Anda di halaman 1dari 14

Masuknya Islam ke Indonesia

Oleh: Azzumardi Azra

Mula kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak mendapat perhatian dan telaah
para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang
membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk
dikaji terlebih di negeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak
berlebihan, studi mengenai latar historis dan proses perkembangan selanjutnya dari
agama ini –sehingga beroleh tempat dan mampu mengikat begitu banyak pengikut di
wilayah ini– cukup punya nilai guna memahami dan memaknai lebih dalam dinamika
keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.

Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema
utama, yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan
lanjutan antara Islam dan penduduk lokal berikut konstruk kepercayaan atau agama yang
telah ada sebelumnya.

Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya
menjadi tiga teori besar: Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah
Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam
tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya
singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar abad ke-13 M.

Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang
cukup beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari
anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat.
Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O.
Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang
dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti
epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay – Gujarat sebenarnya bentuk
dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara
Morison lebih mempercayai bahwa Islam di Indonesia bermula dari pantai Coromandel.
Sebab menurutnya, pada masa Islamisasi kerajaan Samudera dimana raja pertamanya
(Malik al-Saleh) wafat tahun 1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu.
Baru setahun kemudian, kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari
sana, tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang di tempat itu.
Adapun bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal, tidaklah serta merta menunjukkan
bahwa agama Islam juga ‘diimpor’ dari tempat yang sama.

Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain
dikemukakan oleh T.W. Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta
tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan
Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir
pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang
di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga
sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M,
dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan
Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas muslim lokal. Sementara
variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam Nusantara berasal dari
Mesir berdasar kesamaan Madzhab (Syafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander
mengemukakan teori Islam Nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).

Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang
populer dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat
Naguib al-Attas, seorang pendukung teori Arab, dihadirkan sebagai komparasi. Dalam
mengkaji Islam nusantara, al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya
pada bukti-bukti konseptual dan literatur, dibanding bukti-bukti epigrafis sebagaimana
para pemikir sebelumnya. Dalam “teori umum tentang Islamisasi Nusantara”-nya tersebut
al-Attas menyebutkan bahwa karakteristik internal Islam di Nusantara lebih cenderung
berasal langsung dari Arab. Dari berbagai literatur Islam yang beredar di Nusantara
sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang India. Bahkan sebagian
penulis yang dipercayai beberapa sarjana Barat sebagai berasal dari India atau Persia, jika
ditelisik ternyata berasal dari Arab baik etnis maupun kultural. Adapun mengenai bukti
epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya, dan menyatakan bahwa kemunculan nisan-
nisan dari India tersebut hanya karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks
perdagangan).

Selanjutnya tentang proses Islamisasi di Nusantara, menarik untuk diperhatikan beberapa


pendapat berikut: Pertama, teori perkawinan. Terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa kesuksesan Islamisasi di Nusantara lebih karena peran para pedagang muslim.
Digambarkan, bahwa seraya berdagang mereka juga menyebarkan Islam. Di antaranya
dengan cara melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga terjadi konversi
agama dan terbentuklah lokus-lokus komunitas muslim setempat. Selanjutnya, mereka
juga berusaha menikahi perempuan bangsawan dengan harapan anak keturunannya akan
beroleh kekuasaan politik yang dapat dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris
dengan pemikiran ini, J.C. van Leur mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik
dalam persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Menurutnya,
penguasa pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan internasional
kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina akan cenderung menerima
Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor itu. Di samping pula untuk
membentengi diri dari jejaring kekuasaan Majapahit.

Teori ini dikritik oleh A.H. Johns, yang menurutnya, patut diragukan bahwa para
pedagang akan mampu meng-Islam-kan penduduk lokal dalam jumlah yang signifikan.
Bukankah ditengarai bahwa mereka telah hadir sejak abad ke-7 atau ke-8 M di Nusantara,
tetapi nyatanya, Islamisasi yang signifikan justru tampil di sekitar abad ke-12 M. Johns
lalu mengajukan teori Sufi-nya. Menurutnya, Islamisasi di Nusantara sukses lebih
didorong oleh peran para sufi pengembara yang memang orientasi hidupnya diabdikan
untuk penyebaran agama Islam. Dan pada masa-masa massifikasi konversi Islam itulah
para sufi banyak hadir di nusantara. Johns dalam mengelaborasi teorinya juga mengambil
pemikiran tentang cara perkawinan dengan keturunan penguasa lokal sebagai pendukung
proses Islamisasi. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Schrieke bahwa faktor
pendorong yang menimbulkan gelombang besar masuk Islam di nusantara adalah
ancaman kekuasaan kolonial dan misi gospel Kristen yang agresif tampaknya sulit
diterima, karena dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Barat Kristen tiba di Nusantara
baru sekitar tahun 1500-an. Sementara Islamisasi di Nusantara telah berlangsung secara
signifikan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M.

Akhirnya, mari disimak beberapa simpulan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra
berikut ini:

1. Islam dibawa langsung dari Arabia;


2. Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “professional” – yakni mereka
yang memang secara khusus bermaksud menyebarkan Islam;
3. Yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa;
4. Kebanyakan para penyebar Islam “professional” ini datang ke Nusantara pada
abad ke-12 dan ke-13.”

Jadi dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa


mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad-abad pertama
Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi persebaran Islam secara nyata baru
terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa selanjutnya.
Kedatangan dan penyebaran agama islam di nusantara
(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Sejarah tentang kedatangan dan penyebaran agama Islam di nusantara bersumber


dari catatan para pengelana yang telah mengunjungi wilayah nusantara berabad-abad
yang lalu.

Sumber/bukti masuknya Islam ke nusantara


Bukti awal mengenai agama Islam berasal dari seorang pengelana Venesia bernama
Marcopolo. Ketika singgah di sebelah utara pulau Sumatera, dia menemukan sebuah kota
Islam bernama Perlakyang dikelilingi oleh daerah-daerah non-Islam. Hal ini diperkuat
oleh catatan-catatan yang terdapat dalam buku-buku sejarah seperti Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu.

Bukti kedua berasal dari Ibnu Batutah ketika mengunjungi Samudera Pasai pada tahun
1345 megatakan bahwa raja yang memerintah negara itu memakai gelar Islam yakni
Malikut Thahbir bin Malik Al Saleh.

Bukti ketiga berasal dari seorang pengelana Portugis bernama Tome Pires, yang
mengunjungi Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam karyanya berjudul Summa
Oriental, dia menjelaskan bahwa menjelang abad ke-13 sudah ada masyarakat Muslim di
Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang. Selain itu di Pulau Jawa juga ditemukan makam
Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 1082 M dan sejumlah
makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13.

Golongan lain berpendapat bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke Nusantara sejak
abad ke-7 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas pernyataan pengelana Cina I-tsing yang
berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671. Dia menyatakan bahwa pada waktu
itu lalu-lintas laut antara Arab, Persia, India, dan Sriwijaya sangat ramai.

Bukti kelima menurut catatan Dinasti Tang, para pedagang Ta-Shih(sebutan bagi kaum
Muslim Arab dan Persia) pada abad ke-9 dan ke-10 sudah ada di Kanton dan Sumatera.

Penyebar Islam di Nusantara


Penyebar Agama Islam menurut teori Gujarat, yaitu bahwa penyebarnya adalah
Muhammad Fakir. Buktinya, teori ini mendasarkan argumentasinya pada pengamatan
terhadap bentuk relief nisan Sultan Malik Al Saleh yang memiliki kesamaan dengan
nisan-nisan yang terdapat di Gujarat.

Penyebar Agama Islam menurut teori Makkah, yaitu bahwa penyebarnya adalah Sjech
Ismail dari Makiyah. Buktinya adalah, bahwa kelompok penduduk Nusantara pertama
yang Islam menganut mazhab Syafi'i. Mazhab Syafi'i merupakan mazhab istimewa di
Makiyah.

Penyebar Agama Islam menurut teori Persia, yaitu bahwa penyebarnya adalah P.A.
Hoessein Djajaningrat. Buktinya adalah pada adanya beberapa kesamaan budaya yang
hidup dikalangan masyarakat Nusantara dengan bangsa Persia denagn memperingati
Asyura, suatu peringatan bagi kaum Syi'ah.

Penyebar Agama Islam menurut teori Sejarawan, yaitu penyebarnya adalah Wali Songo.

Islamisasi di nunsantara
Alasan yang menyebabkan penduduk nusantara banyak yang beragama Islam antara lain:
• Pernikahan antara para pedagang dengan bangsawan. Contoh: Raja Brawijaya
menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah.
• Pendidikan pesantren
• Pedagang Islam
• Seni dan kebudayaan. Contoh: Wayang, disebar oleh Sunan Kalijaga.
• Dakwah
Faktor-faktor penyebab Agama Islam dapat cepat berkembang di Nusantara antara lain:
• Syarat masuk agama Islam tidak berat, yaitu dengan mengucapkan kalimat
syahadat.
• Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana.
• Islam tidak mengenal sistem kasta.
• Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.
• Dalam penyebarannya dilakukan dengan jalan damai.
• Runtuhnya kerajaan Majapahit memperlancar penyebaran agama Islam

Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia


Dalam kajian ilmu sejarah, tentang masuknya Islam di Indonesia masih “debatable”. Oleh
karena itu perlu ada penjelasan lebih dahulu tentang pengertian “masuk”, antara lain:
1. Dalam arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
2. Dalam arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
3. Dalam arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).

Selain itu juga masing-masing pendapat penggunakan berbagai sumber, baik dari
arkeologi, beberapa tulisan dari sumber barat, dan timur. Disamping juga berkembang
dari sudut pandang Eropa Sentrisme dan Indonesia Sentrisme.

Beberapa Pendapat Tentang Awal Masuknya Islam di Indonesia.

1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:


a. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah
catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M,
terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun
648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
b. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan
bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan
oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke
China.
c. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya
menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan
Malaya antara tahun 606-699 M.
d. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General
Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya
mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-
Indonesia pada 672 M.
e. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia
mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke
Malaya.
f. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya
berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa
beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687
sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
g. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya
Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang
memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun
674). (Ta Shih = Arab Muslim).
h. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The
Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke
Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).

2. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:

Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran


Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada
makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan
1082)

3. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:


a. Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia
menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada
tahun 1292 M.
b. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut
adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
c. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse
Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
d. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje;
dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke-13, berdasarkan sudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan
Indonesia.

Siapakah Pembawa Islam ke Indonesia?

Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-
kontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif,
akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China.
Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa
Arab, Persia, India dan china punya andil melancarkan perkembangan islam di kawasan
Indonesia.

Masuknya Islam ke Indonesia menurut pendapat lain ada 3 teori yaitu teori Persia, Teori
Gujarat dan Teori Mekah, yaitu penjelasannya sebagai berikut :

Teori Gujarat (India)

Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa datangnya Islam di Indonesia berasal
dari Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronye. Dengan alasan agama Islam
disebarluaskan melalui jalan dagang antara Indonesia dengan Cambay (Gujarat).

Pedagang islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:
1. Ukiran batu nisan gaya Gujarat.
2. Adat istiadat dan budaya India islam.

Teori Persia

Teori ini dibangun oleh P.A. Hussein Djayadiningrat. Teori ini lebih menitikberatkan
tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam di Indonesia
yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia.

Salah satu persamaan tersebut adalah : Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai
peringatan syiah atas kematian Syahidnya Husain. Para pedagang Persia menyebarkan
Islam dengan beberapa bukti antar lain:
1. Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
2. Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
3. Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).

Teori Mekkah

Teori ini dipelopori Hamka. Ia berpendapat tersebut karena Mekah sebagai pusat agama
Islam. Dan ia menolak pendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 sebab
Islam masuk Indonesia jauh sebelum abad ke-7.

Dan adapun para pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia,
dengan bukti antara lain:
1. Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman,
Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan Islam di lingkungannya, sekitar
Sumatra, Jawa, dan Malaka.
2. Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat,
yang banyak mengenalkan islam.

Proses Awal Penyebaran Islam di Indonesia

Penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia dilakukan secara damai melalui


beberapa saluran-saluran sebagai berikut :

1. Jalur Perdagangan

Melalui perdagangan inilah sangat menguntungkan bagi penyebaran Islam, karena para
raja dan kaum bangsawan ikut serta dalam perdagangan ini. Para pedagang muslim
banyak yang bermukim di pesisir Jawa (Pantura) yang penduduknya masih kafir.

2. Jalur Sosial

Dari sudut ekonomi para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik
daripada penduduk pribumi. Sehingga penduduk pribumi, yang terdiri dari putri-putri
bangsawan tertarik menjadi istri-istri saudagar muslim. Namun sebelum dinikahkan,
terlebih dahulu diislamkan. Dari perkawinan inilah kemudian saudagar muslim
memperoleh banyak keturunan yang juga Islam.

3. Jalur Pengajaran

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara juga dilakukan melalui jalur pendidikan.
Baik di pesantren-pesantren maupun di pondok-pondok yang diselenggarakan oleh para
kiai, para ulama, dsb.

4. Jalur Kesenian

Diantara kesenian yang paling terkenal adalah wayang. Jalur ini dilakukan oleh Sunan
Kalijaga. Beliau adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Para
penonton dibimbing untuk mengucapkan syahadat. Sebagian cerita wayang dipetik dari
Mahabarata dan Ramayana.

PENUTUP

Berdasarkan dari beberapa fakta-fakta yang telah dijelaskan pada pembahasan


sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa proses Islamisasi atau penyebaran islam di
Indonesia sangat erat kaitannya dengan cultural dan kebudayaan yang ada serta
berkembang saat ini.

Selain itu Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati.

Semoga dengan mempelajari Perkembangan Sejarah Islam Asia Tenggara kita dapat
lebih memahami dan memaknai arti Islam yang sebenarnya agar kedepannya kita lebih
taat dalam menjalankan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-
Nya.

Teori Masuknya Islam Ke Indonesia


dibuat oleh Siti Zulaikha

Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak
terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di
Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk
menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M),
terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang
terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi islamisasi yang dimaksud
dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan
(library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan beberapa pandangan
mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai
masuknya Islam ke Indonesia sangat menarik terkait dengan banyaknya perbedaan
pendapat di kalangan sejarawan. Masing-masing pendapat menggunakan berbagai
sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari berbagai sumber. Ada tiga pendapat
tentang waktu masuknya Islam di Nusantara yaitu :

Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:

Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan
Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab
Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab
Muslim di pantai timur Sumatera.

Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal
1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk
ke Indonesia langsung dari Arab.

Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum
Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang
muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.

Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan
bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun
606-699 M.

Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of


Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan
bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa
pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.

Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di


India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis
menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum
muslimin Indonesia.

W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From
Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan
adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab
Muslim).

T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The
Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1
Hijriyah (Abad 7 M).

Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:

Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran


Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam
itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)

Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:

Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam


Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.

K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase
(mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.

J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk


Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke
13.
Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih
cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.

Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini
memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin
Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat
Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.

Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya
menjadi tiga teori besar:

1. Teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran
para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.

2. Teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.

3. Teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang
dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.

Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam.
Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.

Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India,
misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat
Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt,
B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan
oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas
Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra
teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco
polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia
Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan
Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari
India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak
menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana
dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang
bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya
memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini
cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara
adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada
seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa
meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi
hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat,
dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun
Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.

Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam
telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak
benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara
dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata
Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-
orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan
Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di
Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara
dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan
juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini
tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak
menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India
yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan
prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal
penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang
waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu
lemah, untuk tidak mengatakan keliru.

Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim.
Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan
(waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke
Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur
dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini
diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang
diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan
pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut
pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan
yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya
bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang
kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data
yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat.
Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah
wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat
Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad
ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka.
Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi
Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil
memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara
geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan
Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.

Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa
Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan,
khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822
H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu
sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada
nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India.
Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat.
Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.

Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan
oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa
kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang).
Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang
Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh
Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah
dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam),
Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M.
Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama
Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik.
Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat
ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan
Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang
keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai
dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil
pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh
berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu
nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan
tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan
Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal
dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan
mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan
para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini
menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel
atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13
M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di
beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal
Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang
dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan
riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai
pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay,
Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M.
Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa.
Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa
Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold
mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi
kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara
keduanya, yaitu Syafiï.

Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain
dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander
(1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang
mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-
Attas.

Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau
kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat
kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal.
Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang
berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang
diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh
sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur
Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa
kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia
sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari
beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah
menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai
Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di
antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini
didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat
sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an
(termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di
Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab.
Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan
yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal
usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20
Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30
September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam
masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat
teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan
didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran
orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari
Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada
abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang
agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan
bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari
Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau
Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai
Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal
yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak
Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar
terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya,
misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha,
menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini
menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-
Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke
dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha
yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke
India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak
yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran
lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang
memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah
terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari
suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal
dari Arab yaitu :

Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun
1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke
kerajaan Sriwijaya

Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman,
Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar
Sumatra, Jawa, dan Malaka.

Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang
banyak mengenalkan islam.

Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.

Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang
populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya
pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain

1) Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah


atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
2) Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan
ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M,
tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan
Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
3) Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab,
untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.

Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman
kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa
kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang
politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad.
Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat
itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia
menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:

• Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.


• Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
• Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).

Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah,
namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar
Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan
lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan
agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama
besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng
Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.

Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
• Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
• Beberapa makam Cina muslim.
• Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.

Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan
pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh
toleransi (Umar kayam:1989).

Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang
melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh
di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik terjadinya proses
sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan budaya
sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam
di nusantara, kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam
yang dilakukan oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang
berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan
negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang
gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan dan
semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan
Islam lebih luas.

Rekonstruksi Masuknya Islam ke Jawa


(Sebuah resensi)

Penulis: Sumanto Al Qurtuby

Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih


didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini
mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira
menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau
Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya,
teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke
Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal
sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur
Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini
menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab
ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke,
Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas
yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara,
khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat
beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular
dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber
yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini
bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai
kontribusi muslim Cina di Indonesia.

Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya
ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks
lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan
purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat,
sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa
yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-
Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik,
arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak --terutama
soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di
Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup
kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta,
yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk
yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa pada
nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina
ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama
Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti
“yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3,
dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya
berusia 31 tahun.

Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan
perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap ramah
perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara
Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah
dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata
masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif seperti kikir,
eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah sebagian pandangan yang diwariskan
pihak Belanda kepada masyarakat Jawa di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan
hegemoninya di negeri ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari
hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia.
Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang
perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal
atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina)
yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi
pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai
peristiwa berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina
pada umumnya.

Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang
disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat
jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain
passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang
orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun “gettho-
gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar
mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina
pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group”
dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-
ekonomi Cina dengan pribumi.

Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina --baik
muslim maupun non muslim-- untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang
mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki sikap
dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang
seharusnya terjadi di antara etnis Cina --muslim dan non muslim-- dengan pribumi adalah
simbiosis mutualisme.

Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa,


umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan
dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik.
Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan
paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab
beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis
masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang
rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat
kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal (local
tradition).

Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang
membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII. Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor
waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi
nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba
memotret lebih jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi
Jawa pada bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan
mengungkap sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat
anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia sedikit
demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali. Semoga saja!

Anda mungkin juga menyukai