Anda di halaman 1dari 11

1

Akar Kekerasan di Masyarakat

Elia Tambunan, M.Pd1

Ada “pesta” di TNI-Tentara secara Nasional untuk bangsa Indonesia.


Persoalan militer, lewat selebrasi 5 Oktober lalu. Ini semakin meriah
adanya sertijab Djoko Santoso ke Agung Suhartono (AS). Ada usulan
calon Kapolri suksesi dari Bambang Danuri Hendarso ke Timur Pradopo (TP). Betul
memang semuanya dari Timur. Entah mengapa keduanya dari Jawa di Timur AS dari Blitar,
TP dari Jombang. Ada apa? Akh...itu hanya profesionalisme saja dan sudah sesuai dengan
sistem rekrutmen plus hak perogratif orang dari Timur juga. Pesta ini diharapkan membawa
perubahan makna dan tontonan militerisme sebagai pola kekerasan masyarakat di pertiwi ini.
Sebenarnya tidak akan menjadi masalah bila hanya dilakukan dalam frame profesionalisme
militer, yaitu terbatas pada fungsi militer sebagai alat dan sekaligus agen yang paling ahli dan
taktis perihal stabilitas negara dan sekuritas bangsa. Untuk itulah mereka dibentuk,
difasilitasi, dan digaji.

Pertanyaan krusialnya bagaimana militerisme berpola di masyarakat? Apa dan siapa


kekuatan pendukungnya? Bagaimana militerisme dari sosiologi-kekerasan bisa dijelaskan?
Ini menjadi arah pembicaraan disini. Bingkai analisis disini meminjam teori Erich Fromm
(1973), tentang anatomi perusakan kemanusiaan (“The Anatomy of Human Destructive,
Fromm)”. Erich Pinchas Fromm (lahir di Kota Frankfurt,Jerman 23 Maret 1900-1980). Sang
psikoanalist mengembangkan berbagai gagasan menarik tentang manusia dan masyarakat
dengan memadukan psikoanalisis dan tradisi humanistis dalam filsafat, ilmu sosial dan
agama. Latar teoritik ini memahami akar kekerasan dalam pola militerisme di masyarakat
adalah atas masalah agresi dan masalah kedestruktifan dan kekejaman bawaan dari dalam
watak manusia. Fromm memahami agresi untuk agresi reaktif-defensif yang digolongkan
sebagai agresi lunak, kedestruktifan dan kekejaman sebagai kecenderungan khas manusia
untuk merusak dan memperoleh kekuasaan mutlak (agresi jahat). Manusia, karena insyaf
akan keterpisahannya, harus menemukan ikatan-ikatan baru dengan sesamanya, justru
kesehatan perilakunya sendiri bergantung pada ikatan-ikatan baru tersebut. Tanpa ikatan
efektif yang kuat pada dunia, ia akan menderita isolasi dan kehilangan yang hebat sekali.

Dengan demikian persoalan pola pesta militerisme sebagai salah satu akar-akar kekerasan di
masyarakat non-militer karena menerapkan gaya dan pola pesta itu penting diamati.
Berdasarkan Fromm ini akan tampak jelas. Bagaimana akar-akar itu mencengkeram
stabilitas negara dan sekuritas bangsa. Masalah keakaran ini saya gali lewat bawaan
“natural mammal instinct”, demikian termonologi fromm. Ini umum dikenal dengan watak
1
Bekerja sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Theologia Salatiga (STTS). Dalam proses Proposal Disertasi
Mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri “Sunan Kalijaga” Yogyakarta. Tinggal di Perum. Permata Land, No. 1.
Pojok Tiyasan, Rt 02 – Rw 01, Condongcatur-Yogyakarta. e-mail: emboenzogza@yahoo.com. Hp:
081338956657. No Rekening: Elia Tambunan, 137-00-0466814-7. KC Yogyakarta Adisucipto. (jika
diperlukan).

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


2

agresi dan reaktif-defensif yang digolongkan sebagai tindakan destruktif. Ini yang
menimbulkan manifestasi kekejaman dan sebagai kecenderungan khas manusia untuk
merusak dan memperoleh kekuasaan lewat pola militerisme.

Tampaknya, dalam realitas secara subtantif militerisme berwajah ganda di negeri ini. Raut
pertama militerisme sebagai pola yang diadopsi oleh hampir semua ormas resmi maupun
ilegal di bangsa ini. Artinya ini sebuah pengakuan atau penghargaan pola ini sangat tangguh
(meski sebenarnya tampak loyo ketika hanya bersinggungan dengan negara Melayu tetangga
sebelah). Beragam bentuk dan manifestasi militerisme yang mudah ditonton di negara yang
katanya pencinta damai ini. Itu betul, betul, betul secara normativ. Secara sederhana
berwujud pada pengaruh organisasi, nilai, dan ide-ide militer kedalam struktur sosial, sebagai
akibat militerisasi. Meskipun, relasi militerisasi dan militerisme sebenarnya sangat kompleks.
Baik militerisasi dan militerisme mempunyai berbagai bentuk dan memiliki ragam tipologi
tersendiri.

Dilain sisi, adopsi dan implementasi pola militerisme-yang saya terjemahkan pola kekerasan
dalam segala bentuk fisik, dan psikis- telah merasuki segala aspek kehidupan bangsa
Indonesia, termasuk wilayah agama. Meskipun, hampir kita semua berupaya membela
sebagai tanda cinta terhadap esensi dan nilai agama itu dalam takaran tertentu. Dalam konteks
seperti itu, kita hampir mengamini agama disini hanya alat yang dimainkan, agama hanya
organisasi yang dieksploitasi. Itu ada benarnya. Tetapi, itu tetap terkait dan dikait-kaitkan
dengan agama.

Dengan pemikiran seperti itu adalah tepat pernyataan Nortdholt (Belanda, 2002: 53), bahwa
bangsa Indonesia memiliki tradisi dan melestarikan kultur kekerasan dalam mencapai
keinginannya. Bukankah hal ini benar jika melihat tragedi yang menimpa Ahmadiyah yang
dikejar-kejar layaknya “celeng hutan haram dan najis” sebagai buruan? Bukankah benar data
ini jika melihat fakta penusukan dan “pencinangan” warga gereja HKBP di Bekasi, layaknya
sapi sembelihan? Dengan demikian, tindakan masyarakat berdasarkan agama dan kesadaran
kolektif sebagai kelompok tertentu menyatu dengan nilai agama yang diyakininya. Ini bukti
semakin sahih yang menunjukkan terlalu tampak diperjelas spektrum politik dalam agama
dan sebaliknya (Arjoman, New York, 1993: 1).Oleh karena itu, hampir seluruhnya ormas dan
okmas-yang pertama adalah organisasi masyarakat dan selanjutnya adalah oknum organisasi
masyarakat dalam ormas, telah meneladi dengan tepat segala pola dan ideologi militerisme.

Ini bahkan telah menahun, telah berurat berakar tunggal campur serabut dalam strukturasi
kekuasaan dan kultur politik masyarakat Indonesia. Militerisme dan kekerasan sangat
dominan dalam berbagai bentuk yang kontraproduktif dengan netralisasi kehidupan
masyarakat sipil. Militerisme mendominasi kehidupan sosial-politik dan agama. Civil
menentang konsep dwifungsi Militer. Tetapi, realitasnya, civil melaksanakan pattron
militerisme yang lazimnya tampak pada penggunaan media-media kekerasan secara brutal,
serta praktek-praktek premanisme militer di dunia bisnis dan kejahatan, (Yogyakarta, Eko,

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


3

2000: xvii). Disisi lingkup lain, dalam kehidupan sosial masyarakat sipil sangat dipengaruhi
dan didominasi tradisi militeristik. Pola itu tumbuh subur maupun dalam organisasi-
organisasi masyarakat sipil, dan semuanya berperilaku militeristik dan semakin tampak
menyeramankan dengan seragam militer yang dikenakannya lengkap dengan attribut yang
pasti memiliki makna untuk menakut-nakuti.

Persoalan tindak kekerasan, yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat, baik secara
individual maupun kelompok, sering terjadi dimana-mana. Ini menggelisahkan secara
akademik. Konflik horizontal di Tarakan masih terus berkobar dan tentu sosial dan psikologis
effek yang ditinggalkannya. Ini saya prediksi akan terjadi lagi, namun entah diaman lagi, kita
tinggal menunggu. Pola gerakan sosial ini mudah terbaca, namun sukar mengurainya.
Misalnya main hakim sendiri, seperti menghukum pencuri dengan cara dibakar hidup-hidup,
pengeroyokan massa secara spontan maupun secara terorganisir, perkelahian massal,
pembakaran fasilitas privat dan publik oleh kelompok yang marah, dsb mewarnai kehidupan
masyarakat kita saat ini. Terkesan bahwa cara-cara resolusi konflik melalui pola militerisme
sebagai tindak kekerasan menjadi mode of politic yang telah melembaga dalam masyarakat
kita. Seakan tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persengketaan sipil kecuali dengan
melakukan tindak kekerasan.

Fenomena kekerasan ini merupakan realitas faktual yang seharusnya absen di dalam negara
yang mengtakui demokrasi bahkan atas azas Ketuhanan lagi. Pola ini menjauhkan kita dari
civiling process. Tampaknya penangannya sengaja diperlambat, jauh lebih lambat dari jalur
kepangkatan dan jabatan militer Timur Pradopo yang hampir bulat sebagai sukses Bambang
Hendarsa Danuri. Tentu politicing process tidak alpa di dalamnya. Jika sudah begini, ada
benarnya Heather Sutherland, (Belanda, 1994: 53) “untuk menghindari isu-isu politik sentive,
kelompok-kelompok agama di Indonesia bersembunyi dengan berkonsentrasi pada sejarah
lokal, dan dengan mengeksplorasi topik lainnya. Bidang ekonomi dan pertumbuhan dianggap
jualan yang layak untuk mengcover segalanya dalam situasi kayak begini.

Jika menilik soal pola militerisasi dan kekerasan akan tampak jelas. Menilik realitas sejarah
yang faktual sejak awal negara ini didirikan dan hingga detik ini, entah siapapun pemimpin
dan presidennya, simpulnya mudah ditarik. Kehidupan masyarakat kita adalah kehidupan
model militeristik seperti: baris-berbaris, upacara bendera, parmuka, siskamling,
Pamswakarsa, Hansip, Kamra, Menwa, Binkamtibnas, Satgas, Gerakan Disiplin Nasional,
Polmas, Ospek, dan organisasi-organisasi korporatis keagamaan lainnya semacam, Banser
NU, GP Ansor NU, gerakan kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah, Tapak Suci
Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, FPI, JIl, JII, NII, Mujahidin, Laskar Jihad, dsbnya yang
masih mungkin dipanjangkan.

Jika mau jujur mengakui-karena itulah sesungguhnya watak natural orang Indonesia-tidak
hanya mereka, bahkan pejuang Kristen atau dikelompok Kristen disebut Laskar Kristus dan
dengan sebutan lain dan dengan berbagai nama juga banyak bergentayangan dimana-mana.

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


4

Meski tampaknya tidak seprovokatif di ormas keislaman lainnya. Soal ini siapa yang tahu, ini
logis ketika Kristen hanya menjadi kelompok minoral kedua di negara ini. Hampir dapat
dipastikan, mereka akan menjadi lain soal ketika Kristen menjadi kelompok nominal. Ada
pecalang di bali yang tampaknya otoritasnya melebihi polisi dan militer di jajaran Pangdam
Wirabuana dan Kapolda Bali. Mengapa bisa demikian? Itulah pesta kekuasaan dan pesta
pengaruh militerisme sipil. Contoh yang disebutkan disini adalah organisasi yang memiliki
kepemimpinan. Tetapi, sering berfungsi ganda-bertopeng dua. Mereka harusnya sebagai
simbol moral dan simbol mobilisasi warga negara, memang tidak secara kasat mata, tetapi
secara khusut mata tetap ada jaringan keterlibatan dalam kekerasan politik sivilisme.

Ironis memang, harusnya dengan kesimbolan yang sangat penuh makna ini, itu bisa
dimobilisasi secara sosial massiv untuk penegakan demokrasi dan untuk merumuskan
Indonesia untuk menjadi lebih baik. Saya tetap meyakini, masih ada harapan dan ada titik-
titik yang sedang diupayakan mereka. Realitasnya, oleh beragam kepentingan politik personal
dan kelompok pula, ternyata itu tidak hanya ditafsirkan sebagai perubahan dari otoriter ke
demokratis. Tapi, itu juga berarti pergeseran dari suatu negara yang kuat menuju masyarakat
yang kuat dengan politisasi dan eksploitasi agama. Hal ini memperjelas bahwa otoritasi
pemerintah pusat melemah secara normatif, dan dilain bidang secara otomatis memperkuat
lokalitas. Inilah pola yang nampaknya menghasilkan otoritarianisme lokal, bahkan semakin
dipertegas dengan hegemonik otda (baca: otoriterianisme kedaerahan).

Pola ideoligi militer atau terkenal dengan militerisme merupakan acuan kehidupan politik
yang berupaya mengutamakan sistem komando, sentralistik, hirarkis, seragam dan disiplin.
Birokrasi sipil mengalami militerisasi dan menjelma menjadi aparatus sentralistik, seragam
dan dibawah komando tunggal pemimpin ormasnya, demikian penjelasan Nugroho
(Yogyakarta, 2000: ix). Ini dilakukan atas anama “tugas suci” mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa, meskipun tampaknya menggangu kenyamanan pihak lain. Berbagai macam
indoktrinasi dengan menggunakan pelatihan militerisme dan beragam bentuk militerisme
yang disusupkan dalam ideologi politik sipil agar terwujud unifikasi kesadaran.

Kondisi semacam itu telah menahun, hasilnya perilaku sosial di segala aspek (termasuk
organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan), juga terbawa kearah budaya militerisme.
Aspek hidup sosial yang mewacanakan perbedaan tampaknya diselesaikan dengan aparatus
birokrasi yang menunculkan kultur kekerasan. Aksi kekerasan merebak dan menjadi perilaku
sosial-politik-agama sehari-hari masyarakat. Militerisme masyarakat sipil yang disertai
dengan militerisasi birokrasi sipil telah melahirkan kultur politik militeristik yang permisif
terhadap perilaku kekerasan. Analisis akar-akar konflik sosial di Indonesia dengan alur
berpikir sosio-kekerasan dalam essay ini, semakin memperjelas konsep besar yang diadopsi
dari pola militerisme di masyarakat.

Bagaimana mengurai persoalan ini secara skematis? Masalah militerisasi dan kekerasan
dalam konteks Indonesia dan masyarakat sipil dapat tergambar dalam tiga hal, yakni
pertama, kuatnya hegemoni dan praktik militeristik dalam masyarakat sipil melalui
militerisme yang dicopi dari ideologi dwifugsi ABRI. Kedua, kuatnya perbanditan dalam

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


5

masyarakat sipil ini dilihat secara struktur dan kultur premanisme, jagoannisasi dan
jawaranisasi dan tribalisme yang sering tetap dibutuhkan oknum dan kelompok tertentu untuk
motiv tertentu pula. Kedua hal ini akan menghasilkan fenomena ketiga lainnya. Terakhir,
Merebak dan melembaganya budaya militeristik dalam masyarakat sipil (kekerasan,
otoritarianisme, antipluralisme, hirarkhis sentralistik dsb. Untuk itu, agar semakin tampak
jelas apabila dianalisis lagi dengan menggunakan psikoanalisisnya Erich Fromm berikut ini.
Menurutnya bahwa akar kekerasan manusia dalam masyarakat dipengaruhi, oleh karena
manusia memiliki enam (6) hal.

1. Watak otoriter sebagai sebuah mekanisme bela diri. Pola tindakannya akan memiliki
dorongan naluriah untuk bertindak atau disebut dengan terminologi sadomasokitis atau
neurosis, namun Fromm menyebutnya dengan watak otoriter. Sadomasokitis atau watak
otoriter ini memainkan peran dominan dalam diri manusia. Orang seperti ini selalu dicirikan
oleh sikapnya terhadap otoritas. Aksi yang dilakukan adalah pertama, seseorang akan
berperan bergantung pada situasi sosialnya; bergantung pula pada pola perasaan dan tingkah
laku apa yang terdapat dalam pola hubungan dalam situasi dan kebudayaannya saat itu.
Kedua, ia mengagumi dan cenderung tunduk pada otoritas, namun, pada saat yang sama ia
ingin menjadikan dirinya sebagai otoritas dan mengharuskan orang lain untuk tunduk
kepadanya. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah Menerapkan nilai-nilai seperti
disiplin dan kepatuhan, ideologi seperti patriotisme dan model organisasi yang menekankan
hirarkis dalam metode, subtansi dan organisasi untuk menunjukkan dan menguatkan
otoritasnya.

2. Kesatuan simbiotis. Pola tindakannya akan memiliki kesatuan simbiotis hidup bersama
yang saling membutuhkan antar individu dengan kelompok. Ia menjadi masokis dan sadistis.
Tindakannya hanya dapat berhubungan dengan yang lain secara simbiotis, yaitu dengan
menjadi bagian dari mereka atau membuat mereka menjadi bagian dari dirinya. Dalam
hubungan yang bersifat simbiotis ini ia berjuang, entah untuk mengontrol orang lain,
(sadisme), atau untuk dikontrol orang lain (masokisme). Dalam bentuknya yang ekstrim ia
mengarah kepada beberapa bentuk kegilaan. Satu bentuk terakhir dan berbahaya dalam
menyelesaikan problem (biasanya bercampur dengan narsisme ekstrim) adalah hasrat untuk
untuk menghancurkan semua orang lain. Aksi yang dilakukan akan tampak dalam tiga hal
yakni, pertama kepatuhan dan menyerahkan dirinya menjadi bagian dari orang lain yang
membimbingnya atau melindunginya. Seakan-akan orang lain itu menjadi syarat mutlak bagi
seluruh hidupnya. Kekuatan pribadi orang lain itu dibesar-besarkan, di patuhi, dialah
segalanya. Kedua, orang masokitis enggan mengambil keputusan apapun atau menanggung
resiko apapun. Ia tidak pernah sendirian, namun ia tidak bebas dan mandiri. Ia tidak memiliki
intergritas. Dalam segala hal orang masokis tersebut kehilangan integritasnya dan membuat
dirinya manjadi alat dari seseorang atau sesuatu di luar dirinya sendiri. Ketiga, orang saditis
menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya. Ia mengangkat dan membesarkan dirinya
dengan mencaplok orang lain yang mengaguminya dan menjadikannya sebagai bagian dari
dirinya. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan melakukan kekerasan
dengan sikap memerintah, mengeksplotasi, menyakiti dan menghinakan, suka diperintah,
dieksploitasi, disakiti dan dihina, demi kejayaan kelompoknya.

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


6

3. Narsisisme individual dan narsisisme sosial. Ini dilakukan untuk memecahkan masalah
tersebut dengan membangun hubungan semata-mata dengan dirinya sendiri (narsisme) dan
dengan kelompoknya. Pelaku seperti ini menganggap bahwa kalau tidak ada satu orang
lainpun di luar dirinya, ia tidak perlu takut terhadap orang lain, juga tidak perlu bergabung
dengan mereka. Dengan menghancurkan dunia, maka ia luput dari bahaya penghancuran
dirinya oleh dunia dan orang lain Pola tindakannya berorientasi tersembunyi dibalik sikap
rendah hati. Objek narsisisme individual adalah kehormatan dan nama baik personal. Dengan
demikian, disi lain, narsisisme ini diperlukan, disi sebaliknya ia akan merusak jika ia begitu
solipsistis dan sekaligus sangat xenofobis. Aksi yang dilakukan adalah dengan melakukan
empat (4) hal yakni, pertama, menciptakan gambaran dirinya sebagai objek keterikatan
dengan setiap hal yang menyangkut pribadinya. Kedua, bersifat narsisisme berbahaya bersifat
totalistis, dan akibatnya, ia begitu solipsistis (terpusat pada diri sendiri) dan sekaligus sangat
xenofobis ( takut pada keunggulan orang lain). Ketiga, mengindoktrinasi energi
narsisismenya pada kelompoknya. Menganggap kelompok mereka benar, malah meyakini
bahwa kelompok mereka lebih unggul jika dibandingkan dengan kelompok lain. Dan,
keempat, berperasaan eforia dengan berada diatas segala-galanya dan berubah menjadi
narsisisme sosial dengan menganggap bahwa kelompok, suku, bangsa, agama , ras dsbnya
menjadi objek nafsu narsisisme. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan
mengindoktrinasi sumpah kelompok dan tata tertib serta menerapkan sangsi dan hukuman.
Ini digunakan untuk keunggulan dan kelanjutan hidup kelompok dari pada kerjasama sosial.

4. Anatomi sikap destruktif manusia. Pola tindakannya sebagai agresi tampak jelas sebagai
sifat aktif sebagai perusak dan kekejaman dalam dirinya yang disebabkan oleh karena ia
memiliki agresivitas di dalam dirinya dan ia juga memiliki sifat agresi reaktif. Aksi yang
dilakukan adalah dengan melakukan dua (2) hal, yakni, pertama, ia tidak terprogram secara
filogenetis, dan hanya dimiliki manusia. Secara biologis ia berbahaya karena mengancam
hidup sosial. Agresi ini berbahaya bukanlah suatu insting, tetapi merupakan suatu daya
manusiawi yang justru berakar dalam kondisi-kondisi eksistensi manusia itu sendiri. Kedua,
agresi yang berbahaya ini merupakan suatu kemampuan manusia dan bukan hanya sebagai
suatu pola tingkah laku yang dipelajari, yang gampang dihilangkan bila ada pola baru yang
menggantikannya. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan melakukan
sugesti massal karena sugesti bertumpu pada ketidak berdayaan individu dan wibawa
pemimpin sehingga menimbulkan pemikiran yang tidak kritis tetapi pikiran kepatuhan atau
pikiran ketundukan, dan dengan melakukan indoktrinasi sebagai landasan penanaman
digunakannya jenis kekuatan psikis.

5. Agresi manusia bersifat aktif. Pola tindakannya bersifat agresivitas yang dilakukan aktif
oleh manusia dan agresi reaktif karena membela diri yang juga dapat merusak. Aksi yang
dilakukan adalah dengan tiga (3) hal. Pertama, agresi yang tidak berbahaya antara lain: 1)
agresi semu (pseudo agression) yang berkarakter sebagai agresi kebetulan (accidental
aggression, agresi mainan (playful aggression), agresi penegasan diri (self assertive
aggression). 2) agresi bela diri (devensive aggression) yang pada hakikatnya agresi ini
dirancang untuk sedapat mungkin menghilangkan bahaya. Kedua, agresi yang sangat
berbahaya (malignant aggression). Dalam diri manusia ia dapat didorong oleh impuls untuk
membunuh atau menganiaya, dan bahwa ada perasaan nikmat bila ia melakukannya. Ketiga,
kekejaman dan perusakan (cruelty and destructivness) ada dalam diri manusia. Ia membagi
sikap destruktif itu dalam beberapa hal yakni; 1) sikap destruktif yang nyata (apparent

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


7

destructiveness), 2) bentuk-bentuk sikap destruktif yang spontan (spontaneous forms). Ini


yang terdiri dari sikap destruktif sebagai balas dendam (vengeful destructiveness), dan sikap
destruktif yang ekstatis (ecstatic destructivness), dan 3) sadisme sebagai watak destruktif (the
destructive character: sadism) perilaku ini muncul akibat manusia menderita isolasi dan
kehilangan yang hebat sekali. Dengan ini ia berjuang, entah untuk mengontrol orang lain.
Dalam bentuknya yang ekstrim ia mengarah kepada beberapa bentuk kegilaan. Satu bentuk
terakhir dan berbahaya dalam menyelesaikan problem adalah hasrat untuk untuk
menghancurkan semua orang lain. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah dengan
menyerang orang lain dan kelompok lain, karena menganggap mengganggu nilai
kelompoknya.

6. Agresi manusia bersifat reaktif. Pola tindakannya sebagai agresi manusia bersifat
reaktif. Aksi yang dilakukan adalah dengan tiga (3) hal. Pertama, manusia memiliki sifat
agresi yang bersifat reaktif sebagai reaksi terhadap ancaman atas kepentingan vitalnya.
Penjelasan ini dengan empat hal. 1. Dengan kemampuan otaknya manusia mampu melihat
jauh kedepan sehingga ia mampu melihat segala bahaya yang belum tampak sekarang ini,
namun yang mungkin dapat muncul di masa mendatang. Oleh karena itu, manusia mampu
merasakan terancam bukan hanya pada bahaya yang nyata sekarang tetapi juga yang akan
terjadi kemudian. 2. Manusia menciptakan simbol-simbol dan nilai-nilai yang menjadi
identik dengan diri dan seluruh eksistensinya. Serangan-serangan pada simbol-simbol dan
nilai-nilai itu merupakan serangan pada kepentingan vital manusia. 3. Manusia menciptakan
idola-idola pujaannya sendiri sehingga ia menjadi pemuja dan penjaga kesucian dan
kemurniannya. Ada kesan bahwa manusia sukar lepas atau sukar hidup karena terikat nilai
darinya. Ketergantungan pada idola dan pada tahap perkembangannya merupakan suatu
syarat bagi keseimbangan psikisnya. Setiap serangan pada idola-idola itu dirasakan sebagai
serangan terhadap kepentingan-kepentingan vitalnya. 4. Manusia memiliki kemampuan
untuk diyakinkan karena sifat sugestibilitasnya. Seseorang mudah diyakinkan bahwa
kepentingan-kepentingan vitalnya terancam bahkan pada saat mereka sebenarnya sama sekali
tidak terancam. Kedua, sifat agresi manusia yang destruktif yang kejam dan sadistis. Sifat ini
dimiliki manusia dengan tujuan untuk mengalami kekuasaan total atau kontrol mutlak atas
orang-orang dan benda materi, bahkan sampai titik penghancuran dan penganiayaan.
Pengalaman ini diakibatkan oleh perasaan ketidakberdayaan oleh seseorang. Ketiga, sifat
agresi manusia yang destruktif yaitu nekrofil atau necrophiliac artinya rasa tertarik pada
segala hal yang mati, yang hancur, yang sakit, yang tidak hidup dan tidak bertumbuh dan
hanya bersifat mekanistis. Militerisme dan kekerasan yang dilakukan adalah
mengindokrtinasikan atau melakukan cuci otak (brainwashed). Akar-akar persoalan
psikoanalisis manusia tersebut dijabarkan dan dipakai untuk menganilisis fenomena yang
tampak dari perilaku militeristis dan kekerasan serta kerusakan yang ditimbulkannya dalam
masyarakat.

Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat terlihat apa sebenarnya akar
militerisme dan akar kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Setidaknya ini
dapat terbingkai berdasarkan pendekatan psikologis dan penampak fenomena yang
ditimbulkannya. Setidaknya berdasarkan enam (6) hal tersebut, tampak apa sesungguhnya
akar persoalan dibaliknya. Inilah yang mengakibatkan kerusakan dan kegetiran sosial yang
diimbulkannya. Jika dicari alasan dari oknum dan ormas yang bertindak secara militerisme
sosial dengan tendensi kekerasan, alasan utamanya melulu soal moralitas agama dan dan
moralitas masyarakat. Ada asumsi masyarakat di luar dirinya dianggap tidak mempunyai

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


8

moralitas. Ini bisa saja dibenarkan jika ukurannya hanya asumsinya sendiri yang dibangun
atas interpretasi teologis sepihak.

Ini kesalahan historis dan kekeliruan interpretatis jika dilihat dari kontekstual masyarakatnya.
Durkheim (Francis, 1961: 4-5) menetapkan, memang tidak ada masyarakat tanpa moralitas.
Karakteristik moralitas mereka pada dasarnya bersifat religius. Akan tetapi moralitas seperti
ini hanya berlaku pada masyarakat primitif dan terbelakang. Seperti ini bukan karakteristik
peradaban agama dan masyarakat kontemporer. Karakteristik moralitas masyarakata dan
religius seperti ini tegas terbesar dan terpenting dari manusia bukan terletak pada kewajiban
menghargai dan menghormati orang lain di luar dirinya, melainkan rasa patuh dan taat dan
rasa hormat terhadap Tuhannya. Kewajiban utama bukanlah rasa hormat terhadap tetangga,
menolong dan membantunya, melainkan menjalankan ritus keagamaan secara cermat dan
seksama, memberikan kepada Tuhan apa yang dianggap menjadi hak-Nya, bahkan bila perlu
mengorbankan dirinya bagi kebesaran nama Tuhan.

Moralitas kemanusiaan dalam lingkup seperti ini terbatas hanya pada secuil prinsip, hukuman
terhadap pelanggaranpun lebih ringan, bahkan dengan kekuatan dan keinginan politik hal itu
tidak ada. Pembunuhan dianggap kejahatan yang lebih ringan dan dimahfumkan lebih ringan
ketimbang kejahatan karena dianggap tidak taat kepada Tuhan. Dosa moral hanya dianggap
jika melawan perintah Tuhan lewat teks-teks kitab suci. Dosa moralitas dianggap lepas dari
pelanggran hak-hidup dan hak beragama manusia. Pemberontakan, penolakan dan
pelanggaran terhadap moralitas hanya dianggap pemberontakan, penolakan dan pelanggaran
terhadap Tuhan.

Disinilah posisi penting dari peran pendidikan yang dimaknai sebagai proses edukasi
religiusitas. Tujuan utamanya untuk mengedukasi manusia bagaimana ia harus bersikap
terhadap mahluk sosial yang juga mahluk religius, meski berebeda cara mengkspresikannya.
Harusnya jangan dilupakan, disiplin moral bukan diciptakan dan membela kepentingan
Tuhan. Tuhan tidak perlu dibela. Tetapi, untuk kepentingan umat manusia kontemporer di
Indonesia yang ditemukan sejak awal telah multikulturalis. Sesuai dengan Budi Hardiman
(Jakarta, 2003: ix), masyarakat kontemporer semakin disadari sebagai sebuah masyarakat
multikultural, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan
dan orientasi nilai. Atau dalam istilah Geerzt (2001: 397-398),masyarakat multiagama,
multiras yang kompleks di sebuah tempat, dimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda
bercampur dan hidup bersama dalam satu kesatuan budaya.

Semua negara saat ini berbudaya dan beragama beragam dan berbeda. Keanekaragaman dan
perbedaan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan krusial dan sangat rentan terpecah-pecah,
demikian pernyataan Kymlicka, (2003: 1-3). Kelompok minoral dan nominal semakin banyak
berselisih mengenai berbagai hal, seperti bahasa, otonomi daerah, keterwakilan dan hak-hak
politik, kurikulum pendidikan sekuler dan agamis, tuntutan lahan hidup dan lahan bekerja,
mobilisasi sosial, kebijakan naturalisasi, lambang-lambang atau simbol-simbol yang berbeda

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


9

makna. Memuaskan dan mengadilkan semua kedua pihak secara politik, sosial dan agama
merupakan tantangan paling berat dalam praktek negara demokrasi, namun ini harus
dipenuhi. Setiap perselisihan, mempunyai nilai dan sejarah dan pembuatnya tersendiri. Ini
perlu diperiksa dan dicarikan solusi yang adil dan berterima secara universal. Kelompok
minoral seing terpaksa untuk berasimilasi, dipaksa untuk menerima paham, agama, dogma,
dan kultur kelompok nominal. Pada kasus lainnya, minoral diperbuat sebagai musuh tetap,
yang harus dikenai segregasi fisik, dan diskriminasi ekonomi, dan dilupakan hak-hak politik,
sosial, dan agamanya.

Apakah tindakan sosial secara strategis sebagai solusinya? Sebagai pilihan yang tepat lebih
dari sekedar alternatif untuk mewujudkan tindakan masyarakat secara demokratis. Ini perlu
dilaksanakan untuk pembentukan masyarakat beragama dan berdemokrasi dapat diupayakan
dengan mengikis ideologi atau sistem nilai militeristik. Caranya dengan proses edukasi
politik multikulturalisme, edukasi religiusitas (formal, nonformal dan informal), dialogis-
praksis akademis dan dialogis-praksis sosial melebihi melewatu sekedar makna dialog
teologis, revitalisasi institusi lokal, resolusi konflik melalui kekuatan sosial yang ada,
peningkatan toleransi, institusionalisasi negosiasi dsb. Menurut Nugroho, (Yogyakarta, Ibid,
2000: 13), suksesnya demiliterisme segala aspek kehidupan akan menjadi fondasi
terwujudnya demokrasi.

Ini akan membudayakan masyarakat yang civilized-beradab danbermartabat yaitu masyaraat


sipil yang intoleransi terhadap berbagai bentuk kekerasan, namun melembagakan dialog
teologis, dialog akademis, dan dialog sosiologi-praktis dalam berbagai konflik sosial
sehingga dapat hidup bersama secara teologis dan sosiologis. Semua keimanan (Kristen,
Islam, Yahudi, Budha, dan Hindu) memberi arti kepada dan mengubah hidup juataan orang
sepanjang sejarah. Sayangnya, Esposito (2005: ix), menjelaskan semua juga mempunyai sisi
gelapnya; agama yang mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan perdamaian telah dipakai
atau disalahgunakan oleh ekstrimist dan militant. Semua tertantang dalam dunia modern dan
post-modern untuk merengkuh suatu pluralisme dan multikulturalisme yang bisa menerima
keberadaan (bukan mengakui) orang lain dan hidup bersama orang lain (bukan hidup
berdampingan) yang menyeimbangkan pengesahan tentang kebenaran iman mereka dengan
penghormatan pada kebenaran yang ditemukan pada orang lain, karena agama harus menjadi
kebenaran, bukannya kebenaran itu sendiri.

Ini yang kita tuju. Sebenarnya agama dalam hal ini seharusnya mampu meninggalkan pola
militerisasi dalam kehidupan sosialnya. Dan militerisme sebaiknya dipakai untuk
meningkatkan profesionalisme kemiliteran saja, bukan untuk diaplikasikan dan ditingkatkan
intensitasnya dalam praktik dominasi sipilnya. Sesuai dengan essay ini setidaknya, ada
beberapa syarat-syarat berkurangnya (bukan menghilangkan atau meniadakan, karena
keduanya tampaknya dalam perkembangan sejarah kemanusiaan “mustahil” untuk dilakukan)
memiliterisasi, militerisme dan kekerasan dalam masyarakat.

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


10

Pertama, baik individu maupun kelompok lainnya tidak terancam oleh yang lain. Untuk
mencapai kondisi ini, diperlukan basis materi yang mampu memberikan kehidupan sejahtera
bagi manusia dan menjadikan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lain tidak
memungkinkan sekaligus tidak menarik. Diperkirakan dengan menggunakan sistem produksi,
kepemilikan, dan konsumsi yang berbeda dari sekarang. Namun, pernyataan bahwa kondisi
ini dapat dicapai tentu saja bukan berarti bahwa ini sungguh akan dicapai atau mudah untuk
diwujudkan. Kenyataannya, ini tugas yang sangat demikian sulit, sehingga saking sulitnya,
memilih untuk tidak mengerjakannya. Ibaratnya orang berharap dapat menanggulangi
bencana alam dan korban-korbannya hanya dengan menyanyikan pujian religius.

Kedua, membentuk sistem yang menjamin tersedianya semua kebutuhan pokok dan
pengakuan perbedaan hak-hak agama, politik dan hak sosial lainnya bagi semua warga sama
halnya dengan meniadakan kelas sosial yang dominan. Manusia harus keluar dari kondisi
“keterkekangan,” yang dengan demikian kembali akan memperoleh kebebasan penuh, dan
semua bentuk penguasaan eksploitatif akan hilang. Bahwa manusia tidak mampu melepaskan
ketergantungan kepada penguasa adalah mitos yang terbantahkan oleh adanya sistem
masyarakat yang bisa berjalan dengan baik tanpa hirarki kekuasaan. Untuk bisa seperti itu,
tentu diperlukan perubahan politik dan sosial secara radikal yang akan mengubah semua
bentuk pergaulan manusia, termasuk struktur keluarga, struktur pendidikan, struktur agama,
dan hubungan antar individu, baik saat bekerja maupun lama waktu senggang, akhirnya pada
perubahan pada sistem.

Ketiga, mengurangi narsisisme kelompok. Perlu adanya upaya penghapusan kesengsaraan,


kehampaan suasana, kejenuhan dan ketidak berdayaan didapati dalam sebahagian besar
masyarakat. Ini tidak dapat diwujudkan hanya dengan memperbaiki kondisi material.
Diperlukan pula transformasi sosial secara radikal terhadap dukungan dari oknum dan
jaringan tersembunyi dari kelompok tertentu atas kelebihan kekuasaan dalam organisasi-
organisasi sosial masyaakat tertentu. Transformasi sosial untuk dapat merubah orientasi
pengawasan-kekayaan-kekuasaan menjadi orientasi kehidupan; dari kaya raya dan penimbun
menjadi berpunya dan berbagi. Bentuk-bentuk pelaksanaan sebenarnya dari desentralisasi.
Tak satupun dari syarat-syarat itu yang dapat dipisahkan satu sama lain. Kesemuanya
merupakan bagian dari satu sistem. Dengan demikan, agresi reaktif hanya dapat dikurangi
hingga tingkat minimum jika seluruh sistem yang ada sejak zaman primitif hingga zaman
kontemporer ini dapat diganti secara fundamental berbeda. Jika ini terjadi, maka nasihat dan
tindakan normatif berdasarkan pandangan-pandangan utopis dari ajaran Budha, Hindu,
Khatolik, Islam dan Muhammad SAW dan para nabiNya, Yesus Kristus, kaum humanis sejak
zaman renaisance akan dianggap sebagai solusi realistis bagi pengagungan martabat manusia,
entah siapapun dia.

Keempat, praktik politik multikulturalis. Ini dipahami sebagai praktek “politik diferensiasi,
yakni sebagai tindakan sosial untuk adil, terhadap perbedaan. Praktek politik tipe ini hanya
slogan indah belaka jika oknum, kelompok, masyarakat, negara memelihara heteropobhia,
ketakutan akan yang lain dalam kelainannya, (Ibid, Budi Hardiman, 2003: xix-xx). Sebuah
negara multikultural yang mengakui dan memenuhi dengan kepastian hak-hak minoritas dan

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.


11

hak-hak perbedaan dan dan hak-hak universal individu bagi seluruh warganya tanpa menilik
orientasi pilihan nilai keberagamaannya. Politik multikulturalisme mendorong negara
memperluas respek terhadap otonomi kultural dan otonomi orientasi dan pilihan nilai
keberagamaan dan pengakuan terhadap seluruh eksistensi sosial dan atribut sosial lainnya.
Artinya adalah meniadakan penyamarataan atau kesamaan dimata hukum yang sering
dicirikan secara universalisme dengan pro sebelah. Kymlicka (2003: 22) menjelaskan
“Penyamarataan dan penyamaan ini merupakan warisan sikap imperilis-kolonialis” dari
kelompok yang nominal yang mengabaikan kelompok minoral dan melakukan gerakan sosial
secara sistematis meskipun terlihat sporadis untuk menghapuskan hak hidup berbeda dan hak
beragama berbeda.

Untuk mengakhiri, prinsip pemerataan dan penyamaan ini terkait dengan ide keadilan dan
kebebasan, karena semua warga negara, warga agama diperlakukan sama tanpa diskriminasi.
Ini perlu dikritisi, karena sampai pada taraf tertentu mudah berbalik menjadi ketidakadilan
dan keterikatan, jika kekhasan, keunikan, kelainan dari individu dan kelompok terabaikan
karena diperlakukan sama bahkan dipukul rata. Dengan prinsip kedua hal itu, kelompok
minoral justru terdiskriminasikan, karena kesamaan dan pemerataan itu sering lebih
menggemukkan kelompok, melebihkan kekuasaaan dan wewenang dan dukungan politik
praktis bagi kelompok nominal.

Masyarakat Indonesia membutuhkan pattron politik praktis yang dapat mengatasi persfektif
religionsentrisme dan etnosentrisme, menjadi dereligionsentrisme dan deetnosentrisme, tanpa
melupakan hak kolektif, kebanggaan dan kebangsaan bersama yang ikut memformulasi
identitas bersama. Pemerintah, sesuai dengan Kymlicka, (ibid., 2003: 24-24), perlu
membuktikan konsep ethnic nation, civic nation, dan juga ditambahkan religion nation. Yang
awal dipahami sebagai ras atau asal usul genetis atau geneologis. Kedua dipahami sebagai
relasi politis yang tidak lagi membedakan agama, ras, etnik, golongan dan sekelas dengannya,
karena hal itu dipahami sebagai multi bangsa dan polietnik dengan pluralisme kutural. Yang
terakhir dipahami sebagai orientasi dan pilihan nilai-nilai religiusitas dan diakui hak hidup
keberagamaan dan hak praktisnya. Semoga dengan memahami akar-akar persoalannya,
bangsa kita dapat melakukan tindakan sosial sebagai solusinya, agar kita semua ikut berpesta
kebebasan di negri ini. Semoga juga pesta itu, benar-benar pesta demokrasi yang memenuhi
hak-hak minoral untuk semua elemen dan anak bangsa, entahlah. Apakah memang manusia
Timur dengan adat Ketimurannya masih didominansi insting mammam-kebinatangannya?
Entah juga!

Artikel ini dikirim ke Pantekosta Pos, Kamis, 07 Oktober 2010.

Anda mungkin juga menyukai