id=206784
Cetak Tutup
Di Indonesia, kondisinya justru terbalik. Kesempatan kerja yang sempit serta persepsi keliru yang berkembang di
masyarakat membuat para tuna netra selalu menjadi 'warga kelas dua'.
Selama 30 tahun terakhir, menurut Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Drs Didi Tarsidi, M Pd,
pemahaman masyarakat Indonesia pada para tuna netra cenderung tak mengalami perubahan berarti. ''Dari sisi
jumlah memang meningkat, tapi dari sisi persentase tetap karena jumlah penduduk juga kan meningkat,'' paparnya.
Meski demikian, ia tak lelah untuk mensosialisasikan sekaligus mengampanyekan keberadaan dan kehidupan para
tuna netra yang sesungguhnya tak jauh berbeda dengan anggota masyarakat lain yang berpenglihatan normal.
Kepada wartawan Republika, Arba'iyah Satriani, Arie Lukihardianti dan fotografer Yogi Ardhi Cahyadi, Didi
menjelaskan mengenai pentingnya perubahan persepsi masyarakat Indonesia terhadap para tuna netra, perlunya
UU No 4/1997 diamandemen serta keinginannya untuk menulis buku-buku untuk para tuna netra. Berikut
petikannya.
Maksudnya bagaimana?
Misalnya, menyaksikan orang tuna netra bisa mengupas mangga sendiri, itu dinilai luar biasa. Atau mengetik sendiri
tanpa bantuan orang lain, mereka melihat itu hal yang aneh. Apalagi melihat orang tuna netra dapat melakukan
hal-hal yang biasanya dilakukan dengan penglihatan. Meski begitu, masyarakat melihat hal seperti itu sebagai suatu
kekecualian. Jadi, masyarakat tetap mempunyai persepsi bahwa tuna netra pada umumnya tidak begitu. Mereka,
misalnya, lebih jauh punya informasi bahwa tuna netra bisa mengoperasikan komputer, tapi tetap persepsi mereka
tentang tuna netra tidak berdaya, kecuali yang ini.
Jadi, kebanyakan masyarakat belum memandang orang tuna netra sebagai manusia utuh?
Betul. Mereka tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua orang tuna netra itu tidak mempunyai potensi yang
bisa dikembangkan. Jika ada satu orang tuna netra berkemampuan sama seperti orang awas, mereka tetap
memandang orang tuna netra yang ini berbeda, tetapi pada umumnya orang tuna netra ya tidak berdaya.
Kalau begitu, kondisi 20 tahun yang lalu dengan sekarang ini relatif tidak ada perbedaan yang signifikan?
Ya, mungkin dari jumlah orang yang mempunyai persepsi yang tepat, jumlahnya bertambah. Tapi, persentasenya
tidak karena pertambahan jumlah penduduk.
Sebagai vice president World Blind Asia Pasific, bagaimana Anda membandingkan situasi di Indonesia
dengan negara-negara di Asia Pasifik?
Kalau dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura, kita berada di bawah dalam hal-hal tertentu. Soal
kesempatan pendidikan, Malaysia lebih baik. Meskipun secara jumlah Indonesia unggul, tapi persentase kecil.
Mungkin penduduk Malaysia lebih sedikit. Mengenai kesejahteraan, Malaysia, Thailand, Singapura punya
1 of 4 31/03/2006 15:50
Republika Online : http://www.republika.co.id http://www.republika.co.id/mycetak_berita.asp?id=206784
undang-undang yang mengatakan semua penyandang cacat termasuk tuna netra berhak memperoleh life
allowance (tunjangan kecacatan). Lalu, mungkin orang bertanya, kenapa harus ada tunjangan kecacatan padahal
ingin disamakan dengan orang normal? Nah, tunjangan kecacatan ini diberikan untuk memungkinkan penyandang
cacat mencapai kemandirian sehingga mencapai kebersamaan.
Persentase tuna netra yang terdidik dan tidak di Indonesia berapa banyak saat ini?
Berdasarkan data, kurang dari 10 persen anak penyandang cacat berusia sekolah memiliki pendidikan formal. Hal
itu terjadi karena kurangnya pemahaman orang tua dan masyarakat sekitarnya bahwa kesempatan itu ada. Orang
tua terlalu sayang dan takut kalau anaknya jauh. Ada juga orang tua yang malu dan mengurusnya di rumah.
Kehilangan penglihatan sejak usia lima tahun, karena sakit infeksi yang dideritanya, tidak membuat pria kelahiran
Sumedang pada 1 Juni 1951 ini merasa berbeda dengan orang lain yang punya penglihatan normal. Saat dirinya
tak bisa melihat lagi, seluruh anggota keluarga tetap mendukungnya. ''Kakak saya masih tetap mengajak saya
jalan-jalan atau pergi ke kolam pemancingan ikan. Saya pun tetap bermain dengan teman-teman di kampung,'' kata
anak ketiga dari lima bersaudara ini mengenang. Orang tuanya yang bekerja sebagai petani pun tak pernah
membeda-bedakan perlakuan.
Tak heran jika kemudian penggemar musik jazz ini tak pernah berpikir atau berandai-andai untuk bisa melihat. Didi
memang tak pernah merasa ketiadaan penglihatannya sebagai halangan. Terbukti, dosen Jurusan Pendidikan Luar
Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, UPI ini bisa menyelesaikan pendidikan S1 (Pendidikan Bahasa & Sastra Inggris,
IKIP Bandung, 1979) dan S2 (Bimbingan dan Penyuluhan Konsentrasi Bimbingan Anak Khusus, UPI, 2002) dengan
lancar. Sejak duduk di bangku kuliah, Didi yang akan memulai kuliah program doktornya pada Agustus 2005 ini
sudah bekerja sebagai penerjemah dengan penghasilan yang lumayan. Murid-muridnya adalah para ekspatriat
yang ingin belajar bahasa Indonesia secara privat.
Sebagai kepala rumah tangga, Didi pun akan memperbaiki genteng rumah yang bocor atau langit-langit rumah yang
bermasalah, ketika anak-anaknya masih kecil. ''Saya mengenal dengan baik setiap sudut rumah saya. Sebelum
saya punya banyak kesibukan dan anak-anak masih kecil, saya kerap mengerjakan pekerjaan rumah,'' katanya.
Waktu luang yang dimilikinya digunakan untuk berbagi dengan istrinya. Kadang, Didi mendengarkan cerita yang
dibacakan istrinya. Kali lain, pria yang sangat gemar mengutak-atik komputer ini yang membacakan kisah yang
diperolehnya di internet kepada istrinya. ''Kalau tidak, kami pergi ke luar rumah untuk makan atau berkunjung ke
rumah teman,'' katanya.
2 of 4 31/03/2006 15:50
Republika Online : http://www.republika.co.id http://www.republika.co.id/mycetak_berita.asp?id=206784
Selanjutnya?
Saya mengambil kursus berjudulnya Introduction to My Computer pada awal tahun 1990-an. Kursus ini
menawarkan lebih dari 100 macam. Saya ambil beberapa termasuk komputer, word processing. Pengenalan saya
terhadap komputer baru sampai pada pengetahuan. Karena saya hanya membaca, belum pernah memegang sama
sekali. Pertama kali saya meraba komputer itu ketika saya mengikuti seminar di Kuala Lumpur tahun 1994, yaitu
saat seminar tentang teknologi komputer bagi tuna netra se-ASEAN. Saya memiliki komputer tahun 1998 ketika istri
saya memiliki uang banyak. Jadi, istri saya menulis buku dibeli pemerintah untuk program inpres dan kami sepakat
untuk membeli komputer dari hasil tersebut.
Kok bisa?
Karena di pesawat ada perhatian khusus pada penyandang cacat. Ini saya bicara soal aturan penerbangan
internasional. Misalnya, pada saat ke Kanada. Saya datang ke bandara, petugas Garuda Indonesia langsung
mendatangi saya, membawa ke ruang tunggu, ke pesawat, dan disambut pramugari di pesawat. Ketika sampai ke
tempat tujuan, saya dibawa oleh pramugari turun dan ada yang menyambut lagi. Jadi ada komunikasi. Bahkan,
mereka menawarkan kursi roda. Saya bilang saya hanya tidak bisa melihat, tapi bisa jalan. Kemudian, saat ada
peragaan penggunaan pelampung dan keselamatan, pramugari memeragakan secara individual dengan
mendatangi saya.
Menikah dengan gadis pujaannya, Wacih Kurnaesih, S Pd pada 1980, wajah Didi tampak berbinar mengenang saat
pernikahan mereka. ''Saya membeli rumah tiga bulan sebelum menikah dengan uang tabungan yang saya miliki
ditambah dengan uang pinjaman. Jadi, kami menikah di rumah sendiri,'' ujarnya. Wacih adalah adik kelasnya
sekaligus tetangga kamar di asrama Wyata Guna Bandung --tempat Didi tinggal selama menempuh pendidikan S1.
Buah hati pertama lahir pada 1981 dengan nama Tommi Rinaldi. Kini, Tommi duduk di bangku akhir kuliahnya di
Jurusan Geologi Unpad. Sedangkan adiknya, Sendy Nugraha, yang lahir pada 1983 saat ini menjadi mahasiswa
semester 8 Jurusan Akuntansi di Unpas Bandung. Mendidik anak-anaknya yang lahir normal, Didi dan Wacih
berlaku seperti umumnya para orang tua lain. ''Saya bahkan senang menyuapi anak saya, mengganti popok
mereka,'' katanya tersenyum. Kedua anaknya mengenal ketunanetraan orang tua mereka secara alami karena
setiap hari selalu berinteraksi.
Mengenai motivasi Anda sehingga bisa mencapai posisi seperti sekarang, menjadi lektor dan akan segera
kuliah S3, bagaimana awalnya?
Ketunanetraan itu menjadi bagian dari hidup saya. Ketika saya menjalani kehidupan ini, ketunanetraan itu tidak
menjadi bagian dari pemikiran saya. Yang menjadi pemikiran saya adalah bagaimana bisa sukses dalam hal
tertentu. Misalnya, bagaimana saya bisa menyelesaikan S2, bagaimana saya ingin jadi doktor dan seterusnya. Jadi,
tidak pernah terlintas, ''coba saya melihat''. Artinya, motivasi saya adalah motivasi untuk bisa lebih maju lebih jauh di
dalam kehidupan saya. Sejak kecil, saya ingin menjadi guru dan cita-cita sudah tercapai.
3 of 4 31/03/2006 15:50
Republika Online : http://www.republika.co.id http://www.republika.co.id/mycetak_berita.asp?id=206784
Karena saya suka komputer dan saya mengajar komputer, saya sekarang sedang membuat buku pelatihan
komputer untuk tuna netra. Selain itu, karena saya merasa bahwa banyak orang tidak memahami ketunanetraan
secara tepat dan buku-buku tentang ketunanetraan yang ada di Indonesia tidak saya sukai, saya sekarang
mencoba menulis buku tentang ketunanetraan. Agar masyarakat punya persepsi yang tepat tentang ketunanetraan.
Tapi, ini masih berupa draft awal.
()
4 of 4 31/03/2006 15:50