Anda di halaman 1dari 7

1

Membangun Etika Organisasi Sebagai Alternatif Pengendalian Manajemen

Sri Wibawani WA
(Dosen Tetap Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi UMM)

Abstract

Key Words:

PENDAHULUAN
Dewasa ini semakin disadari bahwa potensi budaya dalam memberikan kontribusi terhadap
tumbuhkembangnya organisasi (perusahaan) semakin besar. Budaya organisasi merupakan seperangkat
nilai-nilai moral dan norma-norma yang mengendalikan para anggota organisasi dalam berinteraksi
dengan sesama rekan sekerja, pemasok, pelanggan, dan para pihak di luar organisasi (Robbin dalam
Karyawati, 2003).
Budaya organisasi yang mengakar dalam diri setiap anggota organisasi merupakan faktor utama
yang menyatukan organisasi dengan para anggotanya sehingga setiap anggota (pekerja) dalam
menjalankan tugas-tugasnya akan memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi serta sense of belonging
terhadap organisasinya. Hal ini akan berdampak pada orientasi yang dimiliki anggota organisasi
terhadap pekerjaannya. Adanya komitmen dan loyalitas yang tinggi serta rasa ikut memiliki terhadap
organisasinya akan mendorong anggota organisasi pada orientasi pekerjaan selesai dan bukan pada
berapa jam harus duduk di kantor serta berapa rupiah yang akan diterima jika harus lembur di kantor.
Budaya organisasi akan membentuk perilaku para pekerja sesuai arah yang dikehendaki organisasi.
Budaya organisasi dilandasi oleh pilar-pilar pembentuk budaya, yaitu karakteristik individu dan profesi
orang-orang dalam organisasi, etika organisasi, wewenang yang diberikan organisasi pada para
pekerjanya, dan struktur organisasi yang dimiliki (Karyawati, 2003). Karakteristik individu-individu
dalam organisasi merupakan awal pembentukan nilai-nilai organisasi.
Karakteristik individu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suku bangsa, ras, agama, pendidikan,
status sosial, profesi, dan sebagainya. Individu yang memiliki pengaruh paling dominan dalam organisasi
adalah pendiri dan manajemen. Pendiri dan manajemen menyatukan karakter individu-individu ke arah
yang sama sehingga tercapai goal congruence. Pendiri dan manajemen dapat membangun nilai-nilai dengan
sikap dan gaya kepemimpinannya. Pendiri dan manajemen yang inovatif akan menciptakan nilai-nilai
inovatif dalam organisasi. Sebaliknya sikap dan gaya kepemimpinan yang konservatif akan menciptakan
nilai-nilai konservatif dalam organisasi. Untuk membangun nilai-nilai bagi semua anggota organisasi,
diperlukan etika organisasi.
Etika berkaitan dengan perilaku moral dan berfungsi sebagai kontrol pelaksanaan suatu aktivitas.
Etika organisasi merupakan norma-norma yang mengatur perilaku dalam berinteraksi dengan pihak lain.
Etika pada hakikatnya merupakan kekuatan normatif yang bergerak “dari dalam” untuk mengendalikan
perilaku seseorang atau sekelompok orang. Etika organisasi merupakan nilai-nilai moral dan aturan yang
ditetapkan organisasi sebagai cara bertindak antar individu dalam organisasi maupun dengan
lingkungannya.
Etika organisasi meliputi etika sosial, profesi, dan individu. Etika sosial merupakan nilai-nilai moral
dan norma-norma yang dikodifikasi dalam organisasi untuk dipatuhi para anggotanya. Etika profesi
adalah nilai-nilai moral dan norma-norma yang dikodifikasi oleh suatu profesi untuk dipatuhi dalam
2

pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya. Etika individu merupakan nilai-nilai moral yang dianut individu
sebagai cara berinteraksi dengan pihak lain.
Wewenang yang diberikan organisasi kepada para anggotanya merupakan hak yang diberikan untuk
memperoleh dan menggunakan sumberdaya yang dimiliki organisasi untuk kepentingan organisasi
tersebut. Model pemberian wewenang tersebut mempengaruhi pembentukan perilaku dan motivasi para
anggota organisasi. Kecenderungan dalam pemberian wewenang yang relatif tinggi akan menciptakan
instrument value (pola perbuatan yang diinginkan organisasi untuk mencapai nilai akhir/terminal value yang
dikehendaki) yang kreatif dan risk taker. Sebaliknya, kecenderungan pemberian wewenang yang rendah
akan melahirkan instrument value yang hati-hati, konservatif, dan risk averter. Pembentukan instrument value
dipengaruhi oleh bentuk struktur organisasi.
Bentuk struktur organisasi kerucut (mekanik) mengindikasi keinginan organisasi untuk membangun
nilai-nilai konservatif dan stabilitas yang tinggi dan mendorong terciptanya kepatuhan, kehati-hatian,
dan superioritas dalam organisasi. Sebaliknya, struktur organisasi datar (organik) menunjukkan
keinginan organisasi untuk menciptakan inovasi dan fleksibilitas dalam menghadapi berbagai situasi
serta mendorong pola perbuatan kreatif dan risk taker para anggota organisasi.
Di antara keempat elemen pembentuk budaya organisasi nampak bahwa etika organisasi
merupakan roh organisasi yang akan mengarahkan organisasi dalam berperilaku terhadap para
stakeholders. Dengan perilaku etis yang diterapkan manajemen dan para anggota organisasi akan
menciptakan “self control” bagi organisasi dan anggotanya yang mempunyai konsekuensi pada terjadinya
“social control” (Gaffar,2001). Perilaku etis berkaitan dengan pemilihan tindakan-tindakan yang “benar”,
“sesuai”, dan “tepat’.

PERILAKU ETIS DALAM ORGANISASI


Prinsip umum yang mendasari sistem etika diekspresi oleh keyakinan bahwa setiap anggota
kelompok mempunyai tanggung jawab untuk kebaikan anggota lainnya. Keinginan untuk berkorban
demi kebaikan kelompoknya merupakan inti tindakan etika. Pemikiran tersebut mendasari lahirnya core
value yang menjelaskan makna benar dan salah secara konkrit. Core value tersebut mencakup kejujuran,
integritas, amanah, kesetiaan, keadilan, kepedulian terhadap sesama, penghargaan pada orang lain,
kewarganegaraan yang bertanggung jawab, pencapaian kesempurnaan, dan akuntabilitas (Hansen &
Mowen, 1997: 15 - 16). Untuk mewujudkan core value, penekanan terhadap etika bisnis perlu dimiliki
oleh semua anggota organisasi.
Etika bisnis dapat diartikan sebagai norma yang mengatur perilaku dalam hubungan dengan pihak
lain. Etika bisnis adalah bagian dari etika sosial yang beroperasi pada tingkatan individu, organisasi, dan
sistem. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam etika bisnis diantaranya adalah prinsip otonomi,
kejujuran dan kepercayaan, tidak berbuat jahat dan berbuat baik, keadilan, serta hormat pada diri sendiri
(Keraf & Imam, 1995 dalam Ludigdo & Machfoedz, 1999).
Nilai-nilai moral dalam bisnis sebenarnya telah diajarkan Rasulullah lima belas abad yang lalu
melalui sifat-sifat kerasulan yang dimilikinya, yaitu sidiq (benar), amanah (terpercaya), fathonah (cerdas),
dan tabligh (komunikatif). Nilai-nilai moral tersebut bersifat general truth, melintasi batas waktu, agama,
dan budaya (Hamdan, 2002). Nilai-nilai moral ini dapat diimplementasi dalam perilaku individu dan
organisasi dalam berbisnis.
Sidiq mengandung makna jujur, tahan uji, ikhlas, dan terjaminnya keseimbangan emosional. Amanah
dapat diartikan sebagai individu (organisasi) yang memiliki kepercayaan, tanggung jawab, transparan,
dan tepat waktu. Fathonah dalam organisasi bisnis dapat diartikan sebagai manajemen yang bervisi,
manajer dan pemimpin yang cerdas, sadar produk dan jasa, serta melakukan pembelajaran
berkelanjutan. Tabligh dalam organisasi bisnis dapat digambarkan sebagai perilaku supel, penjual yang
cerdas, deskripsi tugas dan pendelegasian wewenang yang jelas, kerja tim, responsif, koordinatif, dan
adanya pengendalian dan sarana monitoring yang memadai (Antonio, 2002 dalam Hamdan, 2002).
Salah satu organisasi di Indonesia yang mencoba menerapkan ajaran Rasulullah dalam berbisnis dan
terbukti membuahkan hasil adalah organisasi (pesantren) Daarut Tauhid Bandung yang dipimpin K.H.
3

Abdullah Gymnastiar atau biasa dipanggil Aa Gym. Beliau berasumsi bahwa berbisnis adalah ibadah
sehingga jika bisnis dijalankan dengan mengabaikan perilaku etis akan melahirkan kerakusan dan
ketamakan manusia. Sebaliknya, jika bisnis dijalankan dengan niat dan cara yang benar merupakan
ibadah yang besar sekali pahalanya karena akan mengangkat ekonomi umat dan mengokohkan harga
diri bangsa.
Perilaku etis yang diterapkan dalam pesantren Daarut Tauhid merupakan refleksi dari visinya yang
menyatukan antara dimensi dzikir, fikir, dan ikhtiar. Dimensi dzikir menekankan pada keikhlasan dan
penyerahan diri kepada Allah SWT. Dimensi fikir menegaskan pentingnya rasionalitas dalam setiap
tindakan sehingga setiap langkah merupakan bagian dari perencanaan yang matang. Sedang dimensi
ikhtiar mengindikasi pada pentingnya etos kerja, menjalani hidup dengan penuh kesungguhan dan kerja
keras tanpa kenal putus asa, dan selalu optimis.
Organisasi dengan kode etik yang kuat dapat menciptakan loyalitas yang tinggi bagi stakeholders, baik
internal maupun eksternal. Organisasi yang dapat bertahan dalam jangka panjang akan menemukan
bahwa ada manfaat yang besar jika memperlakukan segala sesuatunya dengan jujur dan loyal.

DAMPAK PELANGGARAN ETIKA DALAM BISNIS


Bisnis dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas yang bertujuan menghasilkan laba, sehingga sah-sah
saja jika para pelaku bisnis berusaha memperoleh keuntungan dari setiap aktivitas bisnis yang
dilakukannya. Hal tersebut menjadi tidak wajar ketika setiap pelaku bisnis menginginkan keuntungan
eksesif dengan menghalalkan segala cara guna memperoleh laba semaksimal mungkin. Praktik bisnis
yang tidak sehat akan memberikan dampak negatif bagi para stakeholders, karena tidak akan
menumbuhkembangkan profesionalisme bisnis dan etos kerja yang tinggi, melainkan justru akan
menggerogoti ketahanan bisnis dari dalam, sehingga menjadikan pilar-pilar ekonomi semakin rapuh.
Jika praktek bisnis yang tidah sehat sudah berlaku umum dalam suatu negara maka akan
memberikan citra negatif pada bangsanya. Sebagai contoh adalah praktik-praktik bisnis bernuansa KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang pernah merajalela dan dampaknya terbukti telah menggerogoti
dan memporakporandakan negara kita. Saat ini, dalam hal KKN Indonesia menempati ranking ketiga
terparah di dunia setelah Nigeria dan Kroasia.
Praktik bisnis yang penuh dengan kecurangan telah menjadikan kapitalis-kapitalis jago kampung
yang tidak mempunyai daya saing, hanya mengandalkan berbagai fasilitas, sangat bergantung pada
derajat kedekatannya dengan penguasa, dapat bertindak sebagai tiran terhadap karyawannya,
menghamburkan kekayaan negerinya dan bahkan melarikannya ke manca negara, tidak mempunyai etos
kerja yang tinggi, dan berbagai kelemahan lainnya yang tidak seharusnya dimiliki para pelaku bisnis
profesional. Hal ini memperlemah daya saing Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas.
Era pasar bebas memberikan dampak pada persaingan bisnis yang semakin ketat dan semakin
meningkat intensitasnya sebagaimana dirasakan oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut acapkali memaksa
pelaku bisnis bersinggungan dengan masalah etika demi mencapai tujuannya yang berupa optimalisasi
laba. Dalam kondisi yang sangat kompetitif seharusnya perlu dipertimbangkan relevansi penerapan
prinsip ekonomi yang menganjurkan organisasi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya, karena hal tersebut terbukti menjadi salah satu pemicu timbulnya praktik-
praktik bisnis yang tidak sehat (unfair business).
Perkembangan yang sangat pesat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perimbangan antara
kemajuan material dan nonmaterial. Kesadaran perlunya keseimbangan akan semakin berkembang
sehingga keputusan-keputusan bisnis senantiasa harus meliputi berbagai implikasi terhadap lingkungan,
kebudayaan, agama, etika moral, dan sebagainya (Ismangil, 1998).
Dalam pendekatan stakeholders (Atkinson dkk., 1997) dinyatakan bahwa untuk mencapai tujuan
utamanya organisasi harus mempertimbangkan tujuan sekundernya. Tujuan sekunder organisasi
merupakan tujuan utama para stakeholders. Aspek kepaduan (fit) perlu dipertimbangkan dalam upaya
mencapai tujuan organisasi sehingga tercipta kondisi yang memungkinkan berkembangnya pertalian dan
kemitraan usaha secara luas dalam suatu jejaring yang serasi sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu
4

sistem perekonomian yang harmonis secara global. Untuk menciptakan harmoni tersebut diperlukan
etika usaha yang mengarahkan pada persaingan yang sehat (fair competition).
Semakin banyak perusahaan pesaing menyebabkan semakin pendek daur hidup produk dan
semakin kuat pula bargaining power konsumen. Organisasi harus senantiasa dapat meningkatkan daya
saing agar dapat tetap survive atau bahkan mampu mencapai sustainable competitive advantage. Persyaratan
utama yang harus dimiliki untuk meningkatkan daya saing adalah kemampuannya untuk menciptakan
produk berkualitas yang disertai dengan penerapan strategi bisnis yang berorientasi pada pasar (market-
based view) atau sumberdaya (resource-based view). Hal tersebut akan menjadikan praktik bisnis yang tanpa
disertai perilaku etis tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang dan mencapai keunggulan
kompetitif, bahkan kemungkinan akan menjadi sekadar pecundang karena ditinggalkan pelanggannya.
Untuk itu peranan akuntan manajemen menjadi semakin penting.
Dalam praktiknya akuntan manajemen seringkali menghadapi hambatan dalam menerapkan
perilaku etis. Seorang akuntan manajemen yang ingin menjalankan pekerjaan secara kompeten
adakalanya karena kondisi lingkungan yang memaksa (tidak kondusif) atau karena harus menuruti
perintah atasannya, terpaksa melakukan pelanggaran atas hukum, peraturan, dan standar teknis yang
berlaku. Salah satu contohnya adalah kasus penyimpangan pajak yang melibatkan anak perusahaan PT
BHI, pejabat pajak, dan kantor akuntan publik terkemuka yang merupakan salah satu dari the big five
yang terungkap baru-baru ini dan terancam undang-undang anti suap perusahaan Amerika yang
beroperasi di luar negeri. Contoh lainnya adalah kasus ENRON, HIH, dan perlunya audit ulang PT
Telkom karena ditolaknya laporan keuangan auditan PT Telkom oleh Security Exchange Commission
(SEC).

KUALIFIKASI PENYEDIA INFORMASI


DAN STANDAR ETIKA AKUNTAN MANAJEMEN
Kondisi persaingan yang semakin kompetitif menjadikan informasi berperan sangat penting bagi
semua pihak yang terkait (stakeholders), karena pihak-pihak yang menguasai informasi paling dinilah yang
akan memenangkan persaingan. Informasi yang berkualitas mutlak diperlukan karena dapat digunakan
sebagai dasar dalam penetapan kebijakan manajerial untuk memenangkan persaingan. Kualitas
informasi ditentukan oleh akurasi, ketepatan waktu, dan relevansinya. Kualifikasi tersebut sangat
dipengaruhi oleh kualitas para penyedia informasi bagi manajerial. Salah satu penyedia informasi
penting dalam suatu organisasi adalah akuntan manajemen.
Akuntan internal (akuntan manajemen) berperan sebagai penyedia informasi kuantitatif utama bagi
suatu organisasi yang dapat digunakan pihak manajemen sebagai dasar dalam menetapkan perencanaan,
mengevaluasi pelaksanaan tindakan, dan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan bisnis.
Kualitas suatu informasi sangat bergantung pada kompetensi yang dimiliki akuntan manajemen.
Kompetensi akuntan manajemen dapat ditingkatkan dengan cara berupaya melakukan proses
pembelajaran berkelanjutan (continuous learning) untuk mengembangkan pengetahuan dan keahliannya;
benar-benar memahami kaidah-kaidah yang berlaku umum sehingga senantiasa dapat menjalankan
tugas-tugas profesionalnya sesuai dengan hukum, peraturan, dan standar teknis yang berlaku; dan
mampu memilah-milah informasi yang relevan dan reliable serta dapat melakukan analisis secara benar
terhadap informasi tersebut. Ketepatan waktu (timelines) penyampaian informasi juga perlu
dipertimbangkan karena sebaik dan seakurat apapun suatu informasi akan menjadi tidak berguna atau
setidak-tidaknya akan berkurang manfaatnya jika penyampaiannya kedaluwarsa. Dengan kata lain
informasi tersebut menjadi basi (useless).
Informasi yang diberikan seorang akuntan internal pada manajemen dapat mengarah pada
tindakan-tindakan atau perilaku etis atau justru sebaliknya, yaitu upaya-upaya moral hazard yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan pihak tertentu dengan mengorbankan kepentingan
pihak lainnya secara tidak etis. Hal tersebut sangat bergantung pada derajat integritas dan objektivitas
yang dimiliki seorang akuntan manajemen.
5

Integritas seorang akuntan dapat dilihat dari kemampuannya untuk menghindari konflik
kepentingan (conflict of interest); kemampuan menahan diri dari keterlibatannya dalam berbagai aktivitas
yang akan menimbulkan kecurigaan terhadapnya, mengurangi legitimasi organisasi atau yang merugikan
profesi; kemampuan menjaga independensinya dengan tidak menerima pemberian dan penghargaan
yang dapat mempengaruhinya; dan kemauan untuk mengkomunikasi terlebih dahulu informasi dan
penilaian atau pendapat profesionalnya. Di sisi lain, objektivitas merupakan refleksi dari kejujuran dan
rasa keadilan yang dimiliki akuntan.
Organisasi pada umumnya menetapkan standar perilaku yang berlaku di lingkungannya, baik
organisasi itu merupakan perusahaan yang berorientasi laba, nirlaba, maupun organisasi profesi.
Organisasi profesi akuntan bahkan membedakan antara profesi akuntan publik dan akuntan
manajemen. Standar perilaku akuntan publik yang berupa standar profesional akuntan publik (SPAP)
sudah lama membumi, baik secara global maupun di Indonesia khususnya. Sebaliknya standar perilaku
etis akuntan manajemen baru dikumandangkan oleh Management Accounting Practices Committee dari IMA
(Institute of Management Accountants) pada tanggal 1 Juni 1983 (Hansen & Mowen, 1997: 16 - 19).
Dengan demikian sudah selayaknya para akuntan manajemen di negeri ini menerapkannya karena era
global sudah menghadang dan sudah dirasakan kondisi boundaryless nations.
Standar etika akuntan manajemen pada dasarnya merupakan kewajiban yang semestinya dipenuhi
dan tanggung jawab akuntan manajemen terhadap asosiasi profesinya dan masyarakat pada umumnya.
Dengan kata lain, standar etika merupakan kualifikasi standar yang semestinya dimiliki akuntan
manajemen sehingga hasil pekerjaannya berkualitas prima. Kualifikasi yang dipersyaratkan tersebut pada
dasarnya meliputi kompetensi, kerahasiaan, integritas, dan objektivitas.
Berkaitan dengan masalah kompetensi maka akuntan manajemen dipersyaratkan untuk memiliki
tanggung jawab dalam menjaga tingkat kompetensi profesional yang diperlukan dengan terus-menerus
mengembangkan pengetahuan dan keahliannya. Akuntan manajemen semestinya juga mampu
melakukan tugas-tugas profesionalnya sesuai dengan hukum, peraturan, dan standar teknis yang
berlaku. Di samping itu akuntan manajemen selayaknya mampu menyusun laporan dan rekomendasi
yang lengkap dan jelas setelah melakukan analisis secara benar terhadap informasi yang relevan dan
dapat dipercaya.
Akuntan manajemen berkewajiban menjaga kerahasiaan, dalam arti mampu menahan diri untuk
tidak mengungkapkan tanpa ijin, informasi rahasia berkenaan dengan tugas-tugasnya, kecuali diharuskan
secara hukum; bertanggung jawab untuk memberitahu bawahan seperlunya tentang kerahasiaan
informasi yang berkenaan dengan tugas-tugasnya dan memonitor aktivitas mereka untuk menjaga
kerahasiaan tersebut; serta menahan diri dari penggunaan informasi rahasia yang berkaitan dengan
tugas-tugasnya untuk tujuan tidak etis dan tidak sah, baik secara pribadi maupun melalui pihak ketiga.
Akuntan manajemen dipersyaratkan memiliki integritas dalam melaksanakan pekerjaannya. Dalam
hal ini akuntan manajemen memiliki tanggung jawab untuk menghindari conflict of interest aktual atau yang
nampak nyata serta mengingatkan semua pihak terhadap potensi konflik. Akuntan manajemen
semestinya mampu menahan diri dari keterlibatannya dengan berbagai aktivitas yang akan menimbulkan
kecurigaan terhadap kemampuan mereka untuk melakukan tugasnya secara etis. Independensi dalam
menjalankan pekerjaannya sangat penting sehingga akuntan manajemen semestinya mampu menolak
pemberian, penghargaan, dan keramah-tamahan yang dapat mempengaruhi mereka dalam bertugas.
Akuntan manajemen selayaknya dapat menahan diri untuk tidak melakukan penggerogotan
terhadap legitimasi organisasi dan tujuan-tujuan etis, baik secara pasif maupun aktif; mampu mengenali
dan mengkomunikasi batasan-batasan profesional atau kendala lainnya yang akan menghalangi
munculnya penilaian yang bertanggung jawab atau kinerja sukses dari suatu aktivitas; senantiasa
mengkomunikasi informasi yang baik atau buruk dan penilaian atau opini profesional; dan wajib
menahan diri dari keterlibatan dalam aktivitas yang merugikan profesi.
Akuntan manajemen berkewajiban untuk senantiasa menjunjung tinggi objektivitas dalam bertindak.
Hal ini dapat diartikan bahwa akuntan manajemen bertanggung jawab untuk senantiasa
mengkomunikasi informasi dengan adil dan objektif serta dapat mengungkapkan semua informasi
6

relevan yang dapat diharapkan mempengaruhi pemahaman users terhadap laporan, komentar, dan
rekomendasi yang dikeluarkan.

RESOLUSI KONFLIK-KONFLIK ETIKA AKUNTAN


Akuntan manajemen mungkin menghadapi masalah dalam mengidentifikasi perilaku tidak etis atau
dalam menyelesaikan konflik etika. Akuntan manajemen semestinya mengikuti kebijakan yang
ditetapkan organisasi dalam menyelesaikan konflik. Jika hal tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik
etika maka seorang akuntan manajemen semestinya mempertimbangkan lima tindakan. Pertama,
mendiskusikan masalah tersebut dengan supervisor, kecuali jika masalah tersebut melibatkan atasannya.
Dalam kasus ini akuntan manajemen semestinya menginformasikan segera pada jenjang manajemen
yang setingkat lebih tinggi. Jika hal tersebut belum juga menyelesaikan konflik maka masalah tersebut
disampaikan pada level manajemen yang lebih tinggi.
Kedua, jika atasan langsung merupakan Chief Executive Officer (CEO) atau sederajat, maka wewenang
untuk menyelesaikan konflik tersebut mungkin berada pada suatu kelompok, seperti komite audit,
komite eksekutif, dewan direksi, dewan perwalian, atau pemilik. Jika akuntan manajemen hendak
berhubungan dengan jenjang manajemen yang lebih tinggi dari atasan langsung sebaiknya dilakukan
dengan sepengetahuan atasannya. Ketiga, menjelaskan konsep-konsep yang relevan melalui diskusi
rahasia dengan seorang penasehat yang objektif untuk mencapai pemahaman terhadap tindakan yang
mungkin dilakukan.
Keempat, manakala konflik etika masih terjadi setelah dilakukan tinjauan terhadap berbagai jenjang,
seorang akuntan manajemen mungkin tidak mempunyai alasan lain kecuali mengundurkan diri dari
organisasi dan memberikan memo yang informatif kepada perwakilan organisasi yang ditunjuk. Kelima,
kecuali jika diperintah secara hukum, mengkomunikasi masalah tersebut pada berbagai otoritas atau
individu yang tidak ada hubungan dengan organisasi bukanlah pertimbangan yang tepat (Hansen &
Mowen, 1997: 17-18).

SIMPULAN DAN IMPLIKASI


Praktik bisnis yang tidak sehat tidak akan menumbuhkembangkan profesionalisme bisnis dan etos
kerja yang tinggi, melainkan justru akan menjadikan pilar-pilar ekonomi semakin rapuh dan keropos.
Dalam era global praktik semacam ini tidaklah mungkin dapat dilestarikan jika perusahaan/organisasi
bisnis ingin tetap survive, apalagi untuk mencapai sustainable competitive advantage. Tidak dapat dipungkiri
bahwa krisis dan kehancuran ekonomi yang terjadi di negeri ini disebabkan oleh rapuhnya etika dan
moralitas para pebisnis dan para regulator (pengambil kebijakan).
Praktik bisnis yang tidak sehat dapat didistorsi dengan upaya penegakan standar-standar etika dan
moral bagi para pelaku bisnis dan organisasi terkait secara sungguh-sungguh. Salah satu standar etika
yang semestinya sudah harus dikumandangkan adalah standar etika bagi para akuntan manajemen
selaku pihak penyedia informasi akuntansi perusahaan. Standar Perilaku Etis (kode etik) Akuntan
Manajemen diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalankan kewajibannya. Dengan
berbekal kode etik tersebut seorang akuntan manajemen diharapkan senantiasa menjunjung tinggi etika
profesionalnya yang terefleksi dalam setiap tindakannya sehingga pihak yang terkait dengannya
mengakui kompetensi, integritas, dan objektivitasnya, di samping relevansi informasi yang disajikannya.
Penegakan kode etik akuntan manajemen akan berimplikasi pada penyajian informasi yang
berkualitas. Dengan kata lain, informasi yang disajikan akan memenuhi kualifikasi accuracy, timeliness, dan
relevance. Penyajian informasi berkualitas akan berdampak pada pengambilan keputusan manajemen yang
berkualitas pula. Selanjutnya hal ini akan berdampak pada perbaikan dan perkembangan praktik bisnis
yang sehat.
Budaya organisasi yang dijiwai perilaku dan kode etik yang kuat akan terefleksi dalam visi, misi
organisasi dan tercermin dalam perilaku seluruh anggota organisasi dalam berinteraksi dengan pihak
lain. Hal ini akan melahirkan organisasi yang unggul dan tangguh karena dilandasi oleh nilai-nilai
kearifan, kejujuran, keikhlasan, kepercayaan, tanggung jawab, transparansi, kerja sama, toleransi, dan
7

nilai-nilai luhur lainnya. Jika hal tersebut diterapkan pada suatu negara akan menjadikan suatu negara
yang kokoh dan bangsa (SDM) yang unggul.

*****

Referensi

Antonio, M. Syafi’I. 2002. Prophetic Values of Business and Management. Republika. Edisi 10 Juni
2002.
Atkinson, Anthony A., J.H. Waterhouse, dan R.B. Wells. 1997. a Stakeholders Approach to Strategic
Performance Measurement. Sloan Management Review. Hal. 25 – 37
Gaffar, Afan. 2001. Relevansi Etika dalam Rangka Pembentukan Good Governance di Indonesia.
Seminar Nasional Etika dan Sistem Pengendalian Manajemen dalam Otonomi Daerah. Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang.
Hamdan, Deden. 2002. Belajar Berbisnis dari Bengkel Akhlak. Manajemen Majalah bagi Manajer dan
Eksekutif. Edisi September 2002. Hal. 22 - 24.
Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen. 1997. Management Accounting. 4th. Ed. South-Western College
Publishing. Ohio.
Ismangil, Wagiono. 1998. Globalisasi – Competitiveness – Etika Usaha. Manajemen Usahawan Indonesia.
No. 12 TH XXVII Desember.
Karyawati, Golrida P. 2003. Kultur Organisasi Alternatif Pengendalian Manajemen. Media Akuntansi.
Edisi 34 Juni-Juli. Hal 37 - 40.
Keraf, A. Sony dan R.H. Imam. 1995. Etika Bisnis. Edisi ketiga dengan revisi. Penerbit Kanisius.
Jakarta.
Ludigdo, Unti dan Mas’ud Machfoedz. 1999. Persepsi Akuntan dan Mahasiswa terhadap Etika Bisnis.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2, No. 1, Januari. Hal. 1 – 19.
Suseno, Franz Magnis. 1997. Etika Dasar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai