Anda di halaman 1dari 15

PERANAN NEGARA DAN PSIKOLOGI DALAM

PERKEMBANGAN KORUPSI
SERTA PENANGGULANGANNYA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sangat tidak salah jika banyak orang berpendapat bahwa korupsi di negara ini telah
menjadi budaya. Sedemikian parahnya hingga seakan-akan telah berubah menjadi
penyakit kanker kronis yang menggerogoti dari dalam tubuh bangsa ini sendiri. Akibat
korupsi yang semakin merajalela, tingkat kemiskinan juga meningkat tajam dan
berpotensi untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Singkatnya, benar
yang dikatakan oleh Kwik Kian Gie, bahwa corruption is the root of the evil. Korupsi
adalah akar dari semua masalah. (Kwik Kian Gie : 2006)

Korupsi yang kini merajalela di republik Indonesia, berakar pada masa tersebut, ketika
kekuasaan bertumpu pada apa yang disebut kekuasaan “birokrasi patrimonial” (Max
Weber, Wirtschaft und Geselschaft) yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal.
Dalam struktur seperti ini, penyimpangan, korupsi, pencurian, tentu saja dengan mudah
berkembang. (Mochtar Lubis:1995)

Namun jika diteliti lebih dalam, ternyata korupsi telah mengakar dari masa lalu. Bahkan
semua bangsa tidak hanya Indonesia yang terkena imbas dari perbuatan korupsi itu
sendiri. Dan korupsi itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh para pejabat tinggi negara,
tapi juga oleh pejabat di tingkat RT/RW. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali
Mashyar dalam bukunya, “Pergulatan Kebijakan Hukum Pidana dalam Ranah Tatanan
Sosial”, sedemikian mewabahnya korupsi di Indonesia, maka wajar dikatergorikan dalam
tindak pidana luar biasa (extra odinary crime).

Gejala-gejala timbulnya korupsi, belakangan ini di Indonesia menunjuk pada kasus-kasus


yang silih berganti mencuat ke permukaan.Untuk Indonesia penilaiannya harus menukik
juga kepada fakta bahwa korupsi nyaris semuanya dilakukan oleh mereka yang termasuk
golongan the have. Dapat dipastikan dengan optik semacam ini bahwa korupsi bukanlah
penyimpangan perilaku (deviant behavior), tetapi merupakan tindakan yang direncanakan
penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar hukum yang memiliki
status terhormat (the honorable status of offenders), Ketika golongan ini yang menjadi
pelaku maka korupsi senantiasa melibatkan perhitungan-perhitungan yang teliti dari
pelakunya.

Pengerahan segenap kemampuannya dan kewenangan diperhitungkan secermat mungkin,


sehingga orang lain hanya bisa merasakan aroma korupsi dan tak berdaya bila diminta
harus membuktikan. Bagi koruptor besar, setiap celah untuk lolos telah dipersiapkan,
termasuk bila harus menggunting misi suci dari sistem hukum. Lihat saja bagaimana hal
ini diterapkan dengan model telenovela dalam kasus Urip Tri Gunawan dan Artalyta
Suryani. Dijebloskannya the have ke penjara malah berbalik menjadi semacam stempel
yang memberikan justifikasi hilangnya rasa malu bagi koruptor dan keluarganya.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam uraian ini adalah:


1. Bagaimana hubungan negara terhadap timbul korupsi?

1. Apa tantangan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?


2. Bagaimana cara atau langkah yang harus diambil dalam pemberantas korupsi di
Indonesia?

C. TUJUAN

Dalam pembuatan makalah ini adalah:

1. Melihat aspek-aspek yang berpengaruh terhadap pertumbuhan korupsi di


Indonesia.
2. Memberikan gambaran tentang tantangan besar yang dihadapi oleh
pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. memerikan solusi pemberantasan korupsi di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:

• perbuatan melawan hukum;


• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti
penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

1. KONDISI YANG MENDUKUNG MUNCULNYA KORUPSI

• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab


langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
• Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan
perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
“sumbangan kampanye”.

2. DAMPAK NEGATIF

2.1. Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan;
korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di
pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat.
Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena
pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan
jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

2.2. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat
korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi,
konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan
pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi
menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”.
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan


investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia
lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk
menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan.
Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan
hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan
dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya
ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di
Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil
satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari
Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar
negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya
pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang
sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk
kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

2.3. Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan
pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-
perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan
pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada
kampanye pemilu mereka.

3. BENTUK-BENTUK PENYALAHGUNAAN

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan


nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan
seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

3.1. Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-
hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama
dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg
korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut
(disusun menurut abjad):

Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru,


Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun
menurut abjad):

Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan,


Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan
berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan
langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)

3.2. Sumbangan kampanye dan “uang lembek”


Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk
membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut
politisi.

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi
keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.

4. TUDUHAN KORUPSI SEBAGAI ALAT POLITIK

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan
tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji,
dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

5. MENGUKUR KORUPSI

Mengukur korupsi – dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara,


secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi,
menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi
(berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini);
Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan
pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa
rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga
menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis.
Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.

B. TEORI NEGARA KLEPTOKRATIK TENTANG KORUPSI

Istilah “Kleptokratik” dimunculkan pertama kali oleh Andreski pada tahun 1968 melalui
tulisannya yang berjudul “Kleptocracy or Corruption as a System of Government”.
Menurutnya, “Kleptokrat” adalah seorang penguasa atau pejabat tinggi negara yang
sasaran utamanya dalam memegang jabatan adalah untuk selalu berusaha memperkaya
diri sendiri. Ia akan terus menggunakan kekuasaannya untuk mengejar tujuan tersebut
(Andreski, 1968).

Mancur Olson mengistilahkan para kleptokrat sebagai “Stationary Bandit” (bandit tak
bergerak). Mereka dapat bertindak sebagai pemegang monopoli sasta, mengejar efisiensi
produksi, tetapi membatasi hasil ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan (Olson,
1993). Para “bandit tak bergerak” ini tidak perlu susah-susah mencuri uang negara.
Mereka hanya memainkan regulasi dan memberikan hak istimewa kepada orang-orang
swasta yang dikehendaki untuk menguasai dan memegang monopoli, yang sebelumnya
menjadi hak dan kewenangan negara. Biasanya dengan alasan efisiensi dan mengurangi
beban biaya negara, tetapi sesungguhnya negara dirugikan karena potensi keuntungan
dari hak monopoli tersebut dijual atau diberikan kepada pihak swasta.

Pemerintahan negara kleptokratik pada umumnya terjadi di negara-negara berkembang.


Dengan alasan mendemokratisasikan perekonomian dan mengurangi peran negara secara
monopolis, pemerintah membuat berbagai kebijakan deregulasi, khususnya pada sektor
ekonomi. Di Indonesia, pengaruh paradigma “deregulasi” itu amat terasa pada tahun
1988, yang ditandai dengan dikeluarkannya serangkaian kebijakan deregulasi pada sektor
keuangan, moneter, fiskal dan perbankan (Albab, Gaffar & Winarno, 1993). Francis
Fukuyama (2005) mengamati bahwa kecenderungan semacam ini merupakan
kecenderungan umum di negara yang menerapkan sistem demokrasi, yang mengkritik
habis-habisan “pemerintahan yang gemuk”.

C. TEORI PATRIMONIALISME TENTANG


KORUPSI
Uraian tentang negara dan korupsi juga dapat ditemukan dalam karya klasik Max Weber,
khususnya dalam penjelasannya mengenai tipe-tipe penguasa. Menurut Weber, penguasa
itu dapat dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu; (1). Penguasa Tradisional dimana kekuasaan
didasarkan pada sistem warisan berdasarkan tradisi dan penguasa cenderung memiliki
kekuasaan absolut. (2). Penguasa Kharismatik dimana kekuasaan didasarkan pada
karisma dan kemampuan penguasa untuk meyakinkan masyarakat agar bersedia menuruti
perintahnya. (3). Penguasa Legal/Rasional dimana penguasa memperoleh kekuasaannya
melalui cara-cara yang rasional, profesional dan legal (Weber, 1947). Weber berpendapat
bahwa patrimonialisme dapat kita jumpai pada tipe penguasa yang pertama, yaitu
“penguasa tradisional” dimana tidak ada satu peraturan pun yang memisahkan antara
properti publik dan properti swasta dari penguasa dan pejabat-pejabatnya.

Bagi Weber, dalam masyarakat patrimonialisme, korupsi malah berfungsi sebagai suatu
cara untuk membantu terciptanya integrasi politik diantara golongan, partai, dan suku
yang berbeda-beda dalam pemerintahan (Weber, 1947). Dengan “korupsi” (dengan cara
membagi kekuasaan yang ada dengan partai lain) penguasa bisa mempertahankan
kekuasaannya sekaligus mencegah terjadinya pertentangan dan perpecahan politik.
Klitgaard menambahkan, bahwa dalam kondisi seperti ini, negara akan mendapatkan
keuntungan dari korupsi (Klitgaard, 1980:32).

Indonesia di masa orde lama hingga orde baru agaknya lebih menampakkan negara korup
dalam perspektif patrimonialism. Dwight Y King dalam salah satu tulisannya tentang
”Korupsi di Indonesia: Kanker Yang Dapat Diobati” bahkan menyatakan bahwa
patrimonialism di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan. Praktik patrimonialism
yang kemudian membudaya dan mengakar dalam praktik administrasi publik ini
memperparah korupsi. Sebab praktik yang sekarang didefinisikan sebagai korupsi itu
untuk beberapa kasus justeru tidak dinilai korupsi. Misalnya budaya memungut upeti.
Di Indonesia, sebagian besar korupsi memang disebabkan, ditumbuh suburkan, bahkan
dilindungi oleh adanya paham patrimonial ini. Sehingga masyarakat dibuat permisif
terhadap praktik pungutan pejabat elite pemerintahan dan masyarakat seakan
menganggap wajar setiap ada pemberian (upeti) kepada pejabat negara (birokrasi)
sebagai ucapan terima kasih atas pelayanan yang diterimanya. Kondisi inilah yang pada
akhirnya menjerumuskan bangsa Indonesia pada permasalahan korupsi yang akut.

Sejarah kepemerintahan Indonesia memang tidak dimulai dari sesuatu yang benar. Sistem
kerajaan yang tidak demokratis, yang menempatkan raja sebagai penguasa yang tidak
bisa dibedakan antara properti negara dan properti pribadi raja, memenjarakan
masyarakat pada kondisi menerima kenyataan (yang sesungguhnya merupakan
penyelewengan) sebagai kewajaran. Kedatangan Belanda ke Indonesia, yang akhirnya
menjajah Indonesia beratus-ratus tahun lamanya, tidak memperbaiki situasi, malah
memperburuk keadaan, dimana korupsi seakan mendapatkan legitimasi eksternal (dunia
luar). Jika sistem dan administrasi publik yang dipraktekkan di Indonesia dipandang
sebagai salah satu hasil belajar dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, maka
sudah sangat wajar jika di dalam sistem administrasi publik di Indonesia banyak
penyimpangan dan korup. Sebab praktik itulah yang pada awalnya dilakukan oleh
Belanda di Indonesia.

Orang-orang Belanda datang ke bumi Nusantara Indonesia pada abad ke-16. selama
periode awal kekuasaannya, sebagian kelangan Belanda melakukan praktik serupa
dengan apa yang terjadi pada budaya Jawa Tradisional. Gaji yang dibayarkan Dutch East
India Trading Company (VOC) hanya sebatas nominal, karena para pejabat pada saat itu
berharap mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka lebar untuk memperoleh
pemasukan tambahan di luar aktivitas komersial resmi. Pada akhirnya, tindakan korup
para pejabat tersebut menjadi begitu normal. (Dwight Y King, dalam Tanthowi, 2005,
130).

Meskipun dalam berbagai publikasi hasil studi tentang sepak terjang VOC tersebut
berakibat vatal, yaitu kebangkrutan VOC pada abad ke-19, yang menjadikan VOC
diambil alih oleh Kerajaan Belanda, namun praktek VOC selama 3 abad itu telah turut
mencekoki budaya korup di kalangan pejabat dan elit Indonesia, terutama Jawa.

Saat menjajah pun Belanda membiarkan praktik upeti, suap dan korupsi yang terjadi dan
dilakukan di kalangan penguasa kerajaan di Indonesia. Ini sangat masuk alak karena
Belanda memang tidak menjajah Indonesia untuk memperbaiki sistem pemerintahan,
tetapi sebaliknya. Karena itu Belanda melakukan pembiaran praktik korupsi itu asal
kepentingan politik dan dagangnya di Indonesia tidak terganggu.

Era patrimonialisme di Indonesia pra-kemerdekaan sungguh-sungguh tumbuh subur.


Begitu pula korupsinya. Namun pada perkembangan berikutnya muncul angin segar,
yaitu ketika masa kemerdekaan. Beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia dikumandangkan tingkat korupsi mengalami penurunan yang berarti.
Ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru, keadaan ternyata tidak
berubah. Polanya hampir sama dan korupsi terus menjadi-jadi. Dalam pandangan King,
Orde Lama mencirikan sistem ekonomi dan pemerintahan berdasarkan “patronasi” yang
progresif dan vulgar. Sedangkan Orde Baru tampil agak halus, yang dicirikan dalam
rezim “birokrat-otoritarian”. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua pola
tersebut. Jika pada pola pertama patrimonialisme terjadi secara terbuka, maka pada pola
kedua patrimonialisme dilakukan dengan halus.

Teori Patrimonialism setidaknya telah mampu menjelaskan kepada kita bahwa dalam
sistem pemerintahan yang patrimonialisme (baik yang dilakukan secara terbuka atau
lunak/tertutup) korupsi bisa mewaba dan merajalela ke semua sektor kehidupan, karena
memang tidak ada satupun undang-undang yang dibuat untuk melarang korupsi, bahkan
negara melindunginya.

C. PEMBAHASAN MASALAH

b.1. Hubungan Negara dan Korupsi

Beberapa dekade lalu dunia ini dikejutkan oleh kenyataan bahwa banyak negara
mengalami kebangkrutan karena tidak berfungsinya administrasi publik secara efektif.
Kemiskinan, memburuknya tingkat kesehatan masyarakat, serta ketidak adilan distribusi
pendapatan menjadi persoalan yang bersifat endemik di seluruh dunia. Beberapa negara
yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah justeru mengalami pertumbuhan
ekonomi yang sangat rendah, meskipun di negara tersebut memiliki angkatan kerja yang
terdidik (Rose-Ackerman, 2006).

Para ahli ekonomi, politik, dan administrasi publik tertarik terhadap fenomena ini.
Mereka kemudian melakukan serangkaian tulisan yang mendalam. Tulisan yang
dilakukan oleh Rose-Ackerman atas permasalahan ini menyimpulkan bahwa biang
teradinya ironi dan paradok tersebut adalah tidak berfungsinya institusi negara dan swasta
(Rose-Ackerman, 2006). Sementara Keefer dan Knack berkesimpulan lebih konkrit
bahwa akar persoalannya adalah tingginya indeks korupsi di negara-negara penerima
bantuan (Keefer & Knack, 1995).

Dalam konteks akademik, ”korupsi” merupakan bahasan penting dari banyak disiplin
ilmu, antara lain antropologi, sosiologi, politik dan administrasi publik. Pandangan
masing-masing didiplin ilmu terhadap ”korupsi” sangat dipengaruhi oleh kekhususan
disiplin ilmu tersebut. Implikasinya, pengertian dan definisi tentang korupsi menjadi
sangat beragam dan diterapkan dalam konteks yang sangat kompleks. Bowles (1999)
mengintrodusir berbagai definisi tentang korupsi yang beraneka ragam itu kedalam dua
kelompok, yaitu definisi yang sempit dan definisi yang luas.

Sedangkan definisi korupsi secara luas pernah dikemukakan oleh para penulis teori-teori
politik klasik seperti Plato dan Aristotoles, sebagaimana diuraikan oleh Bouckaert (1996)
yang mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang merugikan negara, baik dilakukan
secara illegal maupun legal. Bagi para penulis teori-teori politik klasik serta para penulis
yang lebih kemudian yang dipengaruhi oleh pandangan Plato dan Aristoteles seperti
Andreski (1978), korupsi tidak selalu dapat diamati sebagai sebuah tindakan illegal,
seperti mencuri atau menggelapkan uang negara. Terkadang korupsi terjadi dan
dilakukan dengan kesadaran penuh dan dilegalkan oleh negara.

Analisis atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah analisis yang sekedar melihat


korupsi secara sosiologis, tetapi korupsi diamati dalam kaitan adanya “relasi antara
negara dan pasar” atau ”relasi antara negara dan sektor swasta”. Hal ini sebagaimana
yang diintrodusir oleh Susan Rose-Ackerman, bahwa korupsi merupakan gambaran
hubungan antara negara dan sektor swasta. Terkadang pejabat negara yang menjadi aktor
dominan, terkadang justeru pihak swasta yang menentukan (Rose-Ackerman, 2006).

B.2. Tantangan Besar Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Agenda pemberantasan korupsi di era pemerintahan SBY nampaknya masih belum


menunjukan titik terang. Presiden SBY sendiri sebagaimana dilansir berbagai media
massa beberapa waktu lalu menyatakan ketidakpuasannya. Sikap ini merupakan bentuk
pengakuan SBY atas berbagai kelemahan dan kekurangan pada jajaran pembantunya
yang disampaikan secara resmi kepada publik. Keterusterangan tersebut juga perlu dilihat
sebagai cermin masih adanya komitmen Pemerintah baru dalam memberantas korupsi.

Apa yang disampaikan SBY secara tidak langsung sebenarnya merupakan bentuk kritik
terhadap jajaran kabinet, khususnya kepada pimpinan institusi kejaksaan dan kepolisian.
Harus diakui bahwa agenda pemberantasan korupsi hingga saat ini belum menyentuh
pada persoalan yang sangat penting, yakni perubahan dan perombakan pada struktur
hukum. Struktur hukum yang dimaksud tidak lain adalah pembaharuan pada institusi
penegak hukum dan penyegaran pada tingkat aparaturnya.

Harus diakui untuk membuktikan adanya praktek jual-beli kasus yang berujung pada
Faktor aparat penegak hukum menjadi sangat penting bagi keberhasilan pemberantasan
korupsi mengingat hari demi hari, agenda pemberantasan korupsi kian mendapat
tantangan berat. Paling tidak ada tiga tantangan dari luar (external factors) yang harus
dilihat sebagai penghambat utama pemberantasan korupsi.

Pertama, tantangan atau hambatan politik. Walaupun bisa dikatakan telah ada komitmen
politik dari pemerintah SBY, namun supaya agenda pemberantasan korupsi membuahkan
hasil yang memuaskan, hal itu perlu didukung oleh penciptaan iklim politik yang sehat
dan jajaran elit politik yang memiliki kemauan setara. Sayangnya kedua elemen
pendukung itu nampaknya belum kelihatan. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, iklim
politik di Indonesia sampai saat ini justru menjadi tempat persemaian bibit-bibit korupsi
baru.

Realitas yang sama juga terjadi pada elit politik. Alih-alih memberikan dukungan
terhadap pemberantasan korupsi, resistensi dari mereka malah kental terlihat. Hal itu
misalnya dapat direkam pada saat rapat dengar pendapat antara Jaksa Agung RI dengan
Komisi III DPR RI yang berujung rusuh. Kalau tidak keliru, agenda rapat dengar
pendapat kala itu tak lain adalah membahas korupsi APBD yang melibatkan anggota
DPRD. Pertanyaannya, mengapa tema yang dipilih adalah korupsi yang melibatkan
DPRD? Bukankah seharusnya yang harus diawasi oleh DPR adalah kinerja Kejaksaan
Agung dalam memberantas korupsi?

Memang jawaban atas pertanyaan itu menjadi samar-samar, terbenam oleh riuhnya
kemarahan kedua belah pihak. Namun jika hendak dirunut, korupsi yang melibatkan
DPRD adalah korupsi yang didalamnya nama partai politik dan kader partai (elit politik
lokal) selalu dikaitkan. Oleh karena itu, bisa ditebak kemana arah rapat dengar pendapat
itu andai kericuhan tidak terjadi.

Kedua, tantangan atau hambatan hukum. Belakangan ini, kalangan yang diduga kuat
melakukan tindak pidana korupsi gemar menggunakan instrumen hukum untuk menutup-
nutupi praktek korupsi yang dilakukan, sekaligus untuk melemahkan semangat
pemberantasan korupsi. Keluarnya pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi
atas gugatan Bram Manoppo dalam dugaan korupsi pengadaan helikopter dimana
Abdullah Puteh merupakan salah satu terdakwa, dengan menyatakan bahwa KPK tidak
berwenang mengusut kasus korupsi yang terjadi sebelum dibentuknya KPK cukup
membuat geram banyak kalangan yang menginginkan percepatan pemberantasan korupsi.

Upaya melaporkan balik dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik, penyebaran
informasi yang menyesatkan dan penghinaan terhadap pejabat negara menjadi senjata
ampuh untuk meredam upaya masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus korupsi.
Beruntung pihak Mabes Polri telah mengeluarkan surat edaran yang isinya memerintahan
kepada jajaran kepolisian untuk mendahulukan pengusutan laporan dugaan korupsi
daripada laporan pencemaran nama baik. Dalam masa transisi menanti lahirnya UU
Perlindungan Saksi/Pelapor, kebijakan semacam itu menjadi teramat penting untuk
memberikan jaminan dan ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dalam
memberantas korupsi.

Ketiga, hambatan sosial-ekonomi. Bagaimanapun pemberantasan korupsi tidak bisa


dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya. Dalam situasi dimana ikatan loyalitas yang
terorganisasi atas kesamaan suku, keyakinan, asal-usul dan golongan, tak sedikit upaya
pemberantasan korupsi mendapatkan tantangan. Baru-baru ini kita mendapat kabar
bahwa kantor Kejati NTB dirusak oleh massa yang datang dari berbagai penjuru pulau
Lombok. Beberapa keterangan menyebutkan peristiwa itu terjadi karena ada kekeliruan
informasi yang sengaja dihembuskan kepada masyarakat Lombok oleh pihak-pihak
tertentu yang ingin memetik keuntungan dari situasi tersebut. Masyarakat menjadi mudah
terpancing karena yang dieksploitasi adalah wilayah yang sangat sensitif yakni SARA.

Sama halnya dengan aksi massa yang menuntut pembebasan para terdakwa pelaku
korupsi memberikan gambaran kondisi ekonomi belahan masyarakat tertentu yang sangat
buruk. Hal itu membuat mereka mudah dimobilisasi asalkan ada bayaran.

Melihat berbagai persoalan diatas, semakin kuat keyakinan kita bahwa agenda
pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan, dan bahkan harus menjadi bagian integral
dari reformasi birokrasi, hukum-politik dan upaya perbaikan ekonomi guna peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tanpa melakukan hal itu, agenda pemberantasan korupsi
selalu menjadi lembaran sejarah yang mengecewakan.

B.3. Paket Penanganan Korupsi di Indonesi

Sebagai bangsa kita nyaris kehilangan akal sehat untuk menangani korupsi. Meskipun
demikian, kiranya masih akan selalu hadir berbagai inovasi mencari jalan keluar,
walaupun diantaranya masih berwatak wacana. Suara-suara semacam itu, termasuk
tulisan ini, setidaknya dapat menjadi bukti bahwa masyarakat bukanlah bisu, tetapi tetap
concern terhadap masalah korupsi.

Sebagai orang yang lama bergelut dalam dunia hukum, saya masih percaya terhadap
kemampuan hukum untuk menjadi pemandu peneangan korupsi. Walaupun dalam
panggung Indonesia idealisme itu barangkali dalam kasus-kasus tertentu akan tergores
karena adanya kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum itu sendiri. Harus diakui juga,
kadang bangsa ini memasuki episode di mana ada fakta bahwa dari awal membuat
rencana untuk menjadikan hukum sebagai alat untuk memberikan pembenaran korupsi.
Tampillah hukum sebagai alat kejahatan (law as tool of crime), yang memungkinkan
korupsi yang paling kakap sekalipun dapat vevas karena tindakannya tidak menyalahi
hukum.

Pandangan seperti itu benar dalam tataran semu, tetapi kondisi nyata memerlukan
penjelasan lebih dari itu. Dalam membaca hal ini saya teringat kata-kata Ovid (43 SM –
17 SM), seorang sastrawan Romawi, yang pernah dengan cerdas mengatakan bahwa
“adalah kewajiban seorang ahli hukum untuk tidak saja memeriksa masalah yang
dihadapi, tetapi juga keadaan sekitar masalah yang bersangkutan.” Karena saya
berpegang kepada kenyataan bahwa korupsi dilakukan oleh golongan yang sehat secara
batin, maka penanganan korupsi juga harus mencakup penanganan terhadap pelaku itu
sendiri dan tidak semata-mata pada penanganan korupsi an sich.

Paket komplit

Penanganan korupsi yang saya usulkan merupakan paket komplit walaupun bertumpu
kepada satu obesisi bahwa di atas itu semua hukum menjadi light house atau mercusuar.
Penanganan korupsi dengan instrumen legal saya kira harus mencakup substansi hukum,
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, dan budaya hukum.

Pidana mati tidak harus dihadapkan secara diametral dengan HAM, karena pembiaran
terhadap pelaku tersebut justru akan menciptakan kesewenang-wenangan baru yang
berpotensi melanggar HAM juga. Jadi, dalam konteks ini titik tekannya pada
pertimbangan aktual masyarakat dan kemasalahatan publik. Selain itu, pengenaan pidana
maksimal ditujukan untuk shock terapy sehingga jika dilakukan secara konsisten akan
menggetarkan dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku maupun calon-
calon pelaku korupsi. Pada sisi lain, pemidanaan maksimal akan mumutus sistem dan
mekanisme korupsi yang mendarah daging. Pemenjaraan yang lama misalnya, akan
memotong jalur-jalur korupsi yang terbangun bersama-sama para pelaku. Oleh karena itu
satu tarikan napas dengan semangat ini adalah mengamandemen UU Tipikor 1999, utama
ancaman pidana minimum dalam Pasal 2 dan Pasal 3, masing-masing diubah menjadi 10
tahun dan 5 tahun.

Hukum yang bagus harus dikawal dengan aparat yang tidak bermental maling. Kiranya
tidak berlebihan mengingat sifat paternalistik masyarakat yang masih kental, maka pucuk
pimpinan hamba hukum seperti Kapolri dan Jaksa Agung haruslah sosok yang bersih,
tegas, dan tidak berpotensi menjadi koruptor. Ketegasan pimpinan hukum perlu karena
dalam kasus korpsi tertentu terlihat adanya ekeengganan (atau tidak cukup nyali?) di
kalangan ini untuk menangani dan menindaklanjuti kasus-kasus megakorupsi yang
melibatkan struktur kekuasaan yang kuat dan berlapis. Karena komitmen memberantas
korupsi harus merupakan kontrak yang abadi maka figur presiden dan wakil presiden
juga harus berintegritas, termasuk latar belakang keluarganya.

Pada aspek sarana dan prasarana, maka penting untuk dipertimbangkan guna membangun
penjara khusus koruptor seperti halnya penjara khusus narkoba dan terorisme. Dengan
penjara khusus diharapkan akan melakukan pengawasan yang khusus juga sehingga tidak
ada lagi mekanisme “narapidana titipan” pada penjara untuk pidana umumnya.

Pada aras budaya hukum perlu dilakukan pengucilan, bukan saja kepada koruptor tetapi
juga misalnya kepada ahli-ahli hukum yang bersedia meringankan para koruptor. Bukan
hal yang rahasia lagi dalam konteks tertentu “pendapat ahli tergantung pendapatannya”
karena sudah diskenario oleh koruptor. Guna mendorong public responsibility kiranya
semangat pendidikan antikorupsi, termasuk dibangunnya budaya malu (shaming culture)
untuk korupsi—seperti sudah dilaksanakan kalangan tertentu—perlu didorong dan jika
perlu, melalui jalur pendidikan, terutama dengan diintegrasikan ke dalam kurikulum
pendidikan dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Pelembagaan ke dalam
pendidikan ini penting mengingat dalam konteks Indonesia tanggung jawab membongkar
struktur korup berlaku bagi kita bersama sebagai bangsa, termasuk juga di daerah kita
masing-masing. Korupsi bukan hanya masalah bangsa secara nasional, tetapi kini
menjadi masalah daerah secara lokal. Dengan demikian, pemberantasan korupsi menjadi
tanggung jawab bersama.

Pendidikan dirasa penting untuk menumbungkembangkan semangat antikorupsi


mengingat pola perilaku korupsi tidak akan bisa ditumbangkan dengan ancangan parsial.
Penumbangan pola perilaku korupsi meniscayakan ancangan holistik yang ditandai
perubahan seluruh wilayah kepribadian, baik wilayah kognitif (pengetahuan), afektif
(sikap dan kemauan), dan behaviroal (tindakan).

Dalam kesempatan yang sama, sangat diperlukan juga pengkondisian lingkungan sosial
yang bersifat menolak, menentang, serta menghukum korupsi di satu sisi, tetapi juga
menerima, mendukung, dan menghargai sikap antikorupsi. Peran masyarakat sipil,
utamanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menjadi penting sebagai salah satu
subyek pengkondisian itu. Kiranya perlu dipertimbangkan untuk melakukan akreditasi
terhadap LSM tersebut, supaya semangat pemberantasan korupsi berkesinambungan
sekaligus menjaga LSM yang bersangkutan agar tidak terjebak ke dalam pusaran korupsi
atau diantara tokoh-tokoh di dalamnya terjerat kasus korupsi.

Banyak Jalan

Dalam studi-studi akamedemik jalan yang ditempuh untuk membasmi virus korupsi tidak
sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Sudah pasti setiap negara mempunyai
jalur dan rutenya masing-masing. Tetapi perlunya membasmi korupsi pada dasarnya
menjadi tekad di banyak negara. DI RRC, korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang
memiliki bahaya tinggi kepada masyarakat (she hui weihaixing). Karena tingkat
keberbahayaan (dangerousness) itu bukan sekedar mengancam secara individual, maka
pelakunya memperoleh ganjaran pidana yang keras.

Pemberian sanksi alternatif yang lebih bermuatan nilai-nilai “malu” seperti di Jepang,
rasanya sulit diterapkan di republik ini, sebab justru “malu” itu yang akhir-akhir ini
lenyap.Bahkan di Amerika Serikat, dewasa ini makin tumbuh kejengkelan melembeknya
negara dalam menangani korupsi, terutama kepada pelaku kejahatan ekonomi (economic
criminal). Kita juga sering kagum bagaimana Finlandia, kampium industri
telekomunikasi dunia, mempunyai tingkat anti korupsi yang tinggi dan angka kriminalitas
nyaris nol. Tetapi kita sering hanya mencontoh pembentukan regulasinya, dan lalai
mempelajari bagaimana kultur antikorupsi itu telah begitu menjadi kebutuhan bagi setiap
warganegara di sana.

BAB III

PENUTUP

A. SARAN

Dari kajian dengan beberapa ulasan mengenai korupsi, baik aspek-aspek yang
mendukung timbulnya tindakan korupsi di suatu negara serta tantangan-tantangan. Hal
itu juga di perkuat dengan adanya teori-teori terkait yang berhubungan langsung dengan
tumbuh kembangnya perbuatan korupsi itu sendiri. Sebagaimana yang terurai di atas
bahwa peran negara yang lebih mendominasi pertumbuhan korupsi dalam sebuah negara.
Baik itu kita tinjau dari pandangan teori negara Kleptokratik maupun dari teori negari
Partimonialisme.

Bertumpu pada tinjauan inilah, saran yang dapat saya berikan yaitu perlunya kepekaan
negara terhadap perkembangan korupsi, dengan kata lain negara harus lebih lihai dalam
penanggulangan korupsi yang ada. Karena secara tidak di sengaja negara yang lemah
menjadi lumbungnya korupsi, apalagi didukung dengan sikap dan moral bangsa yang
sudah tidak ada. Dalam hal ini, negara perlu sekali mengambil jalan tegas dalam
penanganannya.

Dari tinjauan kriminologi sendiri bahwa tindakan korupsi merupakan akibat dari ekonomi
dan spikologis si pelaku. Sikap kurang puas dapat mendorong orang untuk melakukan
perbuatan korupsi. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa perbuatan korupsi
bisa terjadi karena adanya tuduhan politik terhadap seseorang.

B. SIMPULAN

Setelah membaca ulasan di atas simpulan yang dapat di tarik dari makalah ini adalah:

• Tindakan korupsi dapat terjadi karena adanya faktor dari negara, yang dalam
mana seseorang dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan korupsi karena
timbul dorongan dari dalam negara itu sendiri.
• Faktor spikologis dapat membuat sesorang terdorong untuk melakukan tindakan
korupsi, karena dipengaruhi oleh rasa kurang puas yang dalam kata lain tidak
pernah merasa cukup.
• Tantangan yang terjadi terhadap pemberantasan tindakan korupsi dapat saja
berasal dari diri, moral bangsa dan sikap negara yang seakan-akan melegalkan
korupsi itu.

Anda mungkin juga menyukai