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan
yang digunakan. Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen
”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga
terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa ”pembuatan implementasi kebijakan
berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu.
Kemungkinan resikonya beragam, misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu,
tidak realistis, tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-
koruptif ”.
B. Kajian Teori
1. Konsep Otonomi Daerah

Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal
pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat
disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara
lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal
tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi
dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau
bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-
undang”.
3
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut
tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan,
misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah”
(pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos”
yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau
mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini
berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau
perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan
kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang
Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi
kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk
diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-
17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah
pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem
material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan
bertanggung jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang
pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama
terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat
mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat.
Sebaliknya, sistem ini dapat pula
4
menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam
pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat
menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.
Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif
atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya,
sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya
melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena
mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan
menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah.
Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap
penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah
pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga
daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan
pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun
pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan
kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan
yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang
pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan
dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang
daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah
pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai
salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU
No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
5
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan
peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung
jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi
dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud
dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.
6
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga
adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan
Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap
tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib
melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan,
perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan,
supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib
memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah
agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Konsep Desentralisasi Pendidikan

Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya
mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan
kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada
banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan
“centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam
Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania
Andria & Yulia Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal
of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision
making as close as possible to problem area”. Lain halnya
7
dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and
powers to authorities at the lower levels”.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi,
pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui
partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan mendorong
tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar
masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan
masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah
diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung
pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading Change”, menyatakan bahwa
lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat
memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih
efektif, (3) lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan
lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan
pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung
memperoleh keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan
tetapi juga kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat,
lebih luwes dan konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya
dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua
bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah
suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan
kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala
fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen &
Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the devolution of authority
from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a
lower organizational level, such as individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18)
desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan
yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan
8
kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat
ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal
sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan.
Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung
jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi
politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization).
Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima
kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk
menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu
mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga
apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi
administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas pendidikan
di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi pengelolaan yang bersifat
implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah
pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan
pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur,
menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari para ahli.
Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi (reasons for
decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the belief that local participation is a logical
form of governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality,
fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai negara,
Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem
desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas
dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud
penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan
sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan
9
paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat
waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-
finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat
pembangunan ekonomi.
Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di Indonesia dikemukakan
oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan
untuk mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga memberi
alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan, yaitu:
Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik
(politically decentralization is a way of democratizing the management of public affairs). Di bawah
skema desentralisasi, pertanggungjawaban pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah.
DPRD mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil rakyat
di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang lebih besar di
dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengannya.
Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah wilayah
yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage education efficiently in a vast area
consisting of islands). Masalah komunikasi dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah,
khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula,
sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah perbedaan-perbedaan regional
dan untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan budaya dan
tingkat perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-
kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness in
handling problems related to the implementation of education). Dan, alasan keempat, untuk
mengurangi beban administrasi yang berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded
burden of administration of the central government).
10
Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah, 2001:58)
melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan
pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang
penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan
antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi
bertolak dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau
yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut
untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1)
ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4)
eksploitasi SDA, (5) represi dan pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan
melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan
masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu,
desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas
untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah.
3. Model-Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi pada model
pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga model, yaitu
dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah
model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang
lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali
pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan dengan
membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan tanggung jawab
pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada
pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak
diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah
11
memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat
menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi
serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat
ditarik kembali lagi hanya karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model dekonsentrasi
adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan
model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi
lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat,
semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan
demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan
kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan
menguntungkan mereka.
Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu privatisasi
(privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta.
Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut
Abdurrahmansyah (2001:61), dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh
yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain tidak
terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan hanya sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari
urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi pendidikan, yaitu (1)
manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2) pengurangan administrasi pusat, dan (3)
inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua
urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan
konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan
wewenang dan urusan pada masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada
inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta
didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang
bervariasi. Di antara ketiga model ini, model manajemen berbasis lokasi yang banyak diterapkan, untuk
12
4 Bandingkan dengan pendapat H.A.R. Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta; Azyumardi Azra.2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas; dan
Sindhunata.2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
5 Sebenarnya, adalah sangat menarik untuk menganalisis perbedaan dan persamaan di antara dua
pendapat di atas, kemudian menyimpulkan dan menguraikannya secara lebih detail mengenai
pergeseran atau perubahan-perubahan yang ada menyangkut paradigma pendidikan. Tapi, untuk
keperluan makalah ini cukuplah kalau dipaparkan ”seadanya”, karena tekanan makalah ini lebih pada
perencanaan pendidikan di era otonomi daerah sebagai implikasi paradigma baru pendidikan tersebut.
meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa dan
anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
4. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari
paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu (1)
dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up,
(3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran
pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif,
serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik
keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).4
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu
untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke desentralistik”
dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) ke pendekatan “dari bawah ke
atas” (bottom up approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan
tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari
“Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open Management), dan
pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah”
berubah ke “sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).5
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran paradigma pendidikan
tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan

Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan
pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud,
tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat
terhadap kebijakan-
13
6 H. Noeng Muhadjir (2003: 61) menyatakan bahwa kebijakan yang berasal dari atas (top down), di
bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan
kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy.
kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep dan
sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh
Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan
masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti
pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan
sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada
perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada
jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan DPRD
Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat
kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah
Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat
Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy)
masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”
Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat
bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas
Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi,
sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan
pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh
tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;

Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan


mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach)6.
14
Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh
Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus
lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran
pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan
orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi
dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan
penyelenggara pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan
umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi
wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru, siswa, orang
tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan
mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota
untuk ditindaklanjuti.
c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik

Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli
Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional,
sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang
berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu),
sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be
(menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan,
dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan
pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri
sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam
15
kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif,
produktif, dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan
holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness),
keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu
sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari
suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat
dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier
(Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-
masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling ketergantungan antara guru
dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara guru dengan guru lain, dan lain-lain.
Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang satu
dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan yang dididik, antara siswa
dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan
pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai
keterlibatan, ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang
bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier
serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan,
meski kita telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam
nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang
mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-
langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur
yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-
bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan
dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual,
sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak
lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan
16
memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur
pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan
mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.
Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin
penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas,
pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus
dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan
dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai
dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami
sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh
menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan
kuantitatif.

Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan
kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya sebagai
pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas
masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan.
Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan
masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan
sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang
terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah
menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat
Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah.
Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan
pembentukan komite sekolah.
17
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan
demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia
persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses
pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan
komite sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan
dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan
pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui
pemungutan suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.

Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat
diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan
dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan
wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan
bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga,
lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan
sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk
menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam
pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan
maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok
wanita dan anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan
sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu
pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan sosial, pengayaan
berkelanjutan (continuous enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli
Jalal, 2001:72-73).
18
f. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.

Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat-
pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan
sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi
pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian,
tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari sebagian pejabat birokrat yang
menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan
ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam
penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar ”kekuasaan” atau
peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam
arti ”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan
prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah,
dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana
untuk sekolah.
g. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management terbuka” (open management).

Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga tidak transparan, tidak
ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka” dari pembuatan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber
daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh
kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila
ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
h. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke
”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)
19
7 Dalam perkembangannya yang mutakhir, dengan esensi yang kurang lebih sama, tidak lagi memakai
istilah Propenas, Renstra dan Propeta, tapi diganti menjadi RPJP Nasional, RPJM Nasional, dan RKP.
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung jawab
pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat
(stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji
honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan
supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa
dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus,
dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS,
dan dari Dinas Propinsi.
5. Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan

Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam
iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan
pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut
Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah
setidak-tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan
keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada tingkat daerah sebagai
kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh
daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan
nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen, Propenas ini dijabarkan lebih
lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai
tujuan program pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan Menteri.
Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan tahunan yang disingkat
Propeta yang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan
masing-masing.7
20
Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta
mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Ini
berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan
perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada
perencanaan nasional yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan
budaya daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.
Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi dari
perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan perencanaan pendidikan
yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan
perencanaan nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma dalam
pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi integrated
dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di daerah
diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal
dari berbagai sumber sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung
jawab daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana dekonsentrasi,
dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat. Dengan demikian, telah terjadi
perubahan sumber anggaran yang semula bersifat tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-
fungsional-regional, tetapi dalam persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik telah
menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada tataran
kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran.
Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas,
jenis kegiatan sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak
bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang ditetapkan.
Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan
pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan Daerah
secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk
21
8 Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan
dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
9 Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut hanya sebagai salah satu dari lima
pendekatan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah
pendekatan politik, teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan
dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan
menciptakan rasa memiliki.
perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan pendidikan
yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas, program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi
anggarannya dalam konteks perencanaan pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu
perlu dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak
bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga membawa dampak pada
perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan anggaran menggunakan pendekatan
integratif, sehingga pola dalam merencanakan anggaran selain mengacu pada sifat prosedural juga
menggunakan prinsip efisiensi dengan berorientasi outcomes karena tingkat keberhasilan pendidikan
dikontraskan dengan tingkat keberhasilan sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalah
manajemen strategik anggaran yang lebih berorientasi kepada pencapaian program dan upaya
pengembangan.
C. Hasil Pemikiran dan Pembahasan
1. Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan
pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan
Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu
mendasarkan pada perencanaan partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan
dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan
perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi
22
10 Apa konsep dari masing-masing singkatan dalam bagan ini, silakan membaca pada UU No.25 tahun
2004.
seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah selanjutnya harus ditetapkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode
satu tahun.
Saling kait antar hierarkhi perencanaan pembangunan daerah, dengan dokumen perencanaan lainnya
sampai tersusunnya RAPBD adalah sebagai berikut.10
Gambar 1.
Hubungan Antara Perencanaan Pembangunan di Daerah
dengan Dokumen Perencanaan lainnya.
Dari bagan di atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan dokumen
perencanaan daerah yang digunakan sebagai dasar untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah. Kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) digunakan
sebagai pedoman untuk menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD),
serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan tetap memperhatikan RKP dan RKPD Provinsi.
RKPD itu sendiri merupakan dokumen perencanaan teknis operasional untuk kurun waktu satu tahun,
merupakan penjabaran RPJMD Kab/Kota. RKPD
23
11 Model perencanaan pendidikan yang dikemukakan Slamet P.H adalah model perencanaan strategis
sebagai satu bentuk perencanaan rasional. Di luar jenis ini, dalam buku Depdiknas berjudul Memiliki
Wawasan tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota juga disebut berbagai jenis
perencanaan klasik dalam pendidikan baik model manpower planning, model social demand maupun
model rate of return. Ditekankan juga di buku itu mengenai perlunya menggunakan perencanaan
pendidikan menggunakan pendekatan sistem yang mencoba menggabungkan ketiga jenis model klasik
tersebut. Di luar perencanaan rasional dan klasik, ada model perencanaan lainnya, yaitu perencanaan
interaktif–dinamis, yang oleh Michael G. Fullan (1993) disebut sebagai evolutionary planning atau
deliberatif planning, atau dapat juga disebut participatif planning. Semua jenis perencanaan di atas
memiliki kecocokan penggunaan masing-masing.
disusun berdasarkan tugas pokok dan fungsi SKPD serta aspirasi masyarakat melalui penjaringan
aspirasi, Musrenbang kelurahan dan kecamatan, dan forum SKPD.
Dengan demikian, SPPK sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan daerah dan sebagai
satu kesatuan tata cara perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota mesti menghasilkan dokumen-
dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota dalam jangka panjang, jangka menengah, dan
tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pendidikan kabupaten/kota dan masyarakat
(diwakili oleh Dewan Pendidikan).
RPPK (Rancangan Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota) Jangka Panjang adalah dokumen
perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 20 (dua puluh) tahun; RPPK Jangka Menengah
(Rencana Strategis) adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 5 (lima)
tahun. Sedangkan RPPK Tahunan adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk
periode 1 (satu) tahun.
2. Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan tersebut, Slamet P.H. (2005),
mengemukakan sebuah model proses perencanaan pendidikan Kabupaten/ Kota sebagai berikut.11
24
Gambar 2.
Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran mengenai tahap-tahap
perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang
berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada,
Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja,
harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan
otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar
perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang
meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan
sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen
25
dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk
rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana
pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun).
Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi
dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana
strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang
dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil
rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang
direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan pendidikan di atas bisa
digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.
26
Gambar 3.
Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat
dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan
yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu
kebijakan, perencanaan dan program pendidikan.
1. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan
yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah
umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk
menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara
matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan
rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan (diputuskan)
dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi
keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi
lima tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi
27
dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan
kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus operasionalisasi dari
kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1) sebagai
pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-
ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga
tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan
untuk bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus memenuhi
syarat sebagai berikut.
�� Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
�� Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan memperhatikan
kebijakan yang sederajat yang lain;
�� Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
�� Kebijakan yang dibuat harus adil;
�� Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
�� Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada;
�� Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi;
�� Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date;
�� Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan terlebih dulu.

Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa “Policy is sometimes used in a narrow
sense to refer to formal statements of action to be followed, while others use the word ‘policy’ as a
synonym for words such as ‘plan’ or ‘programme’. Many writers too do not distinguish clearly between
‘policy-making’ and ‘decision-making’”. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan
dengan konsep lain, yaitu :
�� Goals : desired ends to be achieved.
�� Plans or proposals : specified means for achieving goals.
�� Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for achieving goals.
28
�� Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and evaluate programmes
�� Effects : measurable impact of programmes
�� Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to policies.

Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather than random or chance
behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than separate discrete decision; usually
policy development and application involves a number or related decisions, rather than a single
decision. Policies may vary greatly in orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies
may be either positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take
particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to act, or from
decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as procedural or administrative
policy.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran
konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan
praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek
pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan
pendidikan nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2. Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan.
Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan
dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka
membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan,
dan menganalisis data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi
terkini dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek
dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan
dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan
resiko yang kecil dan untuk mengurangi
29
12 Sam M.Chan dan Tuti T. Sam, menulis buku tentang Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Di dalamnya, dideskripsikan secara panjang lebar kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman, serta berbagai temuan dan rekomendasi dari berbagai dimensi
kebijakan pendidikan di era otonomi daerah.
ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan
ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan
semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah, oleh
karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius
sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan
teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau
peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan
posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas
strategi dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya
3. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan.
4. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu
merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan
bahwa saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu
pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan
sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai berikut.
30
Tabel 1.
Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
Konsep
Indikator Keberhasilan
Pendukung
Program

�� Pendidikan untuk semua


�� Pemenuhan pendidikan menengah dengan rasio SMA/SMK kejuruan yang tepat

�� Tuntas wajar 9 tahun pada 2009 (APK lebih besar atau sama dengan 98 %);
�� APK diknas daerah tertinggal lebih besar atau samadengan 75 %
�� APK diknas kelompok termiskin (Q1) lebih besar atau sama dengan 75 %
�� Kesetaraan gender
�� Rintisan wajib belajar 12 tahun

�� Anggaran pendidikan 20 % dari APBN/APBD + dana masyarakat; dengan manajemen : berbasis


kinerja, akuntabilitas, promutu, peduli rakyat miskin;
�� Memperbesar daya tampung;
�� Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat;

�� Menciptakan sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan,


berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan pendidikan peningkatan gizi.

�� Pemerataan dan perluasan kesempatan pendidikan


�� Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan pendidikan
�� Rekruetmen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
�� Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan

Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan pendidikan ialah studi
yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29) yang berjudul Equality of
Educational Opportunity. Coleman membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan
pendidikan secara pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara
pasif lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah,
sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah kepada murid-
murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas diungkapkan oleh
Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka menggunakan landasan konsep
pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang
selama ini digunakan. Berdasarkan konsep mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational
opportunity tidak hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk
sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih dari itu,
murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk,
31

belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupan
di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access). Konsep ini berkaitan erat
dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator kemampuan sistem pendidikan dalam
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan.
Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan
kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival). Konsep ini
menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh keberhasilan dalam pendidikan
dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat efisiensi internal sistem pendidikan
dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi
pendidikan berdasarkan murid-murid yang berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang
kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output).
Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini menggambarkan kemampuan sistem
pendidikan dalam memberikan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa
membedakan variabel suku bangsa, daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output
pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu
sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan
sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan
mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam hubungannya dengan
jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat
(equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal
efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan
(individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat),
dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan
biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja,
fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment analytical model”, dan
sebagainya.
32

Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan atau
kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan
guru PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender,
peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan
lain-lain.
2. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya
bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat
ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16).
Faktor internal meliputi jajaran dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan
sekolah yang berada di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor
ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu implikasi
langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti penyediaan dan rehabilitasi
sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku pelajaran bermutu yang terjangkau
masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat
ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh perencanaan
kualitas misalnya, pengembangan tenaga pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor,
pengawas, staf dinas pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio
(siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan
tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model pembelajaran
(pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran
kooperatif dan sebagainya).
3. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan
antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara biaya
yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan
non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang
33
panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya, peningkatan angka
kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan angka mengulang, angka putus
sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
4. Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan
peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan
sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/
kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal,
pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
5. Pengembangan Kapasitas

Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya
desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan,
sumber daya dan kemitraan. Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2)
bimbingan, (3) pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup
kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan pendidikan,
manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana,
dsb), sistem informasi manajemen pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi),
pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta
struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme
kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia (manajer/pemimpin, staf dan
pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,
pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan
harus dilakukan secara terpadu antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-
masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.
Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam kebijakan Ditjen
Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan pendukung sebagai berikut.
34
Tabel 2.
Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saing
Konsep
Indikator Keberhasilan
Pendukung
Program

�� Pendidikan memfasilitasi perkembangan kepribadian dan karakter secara utuh dan harmonis,
melalui:
�� SD: calistung + dasar akademik
�� Kecerdasan ganda
�� Nasionalisme
�� Plural
�� Nilai-nilai internasional
�� Perkembangan ipteks

�� Pemberlakuan KTSP
�� Pengembangan SSN, perintisan SBI
�� Adanya tindakan afirmatif pada kondisi khusus;
�� Pemakaian metode CTL,dll
�� Pendidikan multikultural
�� Pendidikan kecakapan hidup dalam arti luas
�� Keterpaduan pendidikan dengan aspek-aspek pembangunan daerah /nasional

�� Implementasi 8 unsur standar pendidikan nasional (SNP):


�� Standar isi
�� Standar proses
�� Standar kompetensi lulusan
�� Standar pendidik dan tenaga kependidikan
�� Standar sarana dan prasarana;
�� Standar pengelolaan
�� Standar pembiayaan;
�� Standar penilaian pendidikan

�� Pengembangan pendidikan karakter


�� Pengembangan pendidikan yang bermakna bagi masa depan anak
�� Peningkatan kualitas pembelajaran
�� Pengembangan budaya sekolah
�� Pengembangan pembelajaran berbasis keunggulan lokal
�� Pengembangan sekolah bertaraf internasional
�� Pengembangan SMK menjadi pusat pengembangan karier
�� Meningkatkan kemandirian sekolah
�� Mengurangi kesenjangan mutu antar sekolah.

Dalam arah pengembangan manajemen Dikdasmen juga dikemukakan mengenai kebijakan penguatan
tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, yang konsep, indikator keberhasilan, pendukung dan
programnya sebagai berikut.
Tabel 3.
Kebijakan Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas dan Pencitraan publik
Konsep
Indikator keberhasilan
Pendukung
Program

�� Desentralisasi yang efektif


�� Kerjasama koordinatif dan sinergis pusat dengan daerah
�� Penguatan kapasitas daerah
�� Pemantapan pusat

�� Hubungan kemitraan pusat-daerah

�� Kapasitas kelembagaan dan kesehatan organisasi pada satuan pendidikan, dinas pendidikan, pusat
�� Sistem informasi manajemen dikdasmen
�� Peran serta masyarakat
�� Pencitraan pendidikan (terpercaya)

�� Tuntas wajib belajar 9 tahun menuju wajib belajar 12 tahun di setiap daerah, tanpa bias gender
�� Kepatuhan terhadap standar nasional pendidikan, dan pada kondisi tertentu merintis pemakaian
standar internasional

�� Terjadinya peningkatan akuntabilitas publik secara bermakna, terencana, dan terpenuhinya


kebutuhan masyarakat serta terjaminnya kepentingan makro nasional

�� Membangun kemitraan pusat dan daerah


�� Penguatan dan penyehatan organisasi dan manajemen penyelenggaraan pendidikan: level daerah
dan nasional
�� Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan dasar dan menengah terpadu
�� Revitalisasi peran

35

serta masyarakat
�� Pencitraan pendidikan

D. Simpulan/Rangkuman dan Saran


1. Simpulan/Rangkuman
Dari uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:
1. Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah
terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan
di daerah.
2. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan
dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan
pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
3. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah
bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan
pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa
dan kebutuhan masyarakat setempat.
4. Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku
pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat
kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.
5. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis
lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan
pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan
diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-
benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi
36
untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan atau
ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat
diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan
secara integrated.

2. Saran :
Depdiknas dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat pemikiran inovatif-kreatif
mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus
mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan lain-lain yang
ditargetkan) secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability
(keberlanjutan) nya. Sekedar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan (dengan model
peningkatan kualitas yang massive, misalnya), tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (dengan,
misalnya, mencocokkan kurikulum dengan empirik yang ada, dengan mengupdate silabus setiap tahun
sekali, meski tanpa merubah kurikulum formalnya). Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan,
jangan sampai berjalannya sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dari pusat,
sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya, lalu tidak berjalan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan. Jurnal Studi
Agama Millah,1, 55-69.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah.
Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-218.
Alhumani,A. (11 September 2000).Pembangunan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi. Kompas, p.4.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis Sosial,
AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di Indonesia:
Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bambang Suteng S. (2003). Menjadikan Salatiga Kota Pendidikan,bagaimana? Buletin Hati Beriman,1,18-
20.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota.
(Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Rencana Strategik Bidang Pendidikan Kota Salatiga. 2002-2006.
Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Portofolio Rencana Pembangunan Pendidikan Kota Salatiga.2003-
2008.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar
Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Husen,T. & Postlethwaite, T.N. (Eds). (1994). The international encyclopedia of education . London:
Pergamon.
38
John Kotter.(1997). Leading Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Josef Riwu Kaho. (1991). Proyek Otonomi Daerah di negara Republik Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers.
Mulyani A. Nurhadi. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan Dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999. Yogyakarta: Seminar Nasional.
Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian,
Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Telaah Cross Discipline. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif.
Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Nuril Huda. (1998). Decentralization of education in Indonesia: Problem of implementation, Jurnal Ilmu
Pendidikan, 5, 3-12.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 8 tahun 2001 tentang Propeda Kota Salatiga tahun 2001-2005.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota
Salatiga, tahun 2002-2006.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No.4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kota Salatiga, tahun 2007-2012.
Peraturan Walikota Salatiga No.17 tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota
Salatiga, tahun anggaran 2007
Peraturan Walikota Salatiga No.40 tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota
Salatiga, tahun anggaran 2008.
Risalah hasil kerja Pansus III DPRD Kota Salatiga yang bertugas menyusun raperda Kota Salatiga tentang
pengelolaan pendidikan di Kota Salatiga.
Sindhunata.(2000). Menggagas Paradigma baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sam M.Chan dan Tuti T. Sam. 2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada.
Slamet P.H. 2005. Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama, Depdiknas.
UU RI No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional (Lembaran Negara RI
tahun 2004 No.104, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2004 No.4421.
39
Verania Andria & Yulia Indrawati Sari. (2000). Lampu kuning desentralisasi. Jurnal Analisis Sosial,
AKATIGA, 1, iii-vi.
World Bank. 1998. Education in Indonesia – From crisis to recovery. (Chapter 5). Education sector unit,
east asia and pacific region.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1: Format Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
1. Pendahuluan
Pendahuluan setidaknya berisi hal-hal sebagai berikut: (a) apa isi perencanaan, (b) siapa yang terlibat
dalam perencanaan, (c) kapan perencanaan dilakukan, (d) dimana perencanaan dilakukan, dan (e)
bagaimana caranya menyiapkan rencana pendidikan kabupaten/kota.
2. Analisis Lingkungan Strategis (Konteks)
Analisis lingkungan strategis berisi factor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pendidikan Kab/
Kota. Hasil analisis lingkungan strategis berupa perkembangan eksternal terkini diinternalisasikan ke
dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu
dengan perubahan lingkungan strategis.
3. Analisis Situasi Pendidikan, meliputi situasi pendidikan dalam kenyataan (saat ini) dan yang
diharapkan dan menemukan kesenjangannya.
4. Rencana Strategis (5 tahun) dan Rencana Operasional (1 tahun)
1. Rencana Strategis Pendidikan (5 tahun ke depan)
a. Visi, Misi, dan Tujuan
b. Program-program/kegiatan-kegiatan strategis untuk mencapai Visi, Misi dan Tujuan
c. Strategi pelaksanaan
d. Rencana biaya (alokasi dana)
e. Rencana pelaksanaan program-program strategis
f. Milestone (output apa dan kapan)
g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi
2. Rencana Operasional (1 tahun)
a. Sasaran-sasaran (tujuan-tujuan jangka pendek) yang akan dicapai
b. Program-program untuk mencapai setiap sasaran
c. Rencana biaya (Alokasi Dana)
d. Rencana Pelaksanaan Program
e. Jadwal Pelaksanaan Program
f. Milestone (output apa dan kapan)
g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi
h. Penanggung Jawab Program Milestone.
41
13 Misalnya, dalam perencanaan yang lama memakai istilah-istilah Propenas, Renstranas, Propeta,
Propeda, dan Renstra, sedangkan yang mutakhir menggunakan istilah RPJP Nasional, RPJM Nasional,
RKP, RPJPD, RPJMD, dan RKPD.
14 Selain menggunakan istilah-istilah mutakhir sebagaimana disebut, format-formatnya juga berbeda
dengan tetap memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan modifikasi sesuai dengan kreativitas
daerah. Misalnya, ada format Sinkronisasi keterkaitan visi,misi, prioritas pembangunan, fungsi, urusan
dan program-program SKPD. Pada bagian ini, dalam rangka mencapai visi dan misinya, untuk urusan
pendidikan pada tahun 2008 diputuskan program-program: pendidikan anak usia dini, wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, pendidikan non formal, pendidikan luar biasa,
peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan budaya baca dan
pembinaan perpustakaan, dan manajemen pelayanan pendidikan.
15 Mengenai visi dan misi, tampak bahwa selama era otonomi telah mengalami tiga kali perubahan
rumusan. Dalam hal visi, misalnya, dalam RKPD tahun 2008 visinya adalah Salatiga lebih maju,…
harmonis…dan tata kelola pemerintahan yang baik (masing-masing diberi pengertian).
Lampiran 2: Ilustrasi Praktek :
GAMBARAN SINGKAT
PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KOTA SALATIGA
1. Pengantar
Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan perencanaan pendidikan di Kota Salatiga secara singkat
di era otonomi. Meskipun demikian istilah-istilah yang dipakai tidak mencerminkan perkembangan
mutakhir.13 Tekanannya lebih pada menjelaskan pola pikir dan apa yang sudah direncanakan
Pemerintah Kota Salatiga dalam mengelola pendidikan di era otonomi. Tampak bahwa untuk mencapai
visi, misi, prioritas dan fungsi khas Kota Salatiga sebagai kota pendidikan, telah dilakukan upaya-upaya,
antara lain berupa perumusan kebijakan umum di bidang pendidikan. Berdasarkan kebijakan umum
tersebut, Dinas Pendidikan Kota Salatiga membuat kebijakan teknis implementatif berupa perencanaan
strategis dan program-program kegiatan bidang pendidikan.
Dengan catatan pengantar ini, tentu saja masih diperlukan pemikiran-pemikiran serius terutama untuk
menyesuaikan dengan tuntutan teoritis yang diidealkan dalam perencanaan pendidikan, maupun
penyesuaian dalam hal tuntutan perkembangan mutakhir14 Sistem Perencanaan Pendidikan
Kabupaten/Kota (SPPK) yang kini berlaku.
2. Visi dan Misi Kota Salatiga15
Visi Kota Salatiga adalah :
Terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, yang dilaksanakan
oleh pemerintah bersama masyarakat.
Atas dasar visi Kota Salatiga tersebut, maka misi pembangunan Kota Salatiga adalah mewujudkan
masyarakat Kota Salatiga yang memiliki ciri-ciri:
42
a. Semakin mengakui dan menghargai harkat-martabat manusia, yang ditujukan dengan semakin
berkembangnya solidaritas sosial di antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, baik
secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun keagamaan.
b. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kemandirian yang
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah
secara luas, nyata, dan bertanggung-jawab.
c. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan keadilan sosial, baik
keadilan dalam generasi sekarang maupun keadilan untuk generasi yang akan datang, yang ditunjukkan
dengan semakin meratanya distribusi kekayaan maupun semakin terpeliharanya sumberdaya alam dan
lingkungan hidup.
d. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik material maupun spiritual, yang ditunjukkan dengan kehidupan yang semakin tertib,
aman dan damai serta semakin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat.
e. Semakin demokratis, ditunjukkan oleh semakin tinggi partisipasi anggota masyarakat dalam berbagai
pengambilan keputusan atas berbagai aspek pembangunan daerah.
f. Memiliki struktur dan sistem kelembagaan yang semakin mendukung terwujudnya visi pembangunan
Kota Salatiga.

3. Prioritas dan Fungsi Khas yang Ingin Diwujudkan

Guna mewujudkan visi dan misi tersebut, kemudian disusun prioritas pembangunan Kota Salatiga,
dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dihadapi. Atas dasar peluang dan tantangan itu,
maka dalam propeda Kota Salatiga dirumuskan prioritas pembangunan Kota Salatiga sebagai berikut.
a. Pengembangan sistem politik yang lebih demokratis;
b. Pengembangan good governance (pemerintahan yang baik);
c. Pengembangan supremasi hukum;
d. Peningkatan pemerataan dalam distribusi pendapatan;
e. Pengembangan solidaritas dan pelembagaan jaring pengaman sosial.

Di samping berbagai prioritas itu, Kota Salatiga juga menetapkan fungsi khas yang ingin diwujudkan.
Fungsi khas ini sudah lama disadari dan dirumuskan, seperti ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Rencana
Induk Kota Salatiga tahun 1977 yang terkenal dengan “Outplane Kota Salatiga 1977” (Keputusan DPRD
Kodya Dati II Salatiga, Nomor : 06/DPRD II/ 1977, 8 Juni 1977). Di dalam keputusan tersebut ditegaskan
bahwa sasaran pembangunan Kota Salatiga diarahkan agar berfungsi sebagai kota pendidikan,
pariwisata, dan transito.
43
Fungsi khas tersebut telah direevaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan seperti yang
tertuang dalam berbagai dokumen atau produk perencanaan daerah yang dikenal dengan “Tri Fungsi
Khas Kota Salatiga”, yaitu sebagai:
a. Kota Pendidikan dan Olah Raga;
b. Pusat Kegiatan Perdagangan dan Jasa; dan
c. Kota Pariwisata/transit wisata

Menurut Dewan Pendidikan Kota Salatiga, kota pendidikan adalah kota yang menjadikan pendidikan
sebagai roh utama kehidupannya. Ini agak berbeda dengan kota pelajar, sebab cakupan makna kota
pelajar lebih sempit katimbang kota pendidikan. Kata pelajar berkonotasi murid sekolah di lembaga
pendidikan dasar dan menengah, sedangkan kata pendidikan menunjuk pada proses pendidikan yang
berlangsung dalam keluarga, lembaga pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan tinggi serta di
lembaga pendidikan non formal, sehingga subyeknya lebih menyeluruh katimbang sekedar murid SD,
SLTP dan SMU/K.
Dengan demikian, upaya mewujudkan diri sebagai kota pelajar belum tentu mengarah ke terwujudnya
kota pendidikan, sementara upaya mewujudkan kota pendidikan implisit di dalamnya berarti pula
mewujudkan kota pelajar.
Dengan mencanangkan diri sebagai kota pendidikan, diharapkan urusan pendidikan lalu menjadi urusan
semua warga Kota Salatiga mulai dari rakyat biasa, sampai ke pucuk pimpinan Kota. Pendidikan bukan
saja menjadi agenda utama kinerja pemerintah kota maupun para wakil rakyat, melainkan justru
menjadi acuan utama kinerja ataupun performance baik wakil rakyat, aparat pemerintah daerah, para
pengusaha, rakyat biasa maupun terlebih lebih para praktisi pendidikan. Dimensi “mendidik” menjadi
acuan setiap sikap, perilaku, ucapan maupun tindakan/kebijakan setiap warga kota Salatiga. Setiap
warga kota akan selalu bertanya pada diri sendiri, “apa nilai paedagogis dari sikap, ucapan, tindakan
ataupun keputusan/kebijakan yang dibuatnya”.
Ditetapkannya Kota Salatiga sebagai kota pendidikan menunjukkan telah adanya kesadaran akan
pentingnya pendidikan sebagai strategi untuk mengembangkan dan memajukan Kota Salatiga. Penyusun
renstra Kota Salatiga memberi alasan fenomenologis atas ditetapkannya Salatiga sebagai kota
pendidikan, dengan menyatakan bahwa “denyut nadi aktivitas kota Salatiga selama ini sangat terkait
dengan keberadaan dan aktivitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah”.
Di
44
samping itu, penetapan sebagai kota pendidikan juga didasarkan pada pemahaman atas potensi sosial
yang dimiliki Kota Salatiga.
Dari segi wilayah, Kota Salatiga relatif sempit. Hal ini memperpendek rentang kendali pengelolaan
sehingga memudahkan penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, dengan lokasi pegunungan
berhawa sejuk maka alam sangat menopang upaya pendidikan di wilayah ini. Lembaga-lembaga
pendidikan yang adapun relatif mapan dan beragam. Lembaga-lembaga yang ada dapat didayagunakan
secara lebih optimal demi kemajuan pendidikan di Kota Salatiga. Lembaga pendidikan tersebut tampak
dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.
Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Salatiga
No
Kecamatan
TK/RA
SD/
MI
SLTP/
MTs
SMU/MA/
SMK
Ponpes
Sek. Tinggi
PT
Jml.
1.
Sidomukti
13/6
16/3
4/-
2/-/6
3
1
-
31
2.
Sidorejo
18/4
30/3
11/1
6/2/5
3
2
1
58
3.
Argomulyo
15/6
22/3
6/1
2/1/1
2
-
-
36
4.
Tingkir
19/3
25/3
2/-
-/-/1
4
-
-
31
Jumlah
65/19
93/12
23/2
10/3/13
12
3
1
223

Keterangan : Diolah dari data Dinas Pendidikan dan Departemen Agama


Selain itu, tradisi akademis juga relatif mapan. Beberapa lembaga pendidikan di kota ini sudah hidup,
mampu bertahan dan bahkan berkembang selama puluhan tahun. Dengan usia yang sudah puluhan
tahun itu maka watak akademis sudah mentradisi di berbagai lembaga pendidikan tersebut. Nilai-nilai
akademis seperti kejujuran, keterbukaan, mengutamakan kebenaran, curiosity, dan sejenisnya sudah
menjadi langgam hidup sebagian warga maupun beberapa lembaga pendidikan di kota ini. Tradisi itu
merupakan pondasi kokoh bagi upaya pengembangan kota pendidikan Salatiga.
Dari segi keagamaan, masyarakat Salatiga cukup plural. Namun pluralitas itu tidak dibarengi dengan
fanatisme sempit antarkelompok pemeluk agama. Oleh karena itu kehidupan sosial keagamaan di kota
ini selalu diwarnai oleh semangat toleransi yang tinggi antar pemeluk agama. Sikap toleran warga
masyarakat merupakan modal yang amat penting bagi pengembangan pendidikan di masa depan,
karena semua lembaga
45
pendidikan kelak harus menjadi pusat pengembangan toleransi. Di samping itu, pola hidup
masyarakatnya belum terlalu metropolis. Dalam batas-batas tertentu masyarakat Salatiga masih
tergolong masyarakat yang sederhana. Pola hidup kota besar yang serba gemerlap, dengan segala segi
negatifnya, belum terlalu menggejala di kota ini. Kondisi semacam ini justru menguntungkan bagi
terselenggaranya proses pendidikan yang bermutu di kota ini.
Fenomena dan berbagai potensi sosial yang dimiliki Kota Salatiga di atas, menjadi alasan utama
mengapa Salatiga dikembangkan sebagai kota pendidikan. Pengembangan sebagai kota pendidikan
tersebut semakin mendapatkan tantangan dan peluang, sejak secara resmi diberlakukan kebijakan
otonomi daerah mulai 1 Januari 2001. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan otonomi daerah memang memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah, termasuk dalam bidang
pendidikan, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Ini berarti, daerah mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat di daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Karena kewenangan yang diotonomikan itu utuh, tidak seperti era sentralistik, maka perencanaan
pendidikan di daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang
wajib dilaksanakan oleh daerah. Berbeda dengan sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik, yang
telah menghasilkan uniformitas yang berlebihan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di
daerah, maka dalam era otonomi daerah diharapkan akan tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta
mendorong peranserta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing daerah. Ini
berarti, bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, seperti halnya Kota Salatiga,
perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu pada
perencanaan nasional yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan
budaya daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.
4. Kebijakan Umum Bidang Pendidikan di Kota Salatiga

Secara teoritis, di tingkat kabupaten/ kota, terdapat tiga jenis kebijakan, yaitu kebijakan umum,
kebijakan pelaksanaan dan teknis di bidang pendidikan. Kebijakan umum menunjuk pada kebijakan
Pemda sebagai pelaksanaan asas desentralisasi.
46
Kebijakan ini merupakan ketentuan yang bersifat makro dan strategis daerah, yang produknya berupa
peraturan daerah. Sementara kebijakan pelaksanaan dan teknis dibuat oleh Dinas Pendidikan Kota
Salatiga. Di Kota Salatiga, yang termasuk kebijakan umum, antara lain : Perda No. 8 tahun 2001 tentang
Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Salatiga tahun 2001-2005, Perda No.1 tahun 2002
tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006, dan (Ra) perda tentang
Pengelolaan Pendidikan di Kota Salatiga.
Mengenai kebijakan umum dijelaskan berturut-turut pada bagian a dan b sebagai berikut.
a. Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga 2001 – 2005.

Secara umum, propeda merupakan landasan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerah
selama lima tahun. Di dalamnya memuat arah kebijakan dan program pembangunan daerah, digunakan
sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam
melaksanakan pembangunan daerah. Propeda Kota Salatiga ditetapkan bersama oleh Pemerintah
Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Salatiga, yang selanjutnya akan menjadi
dasar untuk penyusunan renstra Kota Salatiga, dan Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) yang
memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Salatiga.
Propeda Kota Salatiga disusun atas inisiatif pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah. Dalam
penyusunannya, pemerintah daerah membentuk tim dengan nama “Tim Propeda Eksekutif”.
Keanggotaan tim ini berusaha mensinergikan antara aktor yang mempunyai pengalaman pada masing-
masing bidang pembangunan dengan aktor yang dinilai mempunyai kepakaran di bidang-bidang
tersebut. Tugasnya adalah untuk menyiapkan rancangan Perda tentang propeda, termasuk propeda
bidang pendidikan.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, tim ini melakukan serangkaian penelitian. Maksudnya, untuk
memahami kondisi, potensi dan permasalahan-permasalahan riel yang dihadapi Kota Salatiga pada
masing-masing bidang pembangunan. Hasil penelitian ini dipakai sebagai dasar awal untuk menyusun
rancangan propeda. Setelah rancangan awal disusun, kemudian didiskusikan dengan para stakeholders
yang dinilai mempunyai pengalaman dan kepakaran pada masing-
47
masing bidang pembangunan. Hasil pembahasan digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki
rancangan perda tentang propeda tersebut.
Berkaitan dengan propeda bidang pendidikan, fokus pergumulan terjadi pada dua hal, yaitu, pertama,
dari segi proses muncul kesadaran agar penyusunan propeda bidang pendidikan lebih partisipatif,
dengan sedapat mungkin melibatkan seluruh elemen masyarakat. Mereka diharapkan ikut memberikan
kontribusi secara konstruktif supaya dapat membantu mewujudkan sebuah Perda yang sesuai dengan
aspirasi dan tuntutan kebutuhan riel yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, dari segi materi, ada
dukungan terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang sudah dirumuskan, antara lain perlunya
memberi porsi yang lebih besar pada anggaran bidang pendidikan dibandingkan anggaran sektor
lainnya, perlunya meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan, terutama pada guru
wiyata bakti, dukungan terhadap upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, dan
pengembangan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Di samping itu, juga dipandang perlu adanya penyempurnaan dan penajaman substansi atas beberapa
persoalan yang sudah dirumuskan, agar lebih mendasar, serta terintegrasi satu bagian dengan lainnya
sehingga layak digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pendidikan di
Kota Salatiga. Penyempurnaan dan penajaman terutama diarahkan agar propeda bidang pendidikan
memuat berbagai kondisi riel yang menjadi persoalan mendesak di bidang pendidikan.
Atas dasar masukan yang ada, kemudian diadakan seminar untuk membahas rancangan perda tentang
propeda yang sudah diperbaiki oleh Bappeda. Pesertanya melibatkan kalangan yang lebih luas, baik
LSM, Perguruan tinggi, kelompok ahli, tokoh masyarakat dan agama, dinas atau instansi terkait dan
satuan pendidikan tertentu. Berbagai masukan dalam seminar dipakai sebagai bahan untuk
memperbaiki Rancangan Propeda yang ada, termasuk propeda bidang pendidikan.
Proses berikutnya terjadi di DPRD, dalam rangka meneliti, mencermati, membahas sampai penetapan
rancangan perda tentang propeda tersebut. Tahap-tahapnya meliputi : (a) Penyampaian nota penjelasan
rancangan perda tentang Program Pembangunan Daerah Kota Salatiga 2001-2005 oleh Walikota, (b)
pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap rancangan peraturan daerah tentang Propeda Kota Salatiga
tahun 2001-2005 dan naskahnya, (c) Tanggapan atau jawaban walikota terhadap pemandangan
48
umum fraksi-fraksi dan penjelasan dari unit kerja pada rapat komisi dan hasil rapat dewan dengan Tim
Penyusun Raperda Eksekutif, (d) kegiatan rapat-rapat komisi yang diselenggarakan bersama-sama
dengan dinas/instansi terkait, (e) pembahasan Raperda Propeda 2001-2005 oleh Komisi Gabungan
dengan Tim Raperda Propeda.
Berdasarkan hasil pembahasan di tingkat komisi dan komisi gabungan dengan Tim Raperda Propeda,
maka kemudian diadakan rapat paripurna DPRD Kota Salatiga dalam rangka penyampaian pendapat
akhir fraksi dan penetapan raperda Propeda 2001-2005. Dalam penyampaian pendapat akhir fraksi,
pada prinsipnya semua fraksi memandang bahwa penyusunan propeda sudah cukup partisipatif dan
substansi materinya telah diperbaiki berdasarkan masukan-masukan dari para stakeholder, sehingga
mereka menyetujui Raperda Propeda Kota Salatiga menjadi Perda Kota Salatiga tentang Program
Pembangunan Daerah Kota Salatiga, tahun 2001-2005.
Pada akhir rapat paripurna DPRD tersebut, Walikota menyatakan bahwa propeda sebagai salah satu
dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk lima tahun ke depan yang memuat arah dan
kebijakan serta program-program pembangunan daerah wajib dilaksanakan bersama-sama secara
konsisten. Hal ini sangat penting karena dalam era reformasi dan era otonomi daerah saat ini,
pelaksanaan pembangunan harus betul-betul berlandaskan pada pedoman yang ada, sesuai dengan
proses dan prosedur yang telah dibakukan serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat .
Dari uraian di atas, proses terbentuknya Propeda bidang pendidikan dapat ditampilkan dalam bentuk
bagan sebagai berikut.
49
Gambar 4.
Proses Terbentuknya
Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga
Dalam propeda disebutkan bahwa arah pembangunan pendidikan di Kota Salatiga adalah :
1. Mengupayakan pemerataan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga
masyarakat Salatiga menuju terciptanya masyarakat Salatiga yang berkualitas dengan peningkatan
anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan
pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga
kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, dan diversifikasi jenis pendidikan secara profesional termasuk pendidikan
lingkungan.
4. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan
menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif oleh seluruh komponen masyarakat Salatiga.
5. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung
oleh sarana dan prasarana yang memadai.
50
6. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi.
7. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa
sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya
saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Sementara itu, program-program pembangunan bidang pendidikan, meliputi (a) program pendidikan
prasekolah, dasar, dan menengah, (b) program pembinaan pendidikan luar sekolah dan (c) program
sinkronisasi dan koordinasi pendidikan. Program pendidikan prasekolah, dasar dan menengah ditujukan
untuk : (1) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang
kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di desa terpencil, masyarakat miskin dan anak yang
berkelainan, (2) meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah, dasar dan menengah dengan kualitas
yang memadai, dan (3) terselenggaranya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan
masyarakat.
Program pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk menyediakan pelayanan kepada
masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri,
sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian pengetahuan
dasar dan ketrampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan
lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan program sinkronisasi dan koordinasi
pendidikan bertujuan untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan pengawasan program-program pendidikan baik antar jenjang, jalur dan jenis maupun
antar kecamatan. Sasarannya adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan antar jenjang,
jalur dan jenis maupun antar kecamatan.
b. Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Kota Salatiga

Sebagai tindak lanjut Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Salatiga, kemudian disusun rencana
strategis pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006.
51
Renstra ini memuat kebijakan secara rinci dan terukur kinerja walikota Salatiga, dimaksudkan untuk
memberikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah bagi perangkat daerah
Kota Salatiga dalam bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial budaya, pembangunan
daerah, pembangunan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup serta ketertiban dan ketentraman
masyarakat.
Penyusunan renstra bidang pendidikan menjadi bagian integral dari proses penyusunan renstra Kota
Salatiga secara keseluruhan. Penyusunan renstra Kota Salatiga diawali dengan pergumulan ide mengenai
perlu tidaknya rentra itu dibuat. Pergumulan muncul sebagai akibat adanya persepsi yang berbeda
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, di samping belajar dari daerah lain.
Berdasarkan komitmen dan kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan DPRD pada saat pembahasan
Raperda tentang Propeda, maka Kota Salatiga menyusun baik propeda maupun renstra. Renstra
merupakan penjabaran propeda dalam ruang lingkup pembangunan daerah. Renstra memuat program-
program yang nantinya dituangkan dalam Repetada dan APBD sesuai dengan kewenangan daerah,
sekaligus sebagai dasar dalam penyusunan renstra badan/dinas/kantot/unit kerja.
Dalam membuat renstra, Bappeda Kota Salatiga bekerja sama dengan Program Pascasarjana UKSW
Salatiga. Secara garis besar, penyusunan renstra dilaksanakan dalam tiga tahapan yang saling terkait dan
berkesinambungan, yaitu, pertama, tahap pengumpulan data. Dalam tahap ini metode yang digunakan
adalah angket, wawancara dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengetahui visi, misi, strategi
kebijakan, program/kegiatan dan anggaran masing-masing instansi dinas dan non dinas Pemerintah Kota
Salatiga. Sementara, metode wawancara dilakukan terhadap pimpinan atau pejabat-pejabat di
lingkungan Pemerintah Kota Salatiga maupun dinas/non dinas yang terkait serta tokoh-tokoh
masyarakat sebagai masukan untuk mengetahui aspirasi masyarakat. Sedangkan metode dokumentasi,
dipakai untuk mendapatkan data berupa hal-hal yang terkait dengan manajemen pemerintahan daerah
dalam kerangka melaksanakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kedua, tahap penyusunan rencana strategis. Dalam tahap ini, dimulai dengan melakukan analisis kondisi
internal dan eksternal Kota Salatiga. Di bidang pendidikan, analisis kondisi internal menghasilkan
pemahaman atas berbagai kekuatan dan
52
kelemahan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Kekuatannya adalah (a) prasarana dan tenaga
pendidik pada tingkat dasar relatif memadai, (b) terdapat beberapa perguruan tinggi, (c) terdapat
sekolah asing/internasional yang berlokasi di Kota Salatiga, (d) terdapat berbagai jenis pendidikan luar
sekolah, (e) terdapat pusat pendidikan dan latihan atlet, (f) telah dimulainya pelaksanaan “school-based
management”, dan (g) terdapat berbagai potensi keunikan Kota Salatiga yang memungkinkan untuk
dikembangkan menjadi pusat pendidikan orang dewasa dan pendidikan ketrampilan wirausaha.
Sementara, kelemahannya meliputi (a) belum optimalnya angka partisipasi sekolah tingkat lanjutan
(SLTP/SLTA), (b) nisbah prasarana pendidikan dan daya tampung siswa serta nisbah guru pada sekolah
lanjutan belum optimal, (c) belum terdapat jalinan kerja sama yang sinergis antara lembaga pendidikan
terutama dalam hubungan vertikal, (d) belum adanya keberanian untuk mendiversifikasi kurikulum
sekolah bernuansa otonomi, dan (e) belum jelasnya bentangan cakrawala keotonomian pendidikan
dalam substansi edukasi.
Dari analisis kondisi eksternal, dihasilkan pemahaman atas sejumlah peluang dan ancaman terhadap
pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan adalah (a)
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan, (b) semakin terbukanya
kesempatan untuk bekerjasama dengan daerah lain di bidang pendidikan, (c) terdapatnya perguruan
tinggi yang mempunyai latarbelakang disiplin ilmu yang dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah,
(d) terbukanya kesempatan untuk mendiversifikasi pendidikan luar sekolah, (e) terbukanya kesempatan
untuk kerjasama baik horisontal maupun vertikal dalam rangka menciptakan central of excelence, dan
(f) terbukanya kesempatan untuk diversifikasi lembaga pendidikan luar sekolah. Sementara ancaman
yang dihadapi berupa (a) kebijakan penyerahan pengelolaan pendidikan kepada daerah dapat
berdampak pada penurunan kualitas pendidikan karena keterbatasan kemampuan daerah, (b)
menurunnya semangat kerja pendidik karena minimnya sarana dan prasarana penunjang sehingga
berdampak pada menurunnya mutu pendidikan, dan (c) kuatnya ideologi penyeragaman baik terhadap
isi kurikulum, strategi pembelajaran maupun kualitas pembelajaran.
Ketiga, tahap validasi dan finalisasi rencana strategis. Metode yang digunakan dalam tahap ini adalah (a)
seminar dan pembahasan raperda renstra yang diikuti badan legislatif, badan eksekutif, LSM, tokoh
masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan
53
stakeholder pembangunan di Salatiga, dan (b) pembahasan program dan kegiatan secara mendetail
dengan dinas dan unit kerja pemerintah Kota Salatiga.
Berbagai masukan konstruktif yang diterima dalam seminar dan pembahasan rentra, digunakan untuk
semakin memperbaiki Raperda renstra. Selanjutnya, Raperda tersebut diajukan oleh pihak eksekutif ke
DPRD untuk mendapatkan pembahasan demi penyempurnaannya. Proses di DPRD dimulai dengan rapat
paripurna untuk mendengarkan nota penjelasan Walikota tentang Raperda renstra Kota Salatiga, diikuti
dengan pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra tersebut. Dalam nota penjelasannya,
Walikota antara lain menyatakan bahwa :
“Penyusunan Raperda renstra pembangunan daerah Kota Salatiga diajukan kepada Dewan dengan
maksud agar pelaksanaan pembangunan di daerah dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Disamping itu, hal tersebut juga untuk mengoptimalkan peran Pemerintah Kota Salatiga
dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah serta
meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam kerangka
perwujudan good governance. Lain daripada itu, renstra yang telah disusun juga sebagai pedoman
kinerja pemerintah Kota Salatiga dan sebagai instrumen dalam pengukuran kinerja pembangunan Kota
Salatiga yang meliputi bidang-bidang yang tercantum dalam propeda.”
Sementara itu, pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra bidang pendidikan pada intinya
berisi :
a. Rencana strategis pembangunan bidang pendidikan dinilai belum menunjukkan adanya sebuah
perencanaan yang mampu mengintegrasikan peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Disamping itu, peran pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan non formal masih belum dimanfaatkan dalam renstra yang ada.
b. Investasi di bidang pendidikan yang selama ini didukung sektor swasta perlu ditindaklanjuti dengan
keberpihakan yang lebih adil dan merata;
c. Pengawasan mutu pendidikan perlu dikembangkan dalam perwujudan desentralisasi pendidikan .
d. Rencana perwujudan “central of excelence” lembaga pendidikan di Kota Salatiga perlu didukung
dengan pengembangan kurikulum, sarana dan prasarana, ketrampilan SDM serta peningkatan
kesejahteraan SDM.
e. Ada dan berkembangnya Sekolah Internasional di Kota Salatiga perlu didukung dan diberi jaminan
rasa aman bagi guru dan siswanya. Keberadaan sekolah ini dapat
54
menjadi pintu Kota Salatiga dalam memasuki kawasan global, karena guru dan siswa di sekolah tersebut
berasal dari negara-negara Asia, Eropa, Australia dan sebagian Amerika.
f. Perlunya sosialisasi MBS agar masyarakat diberdayakan secara luas baik sebagai konsumen jasa
pendidikan maupun sumber daya penyedia jasa pendidikan.
g. Dalam penyusunan program Penerimaan Siswa Baru SLTP, hendaknya dilakukan dengan pinsip
keadilan dan pemerataan serta menjamin pelaksanaan Wajib Belajar di Kota Salatiga. Sebagai wujud
wajib belajar 9 tahun, maka Pemda harus mampu menjamin setiap lulusan SD/MI Kota Salatiga dapat
diterima di SLTP. Hal ini penting agar SDM kita di masa yang akan datang lebih berkualitas.

Di antara berbagai aspirasi yang berkembang dalam pemandangan umum fraksi tersebut, tak banyak
yang mendapat respon dari walikota. Dalam penyampaian jawaban Walikota terhadap pemandangan
umum fraksi, yang mendapat perhatian walikota adalah persoalan perlunya peningkatan kualitas
pendidikan dengan mengacu pada manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat. Dikatakan,
“dengan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, akan mendorong kelembagaan sekolah menjadi
institusi yang mandiri (otonomi) ”.
Sementara itu, untuk menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di setiap bidang pembangunan,
disepakati pembentukan Pansus DPRD. Pansus ini diberi tugas untuk mengkaji, mencermati dan
melakukan percakapan publik bersama stakeholder pembangunan di Salatiga. Tugasnya adalah : (a)
pendalaman materi renstra, (b) penyusunan laporan kelompok, (c) rapat Pansus membahas hasil kerja
kelompok, (d) melakukan dialog interaktif yang dilanjutkan koordinasi dengan tim eksekutif, dan (e)
menyusun hasil kerja Pansus.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, Pansus renstra meminta masyarakat untuk memberikan masukan
Raperda Renstra, kemudian dilanjutkan dialog interaktif dengan komponen masyarakat, instansi terkait
dan tokoh masyarakat yang ada di Kota Salatiga. Selanjutnya, diadakan pembahasan pemantapan
Renstra”.
Setelah dilakukan kegiatan dan koordinasi dengan Tim Raperda Renstra eksekutif dengan
memperhatikan masukan-masukan dari Perguruan Tinggi, ormas/orsospol dan LSM, maka Pansus
merekomendasikan perlu adanya perubahan terhadap bagian-bagian tertentu dari Raperda Renstra
yang telah dihasilkan. Dalam hal ini tampak bahwa Raperda renstra bidang pendidikan, hampir-hampir
tidak mengalami
55
perubahan. Tak ada yang direkomendasikan oleh Pansus. Ini berarti bahwa berbagai aspirasi yang
berkembang dalam pemandangan umum fraksi, tak cukup menjadi “concern” Pansus renstra. Hal itu
boleh jadi juga mencerminkan kurangnya perhatian dari berbagai komponen masyarakat di Kota Salatiga
dan instansi terkait berkaitan dengan persoalan pendidikan di daerahnya.
Langkah berikutnya adalah rapat paripurna DPRD Kota Salatiga dalam rangka penyampaian pendapat
akhir fraksi terhadap Raperda Renstra 2002-2006. Pada tahap ini, selain ada dukungan terhadap
substansi renstra, juga ada aspirasi agar walikota “lentur “ di dalam mengambil suatu kebijakan. Sebab,
setiap butir di dalam renstra masih bisa dijabarkan. Karenanya, satu fraksi di DPRD berpendapat agar
dalam renstra ditambahkan sebuah formulasi yang menegaskan pentingnya pengambila kebijakan
akibat situasi dan kondisi dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan atau atas persetujuan DPRD. Dengan
demikian, apabila dalam kondisi tertentu walikota ingin mengambil kebijakan baru, maka hal itu bukan
berarti menyimpang dari butir-butir materi renstra 2002-2006.
Di samping itu, berkembang juga aspirasi mengenai perlunya dipikirkan “manajemen pendidikan satu
payung”, yang dapat mengintegrasikan peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Ketiga pihak tersebut harus dapat berperan dan
bertanggung jawab secara profesional dalam penyelenggaraan pendidikan. Ide ini, meskipun sempat
tenggelam, tapi akhirnya menjadi semacam “embrio” bagi adanya Perda tentang pengelolaan
pendidikan di Kota Salatiga. Kini, Raperda tersebut sebenarnya telah siap untuk ditetapkan menjadi
Perda, hanya karena berbagai pertimbangan hal itu belum dilakukan.
Dari apa yang telah disampaikan oleh fraksi-fraksi dalam pendapat akhir, dapat disimpulkan bahwa
semua setuju terhadap Raperda Renstra tahun 2002-2006. Oleh karena itu, Raperda tersebut kemudian
ditetapkan menjadi Perda, yaitu Perda No 1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota
Salatiga tahun 2002-2006.
56
Dalam bentuk bagan, proses perumusan Perda tentang renstra tersebut tampak dalam model berikut.
Gambar 5.
Proses Perumusan Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga
57
Tabel 5.
Matriks Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga
No
Kebijakan Strategi
Program
Kegiatan
Indikator Kerja
1.
Pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu gu-na mendu- kung
penun-tasan wajib belajar 9 ta-hun.

�� Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah


�� Bantuan sar-ana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, Kejar Usaha.

�� Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah dasar dan menengah.
�� Penyelenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.
�� Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B,Kejar Paket C, Kejar Usaha.

�� Angka putus sekolah dasar dan menengah turun.

�� Terselenggaranya Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.


�� Tersalurnya warga belajar beasiswa ke lapangan kerja atau mandiri.
�� Meningkatnya angka ketuntasan wajib belajar 9 tahun.

2
Peningkatan kualitas pen-didikan dan tenaga pen-didik.

�� Peningkatan kualitas pendidikan.

�� Peningkatan kualitas tenaga pendidik.

�� Bantuan sarana, prasarana TK, SD, MI, dan sekolah menengah.


�� Beasiswa bagi siswa berprestasi.
�� Peningkatan pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda.
�� Regrouping SD
�� Subsidi bagi sekolah swasta.
�� Penataran/pelatihan guru mata pelajaran baik pada aspek konten, strategi pembelajaran maupun
evaluasi pembelajaran.
�� Peningkatan kesejahteraan guru wiyata bakti.
�� Insentif bagi guru berprestasi

�� Meningkatnya angka kualitas pendidikan di Salatiga.


�� Terjadinya pemerataan kualitas penyelenggaraan pendidikan terutama pada SD kampus.

�� Terselenggaranya penataran dan pelatihan bagi peningkatan kualitas guru.


�� Meningkatnya kesejahteraan guru.

3
Peningkatan tanggung ja-wab bersa-ma antar sekolah, ke-luarga dan masyarakat dalam me-
nyelenggara-kan pendi-dikan berba-sis sekolah.

�� Penyelengga-raan pendi-dikan berba-sis sekolah / masyarakat.

�� Persiapan dan sosia-lisasi penyelengga-raan pendidikan ber-basis sekolah / ma-syarakat.


�� Bantuan managerial penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.

�� Tersosialisasinya sistem penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/ masyarakat.

�� Terwujudnya manajemen penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.

4
Pengembangan kurikulum berbasis po-tensi daerah dalam cakra-wala interna-sional

�� Pengembangan kurikulum berbasis pot-ensi daerah dan berorientasi internasional.

�� Perampingan kurikulum pendidikan.


�� Pengembangan kuri-kulum muatan lokal variatif.
�� Peningkatan kuriku-lum bahasa asing sejak pendidikan dasar.
�� Pengembangan ku-rikulum beraspek ke-trampilan produktif.

�� Terwujudnya pembaharuan kurikulum sekolah berbasis po-tensi daerah dan ber-prospek


internasional.
�� Terselenggaranya kurikulum muatan lokal yang variatif, kompetitif dan bernuansa keunggulan
daerah kota Salatiga.
�� Terlatihnya ketrampilan produktif siswa melalui pendidikan ketrampilan di sekolah.

5.
Diversivikasi penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

�� Mendukung dan memper-lancar pro-sedur pendi-rian lembaga penyelengga-ra pendidikan luar


sekolah.
�� Pendirian pu-sat-

�� Regulasi aturan dan sertifikasi pendirian pendidikan luar sekolah.


�� Penyediaan lembaga penitipan anak.
�� Membina tempat-tempat usaha khas Salatiga untuk dijadikan centra pelatihan

�� Terwujudnya aturan pendirian pendidikan luar sekolah yang se-derhana.

�� Jumlah lembaga pendidikan luar sekolah meningkat.


�� Terbentuknya pusat / centra pelatihan kewirausahaan.

58

pusat pe-latihan ke-wirausahaan.

�� Mengembangkan diklat olahraga dan peningkatan tenaga pen-didikan di bi-dang olah raga.

kewirausahaan.
�� Pembinaan ke-wirausahaan generasi muda dan remaja Salatiga secara produktif.
�� Pengembangan Sar-jana Penggerak Pe-desaan.
�� Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Diklat olah raga dan pela-tihan guru penjaskes.

�� Terselenggaranya pembinaan kewirausahaan produktif bagi remaja dan generasi muda.

�� Meningkatnya atlit berprestasi di kota Salatiga dan peningkatan kualitas guru olahraga.

6
Peningkatan penguatan institusi pen-didikan seko-lah dalam rangka membangun central excellence

�� Membangun central excellence pendidikan.


�� Mendorong dan membina secara bertahap lembaga pendidikan terbaik di Salatiga baik negeri
maupun swasta untuk menjadi central excellence.
�� Bantuan sarana, prasarana dan dana untuk terwujudnya penyelenggaraan cen-tral excellence
sebagai pagu kualitas pengembangan pendidikan Salatiga.

�� Terwujudnya institusi sentral excellence baik tingkat pendidikan prasekolah, dasar dan menengah.

�� Terwujudnya perangkat model sebagai pagu pengembangan kualitas pendidikan.

7.
Pengoptimalan penda-yagunaan IPTEK yang menunjang peningkatan keilmuan.

�� Pendayagu -naan IPTEK guna menun-jang pening-katan keil-muan.

�� Pengembangan dan pemanfaatan tek-nologi pendidikan dan teknologi informasi guna menun-jang
peningkatan ke-ilmuan.
�� Penelitian pendidikan dalam bidang tekno-logi pendidikan da-lam rangka pening-katan keilmuan.

�� Terlaksananya pendidikan bermediakan teknologi pendidikan.

�� Terlaksananya penelitian bidang teknologi pendidikan.

Dari uraian mengenai kebijakan umum bidang pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Pemerintahan Kota Salatiga telah membuat propeda yang merupakan landasan dan pedoman dalam
melaksanakan pembangunan daerah bidang pendidikan selama lima tahun. Dalam propeda itu dimuat
arah kebijakan dan program-program pembangunan bidang pendidikan di berbagai jenjang dan jalur,
termasuk program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan.
Dari segi proses perumusannya, pembuatan propeda telah menunjukkan adanya kerjasama antar
berbagai pihak dan telah berusaha mensinergikan antara aktor yang mempunyai pengalaman dan
kepakaran. Penyusunannya juga dilakukan secara transparan dan cukup partisipatif, dengan melibatkan
elemen-elemen masyarakat Kota Salatiga. Meskipun demikian, proses penyusunan pada tingkat DPRD
tampak lebih sekedar sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan prosedural, yang tidak berdampak
59
pada peningkatan kualitas kebijakan umum bidang pendidikan yang disusun oleh pihak eksekutif.
Sementara, dari segi substansi kebijakannya, tampak bahwa substansinya lebih merupakan bagian atau
fotokopi dari kebijakan dan perencanaan program pendidikan di tingkat nasional. Isinya belum mampu
menunjukkan sebagai sebuah perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam sesuai
potensi, kemampuan dan budaya daerah Kota Salatiga, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu
kebijakan perencanaan di tingkat nasional.
Kesimpulan atau temuan lainnya adalah bahwa di samping perumusan propeda bidang pendidikan, di
Kota Salatiga juga dibuat renstra pembangunan bidang pendidikan tahun 2002-2006. Renstra ini
merupakan penjabaran dari propeda bidang pendidikan dan bukan sebaliknya. Renstra dibuat melalui
kerjasama berbagai pihak dan telah dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan badan
eksekutif, legislatif, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan stakeholders
pembangunan lainnya di Salatiga. Substansi renstra adalah kebijakan strategis, program, kegiatan dan
indikator kerja bidang pendidikan di Kota Salatiga.
Arah kebijakan, program dan kegiatan yang tertuang dalam propeda dan renstra bidang pendidikan
tersebut, kemudian dipakai sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugas Dinas Pendidikan
Kota Salatiga. Dalam hal ini, termasuk dalam usaha Dinas Pendidikan untuk merumuskan rencana
strategis bidang pendidikan pada tingkatan yang lebih operasional, dan dalam menyusun kebijakan-
kebijakan pelaksanaan dan teknis bidang pendidikan di beberapa aspek.
5. Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Tugas Dinas Pendidikan Kota adalah melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang
pendidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Pendidikan berlandaskan pada arah kebijakan
pendidikan dalam propeda, berpedoman pada tugas dan fungsi Dinas Pendidikan sebagaimana diuraikan
dalam Perda dan Keputusan Walikota, mengacu pada renstra bidang pendidikan Kota Salatiga, dan
kondisi (internal dan eksternal) serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan tugas dan memperhatikan berbagai hal tersebut, Dinas Pendidikan Kota Salatiga sebagai
penanggungjawab utama teknis penyelenggaraan pendidikan di daerah, melakukan hal-hal berikut.
60
a. Merumuskan Rencana Strategis Dinas Pendidikan

Renstra ini memuat arah, tujuan, dan indikator sebagai acuan dan pedoman bagi seluruh jajaran
penyelenggara pendidikan di Kota Salatiga, baik pemerintah maupun masyarakat. Penyusunan renstra
dibuat secara bersama-sama, melibatkan subdin-subdin dan sub bagian yang ada. Tiap subdin
(pendidikan dasar, pendidikan menengah, PLS, pemuda dan olah raga, serta sarana dan prasarana
pendidikan) dan sub bagian, membuat konsep awal berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab
masing-masing, berdasarkan masukan dari stakeholders. Konsep awal tersebut kemudian direkap oleh
“Tim Perumus Renstra Dinas Pendidikan” yang sengaja dibentuk untuk mengolah lebih lanjut bahan
awal tersebut. Tim perumus terdiri atas unsur kepala Dinas Pendidikan, kepala-kepala subdin, baik
pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun sarana dan prasarana pendidikan, serta kepala bagian
penyusunan program. Hasil kerja tim kemudian dikirim ke pemerintah daerah untuk mendapatkan
tanggapan, setelah itu direvisi dan disahkan.
Dalam renstra Dinas Pendidikan disebutkan bahwa visi Dinas Pendidikan Kota Salatiga adalah
“terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, menguasai iptek, berdaya saing tinggi, dan
berakhlak mulia”. Sedangkan misi untuk mewujudkan visi tersebut adalah (a) mewujudkan sistem
pendidikan demokratis dan bermutu, (b) meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan kemandirian
pendidikan, dan (c) meningkatkan pengamalan ajaran pendidikan agama, IMTAQ dalam kehidupan
sehari-hari.
Misi pertama mengandung makna bahwa dalam upaya mewujudkan visi harus didukung oleh sistem
pendidikan yang demokratis dan bermutu, yang akan memberikan kesempatan pada masyarakat yang
kurang beruntung untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta mendorong ke arah terwujudnya
diversifikasi penyelenggaraan pendidikan. Arah kebijakan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga
dititikberatkan pada upaya peningkatan kualitas dan kemandirian pendidikan. Sesuai dengan motto Kota
Salatiga sebagai kota pendidikan, maka Dinas Pendidikan bertanggung jawab akan keberhasilannya
biarpun secara natural sumber daya alamnya terbatas. Selain itu, pembangunan pendidikan diarahkan
pada terbentuknya akhlak/mental generasi muda yang kuat.
Dalam perkembangannya, visi yang telah dirumuskan tersebut disadari memiliki kelemahan, yaitu
cenderung hanya memuat misi untuk sub sektor pendidikan dasar dan
61
menengah, dan kurang dapat mencerminkan misi untuk keseluruhan bagian dan subdin yang ada dalam
struktur organisasi Dinas Pendidikan. Oleh karena itu, menjelang dan untuk kepentingan pembuatan
LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) misi semula diubah menjadi sejumlah visi yang
lebih eksplisit dan akomodatif terhadap keseluruhan komponen dalam struktur Dinas Pendidikan,
sebagai berikut.
1. Mewujudkan peningkatan manajerial dalam peningkatan pelayanan masyarakat;
2. Mewujudkan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar dan prasekolah;
3. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan sekolah menengah yang berkualitas dan berkompetensi;
4. Mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan luar sekolah;
5. Mewujudkan peningkatan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan;
6. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar, pendidikan luar sekolah dan pra sekolah di
setiap kecamatan;
7. Mewujudkan percontohan pendidikan untuk pendidikan luar sekolah, pemuda dan olah raga.

Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, ditetapkan tujuan dan sasaran untuk jangka waktu tertentu.
Penetapan tujuan dan sasaran didahului dengan pengenalan kondisi internal dan eksternal pendidikan di
Kota Salatiga. Pengenalan kondisi internal memunculkan kesadaran atas kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki. Sedangkan, pengenalan terhadap kondisi eksternal menyadarkan akan kesempatan atau
peluang dan ancaman atau tantangan yang dihadapi pendidikan di Kota Salatiga. Hasil analisis SWOT
tersebut adalah sebagai berikut.
62
Tabel 6.
Analisis SWOT Dinas Pendidikan
Kota Salatiga
Analisis
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
I
N
T
E
R
N
A
L

♦ Tersedianya sarana prasarana pen-didikan dan tenaga kependidikan yang memadai


♦ Terdapat berbagai jenis lembaga pendidikan
♦ Terdapat pusat pendidikan dan latihan
♦ Kesadaran masyarakat tinggi, ter-hadap tuntutan kebutuhan akan IPTEK dalam peningkatan pro-
duktifitas
♦ Tersedianya petunjuk standard pelayanan minimal.

♦ Peningkatan profesiona-lisme tenaga kependidikan masih kurang


♦ Baru sebagian yang menjalin kerjasama dengan lembaga usaha
♦ Belum adanya keberanian untuk mendiversifikasi kuri-kulum sekolah bernuansa otonomi.
♦ Belum jelas keotonomian pendidikan
♦ Pemanfaatan IPTEK dalam masyarakat khususnya dalam teknik produksi dan pelayanan jasa masih
sebatas sebagai penunjang
♦ Kerjasama dengan pihak swasta dalam pengem-bangan teknologi produksi masih bersifat insidental.

Peluang (O)
Ancaman (T)
E
K
S
T
E
R
N
A
L

♦ Potensi Salatiga sebagai kota pendidikan


♦ Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
♦ Semakin terbukanya kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan dalam bidang pen-didikan
♦ Terbukanya kesempatan untuk mendiversivikasi pendidikan luar sekolah
♦ Terdapatnya berbagai perguruan tinggi, yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pendidikan.
♦ Kewenangan daerah yang luas dalam pengembangan IPTEK yang tepat guna.
♦ Masih adanya masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak lulus SD)
♦ Terbatasnya bantuan dana pemerintah
♦ Menurunnya semangat ker-ja pendidik, karena sarana prasarana penunjang ku-rang memadai
♦ Kuatnya ideologi penyera-gaman bidang pendidikan
♦ Keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaan pendidikan

63
b. Kebijakan, Program, dan Kegiatan

Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut, kebijakan, program, dan kegiatan untuk pendidikan dasar dan
menengah Dinas Pendidikan Kota Salatiga antara lain ditekankan pada hal-hal sebagai berikut.
1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu,
dengan cara penuntasan Wajar Diknas 9 tahun melalui kegiatan, misalnya, pemberian bea siswa pelajar
SD dan SLTP, pemberian bea siswa pelajar berprestasi akademik, pemberian DBO SD dan SLTP. Di
samping itu, juga dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk menaikkan APK dan APM melalui
kegiatan penyuluhan pada masyarakat lewat dinas terkait dan penyuluhan kepada komite sekolah baik
di SD maupun SLTP. Masyarakat juga diberi kemudahan dan kesempatan untuk memperoleh STTB,
dengan diselenggarakannya SLTP Terbuka, Kejar Paket B, dan UAS Paket A dan Paket B. Perluasan dan
pemerataan kesempatan juga diupayakan melalui peningkatan sarana dan prasarana, pembangunan
dan rehab gedung sekolah, pemberian bantuan imbal swadaya, dan bantuan mebelair.
2) Mengupayakan terwujudnya organisasi sekolah yang lebih demokratis, transparan, efisien, akuntabel
serta mendorong partisipasi masyarakat dengan antara lain memfasilitasi dan mendorong pembentukan
komite sekolah
3) Mengupayakan terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat dengan
peningkatan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga dan masyarakat.
4) Peningkatan administrasi dan pengembangan kepegawaian dengan program rekruetmen guru PNS
dan guru bantu, pengisian jabatan kepala sekolah, peningkatan kualitas tenaga pendidikan melalui
penataran guru bidang studi, KKG dan KKKS, mendorong dan memberi ijin kepada guru untuk
meningkatkan kualifikasi pendidikannya, seleksi guru teladan, pelatihan tenaga administrasi pendidikan,
serta peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan
5) Mengembangkan kurikulum SD, SLTP dan SMU sesuai potensi dan kebutuhan daerah, sosialisasi dan
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi tingkat SMU, pengembangan kurikulum muatan lokal
variatif dan kompetitif, dan pengembangan kurikulum beraspek ketrampilan produktif.
64
6) Mewujudkan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan, dengan merencanakan dan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan dasar
dan menengah serta pendistribusian sarana dan prasarana tersebut.
7) Mengusahakan pemberian bantuan keuangan ke sekolah melalui program : pemberian beasiswa
pelajar berprestasi, pemberian DBO ke sekolah, pemberian subsidi ke sekolah, insentif guru dan tenaga
tidak tetap, pemberian BOMM (bantuan operasional manajemen mutu), subsidi penyelenggaraan
Sekolah Menengah Swasta, bantuan imbal swadaya untuk SD dan SLTP, dan pemberian beasiswa rawan
putus sekolah.

-00000-
Feiby Ismail
IQRA’ 1 Volume 5 Januari - Juni 2008
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH:
SOLUSI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh: Feiby Ismail*
Abstrak ∗
Peningkatan kualitas pendidikan adalah pilihan sekaligus orientasi pengembangan
peradaban bangsa sebagai investasi masa depan pembangunan bangsa berjangka panjang. Orientasi
ini mutlak dilakukan oleh karena pendidikan diyakini sebagai sarana utama pengembangan kualitas
sumber daya manusia.
Dalam konteks itulah revitalisasi kebijakan pendidikan terus menjadi perhatian pemerintah.
Salah satu bentuk revitalisasi itu ialah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan dari kebijakan yang
semula sentralistik berubah menjadi desentralistik. Sebagai konsekuensi logis dari bentuk
desentralisasi pendidikan ialah munculnya kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis sekolah
(school based management).
Dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas
pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di
tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.
Kata Kunci:
manajemen berbasis sekolah,
kualitas pedidikan
Pendahuluan
Dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak.
Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam
pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building)
untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan
sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya
peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.1
Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan
menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep
pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan
∗ Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
STAIN Manado, meraih gelar Magister Pendidikan dalam bidang Manajemen Pendidikan pada
Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
1E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31.
Feiby Ismail
IQRA’ 2 Volume 5 Januari - Juni 2008
paradigma dan gagasan tersebut diatas adalah konsep School Based Management atau manajemen
berbasis sekolah.
Tulisan ini akan menguraikan tentang gagasan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk
meningkatkan mutu pendidikan, model-model MBS, dan peran masing-masing pihak dalam MBS.
Manajemen Berbasis Sekolah untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan
1. Pengertian Kualitas Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutu adalah berkaitan dengan baik buruk suatu
benda; kadar; atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya.2 Secara umum kualitas
atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat.3
Mutu pendidikan dapat dilihat dalam dua hal, yakni mengacu pada proses pendidikan dan
hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat
dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah berbagai input,
seperti bahan ajar, metodologi, saran sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan
sumber daya lainnya serta penciptaan suasana kondusif. Sedangkan, mutu pendidikan dalam konteks
hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.4
Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif
(Edward & Sallis, 1993). Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi
standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang memebihi. Bila
diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit
lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya
sedikit siswa yang akan mampu membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, kualitas berarti
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Edward &
Sallis (1993) dalam Nurkolis5, mengemukakan kualitas dalam konsep relatif berhubungan dengan
produsen, maka kualitas berarti sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.
Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif,
terutama berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu
pelanggan internal dan eksternal (Kamisa, 1997, dalam Nurkholis)6. Pendidikan berkualitas apabila :
a) Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah) berkembang baik fisik maupun
psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah
bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan
kreatifitasnya.
b) Pelanggan eksternal :
2Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 768.
3 Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar (Jakarta:
Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, 2002), hlm. 7.
4B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 210-211.
5 Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 68.
6 Ibid., hlm. 70-71; lihat juga J.F. Senduk, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya (Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, 2006), hlm. 110.
Feiby Ismail
IQRA’ 3 Volume 5 Januari - Juni 2008
1. Eksternal primer (para siswa): menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik
dalam bahasa nasional maupun internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan
kerja dan kehidupan sehari-hari, inregritas pribadi, pemecahan masalah dan penciptaan
pengetahuan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Phillip Hallinger, 1998, dalam
Nurkholis7). Para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya8.
2. Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan); para lulusan
dapat memenuhi harapan orang tua, pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal
menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.
3. Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas); para lulusan memiliki kompetensi dalam
dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
2. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 1) meningkatkan
ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangku kompetensi dan
pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scolastik Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil
portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah
pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (coorperative learning), 3) menciptakan kesempatan
baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap
membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui
penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 5)
membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan
keterampilan memperoleh pekerjaan (John Bishop, dalam Nurkholis9).
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh dalam menerapkan Total Quality
Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh Edward Deming,
Paine, dkk tahun 1982.10 TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus-menerus dimana
lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan dimasa yang akan datang. TQM merupakan
suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing
organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu:
1) fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap
kualitas, 3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah,
4) memiliki komitmen jangka panjang, 5) membutuihkan kerjasama tim, 6) memperbaiki proses
secara berkesinambungan, 7) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, 8) memberikan kebebasan
yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan, dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan.
3. Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan
7 Nurkholis, op. cit., hlm. 71.
8 Kartini Kartono, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 11.
9 Nurkholis, op. cit., hlm. 78-79.
10 Daniel C. Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), (Manado:
Yayasan Tri Ganesha Nusantara, 2004), hlm. 34-45).
Feiby Ismail
IQRA’ 4 Volume 5 Januari - Juni 2008
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai
pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri
sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom
diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan 11 . Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni
pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality management/school based
quality improvement).12
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan
manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang
saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang
tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.13
Wohlstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen
kunci reformasi MBS yang terdiri dari atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang
diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3) adanya panduan
kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat kepemimpinan yang kuat
dan dukungan politik serta dukungan kepemimpinan dari atas, 5) pembagunan kelembagaan
(capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru, dan anggota
dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam pendanaan atau pembiayaan pendidikan.14
Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah: Suatu Perbandingan
1. Model MBS di Hongkong
Di Hongkong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hongkong yang mendorong munculnya MBS adalah struktur
dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggungjawab masing-masing pihak kurang
dijabarkan secara jelas dan inisiatif datang dari atas. Model MBS Hongkong menekankan pentingnya
inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan.
Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan
tanggungjawab masing-masing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah,
tetapi juga dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.15
11 Soebagio Admodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Ardadizyajaya,
2000), hlm. 5-6.
12 Suryosubroto B, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 204-205.
13 Nurkholis, op. cit., hlm. 81.
14 Nurkholis, op. cit., hlm. 81-82.
15 Ibid., hlm. 88.
Feiby Ismail
IQRA’ 5 Volume 5 Januari - Juni 2008
2. Model MBS di Kanada
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan
ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau
pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun
1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar
dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sumgkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada
sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran
pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya
program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh
para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka
merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil pendidikan (Caldwell dan Spinks
(1992) dalam Ibtisam Abu Duhou (2002).17
3. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state)
bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management
(SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh
Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara
federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS,
yakni :
a. Desentralisasi administratif : kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu
yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat
menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab keatas.
b. Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para
orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas,
mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf.18
4. Model MBS di Inggris
Model MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS) atau manajemen dana
swakelola pada tingkat local. Ada enam perubahan structural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS di
Inggris, yakni: 1) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh
pemerintah (Whitehall); 2) ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11, 14 dan 16; 3) MBS dibentuk
untuk mengembangkan otoritas pendidikan local agar dapat memperoleh bantuan dana dari
pemerintah; 4) adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 5) kewenangan Inner London
Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pemerintah; 6) skema manajemen sekolah local
dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti: a) peran serta secara terbuka pada
masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan local, b) alokasi sumber daya dirumuskan oleh
16 Nurkholis, op. cit., hlm. 89.
17 Abu Duhou Ibtisam, School based management (manajemen berbasis sekolah),
UNESCO, Penerjemah: Noryamin Aini, Suparto, Penyunting: Achmad Syahid, Abas Aljauhari
(Jakarta : Logos, 2002), hlm. 29-30.
18 Ibid., hlm. 41-42
Feiby Ismail
IQRA’ 6 Volume 5 Januari - Juni 2008
masing-masing sekolah, c) ditentukan prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai
kegiatnnya, d) memberdayakan badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan
dana untuk guru dan staf, dan e) memberikan informasi kepada orangtua mengenai prestasi guru.19 Di
Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen politik serta
undangundang
pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan
pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.
5. Model MBs di Australia
Di Australia lebih seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan pendidikan diatur
oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan pada awal tahun 1970-an dan berlanjut
sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan desentralisasi administratif.
Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi: pertama,
menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih diantara tiga kemungkinan, yaitu
Standart Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option – (EO 1), dan Enhanced Flexibility
Option – (EO 2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan.
Keempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan
sumber daya sekolah20.
6. Model MBS di Perancis
Di Perancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan pendidikannya
sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun 1982-1984, dimana otoritas local
memiliki tanggungjawab terhadap dukungan financial. Kekuasaan badan pengelola sekolah
menengah atas diperluas ke beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara
langsung terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk
program-program khusus yang dilaksanakan sekolah.21
7. Model MBS di Nikaragua
Model MBS di Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan
aggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos direvtivos).
Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang berpendapat bahwa sekolah otonom
(centros autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ ditekankan pada keterlibatan
orantua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik sumber daya dari masyarakat
lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan sumbangan tenaga. MBS sebagai bentuk
desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi
kebijakan, perubahan organisasi sekolah, penyesuian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan
pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru. Dewan sekolah
19 Ibid., hlm. 34-35.
20 Nurkholis, op. cit., hlm. 95.
21 Ibid., hlm. 96-97.
Feiby Ismail
IQRA’ 7 Volume 5 Januari - Juni 2008
juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola pendapatan sekolah, program
pelatihan dan dalam hal kurikulum yang dianggap sesuai.22
8. Model MBS di Selandia Baru
Di Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai
berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang mayoritas anggotanya
terdiri dari orang tua siswa yang keanggotaannya disetujui oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang
membuat kerangka kerja operasional sekolah. Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan
didesentralisasikan ke masing-masing sekolah yang kemudian disebut School Based Budget (SBB).
Staf akan diseleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989 dikeluarkan UU
Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem pendidikan dijalankan secara desentralistik.
Di samping adanya dewan sekolah (komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang
memiliki tanggungjawab untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk diantaranya
pemilihan uru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja kurikulum
nasional masih akan berlaku namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khususnya
kepada siswa. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana
sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah.23
9. Model MBS di Elsalvador
Model MBS di Elsalvador disebut Community Mangred School Program (CMSP),
kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participation de la
Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan
cara meningkatkan keterlibatan orangtua di dalam tanggungjawab menjalankan sekolah. Filosofi dari
program EDUCO adalah pertama, bahwa orang-orang local dapat menjalankan sekolah didalam
komunitas mereka secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang sentralistik.
Kedua, perlunya para orantua siswa terlibat langsung didalam pendidikan anak-anaknya. Factor
penggerak dari program ini adalah sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orangtua yang memiliki
tanggungjawab untuk pengadministasian sekolah.24
10. Model MBS di Madagaskar
Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat terhadap pengontrolan
pendidikan dasar (sekolah berbasis masyarakat) sejak tahun 1994. implementasi MBS diarahkan di
dalam kerangka dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi, membangun
dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan pensupervisian
sekolah dasar. Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan
standar dan mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan penilaian pendidikan.25
10. Model MBS di Indonesia
22 Ibid., hlm. 99-100.
23 Ibid., hlm. 100-102; lihat juga Ibitisam Abu Duhou, op. cit., hlm. 37-40).
24 Lihat Nurkholis, op. cit., hlm. 105-107.
25 Lihat ibid., hlm. 105-107
Feiby Ismail
IQRA’ 8 Volume 5 Januari - Juni 2008
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. 26MPMBS merupakan bagian dari
manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian
tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen
yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
11. Model MBS yan Ideal
Menurut Lawyer (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen disektor swasta menyangkut
empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan
para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami linkungan
organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan
diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi.
Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek keorganisasian, kebijakan dan
strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah
memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah daerah
dengan sekolah dan sebaliknya.27.
Kekuasaan
Informasi
Pengetahuan
Penghargaan
Daerah Sekolah
26Lihat ibid., hlm. 107; lihat juga Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, Konsep Dasar, op. cit., hlm. 3.
27 Ibid., hlm. 110.
Feiby Ismail
IQRA’ 9 Volume 5 Januari - Juni 2008
Gambar 1. Model MBS dua arah yang saling menguntungkan
Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek
pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai
suatu sistem28. Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari ouput, proses dan
input.29 Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen,
input sumber daya. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi
yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas,
produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan,
pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan belajar mengajar. Model MBS ideal tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :
Kualitas dan inovasi
Input Proses Output Outcome
Pengelolaan Efektivitas
Produktivitas
Efisiensi Internal
Efisiensi Eksternal
Gambar 2. Model MBS Sebagai Sistem
Peran Masing-Masing Pihak dalam MBS
Pihak-pihak yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan
pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru dan orang tua siswa, dan masyarakat luas.30
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
28 Kambey, op. cit., hlm. 23; Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004), hlm. 23.
29 Nurkholis…, op. cit., hlm. 111.
30 Lihat uraian selengkapnya dalam Nurkholis, op. cit., hlm. 115-128.
Feiby Ismail
IQRA’ 10 Volume 5 Januari - Juni 2008
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan
PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar
kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan system penilaian hasil belajar,
penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pendidikan, penetapan
persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan
proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara
daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan
pembentunkan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program
pendidikan.
Peran pemerintah daerah adalah memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya
yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi
karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi-kan tujuan, sasaran, dan hasil yang
diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk
menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1)
Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri atau swasta; 2)
memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset atau sumber daya pendidikan
yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan
sebagainya; 3) melaksanakan tugas pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas
pada satuan pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan innovator,
motivator, standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-kebijakan yang
lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri,
menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan
daerah, menganalisis kebijakan pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat,
menyatukan seluruh komponen sekolah. Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara
kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan
anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam
menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan
profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, dan menciptakan jalur
komunikasi antara sekolah dan staf pemda.
3. Peran Kepala Sekolah
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral. Untu itu peran kepala sekolah
adalah : sebagai evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.
Disamping enam fungsi diatas Wohlstetter dan Mohrman menyatakan bahwa kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion31 (Nurkholis, 2003:119-122). Dari fungsi-fungsi
diatas Mulyasa (2005:97) menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni
mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada guru dan staf serta para
siswa.
31 Ibid., hlm. 119-122.
Feiby Ismail
IQRA’ 11 Volume 5 Januari - Juni 2008
4. Peran Para Guru
Pedagogi reflektif menunjuk tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual
dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para guru hubungan
personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk,
2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki
kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi
akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil
dalam pengelolaan pembelajaran).
5. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi
para orangtua dan masyarakat. Sekolah memiliki fungsi subsider, fungsi primer pendidikan ada pada
orangtua.32
Menurut Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orangtua dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school based dengan cara
mengajar orangtua siswa datang kesekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi
guruorangtua
dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home based,
yaitu orangtua membantu anaknya belajar dirumah dan guru berkunjung ke rumah.33
Sedangkan, peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga
dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di
sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung,
koordinator dan pengusul.
Penutup
Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan dari tulisan ini adalah :
1. Konsep kualitas pendidikan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:
a. Dilihat dari segi proses dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila
seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Sedangkan mutu
pendidikan dari segi hasil pendidikan mengacu pada tingkat keberhasilan yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu dalam berbagai bidang (akademik, keterampilan
dan suasana serta kondisi sekolah.
b. Mutu pendidikan juga dapat di telaah dalam konsep relatif, terutama berhubungan erat
dengan kepuasan pelanggan.
1) Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan staf kependidikan) berkembang baik fisik
maupun psikis.
2) Pelanggan eksternal :
• eksternal primer (para siswa) menjadi subjek yang madiri, kreatif dan
bertanggungjawab akan hidupnya dan perkembangan masyarakat.
32 Piet Go, Pastoral Sekolah, Malang: t.p., 2000), hlm. 46.
33 Nurkholis, op. cit. hlm. 126.
Feiby Ismail
IQRA’ 12 Volume 5 Januari - Juni 2008
• Eksternal sekunder (orangtua, para pemimpin pemerintahan dan perusahaan)
mendapatkan kontribusi dan sumbangan yang positif (outcomes) dari output
pendidikan.
• Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) memperoleh sumbangan
pendidikan dari output pendidikan sehingga masyarakat dapat berkembang.
2. Upaya peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan sistem Total Quality Management (TQM).
TQM dalam pendidikan adalah pendekatan pengelolaan peningkatan mutu secara menyeluruh
dengan mempergunakan dan memberdayakan sumber daya pendidikan yang tersedia.
3. Manajemen Berbasis Sekolah dapat menjadi alternatif peningkatan mutu pendidikan. Karena itu
MBS sudah diterapkan di banyak negara. Apabila dicermati MBS yang diterapkan di berbagai
negara, pada intinya :
a. Prinsip desentralisasi, yakni pelimpahan dan penyerahan wewenang kepada daerah dan
sekolah untuk mengelola pendidikannya secara otonom dalam kerangka pengembangan
pendidikan secara nasional.
b. Pemberdayaan semua sumber daya pendidikan, termasuk partisipasi dan pemberdayaan
orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan.
c. Adanya dewan sekolah (komite) sekolah yang mengorganisir penyediaan fasilitas dan
sumbangan pemikiran serta pengawasan dalam pengelolaan pendidikan.
d. MBS diterapkan dengan maksud utama untuk peningkatan mutu pendidikan.
4. MBS di beberapa negara muncul karena inisiatif dari masyarakat dan orangtua, sedangkan di
Indonesia inisiatifnya dari pemerintah.
5. Model MBS yang ideal adalah MBS dalam konsep sistem, yakni adanya pemberdayaan dan
sinergi semua aspek pendidikan dan berbagai sumber daya pendidikan pada tingkat sekolah,
secara efektif dan efisien dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai produktivitas
pendidikan.

Daftar Pustaka
Abu Duhou Ibtisam, School based management (manajemen berbasis sekolah), UNESCO,
Penerjemah : Noryamin Aini, Suparto, Penyunting ; Achmad Syahid, Abas Aljauhari,
Jakarta: Logos.
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep
Dasar, Jakarta : Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah.
___________, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Edward dan Sallis, 2004, Manajemen Kualitas Total Dalam Pendidikan (Total Quality
Managementin Education) Penerjemah : Kambey Daniel C., Manado : Program Pascasarjana
Universitas Negeri Manado.
Kambey Daniel C., Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), Manado: Yayasan
Tri Ganesha Nusantara.
Feiby Ismail
IQRA’ 13 Volume 5 Januari - Juni 2008
Kartini Kartono, 1997, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Pradnya Paramita.
Mulyasa E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
__________, 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Nurkholis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Pidarta Made, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Piet Go, 2000, Pastoral Sekolah, Malang : Malang.
Senduk, J.F., 2006, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Manado: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
Soebagio Admodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Ardadizyajaya.
Suparno Paul, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yokyakarta: Kanisius.
Suryosubroto B., 2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai