Anda di halaman 1dari 188

ISSN 1693-7139

Jurnal Lektur Keagamaan


Vol. 7, No. 1, Tahun 2009/No. Akreditasi: 48/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006

Daftar Isi
Kajian Naskah, Sejarah, dan Arkeologi
Teks, Islam dan Sejarah: Setali Tiga Uang
Fuad Jabali 1 — 20
Perang dan Damai di Aceh: Kajian Manuskrip Aceh
Tentang Konflik dan Solusinya
Fakhriati 21 — 52
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali:
Sebuah Penelusuran Awal
Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam 53 — 90
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam
Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau
Pramono dan Bahren 91 — 108
Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman
Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia
Agus Aris Munandar 109 — 132
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara
Irmawati M-Johan 133 — 146

Tokoh
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual
Discourse, and His Work Collection
Usep Abdul Matin 147 — 164

Telaah Buku
Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat
Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman
Fathurahman
Uka Tjandrasasmita 165 — 174

i
ISSN 1693-7139

Jurnal Lektur Keagamaan


Vol. 7, No. 1, Tahun 2009/No. Akreditasi: 48/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006

PEMBINA M Atho Mudzhar

PEMIMPIN UMUM Maidir Harun

REDAKTUR AHLI Uka Tjandrasasmita (UIN Syahid Jakarta); Nabilah


(MITRA BESTARI) Lubis (UIN Syahid Jakarta); Abdul Hadi WM
(Universitas Paramadina); Achadiati Ikram (Universitas
Indonesia); Badri Yatim (UIN Syahid Jakarta); Oman
Fathurahman (UIN Syahid Jakarta); Tommy Christomy
(Universitas Indonesia); Titik Pudjiastuti (Universitas
Indonesia); Sudarnoto Abdul Hakim (UIN Syahid
Jakarta)

PEMIMPIN REDAKSI Asep Saefullah

SEKRETARIS REDAKSI Masmedia Pinem

DEWAN REDAKSI E. Badri Yunardi, Harisun Arsyad, Ahmad Rahman,


Muchlis, Andi Bahruddin Malik, Dazrizal, M. Syatibi,
AH, Ali Akbar, Muchlis M. Hanafi, Ridwan Bustamam,
Munawiroh

TATA USAHA Ibnu Hasyir, Nurman Kholis, Muhammad Salim, Ida


Swidaningsih, Umi Kulsum

ALAMAT REDAKSI Puslitbang Lektur Keagamaan


Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal, Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta 13560
Telp./Faks. (021) 87794220
E-mail: puslitbang_lektur@yahoo.co.id

*
Kulit depan: Naskah MS Serangan 01, h. 56, milik H. Baharuddin, Kampung Serangan,
Denpasar, Bali; dan Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut, Geulumpang
Miyeunk, Pidie, Aceh.
*
Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 1563/D/2006
tanggal 18 Desember 2006,
Jurnal Lektur Keagamaan telah terakreditasi A

ii
Pengantar Redaksi
Sejak tahun 2008, Jurnal Lektur Keagamaan telah memperluas
wilayah cakupannya yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi
Puslitbang Lektur Keagamaan. Cakupan tersebut meliputi Kajian
Naskah Klasik, Kajian Lektur Kontemporer, Khazanah Budaya
Keagamaan, Arkeologi dan Sejarah, Obituari/Tokoh, Telaah Doku-
men, dan Telaah Buku/Kitab serta materi yang berkaitan dengan
kebijakan.
Pada Nomor ini, redaksi menampilkan delapan tulisan. Tulisan
pertama menyajikan tentang Islam, teks dan sejarah. Tulisan ini
menjelaskan hubungan yang erat antara Islam sebagai sebuah sistem
nilai, teks dimana sistem nilai itu diekspresikan, dan sejarah (ruang
dan waktu) sebagai konteks dimana sistem nilai itu diturunkan
dalam teks. Islam, teks dan sejarah adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Secara garis besar, teks-teks yang lahir dalam
dunia Islam, setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori besar, yaitu: 1) teks-teks yang dilahirkan oleh kalangan
skripturalis/fundamentalis, dan 2) teks-teks yang dilahirkan oleh
kalangan esensialis. Golongan pertama lebih menekankan teks dan
cenderung menghasilkan teks yang stabil, sedangkan golongan
kedua lebih pada konteks tetapi teks yang dihasilkannya cenderung
labil. Di sinilah kejelian seorang filolog diuji; kepada kelompok
mana teks itu dihubungkan. Sampai batas tertentu, membaca teks-
teks dari Timur Tengah nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding mem-
baca dokumen sejenis di Indonesia.
Pada tulisan kedua diulas mengenai perang dan damai di Aceh
melalui kajian atas manuskrip Aceh tentang konflik dan solusinya.
Aceh adalah sebuah daerah yang memiliki penduduk yang kehi-
dupan mereka cukup berfluktuatif. Perang dan damai telah mewar-
nai daerah ini sepanjang sejarahnya. Konflik internal maupun
eksternal telah terjadi dalam periode-periode yang berbeda. Salah
satu sumber yang sangat penting digunakan untuk mengkaji sejarah
kehidupan orang Aceh adalah naskah kuno yang menjadi tulisan

iii
mereka sendiri, karena di dalamnya mengandung informasi asli
tentang Aceh, dan menjelaskan sikap dan tingkah laku orang Aceh
secara langsung. Karenanya, generasi sekarang dapat membaca dan
memahami langsung tentang tulisan orang Aceh yang menjadi
sumber utama. Makalah ini mencoba menemukan dan menganalisa
sumber-sumber primer ini dalam hubungannya dengan perang dan
damai yang terjadi dalam sejarah kehidupan orang Aceh, mulai dari
abad ke-17 hingga abad ke-20 M. Pertanyaan utama yang perlu
dibahas adalah bagaimana cara orang Aceh mengatasi konflik da-
lam kehidupan mereka, dan bagaimana karater serta sikap mereka
pada masa lalu.
Tulisan ketiga menyajikan hasil penelusuran awal tentang bebe-
rapa aspek kodikologi naskah keagamaan Islam di Provinsi Bali.
Tulisan ini merupakan hasil penelusuran naskah keagamaan Islam di
Bali tahun 2008 yang lalu. Naskah yang ditemukan sebanyak 38
buah dengan perincian sebagai berikut: 1) Naskah keagamaan
berbahan kertas sebanyak 12 naskah; 2) Naskah lontar sebanyak 12
naskah; dan 3) Naskah Al-Qur’an sebanyak 14 naskah. Kondisi
naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya sangat mempri-
hatinkan, tidak terawat dan kurang mendapat perhatian. Sebagian
besar naskah sudah rusak, dan bahkan tidak utuh lagi. Dari aspek
kodikologi, dapat dicatat beberapa hal: 1) bahan yang digunakan
beragam, yaitu dluang, kertas Eropa, kertas modern bergaris, dan
lontar; 2) Bahasa dan aksara yang digunakan meliputi Arab,
Melayu (Jawi), Bugis, dan Bali; 3) Waktu penyalinan antara abad
ke-17–19 M, dan yang tertua tahun 1035 H/1625 M; 4) Isi naskah
antara lain mencakup fikih, tasawuf, tauhid, doa, wirid, dan obat-
obatan, bahasa (nahwu-saraf), Al-Qur’an, dan geguritan (cerita).
Tulisan keempat tentang kepemimpinan Islam di kalangan Kaum
Tua dalam naskah-naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Tulisan ini berupaya memberikan penafsiran atas naskah-naskah
lokal di Minangkabau, khususnya terkait dengan Tarekat Syattariyah.
Secara kultural, naskah-naskah tersebut memiliki arti penting kare-
na berkaitan dengan kebutuhan keagamaan sehari-hari bagi para
pengikut Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Bagi para penganut
tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharu-
san karena bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada
guru, untuk kemudian menjadi teladan bagi kehidupannya. Para

iv
ulama pemimpin Kaum Tua berperan tidak hanya di bidang ke-
agamaan, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik. Suaranya
didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di dunia
bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan ajarannya
ditulis dan disebarkan.
Dua tulisan lain selanjutnya membahas hubungan naskah dengan
arkeologi. Tulisan pertama menyajikan peran penting pernaskahan
dan benda khazanah keislaman lainnya dalam kajian arkeologi
Islam di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang posisi penting
data tertulis, khususnya naskah klasik keagamaan (Islam) dalam studi
arkeologi religi (Islam). Peranan data dari sumber tertulis dalam
kajian arkeologi Islam antara lain sebagai berikut: (a) Pendukung
kajian terhadap data artefaktual; (b) Memperluas pemahaman
tentang kedudukan dan peranan artefak dalam masyarakat sezaman;
(c) Data dari sumber tertulis dapat menjadi dasar penelitian dan
kerangka acuan kajian arkeologi Islam; dan (d) Memperkaya
interpretasi untuk dapat mengembangkan historiografi.
Sedangkan tulisan kedua membahas peran arkeologi dalam
kajian Islam Nusantara. Tulisan ini menjelaskan bagaimana peran
arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja
yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, dikemukakan pula
berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait
dengan Islam di Nusantara.
Selanjutnya adalah tulisan tentang tokoh, yaitu K.H. Ahmad
Sanusi (1888-1950). Tulisan ini membahas wacana keagamaan dan
karya-karya K.H. Ahmad Sanusi. Menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan Lektur Agama (Skr. Puslitbang Lektur Keagamaan)
Badan Litbang dan Diklat, Departmen Agama RI tahun 1986, K.H.
Ahmad Sanusi telah menulis selama hidupnya 480 karya tulis.
Namun, sebagian besar dari karyanya tidak tersimpan di satu
tempat, bahkan sulit ditemukan. Dalam kesulitan itu, ditemukan
kurang lebih seratus dua puluh dua (122) karya K.H. Ahmad
Sanusi. Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pendapat tentang siapa
K.H. Ahmad Sanusi itu, dan apa saja kiranya buku-buku yang telah
beliau tulis.
Tulisan terakhir merupakan telaah buku yang judul “Tarekat
Syattariyah di Minangkabau Teks dan Konteks”, karya Oman
Fathurahman. Buku ini merupakan hasil kajian filologi dengan

v
pendekatan sejarah sosial-intelektual yang masih jarang dilakukan
di antara ahli filologi pribumi. Pembahasan dalam buku telah meng-
alami perluasan dengan tambahan analisis terhadap representasi
naskah Sunda “versi Kuningan” dan dua naskah Jawa “versi
Cirebon” dan “versi Girilaya”. Uraian yang didasarkan pada nas-
kah-naskah Syattariyah Minangkabau, menggambarkan adanya per-
bedaan paham antara Tarekat Syattariyah dengan Tarekat Naqsya-
bandiyah. Tarekat Syattariyah dianggap oleh kelompok masyarakat
penganut Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan hal-hal wujudiyah.
Padahal, kenyataannya, Tarekat Syattariyah yang diajarkan Syekh
Burhanuddin Ulakan sampai masa berikutnya bersikap lumer.
Terakhir, redaksi mengucapkan terima kasih secara khusus
kepada Lukman Hakim—Staf Ahli pada Jurnal Penamas, Balai
Litbang Agama, Jakarta—yang telah menerjemahkan semua abstrak
ke dalam bahasa Inggris, dan kepada Usep Abdul Matin—Dosen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—atas kontribusinya mengedit
abstrak berbahasa Inggris.
Demikian, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

Redaksi

vi
Para Penulis

Agus Aris Munandar adalah Staf Pengajar Program Studi Arkeologi Indonesia,
Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB UI). Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FIB UI
(2008—sekarang). Menyelesaikan pendidikan S1 (Sarjana Sastra, bidang
Arkeologi) dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lulus tahun 1984 dengan
judul Skripsi “Beberapa Data Historis dari Parasasti Mula-Malurung”. S2
(Magister Humaniora), Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun
1990 dengan judul tesis “Kegiatan Keagamaan di Gunung Pawitra: Gunung
Suci di Jawa Timur Abad ke-14--15”. S3 (Doktor Arkeologi), Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), lulus tahun 1999 dengan judul
disertasi “Pelebahan: Upaya Pemberian Makna para Puri-puri Bali abad ke-
14—19”. Ia dapat dihubungi di Jalan Garuda IV Blok D.8/30, Sawangan Permai,
Sawangan Depok 16519. No. (021) 98284951, Ponsel 0816 1447887, atau e-
mail: agus.aris@ui.ac.id

Asep Saefullah lahir di Kuningan, Jawa Barat, 18 Oktober 1971, adalah Peneliti
di Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI. Ia menyelesaikan S1 pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN (skr.
UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997, dan S2 di perguruang tinggi yang
sama tahun 2000 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam. Tahun 2006,
mengikuti International Course on the Handling and Cataloguing of Islamic
Manuscripts, di Kuala Lumpur Malaysia. Tahun 2007 mengikuti Diklat
Penelitian Naskah Keagamaan, Departemen Agama RI, Jakarta. Karya-karyanya
antara lain “Ibnul Muqaffa, Konstitusionalis Pertama yang Prosais”, Pelita, Jakarta
1993; “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum
Istiqlal, Jakarta” Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1, 2007, Renaisans
Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan, (terj.) karya
Joel L. Kraemer (Bandung: Mizan, 2003), Mukjizat Sabar, (terj.) karya Tallal
Alie Turfe (Bandung: Mizania, 2006), dan lain-lain. M. Adib Misbachul Islam
menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN
(skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001, dan S 2 di Program Studi
Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun
2005. Saat ini Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pernah menjadi fasilitator pada Pelatihan Filologi Nasional yang
diselenggarakan oleh Yayasan Naskah Nusantara (YANASSA) bekerja sama
dengan The Toyota Foundation dan PPIM UIN Jakarta, 11-25 Juli 2004. Pada

vii
bulan Maret-April 2006, selama tiga minggu mengikuti International Course in
the Handling and Cataloguing of Islamic Manuscripts di Kuala Lumpur,
Malaysia, yang diselenggarakan oleh al-Furqan Islamic Heritage Foundation,
London, bekerja sama dengan International Islamic University Malaysia (IIUM).
Karya tulisnya antara lain, “Relasi Tuhan dan Alam: Pandangan Sufistik Syaikh
Yusuf Makassar dalam Naskah Sirr al-Asrar”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 3,
No. 1, 2005; “Menguak Sufisme Tuang Rappang”, Jurnal Lektur Keagamaan,
Vol 6, No. 2, 2008.

Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora dan di Sekolah


Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mendapatkan gelar Doktor dengan
predikat Dean Honour List dari Institute of Islamic Studies, McGill University
(1999), MA dalam Islamic Societies and Cultures dari School of Oriental and
African Studies (SOAS) University of London (1992), dan Sarjana dalam bidang
Sejarah dan Peradaban Islam dari Fakultas Adab IAIN (sekarang Fakultas Adab
dan Humaniora UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1989). Minat keilmuannya
terfokus pada dua hal: (1) Tradisi Islam klasik, dan (2) Bagaimana tradisi Islam
klasik tersebut digunakan atau disalahgunakan oleh masyarakat Muslim
kontemporer untuk menjustifikasi posisi/aliran keberagamaan mereka. Di antara
karya-karya tulisnya adalah IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia (Co-editor
Jamhari), Jakarta: Logos, 2002; Islam in Indonesia: Islamic Studies and Social
Transformation (Co-editor Jamhari), Montreal-Jakarta: ICIHEP, 2002; The
Comnpanions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and
Political Alignments, Leiden: E. J. Brill, 2003; Benturan Peradaban: Sikap
Islamis Indonesia Terhadap Amerika Serikat (Co-author), Jakarta: Nalar, 2005;
“Membangun Pesantren di Ranah Sunda: Belajar dari Darul Arqam” dalam Jajat
Burhanuddin and Dina Afrianty, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan
Islam di Indonesia (Making Modern Muslims: Map of Islamic Education in
Indonesia), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006; Riaz Hasan, Keragaman Iman:
Studi Komparatif Masyarakat Muslim (co-translator), Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006. Selain mengajar, dia adalah Deputi Direktur Bidang Akademik
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Editor Studia Islamika,
International Journal for South East Asian Islam; Konsultan Projek Kerjasama
Luar Negeri (Indonesia-Canada Social Equity Project), Departemen Agama.

Irmawati M-Johan sejak tahun 1981-sekarang menjadi dosen di Departemen


Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).
Menjadi Sekretaris Departemen Arkeologi FIB UI sejak 2004-2007, Sejak 2007
hingga sekarang menjadi Ketua Departemen Arkeologi dan Ketua Program
Pascasarjana Departemen Arkeologi FIB UI.

Usep Abdul Matin memperoleh gelar MA di bidang Kajian Islam dari Duke
University pada tanggal 26 Mei 2008 di Amerika Serikat dan satu lagi dari
Leiden University di Belanda (cum laude) pada tanggal 22 Februari 2001. The
Foreign Fulbright Grant telah memberikan beasiswa kepadanya untuk program
S2 di Duke, sedangkan The Asian Foundation for Research and Consultancy

viii
(AFRC) representative for Islamic Studies (INIS) memberikan beasiswa
kepadanya untuk program S2 di Leiden. Beliau memperoleh Sarjana Agama
(S.Ag.) di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Februari 1996
(cum laude). Beliau sekarang dosen dan sekertaris jurusan untuk program SPI
FAH UIN Jakarta. Ia termasuk penulis yang produktif dan pernah menjadi chief
editor UIN News dalam bahasa Inggris dari 2005 sampai 2008, serta perna
menjadi staff rektor UIN Jakarta. Lebih dari itu, tulisannya dalam bahasa Inggris
yang berjudul “Suicide Bombing: A Sociological Approach to 9/11” sudah
diterbitkan oleh Penerbit Mitra dalam Sociologi: Sebuah Pengantar Tinjauan
Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (September 2008: 270-284). Tulisan-
tulisannya yang lain dalam bahasa Inggris juga sudah dimuat di koran The
Jakarta Post, seperti “Theorizing the 9/11 atrocity: Its ubiquitous persistence”
(09/15/2008), “We are religious but also corrupt” (08/14/2008), dan “Terrorists
ignore God, life to pursue heaven” (01/24/2006).

Fakhriati lahir di Pidie, Aceh, 14 Juni 1970, menyelesaikan studi S1 di IAIN Ar-
Raniry jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah pada tahun 1993, S2 di Leiden
University pada tahun 1998, dan S3 di Universitas Indonesia jurusan Filologi
pada tahun 2007. Tahun 1994, mengikuti program pembibitan calon dosen IAIN
se-Indonesia di Jakarta. Sejak tahun 1995 mengajar di IAIN Ar-Raniry dan mulai
tahun 1998 mengajar di IAIN Sumatera Utara. Pada tahun 2008 bergabung di
UIN Jakarta dan tahun 2009 bulan juni mulai aktif di Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Sejak S2 sampai
sekarang, penelitian tertuju pada naskah-naskah kuno khususnya naskah Aceh.
Dalam tahun ini, dua penelitian telah dilakukan; yaitu Identifying and Preserving
Acehnese Manuscripts Located in Pidie and Aceh Besar didanai oleh British
Library, dan Katalog Naskah Awe Geutah bekerjasama dengan Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Selain itu, untuk
tahun ini buku yang telah terbit adalah Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh
lewat Naskah.

Pramono lahir di Medan 12 Desember 1979. Menamatkan studi Strata 1 (S1) di


Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas. Strata dua (S2) pada
Program Studi Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Bali. Saat ini
menjadi dosen dan peneliti di Universitas Andalas Padang. Berbagai tulisan
ilmiah dan esainya pernah di muat di beberapa jurnal dan terbitan lokal Sumatra
Barat. Bahren lahir di Padang 06 Pebruari 1979. Menamatkan studi Strata Sat
(S1) di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas. Saat ini
menjadi dosen dan peneliti di Universitas Andalas. Tulisan ilmiah populernya
pernah di muat di beberapa surat kabar lokal Sumatra Barat dan Riau.

Uka Tjandrasasmita lahir di Subang, Kuningan, Jawa Barat pada 8 Oktober


1930. Kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), Jurusan Ilmu

ix
Purbakala dan Sejarah Kuno, selesai tahun 1960. Memperoleh gelar Doktor H.C.
dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998. Di
antara jabatan yang pernah didudukinya adalah Kepala Dinas Arkeologi Islam
pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K (1986-
1974); Direktur Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1974-1979);
Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Departemen P dan K (1979-1990). Pernah menjadi anggota (mewakili
pemerintah RI) International Commission for the Preservation of Islamic Cultural
Haritage (OKI) tahun 1982-1990, konsultan The Project of Cultural Tourism
Development in Central Java and Yogyakarta (UNESCO) tahun 1992, dan lain-
lain. Saat ini, di samping sebagai dosen tetap di Universitas Pakuan Bogor, juga
sebagai dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

x
Ketentuan Pengiriman Tulisan

¾ Jurnal Lektur Keagamaan terbit dua kali setahun. Redaksi


menerima tulisan mengenai kelekturan, antara lain tentang
naskah klasik, literatur kontemporer, dan khazanah budaya
keagamaan.
¾ Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel setara
hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun telaah kitab
atau tinjauan buku.
¾ Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi, font
Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk print out
dan file dalam format Microsoft Word.
¾ Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan Karya
Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
¾ Dalam hal penggunaan transliterasi Arab-Latin, penulis
hendaknya berpedoman pada Pedoman Transliterasi Arab-
Latin SKB Dua Menteri, Menteri Agama RI Nomor 158 tahun
1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0543
b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab–Latin.
¾ Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki) yang
ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 109;
dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
¾ Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia dan
Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam bentuk esai, dan
alamat lengkap.

xi
¾ Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud
tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan
pandangan Redaksi.
¾ Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail:
jurnal.lektur@depag.web.id
Atau melalui pos ke alamat:
Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat,
Departemen Agama RI, Gedung Bayt al-Qur’an & Museum
Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560
Telp./Faks. (021) 87794220
¾ Bagi lembaga yang ingin mendapatkan jurnal ini dapat
menghubungi alamat di atas.

xii
Judul-judul untuk back cover

Teks, Islam dan Sejarah: Setali Tiga Uang


Fuad Jabali
Perang dan Damai di Aceh: Kajian Manuskrip Aceh
Tentang Konflik dan Solusinya
Fakhriati
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali:
Sebuah Penelusuran Awal
Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam
Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau
Pramono dan Bahren
Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman
Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia
Agus Aris Munandar
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara
Irmawati M-Johan
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual
Discourse, and His Work Collection
Usep Abdul Matin
Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat
Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman
Fathurahman
Uka Tjandrasasmita

xiii
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

Islam, Teks dan Sejarah:


Setali Tiga Uang*
Fuad Jabali
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

This paper describes a strong relationship between Islam as a value


system, the text as an expression of system, and history as both time and
space contexts of the textual system value. This paper explains that Islam,
text, and history are interconnected each other. This paper classifies text into
two catagories. The first category refers to the fact that the scripturalists or
fundamentalists produce text. The second category would be: the essentialists
make the text. The former group stresses the importance of the text and tend
to make it stable. The latter group creates the context. In other word, this
second group make the text unstable. This category challenges philologist to
investigate. In this regard, the Islamic texts, which are written in Arabic by
scholars of the Middle East, are easy to read as they provide complete
information of an issue that we look for. In contrast, the Islamic texts, which
are written in Indonesian by Indonesian scholars, are incomplete. For
example, the biographical texts in Arabic offer information of diverse people.
For this reason, Indonesian philologists are to trace such complete biography
in Indonesian literature.

Kata kunci: Al-Qur’an, hadis, teks, konteks, filologi, skripturalis,


esensialis

Teks dan Islam


Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Ajaran-ajaran utama Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur’an
dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga menyebut dirinya

*
Tulisan ini semula merupakan Makalah yang disampaikan pada Simposium
Internasional Pernaskahan Nusantara VIII, Wisma Syahida UIN Jakarta, 26-28
Juli 2004. Revisi terakhir 14 Juni 2009.

1
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

sebagai Ahlul Kitab ‘orang-orang yang sangat menghormati kitab’


atau, secara sederhana, ‘masyarakat teks’. Al-Qur’an juga
menyebut para pengikut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen,
sebagai Ahlul Kitab karena, sebagai halnya umat Islam, mereka
juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran
beragama mereka.
Bagi Ahlul Kitab, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks
yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah dal (‘yang menunjuk’,
signifier) dari madlul (‘yang ditunjuk’, signified), yaitu makna
abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap kata
atau kalimat yang ada dalam Al-Qur’an disebut ayat atau ‘tanda.’
Tanda dari suatu makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi
itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan, seperti gunung dan langit
(benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau, percisnya, ayah
kauniyah ‘tanda-tanda alam’), tetapi ayat yang paling utama adalah
teks Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini tidak ada Islam
dan masyarakat Muslim.
Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya ber-
gantung pada teks diperkuat oleh hadis. Al-Qur’an, yang jumlah
ayatnya hanya sekitar 6600, bukanlah sebuah teks yang bisa
menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan sangat detil. Kalau
tidak jelas, kemana mereka harus mencari kejelasan? Berbagai
jawaban dikemukakan. Ada yang merujuk pada tradisi atau konteks
lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak pada mazhab Maliki
(yang sangat mementingkan tradisi dan praktek lokal Madinah), ada
yang merujuk pada akal, seperti yang ada dalam mazhab Hanafi;
ada juga yang merujuk pada ijma’, yaitu kesepakatan masyarakat
Muslim dalam memahami teks, seperti yang dikembangkan oleh
Syafi’i; ada juga yang merujuk pada catatan dari kata-kata dan
perbuatan Nabi yang kemudian disebut hadis. Rujukan-rujukan
tadi—yaitu tradisi lokal, akal, ijma’ dan hadis—sama-sama dipakai
oleh masyarakat Muslim secara bervariasi dalam tingkat yang
berbeda-beda. Tetapi ketika hadis dibukukan pada abad ke 3 H/9
M, maka hadis, terutama yang dikumpulkan oleh Bukhari dan
Muslim, menjadi rujukan utama setelah Al-Qur’an. Hadis kini
menjadi teks terpeting kedua setelah Al-Qur’an.
Kalau teks menempati posisi yang demikian penting dalam Islam,
maka wajar kalau ada kecenderungan untuk melihat keislaman

2
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

seseorang lewat kedekatannya (atau kejauhannya) dengan teks.


Semakin dekat dianggap semakin saleh, semakin jauh semakin
sesat. Kelompok rasionalis dikritik dengan tajam, bahkan pernah
disebut kafir, karena menggunakan teks hadis dengan sangat
minimal ketika menafsirkan teks Al-Qur’an. Kelompok pendukung
hadis (ahl al-hadits) menyebut diri mereka sendiri sebagai umat
yang terbaik (khair ummah) karena keteguhannya dalam mengikuti
dan memegang teks hadis.
Penghormatan yang demikian tinggi pada teks Al-Qur’an dan
hadis menjadi landasan yang kuat bagi masyarakat Muslim untuk
memproduk banyak sekali teks. Teks menjadi media yang sangat
penting dalam memahami Al-Qur’an dan hadis. Pemahaman masya-
rakat Muslim terhadap Al-Qur’an dan hadis tersebut dituangkan
dalam bentuk teks yang jumlahnya tak terhingga. Banyak sekali
teks yang sudah musnah, yang hanya diketahui lewat kutipan-
kutipan atau resensi yang ditulis belakangan. Dalam kajian sejarah,
misalnya, buku karya al-Tabari (wafat th. 310 H / 923 M), Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The
History of al-Tabari dalam 39 jilid atas sponsor UNESCO), sangat
penting karena dia banyak mengutip karya-karya yang ditulis oleh
sejarawan sebelumnya, yang hidup pada abad ke-2 H/8 M dan ke-3
H/9 M, yang sudah hilang. 1 Buku al-Fihrist karya Ibn al-Nadim,
seorang penjual buku di Baghdad pada abad ke-4 H/10 M, juga
penting karena di dalamnya ada resensi buku-buku yang beredar di
dunia Islam, terutama di Baghdad, pada masa itu yang juga
sebagian sudah hilang. Walaupun demikian banyak sekali teks-teks
yang berhasil diselamatkan yang kini tersebar di berbagai negara,
terutama di Timur Tengah dan Eropa (termasuk Turki), menanti
sentuhan tangan filolog.
Bagi masyarakat Muslim, teks-teks tersebut adalah warisan yang
sangat berharga, namun sikap mereka terhadap teks-teks tersebut
berbeda tergantung pada cara mereka memandang. Ada masyakat
Muslim yang membatasi penghormatan mereka pada Al-Qur’an
1
Untuk mendapatkan gambaran tentang jumlah dan jenis buku yang
diproduk masyarakat Muslim yang sudah hilang tetapi dikutip secara meluas lihat
Carl Brockelmann, Geschichte der arabischen Litteratur (Leiden: Brill, 1937-42,
1943-1949), 2 jilid dan 3 jilid supplement; Fuat Sezgin, Gerschichte des
arabischen Schrifttums (Leiden: Brill, 1967 - ), 9 jilid.

3
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

dan hadis, sementara kelompok lainnya melebarkan penghormatan


tersebut kepada teks-teks di luar keduanya. Buku yang ditulis oleh
seorang Sufi besar, misalnya, bisa jadi mendapatkan penghormatan
dan perlakuan yang hampir sama dengan Al-Qur’an dan hadis. Bagi
kelompok masyarakat lain, buku-buku yang ditiulis para pendiri
mazhablah yang harus dihormati dan diikuti, kalau perlu secara
literal. Sementara kelompok lain menantangnya.
Di Indonesia, Muhammadiyah dan NU merepresentasikan kedua
kecenderungan tersebut. Bagi Muhammadiyah, teks-teks selain Al-
Qur’an dan hadis sifatnya relatif, tidak mengikat dan, bahkan
terkadang, tidak mesti dibaca. Sebagian mereka berpendapat bahwa
keberadaan teks-teks di luar Al-Qur’an dan hadis tadi menjadi
benteng penghalang bagi umat Islam untuk memasuki kedua sum-
ber ini. Kalangan Muhammadiyah, dalam memecahkan masalah-
masalah kontemporer, adalah pembaca teks Al-Qur’an yang paling
tekun dan juga paling tidak sabar. Semua persoalan segera dicari
dalam teks Al-Qur’an. Sebaliknya NU. Mereka adalah kelompok
yang sangat menghormati teks-teks di luar Al-Qur’an dan hadis.
Mereka membaca Al-Qur’an dan hadis melalui teks-teks lain yang
tersusun secara hirarkhis. Berbeda dengan Muhammadiyah, yang
segera memasuki teks Al-Qur’an dan hadis, NU menjawab setiap
pertanyaan dengan cara terlebih dahulu memasuki teks-teks yang
diwariskan ulama-ulama sebelumnya. Dalam fatwa-fatwa NU, teks-
teks ini sangat dominan, bahkan tidak jarang teks Al-Qur’an-nya
sendiri tidak dirujuk. NU lebih terbiasa dengan teks dibanding
Muhammadiyah. Dikenalkan dengan keragaman teks sejak dini,
anak-anak NU bisa menjadi “filolog” yang potensial.

Teks dan Transmisi Islam


Kalau teks dan Islam berhubungan demikian erat, walupun
tingkatannya berbeda-beda dari satu kelompok ke kelompok lain,
maka sudah sewajarnya kalau teks juga memegang peranan penting
dalam transmisi Islam. Islam dari waktu ke waktu, dari generasi ke
generasi, diwariskan lewat teks. Perbedaan pemahaman terhadap
Islam, atau perbedaan warna Islam, sebagian besar akan bergantung
pada perbedaan teks yang diwariskan. Mengapa orang-orang meng-
anut mazhab Syafi’i, karena bisa jadi awalnya mereka hanya
diperkenalkan kepada teks dari mazhab ini saja. Demikian juga

4
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

dalam sufisme dan teologi. Perbedaan teks, untuk mengungkap-


kannya secara sederhana, telah melahirkan perbedaan kelompok
beragama.
Bahwa teks memegang peranan kunci dalam penyebaran Islam
juga bisa dilihat di dalam lembaga-lembaga yang terlibat dalam
penyebaran Islam, yaitu pesantren. Kegiatan pesantren (terutama di
pesantren salaf yang belum terkena modernisasi) terpusat pada
kajian teks yang terkenal dengan ‘kitab kuning’. Mayoritas
pesantren di Indonesia, terutama di Jawa, sampai sekarang masih
mempertahankan ciri khas ini. Perbedaan ciri khas pesantren
ditentutkan oleh perbedaan jenis teks yang dikaji, seperti tafsir,
nahwu dan hadis.
Dalam kajian teks tersebut, pimpinan pesantren atau kiai
memainkan peranan kunci. Dalam tradisi sorogan, seorang kiai
akan membaca teks tertentu di hadapan santri-santrinya. Teks inilah
yang akan menjadi modal utama santri-santri tersebut ketika kelak
keluar dari pesantren. Hubungan antara teks, kiai dan santri tersebut
sedemikian penting sehingga di kalangan pesantren ada semacam
keyakinan bahwa “Barang siapa yang membaca teks tanpa guru,
maka gurunya adalah setan.” Dengan kata lain, tidak ada teks tanpa
kiai dan, sebaliknya, tidak ada kiai tanpa teks. Tidak mungkin santri
belajar Islam tanpa teks dan tanpa kiai.
Di dunia Islam secara keseluruhan hubungan antara teks dengan
ulama dalam transmisi Islam bukanlah hal yang istimewa. Hubungan
murid-guru dibangun di atas teks. Guru akan mengajarkan teks
tertentu kepeda murid-muridnya dan ketika muridnya sudah
dipandang mampu, sang guru akan memberikan ijazah, atau
semacam lisensi, kepada sang murid untuk mengajarkan teks
tersebut. Dan, demikian seterusnya. Rentetan pengijazahan dari satu
guru ke murid yang lain ini biasanya dicatat di awal teks dalam
bentuk silsilah.

Filologi di Kalangan Ulama


Ketika mesin cetak belum ditemukan, transmisi teks dilakukan
secara manual. Artinya, kalau ada yang ingin memiliki buku, maka
dia harus menyalinnya sendiri atau meminta orang lain untuk
melakukannya. Kita mengenal ada beberapa orang yang persis
bekerja sebagai penyalin buku dan menjadikannya sebagai sumber

5
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

penghidupan. Tetapi bisa jadi, karena jarangnya orang yang bisa


menulis, ada saat-saat dimana para penyalin menjadi sangat sibuk
sehingga terbuka untuk melakukan kesalahan. Hisyam bisa dengan
mudah tertulis Hasyim 2 atau, mungkin karena penulisnya ngantuk,
Dam b. Rabi’ah menjadi Adam b. Rabi’ah 3 dan Aqram menjadi
Arqam.4
Faktor-faktor lain bisa membuat kesalahan tersebut semakin
sering dilakukan. Pertama, teknologi yang sangat terbatas. Tidak
ada komputer, listrik, telepon, dan AC pada masa itu. Menyalin
buku menjadi perkerjaan yang bisa jadi tidak nyaman. Kualitas
penerangan yang kurang membuat mata cepat lelah. Iklim yang
demikian panas membatasi orang untuk bekerja maksimal. Kedua,
stabilitas sosial politik pada masa itu tidak sebaik seperti sekarang.
Para penyalin ikut menjadi korban peperangan. Paling tidak kon-
sentrasi mereka terganggu. Ketiga, faktor perkembangan bahasa.
Bahasa Arab pada masa itu adalah bahasa Arab yang masih dalam
proses perkembangan. Gigi dan titik belum dipakai secara konsisten
sehingga sulit dibedakan mana ba, ta dan £a, misalnya. Perbedaan
baca di antara para penyalin menjadi hal yang tak terelakkan. Teks
yang dihasilkan menjadi bebeda antara satu dengan yang lainnya.
Keempat, faktor idiologis juga berperan penting dalam per-
ubahan teks. Dikatakan bahwa Asy’ab b Ummu Humaidah lahir
pada tahun 9 H/630 M atau pada masa Nabi. Ini menurut informasi
dari Abu al-Faraj. Tetapi, menurut informasi lain dari beberapa
jalur yang berbeda, yang menurut Ibn Hajar (wafat 852 H/1449 M)
lebih kuat, dia ternyata lahir pada saat ‘Usman terbunuh (yaitu
tahun 35 H/656 M). 5 Perubahan tanggal lahir itu bisa jadi karena
kelalaian penulis atau penyalin teks, tetapi bisa jadi juga lebih dari
itu. Menjadi orang yang dilahirkan pada masa Nabi jauh lebih
penting dari orang yang dilahirkan pada masa ‘Usman. Bukankah
Nabi pernah menyampaikan bahwa masa yang terbaik adalah masa
Nabi itu sendiri kemudian masa sesudahnya kemudian masa

2
Ibn Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Sadir, n.t), 4:386.
3
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:343.
4
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Arabi, n.d.), 1:125.
5
Ibn Hajar, al-Isabah, 1:130.

6
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

sesudahnya? 6 Lahir pada masa Nabi bukan hanya penting karena


dia lahir pada masa yang terbaik tetapi juga, dalam periwayatan
hadis, dia menjadi mungkin bisa bertemu dengan sahabat-sahabat
besar bahkan bisa meriwayatkan hadis dari mereka.
Kalau keragaman teks tidak bisa dihindarkan, maka pada da-
sarnya setiap ulama pada masa itu adalah seorang filolog. Dia
mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yang kebenarannya sangat
bergantung pada ketepatan teks dan kebenaran membacanya. Dia
adalah tempat bertanya masyarakat, menjadi pusat produksi dan
reproduksi ilmu, pusat verifikasi teks, dan bisa jadi masyarakat
awam meyakini bahwa masuk surga atau tidaknya mereka akan
bergantung kepada para ulama ini. Para ulama, dengan demikian,
harus sangat hati-hati dalam memilih dan membaca teks. Berbagai
versi harus dibaca dan dibandingkan, mana di antara teks-teks yang
ada itu yang paling bisa dipercaya.
Kajian antarteks menjadi suatu keniscayaan. Kita mengenal
dalam hadis, misalnya, adanya ‘kutub al-sittah’ atau ‘buku yang
enam’ dan ‘kutub al-arba’ah’ atau ‘buku yang empat.’ Suatu hadis
yang ditemukan dalam keenam buku hadis lebih kuat dari pada
hadis yang hanya ditemukan dalam empat buku hadis. Dalam hadis
juga dikenal dengan ‘rawahu al-syaikhan’’ atau ‘diriwayatkan oleh
dua orang syaikh’, yaitu Bukhari dan Muslim. Istilah-istilah ini
hanya mungkin kalau kajian antarteks sudah berkembang kuat.
Adalah juga kehendak untuk mendapatkan teks yang benar-benar
bersih para ulama mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Sebut
saja misalnya jarh wa al-ta‘dil dan rijal al-hadits, yaitu suatu
disiplin ilmu yang dikembangkan untuk menilai kualitas informasi
dan akurasi teks berdasar pada penilaian kritis terhadap orang-orang
yang terlibat dalam transmisi informasi dan teks tersebut.
Lewat kajian antarteks, informasi yang ada dalam satu buku
dicek di buku yang lain. Muhammad b. Ishak (wafat 150 H/767 M)
dan Muhammad b. ‘Umar (wafat 207 H/822 M) menulis buku
tentang orang-orang yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) (hijrah
Nabi yang pertama), dan memasukkan nama ‘Ayyasy b. Abi
Rabiah ke dalam daftar orang-orang yang ikut hijrah tersebut. Ibn

6
Al-Bukhari, Sahih (Cairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi, tt.), 1:
8, 9; 3: 171; 8: 91, 141-2.

7
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

Sa‘d (wafat 230 H/845 M) lalu mengecek nama tersebut di buku


yang ditulis oleh Musa b. ‘Uqbah (wafat 141 H/758 M) dan Abu
Ma’syar (wafat 170 H/786 M), dan nama ‘Ayyash ternyata tidak
ada. 7 Dengan cara yang sama (kali ini membandingkan teks yang
ditulis oleh Musa b. ‘Uqbah, Muhammad b. Ishaq dan Muhammad
b. ‘Umar), Ibn Sa’d juga menemukan bahwa Musa b. ‘Uqbah
melakukan kesalahan penulisan nama, yang semestinya al-Aswad
b. Naufal b. Khuwailid ditulis menjadi Naufal b. Khuwailid. Ibn
Sa’d juga tahu bahwa nama ini tidak muncul dalam buku Abu
Ma’syar.8

Skripturalis/Fundamentalis dan Filolog


Di atas dikatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis sebagai teks kunci
telah melahirkan banyak teks. Teks satu dengan teks yang lainnya
ini terhubungkan dengan seorang figur dan silsilah (geneologi).
Ada geneologi guru dan ada geneologi teks, dan kualitasnya
berbeda-beda. Buku yang diwariskan lewat guru A-B-C misalnya
lebih baik daripada buku yang diwariskan lewat A-B-D.
Tekanan yang demikian besar terhadap geneologi mengisyarat-
kan bahwa dalam transmisi teks tersebut ada sesuatu yang stabil,
yang harus dijaga keasliannya. Prinsip ini sangat menolong bagi
filolog sebab sekali dia mampu mengidentifikasi apa ‘yang stabil’
atau apa ‘yang harus senantiasa dijaga keasliannya’ tersebut maka
dia akan mudah membaca teks yang sangat korup sekalipun. ‘Yang
stabil’ akan selalu ditemui dalam berbagai teks. Memang benar
bahwa ‘apa yang stabil’ jenis dan kadarnya akan berbeda-beda dari
satu kelompok ke kelompok lain. Tetapi, sekali ditemukan dalam
satu kelompok tertentu, maka filolog akan terbantu dalam membaca
teks yang ditulis atau menjadi ciri dari kelompok tersebut.
Di dunia Islam, baik masa lalu maupun sekarang, dikenal
adanya dua kelompok besar: skripturalis atau fundamentalis dan
esensialis. Kelompok skripturalis adalah mereka yang berkeyakinan
bahwa (1) Islam adalah agama yang sempurna dan jelas yang
mengatur semua aspek kehidupan kita dan, oleh karena itu, tidak
diperlukan adanya penafsiran ulang; (2) Memang masyarakat selalu

7
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:383.
8
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:379.

8
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

berubah-ubah, tetapi perubahan itu harus senantiasa dicocokkan


dengan Al-Qur’an dan hadis, bukan Al-Qur’an dan hadis yang
harus dicocokkan dengan perubahan masyarakat; (3) Al-Qur’an dan
hadis adalah sumber utama Islam dan semua persoalan harus benar-
benar sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis; (4) Akal dan tradisi lokal
sifatnya nisbi dan, oleh karena itu, tidak bisa dipakai sebagai
sumber nilai; (5) Masa Nabi dan para sahabatnya adalah masa yang
paling sempurna yang harus dijadikan model bagi setiap masya-
rakat Muslim kapan pun dan dimana pun.
Pandangan kelompok esensialis berbeda sama sekali dengan
pandangan kelompok ini. Mereka percaya bahwa (1) Islam memang
agama sempurna tetapi kesempurnaannya bersifat minimal dan
untuk memaksimalkannya diperlukan usaha dan pikiran masyarakat
Muslim, (2) Masyarakat selalu berubah-ubah dan oleh karena itu
Islam harus dilihat secara dinamis, (3) Al-Qur’an dan hadis adalah
kebenaran yang diekspresikan dalam ruang dan waktu tertentu dan
oleh karena itu harus dilihat konteksnya, (4) Akal dan tradisi lokal
harus dipakai sebagai sumber yang berharga dalam formulasi hukum
dan ajaran Islam, (5) Masa Nabi dan para sahabatnya adalah masa
yang paling sempurna untuk zamannya dan tidak boleh dipahami
secara literal.
Perbedaan pandangan di antara kedua kelompok di atas mela-
hirkan teks yang sama sekali berbeda sifatnya. Teks di kalangan
skripturalis relatif stabil. Karena Islam dipandang sempurna, karena
Al-Qur’an dan hadis dianggap selesai, dan karena masa Nabi dan
sahabatnya dipandang ideal, maka yang ditemukan dalam teks yang
diproduk oleh kelompok ini adalah potongan-potongan informasi
yang diambil dari Al-Qur’an, hadis dan sirah (perjalanan hidup)
Nabi dalam jumlah besar. Akibat dari tekanan terhadap penafsiran
dan tradisi lokal yang begitu besar, maka unsur baru dalam teks
menjadi minimal. Walaupun ditulis dalam waktu dan tempat yang
berbeda, bisa diasumsikan bahwa teks di kalangan kelompok ini
relatif sama. Kutipan-kutipan Al-Qur’an, hadis dan sirah Nabi dan
para sahabatnya akan dominan dan setiap ketidakjelasan yang ada
dalam teks yang korup bisa segera diisi oleh filolog dengan mem-
baca teks standard (Al-Qur’an, hadis dan sirah Nabi).
Kalau kadar stabililitas dalam teks-teks tradiosionalis sangat
tinggi, maka teks yang diproduk oleh kalangan esensialis sangat

9
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

labil. Dia lebih beragam baik di tingkat kelompok maupun individu.


Mu’tazilah, kelompom rasional Muslim yang terkenal dalam seja-
rah Islam, misalnya, terdiri dari banyak sub kelompok yang berbeda
satu sama lain, dan pada sub kelompok tersebut perbedaan antar
individu sangat kentara. Masing-masing mereka melihat Islam, Al-
Qur’an dan hadis serta sirah Nabi sebagai suatu teks yang sangat
terbuka. Berbeda dengan kalangan skripturalis, yang memandang
makna sebagai ‘sesuatu yang diberikan oleh teks’, kalangan rasio-
nal memandang makna lebih sebagai ‘sesuatu yang harus dicari dan
diberikan oleh pembaca’. Membaca bukanlah proses menerima teks
secara pasif, tetapi lebih merupakan proses intrograsi yang sangat
cair, dimana pembaca dan teks bisa ditempatkan secara sejajar dan
oleh karena itu dialog antara teks dan pembaca menjadi sangat
intens. Hasil dari dialog itu adalah warisan teks yang sangat
dinamis dan beragam.
Sesunggunya kalangan skripturalis/fundamentalis telah membuat
pekerjaan filolog lebih mudah. Filolog yang ingin cepat selesai
diusulkan untuk tidak memilih teks-teks yang ditulis oleh kalangan
rasionalis.

Studi Kasus: Membaca Dokumen Ikrar Abad ke-14 di Jerusalem


Disebutkan di atas bahwa salah satu cara membaca teks yang
sudah korup adalah dengan cara menggunakan teks yang sudah
established sebagai patokan. Tentu saja Al-Qur’an dan hadis adalah
teks Islam yang paling stabil. Tidak terlalu sulit untuk mentranskrip
naskah Al-Qur’an atau hadis, atau teks yang mengadung banyak
sekali kutipan Al-Qur’an dan hadis. Teks berikutnya yang relatif
lebih mudah digarap adalah teks yang ditulis oleh kelompok sriptu-
ralis atau fundamentalis. Dibanding teks yang ditulis kalangan
esensialis, teks yang mereka buat relatif lebih mapan dan lebih
seragam dari satu periode ke periode lain dan dari satu tempat ke
tempat lain sehingga lebih mudah dibandingkan.
Prinsip yang sama bisa dipakai untuk membaca teks-teks Islam
pada umumnya. Teks-teks Islam bisa diklasifikasi ke dalam lima
kelompok besar: 1) sejarah, 2) teologi, 3) sufisme, 4) filsafat dan 5)
hukum. Di antara kelima kelompok tadi, yang paling tegas dan rinci
adalah hukum. Hukum Islam diformulasikan dan dirumuskan oleh
para ulama sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kebi-

10
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

ngungan dan mudah diikuti. Hukum cenderung rinci dan kaku.


Orang-orang skripturalis dan fundamentalis cenderung menekankan
pentingnya aspek hukum ini sehingga mereka dikenal dengan ‘legal
minded Muslims’. Tidak heran kalau, seperti halnya buku-buku
yang ditulis oleh kalangan fundamentalis, teks yang ditulis oleh
kalangan ahli hukum juga lebih stabil, homogen dan rinci. Bagi
filolog, ini adalah berita baik. Teks yang mereka dapatkan akan
lebih mudah ditranskrip.
Dua contoh teks akan dikemukakan di sini untuk menunjukkan:
(1) bahwa Islam (seperti halnya agama lain) sangat instrumental
dalam melahirkan teks, (2) teks yang ditulis oleh ahli hukum relatif
lebih mudah dibaca karena lebih stabil.
Al-Qur’an menegaskan perlunya catatan dalam transaksi:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang


piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya.
Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya),
atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendikte-
kannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di
antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang
laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai
dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang
lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila
dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktu-
nya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada
ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada
Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah/2:282)

Kalau bagian pertama tulisan ini menegaskan hubungan antara


Islam dengan teks pada level yang lebih besar, maka ayat ini (yang
sengaja dikutip secara keseluruhan) contoh yang baik bagaimana

11
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

hubungan Islam dengan teks tersebut juga bekerja pada level yang
lebih kecil dan detil: Al-Qur’an meminta penganutnya untuk
melakukan transaksi secara tertulis.
Memang benar, di dalam hukum Islam tradisional, kesaksian
lisan lebih penting dari kesaksian tulis, tetapi para ahli hukum Islam
memberikan perhatian yang serius terhadap cara membuat dan
menggunakan dokumen-dokumen tertulis untuk kepentingan hukum.
Mereka mengembangkan satu jenis literatur yang disebut syurut,
yaitu sejenis manual yang bisa dijadikan pegangan bagi para notaris
dalam melakukan fungsinya. Ia berisi berbagai jenis kontrak yang
bisa dipilih oleh para notaris sesuai dengan kebutuhan. Kontrak-
kontrak tersebut sebetulnya lebih berupa sebuah blanko atau
formulir yang dibuat sedetil mungkin sehingga semua syarat dan
tuntutan syariah Islam bisa dipenuhi. Yang dilakukan oleh para
notaris adalah memilih mana di antara blanko-blanko tersebut yang
cocok dengan kasus yang dia hadapi dan mengisi bagian-bagian
kosong yang sudah disediakan dan meminta dua saksi untuk
menandatanganinya (seperti tuntutan ayat Al-Qur’an di atas).9 Salah
satu blanko kontrak yang dibuat para ahli hukum Islam dalam
buku-buku syurut tersebut adalah blanko untuk membuat ikrar, 10
yaitu suatu bentuk pengakuan atau pernyataan yang dibuat oleh
seseorang yang secara hukum mengikat bagi orang tersebut. Dalam
manual syurut tersebut para ahli hukum lalu merinci dengan detil
apa syarat-syarat membuat ikrar dan kata-kata apa saja yang harus
dicantumkan dalam dokumen oleh si pembuat ikrar. Oleh karena
itu, bentuk dan isi ikrar relatif stabil.
Pada tanggal 19 Agustus 1974-5, di Museum Islam di al-Haram
al-Syarif di al-Quds ditemukan sekitar 900 lembar kertas transaksi
atau catatan pengadilan yang berasal dari abad ke-14 M di
Jerusalem. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan
terpenting dokumen Islam abad pertengahan, sejajar dengan
penemuan manuskrip di Geniza Cairo dan St Catherine bukit Sinai.
Donald P. Little, guru besar di Institute of Islamic Studies, McGill

9
Jeanette A. Wakin, The Function of Documents in Islamic Law (New York:
University of New York Press, 1972), 10.
10
Lihat Y. Linant de Bellefonds, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam
(Leiden: E.J. Brill, New Edition).

12
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

University datang ke Jerusalem dengan sebuah tim untuk


mendokumentasikan dan membuat mikrofilm-nya. Beberapa tahun
kemudian Little menerbitkan katalog dokumen tersebut:
menjelaskan isi masing-masing dokumen secara garis besar dan
mengklasifikasikannya. Di antara lembaran-lembaran kertas tadi
ada dokumen ikrar (yang jumlahnya sekitar 90 lembar).
Dokumen no. 289 dan no. 184 adalah dua di antara enam
dokumen ikrar yang dibaca dan dianalisa oleh Huda Lutfi, salah
seorang murid Little di McGill University. 11 Secara garis besar
dokumen no. 289 berisi pengakuan Fatimah bt. ‘Abdullah bt.
Muhammad bahwa dia tidak memiliki klaim apa-apa lagi terhadap
mantan suaminya Syeikh Burhanuddin Ibrahim b. Zainuddin
Rizqullah, salah seorang sufi di Khanqah al-Salahiyyah di al-Quds
al-Syarif. Selain berikrar bahwa dia tidak punya hak apa-apa lagi—
termasuk maskawin dan biaya pakaian, Fatimah juga mengakui
bahwa mantan suaminya tersebut telah memberinya sejumlah uang
untuk biaya anak selama tiga bulan setengah sesuai dengan tuntutan
syariah. Ikrar ini dibuat di depan saksi pada tanggal 4 Syawal 782
(atau 2 Januari 1380) di depan dua orang saksi Ahmad al-ªaki dan
Abdullah b. Sulaiman.
Dokumen 184 berisi pengakuan Fatimah bt. Fakhruddin ‘Usman
b. Zainuddin ‘Umar al-Hamawiyyah, mantan suami Nasiruddin
Muhammad al-Hamawi penduduk al-Quds al-Syarif, bahwa dia
menerima uang perak sejumlah 375 dirham dari mantan suaminya
untuk biaya ketiga anak mereka Ahmad, Salma dan Sarah, yang
dibayar secara bertahap dari uang wakaf sekolah al-Salahiyyah.
Ikrar ini dibuat pada tanggal 2 Ramadan 789/14 Agustus 1389) di
hadapan dua orang saksi ‘Ali b. ‘Ilwi Muhammad dan Ahmad b.
Muhammad al-Muwwa’ani.
Tanpa bantuan literatur syurut, dokumen-dokumen ini sangat
sulit dibaca. Saya sendiri pernah ikut membaca dokumen-dokumen
itu dan adakalnya saya membutuhkan lebih dari seminggu hanya
untuk membaca satu baris teks dalam sebuah dokumen. Saya juga
pernah meminta bantuan seorang Arab (yang kebetulan berasal dari

11
Huda Lutfi, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds
Relating to Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of
the Orient, 25: 246-294.

13
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

Palestina tempat dokumen tersebut ditemukan) untuk membacanya.


Dia juga tidak bisa. Saya tidak bisa membayangkan begaimana
Little bisa membaca hampir 900 dokumen serupa dan menganalisa
isinya satu persatu, walaupun hanya dalam garis besar. Dua minggu
kemudian, baru saya tahu bahwa dalam membaca dokumen-
dokumen tersebut dia sangat terbantu oleh buku syurut yang ditulis
oleh al-Asyuti, Jawahir al-‘Uqud wa Mu‘in al-Qudat wa al-
Syuhud, 2 jilid (Kairo, 1955). Al-Asyuti, yang hidup di Mesir pada
abad 9 H/15 M, dalam buku tersebut berusaha menggambarkan
praktek administrasi hukum yang berlaku pada masanya.
Seperti dijelaskan di muka, dokumen-dokumen ini pada
dasarnya merupakan catatan transaksi dan peristiwa yang terjadi di
Jerusalem pada abad ke-14 atau satu abad sebelum al-Asyuti
menulis kitab manualnya. Pengalaman membaca dokumen-
dokumen tersebut menunjukkan bahwa, walaupun terpisahkan
selama satu abad dan, walaupun al-Asyuti hidup di tempat yang
relatif jauh dari Jerusalem, blanko dokumen hukum yang dibuat al-
Asyuti sangat cocok dengan dokumen-dokumen yang ditemukan di
Jerusalem tersebut. Ini adalah isyarat bahwa memang buku-buku
hukum relatif lebih stabil.
Dalam buku manualnya, al-Asyuti memberikan beberapa petun-
juk tentang tata cara membuat dokumen ikrar. Antara lain, dia
menyatakan bahwa dokumen harus diawali dengan basmalah
(menulis ‘Bismillahir-rahmanir-rahim’) dan diakhiri dengan
hamdalah (menulis ‘Alhamdu lillahi rabbil-‘alamin’). Ikrar harus
dibuat dalam bentuk orang ketiga (harus aqarra kalau laki-laki dan
aqarrat kalau perempuan). Nama si pengikrar harus dicantumkan
dengan jelas termasuk nama bapak dan kakeknya, nama kehor-
matannya dan seterusnya. Kalau dia perempuan, maka nama
suaminya atau mantan suaminya harus dicantumkan. Benda atau
persoalan yang diikrarkan harus dinyatakan dengan jelas (jika uang
berapa jumlahnya, bagaimana membayarnya, dan seterusnya).
Dokumen harus mencantumkan tanggalnya dan ditandatangani oleh
dua orang saksi.
Bimbingan al-Asyuti tersebut sangat membantu ketika kita
membaca dokumen ikrar tadi. Kalimat pertama, setidakjelas apa
pun, pasti basmallah. Kata pertama setelah basmallah adalah
aqarrat (karena yang membuat ikrar perempuan). Setelah itu pasti

14
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

nama orang yang membuat ikrar. Bagian berikutnya adalah yang


paling sulit dibaca: persoalan atau benda yang sedang diikrarkan.
Bagian akhir pasti terdiri dari tanggal, hamdallah dan nama dua
saksi. Dalam menuliskan runtutan isi dokumen tersebut ada kata-
kata hukum yang baku yang pasti muncul dalam ikrar, yaitu
“iqraran syar’iyyan fi sihhatin minha wa salamah wa jawazi amr
(ikrar yang sesuai dengan tuntunan syara’, dibuat dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani dan secara hukum dalam keadaan mampu
melakukan transaksi).” Kedua ungkapan ini ditemukan dalam
dokumen no. 289 dan 184 (dengan satu kata tambahan, yaitu tau’an
[artinya, tidak dalam keadaan terpaksa] setelah syar’iyyan). Tanda
tangan saksi diawali dengan “syahida ‘ala .... bi dhalik (telah
bersaksi atas .... dengan hal itu).”
Walaupun al-Asyuti menegaskan bahwa setiap dokumen harus
ditulis dengan tulisan yang bagus agar mudah dibaca, dokumen 289
dan 184, dan semua dokumen yang ditemukan di Jerusalem ini,
ditulis dengan tulisan tangan yang sangat jelek. Mungkin harus
diingat bahwa pada abad ke-14 di Jerusalem buta huruf masih
tinggi. Karena tidak banyak orang yang bisa menulis, maka orang
awam yang ingin menuliskan ikrarnya harus meminta bantuan
orang lain. Sangat mungkin pada masa itu ada orang-orang yang
memang pekerjaannya menuliskan dokumen (dengan berpedoman
pada manual syurut). Mungkin karena terlalu banyak pesanan
(karena jumlah yang bisa menulis sangat terbatas), para penulis itu
bekerja sembarangan. Tetapi bisa juga karena sebab lain. Para
penulis itu mungkin berpikir bahwa, karena orang awam itu tidak
bisa membaca, pada akhirnya para penulis itu juga yang harus
membacakannya di pengadilan (kalau terjadi apa-apa dan perkara-
nya sampai ke pengadilan). Dengan kata lain, para penulis itu pada
dasarnya menulis tidak untuk dibaca oleh orang yang memiliki
dokumen tetapi untuk dibaca oleh mereka atau kawan-kawan
seprofesi mereka sendiri. Untuk itu, tulisan tidak mesti bagus.
Sampai saat ini, sumber penulisan sejarah Islam Timur Tengah
masih didominasi oleh buku-buku sastera (literary soursces). Para
penulis buku ini menyodorkan realitas kepada kita secara subjektif.
Merekalah yang memilih buat kita peristiwa apa yang akan
dimunculkan, aktor mana yang akan ditonjolkan dan informasi dari
siapa yang harus dipakai. Bias politik dan kultural dari para penulis

15
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

tersebut sangat berpengaruh terhadap mutu gambar sejarah yang


dimunculkan. Dalam konteks ini, dokumen bisa memberikan
informasi yang sangat berharga. Berbeda dengan sumber-sumber
sastera, dalam dokumen kita disodorkan data mentah. Kitalah yang
menseleksi dan menafsirkan data-data tersebut. Sayangnya, tidak
banyak dokumen yang tersedia dan juga tidak banyak ilmuan yang
tertarik menghabiskan waktunya berminggu-minggu hanya untuk
membaca dua atau tiga buah dokumen.
Selain kondisi dokumen yang biasanya sulit dibaca, ada tan-
tangan lain yang harus dihadapi ilmuan kalau dia ingin menulis
sejarah dengan menggunakan dokumen. Untuk mengkonstruk sebuah
realitas diperlukan banyak sekali dokumen (bisa ratusan kadang
ribuan lembar). Dari dua dokumen yang kita baca, ada beberapa
informasi yang menarik. Misalnya tentang jumlah nafkah yang
diberikan suami kepada mantan istrinya, jumlah anak yang dimiliki
suatu keluarga dan model distribusi wakaf. Banyak pertanyaan bisa
dikembangkan. Misalnya, berapa rata-rata anak yang dimiliki satu
keluarga di Palestina pada abad ke-14? Berapa rata-rata penghasilan
keluarga? Mengapa dalam dokumen no. 184 disebutkan bahwa naf-
kah anak-anak dari perkawinan Fatimah dengan Nasiruddin dibayar
oleh dana wakaf? Apakah karena dia miskin? Bukankah dia bergelar
al-sitt al-masunah, yang mengisyaratkan bahwa dia berasal dari
keluarga terpandang?
Dokumen-dokumen yang saya baca berhubungan dengan
pengelolaan tanah wakaf: bagaimana dikelola, bagaimana sistem
administrasinya, bagaimana sistem pembagiannya, buah-buahan
atau tanaman apa saja yang ditanam, berapa kali panen dan dapat
berapa kilo sekali panen, bagaimana mekanismenya kalau terjadi
konflik pembagian hasil, dan seterusnya.
Dari potongan-potongan informasi yang ditemukan di setiap
dokumen, setelah membaca ratusan atau ribuan dokumen, akhirnya
kita bisa menulis sejarah sosial yang sangat bagus. Dibaca secara
keseluruhan, dokumen Jerusalem bisa dijadikan bahan untuk meng-
konstruk realitas sosial masyarakat al-Quds al-Syarif di Jerusalem.
Berasal dari tempat yang sama, dan dalam rentang waktu yang
panjang, kemungkinan besar akan ada nama-nama yang berkali-kali
muncul sehingga kita bisa meruntut sejarah kehidupan mereka
dengan baik. Mirip seperti yang dilakukan oleh S.D Goitein yang

16
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

menulis A Mediteranian Society: The Jewish Communities of the


Arab World as Potrayed in the Documents of Cairo Geniza
(Berkeley: University of California Press, 1967-78). Potongan infor-
masi yang dia temukan dalam ribuan lembar dokumen, dia susun
menjadi 3 jilid narasi tentang ekonomi (jilid 1), masyarakat (jilid 2),
dan keluarga (jilid 3). Dalam jumlah yang sangat besar, dokumen
Geniza berbahasa Yahudi yang ditulis dalam tulisan Arab. Hanya
mereka yang menguasai bahasa Yahudi dan bahasa Arablah yang
bisa membacanya. Ini membuat pekerjaan filolog lebih sulit lagi.

Catatan Pamungkas
Pertama, masyarakat Muslim dan, terutama, lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Islam memiliki peluang yang sangat besar untuk
menggali manuskrip dan dokumen yang berkenaan dengan
masyarakat Islam yang kini masih belum tersentuh baik yang
tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di dalam dan di luar negeri
maupun yang masih tersebar di kalangan masyarakat. Menjadi
Muslim berarti mereka terhubungkan dengan relitas dan ajaran
yang mendasari lahirnya teks dan dokumen. Hubungan model ini
sangat penting dimiliki filolog untuk bisa menghayati dan
memahami teks.
Kedua, sebuah teks harus ditempatkan dalam konteks besar
yang melahirkannya. Dalam tradisi Islam, teks, mulai dari yang
sangat stabil sampai ke yang sangat labil, dalam banyak hal men-
cerminkan sikap atau pandangan keagamaan tertetu. Bagi seorang
filolog adalah penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi teks
dengan kelompok-kelompok keberagamaan yang ada dalam Islam.
Secara umum bisa dikatakan bahwa teks yang diproduk oleh kalangan
skripturalis/fundamentalis, dan dalam kadar tertentu tradisionalis,
jauh lebih stabil dibanding teks yang ditulis oleh kalangan rasional.
Karya-karya yang ditulis oleh para ahli hukum Islam juga relatif
lebih stabil dibanding karya-karya yang ditulis para filosof atau sufi
misalnya.
Ketiga, walaupun sulit, membaca dokumen di Timur Tengah
nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding membaca dokumen sejenis di
Indonesia. Pengetahuan saya tentang kekayaan manuskrip Melayu
sangat terbatas, tetapi saya punya kesan bahwa ada jenis-jenis
literatur yang sangat membantu dalam membaca dokumen (atau

17
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

manuskrip) yang tidak ditemukan di dalam literatur yang tumbuh di


Nusantara. Misalnya, di dunia Islam Timur Tengah berkembang
literatur yang berhubungan dengan biografi orang (Rijal atau Tabaqat)
yang jumlahnya sangat besar dan beragam, yang disusun berdasar-
kan tahun wafat, tempat tinggal, keahlian, kualitas orang, keadaan
fisik, dan seterusnya; yang berhubungan dengan suku dan geneologi
(kalau ingin tahu nama-nama suku yang ada di Hijaz misalnya bisa
dilihat di Ibn al-Kalbi, Jamharat al-Nasab); dan yang berhubungan
dengan tempat (misalnya karya Yaqut, Mu’jam al-Buldan).
Literatur-literatur ini sangat menolong untuk mengidentifikasi kata-
kata yang ada dalam dokumen yang sangat sulit dibaca. Dalam
dokumen no. 289, ada kata ‘al-Khaliliyah.’ Jika kita ragu tentang
bacaan kata ini, kita bisa melihat di buku Yaqut. Dalam bahasan
tentang ‘Palestina’, kita akan menemukan nama-nama tempat dan
desa yang ada di Palestina sehingga ‘gambar’ kata di dokumen itu
bisa diidentifikasi. Demikian juga kalau kita kesulitan membaca
kata yang ada di ujung nama orang yang ada dalam sebuah doku-
men. Kemungkinan besar dia adalah nama suku orang itu. Kalau
kita membaca dokumen yang ada di Hijaz, misalnya, kita bisa
mencari nama daftar nama suku yang ada di wilayah ini. Tidak
mudah memang, tapi tetap sangat membantu. Sayangnya literatur
bantu semacam ini tidak tumbuh di Nusantara.
Keempat, kajian Islam di Timur Tengah sudah berusia lanjut. Di
samping banyak sekali literatur yang diproduk oleh kalangan
sarjana Muslim sendiri, baik yang hidup pada masa klasik maupun
modern, sarjana-sarjana modern (baik di Barat maupun di Timur)
juga banyak menghasilkan karya-karya penting dalam jumlah besar.
Artinya, satu potong dokumen yang ditemukan di Musium Islam
Jerusalem sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari tradisi keilmuan atau sistem informasi yang kaya dan mapan.
Dikepung oleh banyak informasi, sepotong dokumen itu akhirnya
tidak sendirian lagi. Bahwa model dokumen yang ditemukan dalam
buku al-Asyuti ternyata sangat cocok dengan model dokumen yang
ditemukan di Palestina adalah salah satu contoh yang baik bagai-
mana kekayaan tradisi keilmuan bisa membantu membaca suatu
kalimat dalam sebuah dokumen. Kajian Islam di Indonesia belum
mencapai tahapan ini.[]

18
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali

Daftar Pustaka

al-‘Asqalani, Ibn Hajar. T.t. al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi
Brockelmann, Carl. Geschichte der arabischen Litteratur. (Leiden: Brill, 1937-
42, 1943-1949), 2 jilid dan 3 jilid supplement;
Al-Bukhari. T.t. Sahih. Kairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi.
de Bellefonds, Y. Linant, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J.
Brill, New Edition.
Ibn Sa’d. T.t. Kitab al-Tabaqat al-Kubra. Beirut: Dar al-Sadir.
Lutfi, Huda, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds Relating to
Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of the
Orient, No. 25.
Sezgin, Fuat, Geschichte des arabischen Schrifttums (Leiden: Brill, 1967 - ), 9
jilid.
Wakin, Jeanette A. 1972. The Function of Documents in Islamic Law. New York:
University of New York Press.

19
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20

The Fihrist: A 10th Century A.D. Survey of Islamic Culture


Pengarang : Abu 'l Faraj Muhammad ibn Ishaq al Nadim
Penerjemah (Inggris) : Bayard Dodge
Penerbit : Great Books of the Islamic World, Kazi Publications
Jumlah halaman : 1149; Jilid: Hardcover

Sumber: http://islamicbookstore.com/b7581.html

20
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Perang dan Damai di Aceh:


Kajian atas Manuskrip Aceh tenang Konflik dan Solusinya1
Fakhriati
Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta

Aceh is a region which has a number of populations with their life fluctuation.
Their life had been colorized by peace and war which can be regarded as part of their
life history. Internal and external conflicts were appeared in different period.
These situations have strong connection with character and behaviour of the
Acehnese. Fanatic in their religion is an important factor to push to the situation.
Afterward, protective to their ethnics and fatherland is another factor to motivate and
to defend themselves from any other threat come from. Apart from this, the way of the
Acehnese associated with the others becomes a factor to create peace in Aceh land.
One of the sources for those above life history of the Acehnese is manuscripts as
their own writing. These sources become by far the most important sources since they
provide the original information, behaviour and attitude from the Acehnese.
Consequently, the new generation can directly read and understand on the Acehnese
writings as primary sources. This paper tries to find and analyse these primary sources
in relation with war and peace occurred in the life history of the Acehnese, from 17th
to 20th centuries. The main question that should be answered is how the Acehnese
solve their conflict in life, and what their character and behaviour were in the past.

Kata kunci: Manuskrip, Ulama, Islam, Jihad, konflik

Pendahuluan
Sejarah Aceh adalah cerita panjang tentang perjalanan suatu
suku bangsa yang diwarnai pergolakan demi pergolakan di antara
cerita kebesaran dan kejayaan yang pernah dicapainya. Letak

1
Artikel ini telah dipresentasikan pada Konferensi International tentang
Aceh and Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, yang dikelola
oleh Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS)
bekerjasama dengan International Center for Aceh and Indian Ocean Studies
(ICAIOS), 23–24 Februari 2009, di Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima
kasih banyak kepada Prof. Anthony Reid, sebagai koordinator konferensi ini
yang telah mengundang Penulis untuk hadir dan mempresentasikan paper ini
pada konferensi tersebut.

21
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

geografis wilayah Aceh yang berhadapan langsung dengan


Samudera Hindia di sebelah barat, Asia Selatan serta Selat Malaka
di bagian utara dan timur memberikan nilai tersendiri secara eko-
nomis maupun politik bagi kerajaan-kerajaan Aceh masa lampau.
Posisi wilayah yang demikian terbuka memberikan akses yang
mudah untuk membangun hubungan dengan dunia luar, demikian
juga kekayaan alam serta kesuburan tanahnya memberi andil besar
bagi kemajuan Aceh. Masuknya para pedagang Arab dan Gujarat
selain dipandang telah membawa agama sebagai pedoman hidup
bagi masyarakat Aceh, kehadiran mereka juga turut mendorong
semaraknya perdagangan yang memajukan perekonomian Aceh.
Puncak kejayaan Kerajaan Aceh pada masa kekuasaan Sultan
Iskandar Muda, saat mana wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh me-
lampaui tanah Aceh (Zainuddin, 1961:299-305), telah mampu
memberikan kemakmuran dan kenyamanan tidak saja bagi masya-
rakat Aceh, tetapi juga bagi masyarakat luar Aceh di bawah kekua-
saannya (T. Iskandar, 1958:78). Setelah itu tiba saatnya kejayaan
tersebut mengalami kemunduran seiring dengan banyaknya ancaman
dari luar maupun gangguan dari dalam. Kekuatan politik peme-
rintah secara perlahan mulai memudar dengan masuknya kekuatan
asing. Bahkan tidak itu saja, gangguan dari kalangan internal kera-
jaan juga turut menggerogoti wibawa pemerintah. Situasi ini tidak
saja berdampak politis, tetapi juga mempengaruhi kinerja bidang
ekonomi serta dunia pendidikan bersama hilangnya sejumlah besar
intelektual agama (ulama) yang disegani dan menjadi panutan
masyarakat.
Dinamika perjalanan panjang sejarah Aceh tersebut berjalan
sedemikian rupa seraya semakin mempertegas karakter masyarakat
Aceh yang terkenal fanatik, terbuka, ramah, tetapi keras. Pada tahap
awal hubungan Aceh dengan dunia luar, khususnya dengan para
pedagang Arab dan Gujarat, rakyat Aceh tidak hanya merasa
berhutang budi karena para orang asing tersebut telah mendorong
perkembangan perdagangan, tetapi juga karena telah mengembang-
kan Islam di kalangan masyarakat Aceh yang berfungsi sebagai
pedoman hidup mulai dari tingkat individu, bermasyarakat hingga
bernegara. Rakyat Aceh menjadi sedemikian menyatu dengan Islam
dan (tentunya) dengan dunia Arab. Berkat dorongan para ulama,
dunia keilmuan maju sedemikian pesat. Hal ini semakin menambah

22
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

hormatnya masyarakat kepada para ulama, sehingga di hampir


setiap daerah kecil memiliki ulama kebanggaan tersendiri. Salah
satu penghargaan mereka terhadap Islam adalah keyakinan mereka
bahwa budaya Aceh adalah budaya Islam dan mereka berusaha
komitmen terhadapnya. Siapa saja yang dinilai berusaha menggero-
gotinya akan dicap sebagai musuh bangsa Aceh dan juga musuh
Tuhan.
Salah satu kebesaran Aceh yang dapat disaksikan hingga kini
adalah bahwa suku bangsa ini mampu merekam sendiri setiap tahap
perkembangan yang terjadi pada dirinya, termasuk berbagai
peristiwa perang dan pergolakan lainnya. Banyak dokumen dan
arsip yang telah merekam kejadian-kejadian penting yang terjadi
pada pada momen-momen penting masa silam. Seperti halnya
Belanda dengan gigihnya melaporkan segala kejadian harian pada
saat mereka berada di daerah Aceh. Dokumen dan arsip yang kaya
tentang Aceh sekarang banyak yang disimpan di negeri Belanda.
Namun demikian, ada sisi lain yang perlu mendapat perhatian
serius dari para peneliti untuk melihat dan mengkaji lebih intensif
dan detail adalah tentang karya-karya tulis yang dihasilkan dan
dimiliki oleh orang Aceh sendiri. Sehingga pengalaman langsung
dari setiap peristiwa yang terjadi di bumi Aceh dan sikap dari orang
pribumi menghadapi dan mengatasi kejadian-kejadian yang ada
dapat diketahui dengan jelas.
Salah satu karya yang menjadikan tulisan orang Aceh asli
sebagai sumber primer adalah kajian Alfian Ibrahim pada tahun
1998 yang berjudul Perang di Jalan Allah. Namun kajiannya hanya
berfokus kepada perang melawan Belanda. Sejauh ini belum ada
karya yang menjadikan manuskrip sebagai bahan analisis dasar
untuk mengkaji konflik yang terjadi di Aceh. Tulisan ini mencoba
mengisi kekosongan ini dengan melihat dan menganalisis
manuskrip Aceh, untuk mengetahui sikap dan prilaku orang Aceh
yang tertulis dalam tulisan mereka sendiri.
Studi ini mencoba menjelajahi perjalanan sejarah Aceh dari
abad ke-17 sampai abad ke-20 M. Pemilihan periode ini didasarkan
atas tiga alasan; Pertama, sejauh ini banyak ditemukan manuskrip
berkisar pada periode ini. Kedua, konflik internal dan eksternal
mulai tumbuh dan berkepanjangan. Ketiga, Aceh dalam rentang
waktu ini berada pada masa perang yang cukup panjang. Dengan

23
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

demikian makalah ini diharapkan dapat memberi wawasan yang


lebih luas dan mendalam tentang kondisi perang dan damai yang
dialami langsung oleh orang Aceh pada masa lalu, dan tentang
sikap mereka dalam menghadapinya untuk mencapai kedamaian.

Budaya Orang Aceh


1. Permainan dan Hiburan Rakyat
Dari sejumlah permainan rakyat yang dimiliki orang Aceh,
sebagian besar di antaranya memiliki unsur heroisme. Perdebatan
dan perlawanan yang mendidik para pemainnya untuk memperta-
hankan dan membela diri adalah salah satu unsur yang dapat
mendorong perlawanan bila mereka diganggu oleh pihak lain.
Berikut beberapa permainan yang bersifat mendidik untuk bela diri
dan berperang.
a. Permainan meukrueng-krueng, yaitu permainan yang dilakukan
oleh kaum muda laki-laki dengan mengambil lokasi di pinggir
sungai. Permainan ini terdiri dari dua kelompok–biasanya
terdiri dari kaum muda dari dua kampung—yang berdiri pada
sisi yang berlawanan. Dalam permainan ini, satu kelompok
berusaha mendorong kelompok yang lain yang dianggap
sebagai lawan untuk menjatuhkan ke tanah. Di lain pihak
lawannya harus menangkap pendorong untuk dijatuhkan juga
sehingga salah satu harus ada yang tidak bisa kembali ke garis
pembatas awal, sehingga dinyatakan kalah. Saling dorong-
mendorong ini pada akhirnya menciptakan perkelahian dan
tidak boleh dibantu oleh siapa pun agar permainannya murni
dan keberhasilan yang dicapai adalah atas usaha sendiri si
pemain. Namun demikian, permainan ini biasanya tidak dapat
dilepaskan begitu saja oleh pihak yang berwenang, karena dapat
menciptakan perkelahian yang serius dan menimbulkan pepe-
rangan yang lebih luas. Karena itu permainan ini harus disaksi-
kan oleh para pemuka masyarakat yang sekaligus bertindak
sebagai wasit untuk mencegah perkelahian (Hurgronje, Vol II,
1997:145).
b. Permaian prajuritan, yaitu permainan bentuk lain yang
mendidik para pemain untuk bisa berperan menjadi prajurit
dalam perang. Mereka dilengkapi dengan senjata tiruan yang
dibuat dari pelepah kelapa untuk rencong dan pedang, dan bedil

24
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

dari pelepah palem. Kemudian mereka saling mengadukan


kemampuan berperang sehingga ada yang mengalah karena
kelelahan.
c. Permainan meulho (bergulat). Permainan ini dilakukan dengan
cara memancing lawan, yaitu dengan meletakkan daun di
kepala pemain lalu dijatuhkan. Hal ini mengandung makna
penghinaan telah dilakukan oleh pihak lawan, karena daun
tersebut mengandung makna sesuatu yang berharga telah
diletakkan di atas kepala lawan lalu dengan serta merta
kepalanya ditempatkan di bawah. Kepala adalah sesuatu yang
harus berada di atas bukan di bawah. Karena itu kemarahan
terjadi dari pihak lawan dan keduanya mulai melakukan
meulho. Pertandingan menjadi seru bila kedua belah pihak
dapat melukai salah satunya dan akhirnya dapat menjatuhkan
lawan (Hurgronje, Vol II, 1997:140).
d. Tarian-tarian yang dilakukan orang Aceh juga mengandung
unsur heroik di dalamnya. Tarian yang cukup populer di
kalangan rakyat Aceh adalah tarian seudati, rapa’i, dan saman.
Tarian-tarian ini berpangkal pada praktik tarekat dalam ajaran
tasawuf dan kemudian berkembang menjadi hiburan tarian yang
disenangi rakyat banyak. Bila diperhatikan, isi dan gerak yang
dilakukan di dalamnya, para penari dari waktu ke waktu
bertambah semangat dengan isi bacaan yang semakin hangat.
Dalam rapa’i, peserta yang melakukan rapa’i menggunakan
senjata tajam yang pada waktu ektasi dapat melukai diri sendiri.
Sedangkan dalam tari saman, peserta duduk membaca isi ratib
saman, lama-kelamaan bacaan menjadi semakin cepat dan
tubuh peserta mulai bergerak ke sekeliling peserta lainnya.
Sementara dalam tarian seudati, pemain duduk untuk
membacakan isi seudati yang semakin lama semakin cepat
bacaan dan gerak mereka (Djajadiningrat, 1934:648-649;
Hurgronje, Vol. II, 1997:158-184). Isi bacaan dalam setiap
tarian tersebut pada umumnya mengandung doa dan ajaran akan
pentingnya berperang di jalan Allah, untuk pembelaan agama
dan tanah air. Dalam isi ratib rapa’i terlihat bahwa setelah
dimulai dengan pujian kepada Allah dan syekh sufi, penari
membaca doa memohon kepada Allah agar mereka memperoleh
kemenangan dalam perang sabil.

25
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Ja Allah prang thabilellah – ja bantu prang thabilellah2


“Ya Allah di sana ada perang sabil kami mohon bantuan-Mu, Ya Allah
untuk perang sabil”.

2. Lapisan Sosial
Masyarakat Aceh tidak dibangun di atas strata sosial berda-
sarkan tingkat kemuliaan keturunan dan penghormatan kepadanya.
Lapisan sosial pada masyarakat Aceh dibangun berdasarkan
nostalgia kesejarahan dan berdasarkan peran mereka dalam
masyarakat, yaitu;
a. Masyarakat umum, mereka adalah rakyat biasa.
b. Kaum hartawan (orang kaya), mereka yang memiliki banyak
harta. Mereka banyak berperan dalam hal penyumbangan dana
untuk kemaslahatan sosial.
c. Kaum bangsawan (uleebalang), yaitu orang Aceh yang
memiliki leluhur sultan dan uleebalang, dengan gelar teuku bagi
laki-laki dan cut bagi perempuan.
d. Keturunan Nabi (habib), keturunan dari Mekah, yaitu mereka
yang datang ke tanah Aceh menyebarkan Islam. Mereka dan
keturunannya bergelar habib dan syarifah.
e. Kaum cendikiawan agama (ulama), mereka berasal dari rakyat
biasa. Karena mereka berhasil mendapatkan ilmu agama selama
merantau, maka mereka mendapat gelar teungku. Peran mereka
sangat diharapkan masyarakat untuk dapat menyelesaikan
masalah masyarakat dalam kaitannya dengan agama
(Syamsuddin dkk, 1978:144; Sulaiman dkk, 1992:65-66; Tippe,
2000:3).
Selain susunan lapisan sosial di atas, masyarakat Aceh hidup
dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan gampong, yaitu
terdiri dari beberapa keluarga inti. Dalam gampong terdapat tiga
bentuk pemimpin, yaitu keuchik (kepala kampung), teungku, dan
ureung tuha (tuha peut). Keuchik memiliki peran sebagai pemimpin
yang memelihara akan adat, dan mengembangkan kehidupan
beragama di kalangan rakyat. Sedangkan teungku berperan dalam
menegakkan hukum Islam dan mengajarkan umat untuk ilmu-ilmu
agama. Sementara ureung tuha adalah sekelompok orang tua yang
2
Manuskrip, Cod. Or. 8184 (1), p. 57.

26
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

dihormati masyarakat yang berperan sebagai penasehat (Sulaiman


dkk, 1992: 66-68; Raliby, 1980:43-44). Kelompok ureung tuha ini
terdiri dari empat atau lebih orang pemuka masyakarat yang di
dalamnya termasuk teungku yang banyak mengetahui bidang
agama. Mereka menjadi tumpuan pemimpin dalam masyarakat
dalam penyelesaian segala masalah yang dihadapi dalam gampong,
baik peradilan, militer, maupun agama. Keputusan mereka sangat
diharapkan oleh berbagai pihak, terutama oleh pemimpin gampong
dan bahkan uleebalang yang memimpin nanggroe (Vleer, 1978:4-5).
Gampong kemudian tunduk kepada kelompok yang lebih besar
yang disebut dengan mukim. Mukim ini dipimpin oleh seorang
imuem dan qadi yang diangkat oleh uleebalang. Selanjutnya,
wilayah uleebalang sendiri adalah nanggroe yang terdiri dari tiga
mukim atau lebih. Ia dibantu oleh qadi nanggroe. 3 Kemudian, di
atas nanggroe, terdapat kerajaan yang dipimpin oleh seorang sultan
dibantu oleh seorang qadi didasarkan kepada undang-undang Aceh
yang bersumber pada ajaran Islam dan berciri khas keislaman yang
tinggi (Usman, 2003:45). Di antara struktur masyarakat Aceh
tersebut yang masih bertahan hingga sekarang adalah gampong dan
mukim, sementara yang lain sudah tidak ada lagi.

3. Agama
Islam telah masuk ke Aceh tidak lama setelah agama ini
berkembang di Arab. Masuknya Islam di wilayah ini dikenal jalan
damai melalui para pedagang. Kehadirannya yang selektif dan
adaptif atas unsur-unsur adat istiadat yang dinilai tidak menyalahi
ajaran Islam membuat masuknya agama ini cukup berhasil di Aceh.
Orang Aceh telah berhasil menyatukan agama dengan adat
sehingga dalam setiap adat selalu terdapat nilai-nilai keislaman.
Untuk menggambarkan kesatuan agama dan adat ini, orang Aceh
membuat pepatah:

3
Di samping nanggroe, terdapat sagoe di bawah pimpinan panglima sagoe
yang merupakan federasi dari beberapa nanggroe. Wewenang sagoe hanya
terbatas pada kepentingan bersama antara beberapa orang uleebalang. Fungsi
panglima saggoe hanya bersifat memberi masukan kepada uleeblang. Ia tidak
memimpin secara otonom, dalam arti wilayahnya tetap berada di bawah
kekuasaan uleebalang. Sagoe hanya dimiliki oleh daerah Aceh Besar. (Usman,
2003:45).

27
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

adat ngon hukom lagee zat ngen sifeut


“adat dengan hukum (agama) adalah seperti zat dengan sifat”
Pepatah ini mengandung pengertian bahwa adat sebagai ciptaan
manusia dan hukum Tuhan (agama) adalah dua unsur yang tidak
bisa dipisahkan. Adat harus selalu beriringan dengan agama.
Dalam perjalanannya, Islam mengalami penguatan citra melam-
paui adat istiadat, sehingga kemudian orang Aceh mengklaim adat
mereka sebagai adat yang Islami, dalam arti segala adat istiadat
berlandaskan agama. Fanatisme agama merupakan suatu tradisi
yang sudah turun temurun untuk melangkah sesuai dengan ajaran
agama. Mereka telah berhasil menjadikan adat dan agama sebagai
pilar bagi kehidupan Aceh. Sultan dan uleebalang adalah dua unsur
utama yang mendukung kehidupan adat, sedangkan ulama adalah
unsur utama yang mendukung dan memperjuangkan peranan agama
(Sjamsuddin, 1999:1).

4. Sikap terhadap Orang Asing


Orang Aceh memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi orang
asing yang datang ke negeri dan wilayahnya. Sikap yang pertama
sekali ditunjukkan adalah sikap ramah dan berteman kepada siapa
saja yang datang. Selanjutnya sikap seperti ini terus dipertahankan
bila tamunya tetap berperilaku baik dan menjadi teman dalam
bersosialisasi. Dalam manuskrip I‘l±m al-Muttaq³n karya Teungku
Muhammad Khatib Langgien (salah seorang tokoh tasawuf abad
ke-19 yang menjadi panutan masyarakat) terdapat penjelasan
tentang perlunya memuliakan tamu. Bahkan berlandaskan pada
sebuah hadis, ia menegaskan bahwa tidak menghormati tamu sama
dengan perilaku syaitan (I‘l±m al-Muttaq³n, hlm. 18).
Para pengunjung dari berbagai negara telah datang ke Aceh
dengan tujuan yang berbeda-beda. Tidak sedikit di antara peda-
gang-pedagang Arab dan Gujarat yang juga telah membawa agama
Islam memilih menetap di sana dan menjalin hubungan kekeluar-
gaan dengan rakyat Aceh. Di antara para pendatang dari Arab dan
sekitarnya terdapat ulama-ulama yang mengabdikan dirinya untuk
mengajar di Aceh, seperti Syekh Muhammad Yamani yang dikenal
dengan ulama Ilmu Usul, Syekh Muhammad Jailani ibn Muham-
mad Hamid dari Gujarat mengajarkan Logika dan Ilmu Fikih (Ar-

28
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Raniri, dalam Bust±n as-Salat³n:33). Bahkan orang non-Muslim


yang datang ke Aceh pun tetap disambut dengan baik. Sebaliknya,
bila pendatang ingin menguasai dan dinilai merugikan Islam dan
martabat bangsa Aceh, maka dengan tegas dan tidak segan-segan
mereka akan bertindak menegur, memarahi atau mengusir, bahkan
memerangi dan membunuhnya. Seperti halnya kedatangan orang
Portugis ke Aceh pada awalnya diterima dengan baik, namun ketika
gerak geriknya kelihatan sudah mencurigakan, maka orang Aceh
mulai bertindak dengan tegas, yaitu menangkap mereka dan
mengadili mereka (Mohammad Said, 1961:89). Kemudian, terjadi-
lah perang sabil melawan Portugis. Sultan Ali Mughayat Syah
bersama rakyat dan kerajaan-kerajaan pantai timur lainnya bersatu
menggalang kekuatan untuk mengusir Portugis dari wilayahnya
(Reid, 2005:2). Demikian juga dengan Belanda yang datang ke
Aceh untuk tujuan membentuk wilayah jajahan. Mereka tidak
pernah dapat hidup tenang dan aman selama di Aceh, meskipun
mereka menetap di wilayah ini dalam waktu yang relatif lama.
Orang Aceh selalu menentang dan melawan mereka meskipun
secara kasat mata dengan persenjataan yang tidak seimbang, baik
secara kelompok maupun individu.

Orang Aceh dan Manuskrip


1. Budaya Tulis Baca Masyarakat Aceh pada Masa Lampau
Masyarakat Aceh pada masa lampau memiliki budaya yang
tinggi dalam hal tulis baca. Hal ini ditandai dengan terdapatnya
sejumlah manuskrip yang masih tersimpan baik di dalam maupun
di luar negeri, yang ditempatkan di lembaga formal, informal
ataupun dikoleksi dan disimpan oleh masyarakat setempat. Di
dalam negeri, manuskrip Aceh tersebar di Perpustakaan Nasional,
Universitas Indonesia, Pustaka Ali Hasymi, Museum Aceh, dan
Dayah Tanoh Abee. Sedangkan di luar negeri, di antara lembaga
yang menyimpan manuskrip Aceh adalah Perpustakan Universitas
Leiden Belanda, KITLV Belanda, British Library, Pusat Manuskrip
Melayu Perpustakaan Negara Malaysia, dan Univeristas Antar
Bangsa Malaysia. Selain itu, koleksi dan simpanan individu
masyarakat Aceh sendiri masih sangat banyak. Sejauh ini, penulis
sudah mengidentifikasi lebih dari 400 manuskrip yang terdapat di
Aceh Besar dan Pidie. Penulis bersama team peneliti Puslitbang

29
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Lektur Keagamaan, Balitbang dan Diklat Departemen Agama juga


telah berhasil mengidentifikasi 49 manuskrip yang terdapat di
Dayah Awe Geutah, Aceh Utara, dan masih banyak lagi manuskrip
yang belum tersusun rapi dan teridentifikasi khususnya di dayah ini.
Penulis juga sangat yakin, selain tempat-tempat yang disebutkan di
atas, di kabupaten-kabupaten lain juga masih terdapat banyak
manuskrip hasil karya pendahulu-pendahulu Aceh. Kondisi
manuskrip rata-rata sangat memprihatinkan karena peyimpanan dan
perawatan yang dilakukan masyarakat belum memenuhi standar
perawatan manuskrip. Hampir semua pengoleksi dan penyimpan
manuskrip tidak mengerti cara merawat manuskrip yang benar,
hanya saja mereka tetap menyimpannya karena dinilai sebagai
warisan yang sangat berharga bagi keberlangsungan hidup mereka.4
Adalah hal yang kurang tepat jika dikatakan bahwa orang Aceh
adalah bangsa yang tidak suka menulis (Hurgronje, Vol. II,
1997:4). Demikian banyaknya ragam manuskrip baik isi maupun
gaya sajiannya adalah bukti telah tumbuhnya tradisi menulis pada
bangsa Aceh pada masa lampau. Keragaman gaya sajian maupun
jenis tulisan sepertinya ditujukan untuk merangsang minat para
pembaca untuk membaca tulisannya, surat-surat, seperti Surat
Keputusan Sultan yang disebut dengan Sarakata, cerita fiksi dan
non-fiksi yang biasanya dituang dalam bentuk hikayat, jimat, obat-
obatan, selawatan, dan berbagai macam ilmu pengetahuan tertuang
di dalam tulisan mereka. Para penulis manuskrip-manuskrip ini
tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk

4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kategori penyimpanan
manuskrip dilakukan oleh masyarakat setempat. Pertama peyimpan yang murni
menyimpan karena mengangap sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai untuk
kehidupan mereka. Seperti kasus di wilayah Samahani Aceh Besar, penyimpan
mengangap bahwa dengan keberadaan manuskrip di rumahnya menjadikan
rumahnya aman dari segala bahaya, terutama bahaya alamiyah, seperti gempa
bumi. Menurut penulis, penyimpan seperti ini perlu mendapat penanganan
khusus untuk dijadikan museum pribadi di rumah penyimpannya. Kedua adalah
kolektor yang tujuan mengoleksi manuskripnya adalah untuk menjual kembali
manuskrip yang dimilikinya. Dewasa ini, sebagian besar manuskrip dibeli oleh
orang Malaysia dengan harga yang tinggi untuk disimpan di negaranya.
(wawancara dengan beberapa kolektor di wilayah Pidie dan Aceh Besar).
Merupakan sesuatu yang sangat prihatin bagi kita semua, mengingat sejumlah
harta warisan kita dibawa ke luar negeri.

30
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

melahirkan sebuah karya yang nantinya akan bermanfaat bagi


pembacanya. Mereka menuangkan ide mereka, kemudian menulis
dengan tinta yang pada umumnya menggunakan tinta hitam dan
merah untuk mengungkapkan kata-kata atau hal-hal yang penting,
bahkan kadang mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar
untuk menulis dengan menggunakan tinta emas sekalipun, demi
untuk menarik minat pembacanya. Salah satu contoh manuskrip
yang ditulis dengan tinta emas adalah Surat Sultan Iskandar Muda,
dan sebagian manuskrip Dala’il al-Khairat. Penulis manuskrip
Dala’il al-Khairat menggunakan tinta emas untuk gambar peta
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, serta tanda-tanda yang menun-
jukkan berakhirnya sebuah kalimat. Selain itu, saya juga pernah
menemukan Al-Qur’an yang gambar iluminasinya ditulis dengan
tinta emas.
Pada abad ke-16 dan ke-17 M, kemajuan ilmu pengetahuan
ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh intelektual sufi, yaitu Hamzah
Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, ar-Raniri, dan Abdurrauf al-
Fansuri 5 . Tulisan-tulisan tentang mereka dan karya-karya mereka
sudah banyak diterbitkan. Para peneliti menunjukkan perhatian
serius dengan memperhatikan, mempelajari, dan meneliti segala
aspek tentang mereka, sehingga banyak buku yang terbit sebagai
hasil studi para ilmuan terhadap mereka.
Para ulama tersebut melahirkan berbagai karya yang mencakup
berbagai bentuk ilmu pengetahuan dari ilmu tasawuf, ilmu fikih,
ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lain, hingga masalah kepentingan umat
secara umum. Salah satu contoh tokoh intelektual sufi yang turut
mempedulikan setiap kepentingan negara dan umatnya adalah
Abdurrauf al-Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh utama dalam
tarekat Syattariah, karena ia yang pertama sekali menyebarkan
tarekat ini kepada masyarakat di Nusantara. Selain menyebarkan
ajarannya, ia peduli terhadap ilmu lain yang dibutuhkan oleh
masyarakat di lingkungannya. Selain ia menulis tentang tasawuf
yang berkisar seputar masalah tarekat Syattariyah, ia juga menulis
karya lain seperti tafsir Al-Qur’an, yang berjudul Tarjuman al-
5
Penulis cenderung menyebutnya Abdurrauf al-Fansuri dari pada Abdurrauf
Singkel, karena setelah diteliti, ternyata Abdurrauf adalah ulama yang berasal
dari Fansur atau lebih dikenal dengan Barus, dan berkerja meniti karirnya di
Aceh (Lihat Fakhriati, 2008).

31
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Mustaf³d, Mir’at at-°ull±b, dan penjelasan terhadap hadis-hadis,


yang berjudul Hadis al-Arba‘in. Di samping itu, ia juga peduli
dengan pemerintahan yang berkembang saat itu, ia memberi fatwa
bahwa pemerintah yang berkuasa pada saat itu, yaitu Sultanah
Safiyatuddin (1641-1676 M) adalah pemerintah yang sah dan benar
dalam hukum Islam (Lihat Azra, 1995).
Namun demikian, pada abad-abad berikutnya, para peneliti dan
ilmuwan kurang menaruh perhatian pada penulis-penulis Aceh.
Sangat sedikit hasil kajian terhadap sosok ulama Aceh dan karya-
karya mereka pada masa ini muncul. Pada abad ke-18, meskipun
kondisi negeri pada saat itu kurang mendukung 6 , orang Aceh yang
cinta tulis menulis terus menuangkan pikiran dan pengalamannya
yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Mereka bahkan meng-
gunakan kesempatan menulis untuk membakar semangat perju-
angan melawan kebatilan yang mereka sebut sebagai kafee untuk
memperjuangkan agama dan bangsanya.
Di antara para ulama yang telah menghasilkan karyanya pada
abad ke-18 M, murid langsung dari Abdurrauf al-Fansuri, Faqih
Jalaluddin dan Baba Daud. Faqih Jalaluddin telah menulis berbagai
karya yang menyangkut berbagai masalah, di antara tulisannya
adalah Asr±r as-Sulµk dan Manzal al-Ajl±. Sedangkan Baba Daud
telah berhasil menyempurnakan karya gurunya, Tarjuman al-
Mustafid dan juga menulis tentang Fikih, seperti Bid±yat al-
Mujtah³d. Selanjutnya, seorang ulama hasil didikan Baba Daud
yang telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi umatnya
adalah Syekh Nayyan. Ia telah membangun dayah yang sampai
sekarang tetap berjaya dengan pendidikan dan penyimpanan kitab-
kitab lama hasil karya para ulama Aceh dan luar Aceh, yakni
Dayah Tanoh Abee (Baca manuskrip, karya Teungku Ismail tentang
sejarah Syekh Nayyan).
Abad ke-19, adalah abad yang cukup menderita untuk rakyat
Aceh, karena harus menghadapi penjajah Belanda. Kendati demi-
kian, pada masa ini karya-karya hasil tulisan orang Aceh bukan

6
Kondisi kerajaan yang secara perlahan mulai melemah berikut masuknya
kekuatan asing yang berusaha meruntuhkan kekuatan kerajaan serta timbulnya
persoalan di dalam negeri antara ulama dan uleebalang memberi pengaruh
memudarnya semangat keilmuan. Perhatian lebih banyak tertuju pada usaha
menghimpun kekuatan membela diri dan mengusir penjajah.

32
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

semakin tenggelam, melainkan bangkit kembali dengan semakin


banyaknya karya yang muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya
adalah yang berbentuk cerita dalam bentuk hikayat yang mengajak
umat untuk berperang melawan penjajah. Di antara para ulama yang
gemar menulis dan cukup produktif pada masa ini adalah Teungku
Khatib Langgien. Ia adalah tokoh tarekat, meski tidak merujuk ke-
pada Abdurrauf al-Fansuri sebagai silsilahnya.7 Ia menulis berbagai
masalah, seperti Mi’r±j as-S±lik³n yang menceritakan tentang praktik
tarekat dan pemahaman filosofi tentang makna tasawuf, dan Daw±’
al-Qulµb yang menjelaskan tentang obat hati yang perlu dimiliki
oleh setiap orang. 8 Selain itu, Teungku di Pulo adalah sosok yang
cukup berpengaruh untuk masyarakatnya di Aceh. Karya-karyanya
tidak hanya berkisar tentang tasawuf, melainkan juga ilmu-ilmu
lain seperti fikih dan bahasa Arab. Ia juga menjadi Qadi untuk
pemerintah yang berkuasa pada saat itu (Lihat Fakhriati 2005).
Pada abad ke-20, muncul ulama besar yang bernama Teungku
Muhammad Ali Irsyad. Ia adalah salah satu penulis yang giat me-
nuangkan pikirannya untuk kepentingan murid dan masyarakatnya.
Ia memiliki juru tulis khusus bernama Teungku Rahman yang ber-
tugas dengan setia melakukan segala perintahnya dalam menulis.
Merupakan suatu kenikmatan tersendiri baginya untuk membuat
buku baru sebagai hasil karyanya sendiri daripada menyalin kembali
hasil para ulama di masa yang silam. Ia lebih cenderung menjadikan
karya-karya pendahulunya sebagai rujukan daripada menyalin kem-
bali. Salah satu karyanya adalah Fa‘lam annahu l± il±ha illall±h.

2. Peran Manuskrip bagi Masyarakat dalam Perang dan


Damai
Manuskrip telah memberi daya tarik tersendiri pada masyara-
katnya. Ia telah menjadi teman setia bagi pembacanya di sepanjang
masa, di samping ia juga menjadi tempat berpijak dan bertindak.
Karya-karya para ulama menjadi pegangan bagi umatnya, lantunan
hikayat menjadi kesenangan bagi masyarakat banyak. Bid±yat al-
7
Untuk penjelasan pergeseran silsilah yang terjadi dalam tubuh tarekat
Syattariyah di Aceh, lihat Fakhriati 2008.
8
Sampai sekarang masih bisa dijumpai manuskrip-manuskripnya yang
dikoleksikan oleh keturunannya, Teungku Amiruddin Hasan Meunasah Kruet
Teumpeun.

33
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Mujtah³d, misalnya, dijadikan sebagai kitab wajib di setiap pesan-


ren (dayah) bagi para pemula. Ilmu fikih yang tetuang dalam kitab
tersebut kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga menjadi darah daging pelaksananya.
Di lain pihak, kesenangan mendengar hikayat di kalangan orang
Aceh telah terjadi secara turun temurun. Snouck Hurgronje menya-
takan bahwa hikayat adalah salah satu bentuk hiburan rohani yang
disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat, baik rakyat biasa maupun
para pemimpin, orang tua, muda, dan anak-anak sekalipun. (Hurgronje,
Vol II, 1997:201). Para ulama dan orang yang berbakat membuat
hikayat pun dengan segala senang hati menciptakan berbagai hika-
yat untuk dibaca di hadapan khalayak ramai, seperti di lapangan, di
meunasah, atau di perkumpulan-perkumpulan kecil di kedai kopi.
Hikayat-hikayat yang dibaca dengan intonasi nyanyian khas
Aceh dapat memberi kesan dan pengaruh yang sangat kuat kepada
para pendengarnya untuk bertindak dan bersikap seperti yang
dikatakan dalam hikayat. Isi hikayat pada umumnya bersifat men-
didik dan mengajari hal-hal yang bermanfaat bagi pembaca dan
pendengarnya. Hikayat Prang Sabi, misalnya, telah mendorong
para pembaca dan pendengarnya untuk bertindak secara langsung
terjun ke lapangan mempraktikkan apa yang diceritakan dalam
hikayat. Dalam peperangan melawan Belanda, misalnya, orang
Aceh tidak pernah menyerah. Meskipun mereka kalah dan tidak
bisa lagi melakukan penyerangan secara berkelompok, mereka masih
tetap melakukan penyerangan secara individu yang dimotivasi oleh
semangat prang sabi. Salah satu contoh bentuk penyerangan
individual yang populer sejak tahun 1910 tersebut adalah peristiwa
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda Aceh terhadap
tentara Belanda pada tahun 1917 di Langsa. Motivasi pembunuhan
bermula dari membaca Hikayat Prang Sabi di rumahnya. (Kern
Papieren, No. C. 234, p. 23-24; Kern, 1979:25-27).9

9
Perlawanan secara individu juga terjadi di tempat lain selain di Aceh. di
Pilipina misalnya, kaum Muslim Tausug melaksanakan jihad yang dikenal
dengan Parrang Sabbil melawan kolonial Spanyol. Mereka melakukannya secara
individu. Sebelum melakukan jihad mereka harus melaksanakan upacara mandi
yang kelakukannya sama seperti mandi yang dilakukan untuk orang yang mau
dikuburkan. Persiapan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan jihad
adalah orang yang akan kembali ke Hari Akhir. (Kiefer, 1973: 109-123).

34
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Hikayat Prang Sabi telah membangkitkan semangat jihad


melawan musuh yang dianggap sebagai kafir yang merongrong
Islam dan bangsa Aceh dan karenanya harus dimusnahkan. Isinya
yang mengajarkan umat sesuai dengan ajaran Islam dan mengajak
mereka untuk menegakkan perang adalah unsur yang mau tidak
mau harus dipatuhi oleh orang yang cinta kepada agama dan
bangsanya.
Selain isi manuskrip tentang ajakan untuk berperang di jalan
Allah, terdapat juga isi manuskrip lainnya yang mengharap adanya
suasana damai. Tidak selamanya setiap insan yang normal jiwanya
di dunia ini ingin berperang, kecuali harus melaksanakannya. Cinta
kedamaian adalah sesuatu yang lain yang diinginkan setiap insan.
Dalam manuskrip Hikayat Prang Sabi sendiri terdapat harapan
untuk mewujudkan negeri Aceh menjadi negeri yang aman dan
damai.
Sabda Nabi neu yu peu Islam kafe belanda yang na tinggai dara ngen agam
nak bek karam u nuraka neuboh raja lein geulanto peutimang naggro mat
neraca... truh lee siat naggroe mulia (Hikayat Prang Sabi miliki Syik Jah, hlm.
33).
“Nabi bersabda agar orang Belanda yang masih tinggal di daerah Aceh
diislamkan agar tidak masuk ke dalam neraka. Untuk memimpin Aceh, Nabi
mengangkat raja lain yang dapat memimpin dan membina negeri Aceh...
sehingga negeri Aceh menjadi mulia”.

3. Manuskrip Aceh pada Masa Kini


Manuskrip memiliki arti penting bagi generasi sekarang di Aceh.
Para pemilik manuskrip–khususnya–menyimpan manuskrip sebagai
sesuatu yang berharga, meskipun sebagian mereka tidak memahami
isinya, bahkan tidak dapat membaca tulisan di dalamnya. Mereka
mengangap manuskrip sebagai sesuatu yang dapat memberi makna
mistis dalam kehidupan mereka. Dengan menyimpan manuskrip,
maka kehidupan dapat berkah dan dapat terhindar dari malapetaka.
Salah seorang penyimpan manuskrip, Kak Putri misalnya, memiliki
keinginan menyimpan manuskrip karena ada kepercayaan dapat
berlindung dari gempa bumi, sementara rumah di sekelilingnya sudah
hancur berantakan, terlebih setelah sekian lama berprofesi sebagai
penjual beli manuskrip dengan untung yang besar namun hasilnya
tidak berkah (habis begitu saja tanpa termanfaatkan dengan baik).

35
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Selain itu, manuskrip juga dianggap sebagai barang warisan


yang berharga dari nenek moyang mereka. Wasiat pendahulu-pen-
dahulu mereka terus dipelihara dan dijaga. Syik Jah Amut misal-
nya, merasa bahwa menyimpan manuskrip-manuskrip yang ia
miliki sebagai warisan dari leluhurnya lebih baik daripada menyim-
pan sesuatu yang berharga lainnya, seperti baju dan uang. Ia lebih
mementingkan keamanan manuskrip dibandingkan dengan yang
lain. Ia mendapat wasiat dari kakeknya agar tiga manuskrip yang ia
miliki hendaknya selalu dibaca dan diamalkan. Ia yakin dengan
kepatuhannya kepada wasiat kakeknya tersebut, ia dan keluarganya
telah memperoleh hikmah, yaitu ia dan keluarganya terhindar dari
serangan musuh ketika konflik Aceh terjadi, meskipun ia dan
keluarga berada di tengah-tengah perang dan dikelilingi oleh pihak-
pihak yang berseteru. Tidak ada satu pun dari pasukan kedua belah
pihak yang terlibat konflik berusaha masuk ke rumahnya. Padahal
rumah di sekelilingnya sudah disisir semuanya. Ia dan keluarganya
berkeyakinan bahwa pengalaman tersebut adalah berkat dari me-
nyimpan, membaca, dan mengamalkan manuskrip. Adapun tiga
manuskrip tersebut adalah manuskrip Hiyakaye, yaitu manuskrip
yang isinya dapat membuat musuh tidak dapat melihat orang yang
mengamalkan isi kitab tersebut, Hikayat Prang Sabi, dan Hikayat
Nuri. Ketiga-tiga manuskrip tersebut adalah manuskrip pemompa
semangat untuk berjihad dan mengajarkan cara menghilangkan diri
dari musuh.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada orang yang perduli
terhadap manuskrip. Sering kali ketidakperdulian ini disebabkan
mereka tidak dapat membaca dan memahami isinya. Pada umum-
nya penduduk desa yang seperti ini tidak berani menjualnya karena
takut mendapat bencana meskipun ada yang berhasrat membelinya.
Sehingga mereka membiarkan manuskrip ada di rumahnya dengan
menyimpan di dalam karung-karung atau peti dan meletakkan di
loteng-loteng, atau mereka memindahtangankan (mereka menghin-
dari istilah menjual) dengan cara barter.

Bentuk-Bentuk Perang yang Terjadi di Aceh


1. Konflik Internal
Secara internal, dalam tubuh masyarakat Aceh telah terjadi
beberapa kali konflik yang menelan sejumlah korban dari berbagai

36
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

pihak. Sebelum kemerdekaan konflik telah terjadi antara ulama dan


uleebalang, sesudah kemerdekaan konflik juga timbul antara
mereka. Perbedaannya hanya terletak pada faktor penyebabnya.
Pada masa sebelum Belanda campur tangan ke dalam wilayah
Aceh, kekuasaan sultan sudah mulai melemah. Para uleebalang
mulai menunjukkan sikap tidak patuh kepada aturan-aturan sultan
yang tertuang dalam sarakata. Pembagian hasil upeti yang didapat
tidak dilakukan. Perilaku koruptif dengan tidak memberitahukan
kepada sultan hasil pajak yang sebenarnya mulai merebak.
Pembangkangan ini ternyata disambut oleh Belanda yang ingin
ikut campur ke dalam pemerintahan kerajaan Aceh. Belanda ber-
usaha melenyapkan kekuasaan sultan dan mengangkat kedudukan
uleebalang sebagai penguasa wilayah. Ia membagi-bagi wilayah
kecil dengan penguasa uleebalang yang harus tunduk di bawah
kekuasan Belanda. Di sisi lain, Belanda menekan kedudukan ulama
agar tidak ikut campur dalam mengelola sistem pemerintahan.
Politik saling mencurigai antara sesama atau lebih dikenal dengan
politik devide at impera selalu menjadi acuan Belanda dalam usaha
memperluas wilayah jajahannya.
Uleebalang pada umumnya senang dengan perlakuan Belanda
tersebut sehingga ikut-ikutan untuk menekan dan menghalang-
halangi gerak para ulama terutama dalam melaksanakan tugasnya
menyebarkan dan melaksanakan ajaran agama. Para ulama tidak
menerima tindakan demikian, sehingga konflik pun muncul ke atas
permukaan. Perlawanan ulama ini digambarkan oleh Teungku
Muhammad Ali sebagai berikut:

Keusalah drou hantem leumah sebab that ku’eh kafeee Ulanda


Hate jih seupot beurangkajan iblih ngen syaithan di dalam dada
Han jitem deunge pengajaran agama Tuhan bak Rasul Anbiya
Kalam Tuhan han jitem pateh ji peusalah dum anbiya... (Sir±judd³n, h. 11).

“Kesalahan diri sendiri tidak pernah nampak karena sangat jahat kafir
Belanda
Hatinya sudah gelap sehingga kapan saja jin dan syaitan dapat masuk ke
dalam dada mereka
Tidak mau mendengar pengajaran agama Tuhan pada Rasul Anbiya
Mereka tidak mau mematuhi kalam Tuhan, malah menyalahkan semua para
anbiya...”

37
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Berpegang teguh pada ajaran agama menjadi kewajiban bagi


para ulama untuk mempertahankannya. Mereka mengajak pengikut-
nya untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, agar selamat
hidup di dunia dan akhirat.
Geutanyo bandum wahe ado bak buet Rasul ikut gata
Laen bak Rasul bek ta ikot meunan patot dum peutua..

Bek tamuerakan wahe ado ngen ureung jahe aso donya


Beutatakot hai ureung salek keu ureung ulok jahe donya
Di ureung jahe pih jitakot keuureung salek duk lam tapa
Padum-dum oreung jahe jipeujahat sabe ureung tapa
Ureung yang pubuet suroh Allah jipeusalah dum ji rata
Seubab hana ji sumayang wate limeung jiyu plihara
Hantem jideungo firman Tuhan dalam Quran yang that mulia
So na seubot nama Tuhan yanke tolan semayang gata
Ureung yang na kheun kalimah tayibah yanke yang jroh taat gata
(Sir±judd³n, h. 13-14).

“Semua kita wahai saudara harus ikut pekerjaan Rasul


Selain itu jangan ikuti karena begitulah seharusnya...

jangan berteman dengan orang jahil yang suka kepada dunia


takutlah hai salik kepada orang yang seperti itu
orang jahil pun takut kepada orang salik yang bertapa
orang yang mengikuti perintah Allah disalahkan semua
karena mereka tidak salat wajib yang lima waktu
tak pernah mendengar firman Tuhan dalam al-Quran mulia
mereka tidak pernah mendengar firman Tuhan dalam al-Quran
barangsiapa menyebut nama Tuhan dan salatlah kalian
orang yang mengucap kalimah yang baik mereka itulah orang yang baik dan
taat”.

Pada akhir tahun 1945, yaitu setelah kemerdekaan, terjadi


kembali perang saudara antara ulama dan uleebalang yang dikenal
dengan perang cumbok. Para uleebalang ingin mendapatkan kem-
bali posisi di atas dalam pemerintahan sebagaimana telah mereka
alami pada masa Belanda. Para ulama tidak memberi kesempatan
kepada uleebalang untuk mengatur dan memerintah sementara
mereka juga menginginkan kekuasaan sehingga terjadilah perang.
Korban telah banyak berjatuhan dari kedua belah pihak, terutama di
pihak uleebalang. Banyak di antara mereka harus lari dan pergi

38
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

meninggalkan Aceh agar selamat dari serangan dan pembunuhan


(Reid, 1979:200-204; Usman, 2003:119-124).

2. Konflik Eksternal
Perang melawan orang asing yang datang ke tanah Aceh terjadi
pertama kali dengan pasukan Portugis yang ingin menguasai wila-
yah Aceh. Dengan kegigihannya, Aceh mencari bantuan ke Turki
untuk persiapan menghadapi mereka. Pada tahun 1509 M, pasukan
Aceh di bawah komando Kuemala Hayati telah berhasil mengalah-
kan Portugis yang berada di bawah pimpinan Admiral Die d’Lopez
Sequeira yang berusaha menguasai wilayah Aceh Besar, Pidie, dan
Pasai (Zainuddin 1961:267; Usman, 2003:115).
Kemudian perang kembali berkecamuk ketika Belanda melaku-
kan agresi pertama ke wilayah Aceh pada tahun 1873. Sangat
beruntung bagi orang Aceh, karena keberhasilan ada di tangan
mereka dan jendral Kohler tewas terbunuh oleh rencong Aceh.
Orang Aceh sangat senang atas kemenangan ini, sehingga lahir
hikayat tentang tewasnya jendral Kohler. Hikayat tersebut selain
menceritakan kemenangan pasukan Aceh dengan tewasnya jenderal
Kohler, juga berkisah tentang peristiwa berkecamuknya peperangan
serta menggambarkan bagaimana semangat juang pasukan bersama
rakyat Aceh dalam perang mengusir penjajah yang menelan banyak
korban di kedua belah pihak.
Perang melawan Jepang, (1942-1945) adalah perang lain yang
harus dihadapi orang Aceh. Pada awalnya, Jepang menjanjikan angin
surga untuk bersama orang Aceh melawan Belanda dan berada di
pihak orang Aceh untuk membangun Aceh. Para pemuda Aceh
direkrut untuk berada di tangga pemimpin negeri, menggantikan
posisi uleebalang. Para pemuda Aceh menyambut gembira harapan
yang diberikan Jepang. Mereka mengikutinya, namun mereka juga
tetap waspada apa yang akan terjadi ke depan. Sehingga gerak
mereka tidak lepas dari pantauan para petinggi ulama. Mereka tetap
menjadikan rujukan dan membina hubungan erat dengan para
ulama setempat.
Setelah merasa bahwa janji-janji Jepang hanyalah tipuan belaka,
maka rakyat Aceh mulai mengerakkan seluruh kemampuannya un-
tuk berperang menghadapi Jepang. Mereka melawan Jepang meski
dengan senjata yang tidak sebanding sekalipun. Semangat jihad

39
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

kembali berkobar, meski tekanan hidup lebih parah daripada yang


dialami pada masa Belanda. Hikayat Prang Sabi kembali dikuman-
dangkan dari berbagai tempat dan sudut untuk membakar semangat
rakyat berjuang melawan Jepang sebagai kafir. Akhirnya, Jepang
pergi sendiri meninggalkan Aceh setelah dikalahkan oleh Amerika
dengan jatuhnya bom di Hirosima dan Nagasaki.
Pada jangka waktu perang yang singkat dengan Jepang, tidak
terlihat munculnya karya-karya para ulama pada saat ini. Hal ini
terjadi, kemungkinan besar karena selain masa perang melawan
Jepang yang demikian singkat, juga karena seluruh kemampuan
jiwa dan raga orang Aceh tercurah ke dalam perang menghadapi
Jepang. Mereka hanya menggunakan kitab-kitab lama untuk dibaca
dan direnungi serta diamalkan.

Kondisi-Kondisi yang Menyebabkan Perang


Dari hasil pemetaan di atas dapat dianalisis berdasarkan manu-
skrip yang ada bahwa terjadinya perang di Aceh adalah karena
faktor-faktor penjajahan, beda agama, dan perebutan kekuasaan.
Abdurrauf al-Fansuri adalah tokoh yang sangat kuat memper-
juangkan negara melawan penjajah. Ia mengajarkan bahwa perang
melawan orang kafir yang menjajah wilayah kaum Muslimin adalah
wajib. Ia menyebut bahwa memerangi orang kafir adalah berbentuk
perang sabil yang diridai oleh Allah. (Abdullah, 1991:131). Dalam
kitab Wa¡iyyat Syeikh Abdurrauf al-Fansuri 10 terdapat ajaran
Abdurrauf tentang kewajiban perang sabil. Ia mengatakan bahwa
Allah melarang orang Islam untuk tunduk di bawah pemerintah
kafir dan mengambil orang kafir sebagai teman. Untuk itu Allah
mewajibkan umat Islam untuk melakukan perang sabil. Karena itu
ia mengajak kaum Muslimin untuk bersungguh-sungguh melaksa-
nakan perang sabil dan bercita-cita untuk mati syahid.
Orang Aceh sangat menghormati dan menghargai keagungan
Abdurrauf al-Fansuri, sehingga ajarannya juga diamalkan. Dalam
sebuah doa, terdapat semangat jihad dengan mengharapkan berkat
dari Abdurrauf al-Fansuri dalam berjuang melawan Belanda.

10
Manuskrip ini disimpan di Pusat Manuskrip Melayu dengan nomor kelas
MS 1314.

40
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

L±’il±ha’ill±h, firman Allah neuyou prang kafe. Beureukat syufa’at Nabi


Muhammad bak meunang umat, beutalo kafe. Boh beudee jife bek jimeusu.
Beureukat Teungku Syiah Kuala. Hatee bak puteh, iman bak teugoh. Bak Allah
beh kafee Ulanda. (Manuskrip, Cod. Or. 7992 (5): 3)
“Tiada Tuhan selain Allah, firman Allah disuruh perangi kafir, berkat syafaat
Nabi Muhammad agar menang umat, kalah kafir. Keluar peluru jangan
bersuara. Berkat Teungku Syiah Kuala, hati harus putih bersih dan iman harus
kuat. Agar Allah usir kafir Belanda”.

Selain itu, dorongan kuat dari tokoh luar Aceh juga menjadi
kondisi membangkitnya semangat orang Aceh dalam menggerak-
kan perang melawan penjajah Belanda. Abdussamad al-Palembani
(w. Setelah tahun 1789 M) adalah tokoh dari Palembang (Sumatera
Selatan) yang telah membakar semangat jihad untuk wilayah Nusantara,
khususnya Aceh. Sebagai penganut dan penyebar tarekat Samaniyyah
di wilayah Nusantara, ia berjuang dengan giat melawan Belanda.
Bukunya tentang kewajiban melakukan jihad bagi setiap Muslim
yang sedang menghadapi musuh yang berjudul Na¡³¥ah al- Muslim³na
wa Ta©kirah al-Mu’min³na f³ fa«±’il al-Ji¥±di f³ Sab³lill±h wa
Kar±mah al-Muj±hid³na f³ Sab³lill±h 11 telah menjadi rujukan bagi
rakyat dalam berperang. Masyarakat Aceh menggunakan buku ter-
sebut sebagai pedoman mereka menulis. Salah satu manuskrip yang
mengambil rujukan pada buku tersebut adalah Nasihat Ureung
Meuprang dan Hikayat Prang Sabi. Karena itu, tidak heran kalau
sampai sekarang manuskrip al-Palembani masih disimpan dan
dikoleksi oleh orang Aceh.
Perkumpulan kaum Muslimin di Mekah juga menjadi kondisi
lain untuk mendorong orang Aceh bergerak lebih radikal terhadap

11
Buku ini berisi pahala yang dicapai oleh orang yang melakukan jihad, dan
penghapusan dosa selama di dunia. Kemudian, penjelasan tentang peraturan
berjihad yang terdiri dari jihad yang wajib dilakukan oleh setiap individu bila
orang kafir menguasai daerah orang Muslim, dan jihad yang hanya wajib
dilakukan secara berkelompok bila orang kafir masuk ke dalam wilayah mereka.
Di akhir buku ini tertulis doa yang berisi permohonan kepada Allah agar Allah
melindungi orang yang melakukan jihad. Kemudian dilanjutkan dengan anjuran
kepada orang yang melaksankan jihad agar membaca l± ¥awla wa l± quwwata
ill± bill±h tujuh kali. (Manuskrip, Cod. Or. A. 20. C).

41
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

kaum non-Muslim. Orang Aceh yang berada di Mekah 12 menda-


patkan informasi tentang kekejaman kolonial di setiap negara
Muslim lainnya di dunia. Sehingga perkumpulan tersebut membuat
komitmen untuk memberantas kolonial di wilayah mereka. Mereka
saling mendapat dorongan untuk mencapai satu tujuan yang sama.
Mereka mendengar akan kesuksesan saudara mereka dalam mem-
perjuangkan negara mereka. 13 Sehingga semangat yang berapi-api
mereka bawa pulang serta. Konsekwensinya mereka menciptakan
gerakan melawan penjajah di daerah mereka sendiri, dan mengajak
rakyatnya untuk ikut serta. Salah satu cara mereka merangkul
rakyatnya adalah dengan menulis informasi yang mereka peroleh di
Mekah dalam bahasa Aceh dan berbentuk hikayat, sehingga rakyat
antusias membaca dan mendengarkannya.14
Manuskrip Teungku Ali Muhammad Pulo Peub yang ditulis
pada abad ke-19 M adalah salah contoh manuskrip yang menarik
dikaji untuk melihat kondisi yang menyebabkan terjadinya perang
di Aceh. Ia, sebagai tokoh Syattariyah tidak luput mengulas sifat
dan sikap uleebalang dan kafir Belanda yang menghalang-halangi
kaum tarekat dalam beribadah. (Sir±judd³n, h. 8-12).
Meunan Peurintah Huleebalang dum sibarang yang peutua...
Ureung salik ji peusalah menan fitnah ureng celaka (Sir±judd³n, hlm. 10)
Han jibri peubut tarekat sufi seubab that dengki si celaka...
Keusalah drou hantem leumah that kueh kafee Ulanda (Sir±judd³n, hlm. 11)

12
Pergi ke Mekah khususnya untuk melaksakan haji telah menjadi suatu
tradisi bagi orang Aceh khususnya dan Nusantara pada umumnya. Mereka yang
memiliki cukup biaya pergi ke Mekah dan bahkan sebagian mereka menetap di
sana berpuluh-puluh tahun guna menuntut ilmu agama dari para guru di tanah
suci. (Bruinessen, 1990: 42-49). Teungku Muhammad Ali yang berdomisili di
daerah Leungputu, misalnya, adalah seorang intelektual yang selama dua puluh
tahun berada di Mekah untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Ia kemudian pulang ke
Aceh dan mengabdi kepada agama dan bangsanya dengan berbagai macam cara.
Di antaranya adalah dengan menuangkan ilmunya ke dalam tulisannya.
13
Lihat misalnya keberhasilan Mahdi Sudan dalam Dekmejian, 1972: 193-
210: Holt, 1980: 337-347.
14
Sampai sekarang, manuskrip-manuskrip tentang hal tersebut masih
disimpan oleh penduduk setempat. Salah satunya adalah simpanan Teungku
Ainal Mardhiah Teupin Raya. Isi manuskrip tersebut adalah penjelasan perang
yang terjadi di berbagai negara Muslim di dunia, seperti di Arab dan di Mesir.
Manuskrip ini ditulis dalam bahasa Aceh dan dalam bentuk hikayat.

42
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

“Demikian perintah uleebalang sebagai pemimpin...


Orang salik disalahkan demikian bentuk fitnah orang celaka
Tidak diizinkan melaksanakan tarekat sufi karena mereka sangat dengki...
Kesalahan sediri tidak pernah kelihatan sangat jahat kafir Belanda”

Uraian Teungku Muhammad Ali Pulo Pueb tentang ketidak-


setujuan dan sikap uleebalang terhadap ketaatan kaum tarekat
dalam beribadah menunjukkan bahwa uleebalang pada masa itu
telah berhasil dipandu dan didikte oleh Belanda dalam mengatur
negara dan mengesampingkan para ulama. Akibatnya, hubungan
ketidakharmonisan kedua pihak yang bersaudara setanah air
semakin tidak terelakkan dan bahkan semakin meruncing.

Upaya-Upaya Damai
Dalam manuskrip, terdapat upaya-upaya damai yang dapat dili-
hat agar setiap masyarakat dapat menikmati hidup dengan tenang
dan dapat melaksanakan segala aktivitas sehari-hari demi kemajuan
bangsa.
Untuk menciptakan perdamaian di kalangan masyarakat dan
juga di tingkat pemerintahan, Abdurrauf al-Fansuri dengan bijak-
sana menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan antara kaum sufi
yang sebelumnya telah mengarah kepada kekerasan. Ia memilih
bersikap moderat dan cukup hati-hati dalam menghadapi konflik
yang ada pada saat itu. Ia menulis kitab tasawuf dengan judul
Tanb³h al-Masy³ yang di antara isinya adalah upaya untuk menet-
ralkan pemahaman tasawuf yang telah simpangsiur pada saat itu. Di
satu sisi, ia tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan penya-
tuan makhluk dengan Tuhannya yang tidak ada perbedaan sama
sekali. Bahkan ia sangat takut bila seseorang akan menuduhnya
berada pada garis yang salah dalam tasawuf, tidak berdasarkan
ajaran dari gurunya.
Bismill±hirra¥m±nirra¥³m
Q±lal faq³ru ilall±hil malikil jal³lil syaykhi ‘abdur ra’µfi anna ‘alayya wa
lamma wa¡altu ila ar«il Asy³ wa k±na l³ f³h± rajulun yu¡±¥ibun³ wa
yataraddadu ilayya ka£³ran wa raaytu annahu yatakallamu f³ wa¥datil wujµdi
‘ala khil±fi m± qarrarahu sayyid³ wa syaykh³l ‘±limir rabb±niyyil munfaridi f³
aw±nihi bil± £±n³ A¥mad bin Mu¥ammadil Madan³l An¡±r³yyi¡ ¢amad±n³yyisy
Syah³ri bil Qusy±sy³ wa khal³fatul ‘±lamil ‘al±matil ¥ibril ba¥ril fahh±mati
wahua syaykhun± Burh±nudd³ni Mul± Ibrah³m ibni ¦asanil Kµr±n³

43
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

ra¥imanallahu bihim± wa ©±lika min ¥ay£u annar rajula lam yumayyiz baynal
mur±tibi wa lam yarji’ ila taqr³ril mu¯±biqi lisyar³‘ati faakh±fu ayyunsama
taqr³rur rajuli wa i‘tiq±duhu ila taqr³r³ wa i‘tiq±d³ ¥atta yukaffirun³ ba‘da
waf±t³ wa ana bar³un minhu fajami‘tu h±©ihir ris±lata mustaq³nan bill±hi wa
mu‘tarifan biqillatil bi«±‘ati wan na«±¥ati wa sammaytuh± bitanb³hil m±sy³
ala ¯ar³qatil qusy±syi wa faqultu bismill±hir ra¥m±nir ra¥³mi

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang


Syekh Abdurrauf al-Fansuri berkata: bahwa ketika saya sampai di Aceh, ada
seseorang datang kepada saya berkali-kali, saya melihat ia berbicara tentang
wa¥datul wujµd yang berbeda dengan apa yang telah diajarkan syekh saya
Ahmad bin Mu¥ammad al-Madan³ al-An¡±r³ as-¢amad±n³ yang dikenal dengan
al-Qusy±sy³ dan khalifah Alam yang luas pemahamannya yaitu syekh kami
Burh±nudd³n Mul± Ibrah³m bin Hasan al-Kµr±n³ semoga Allah merahmati
keduanya. Bahwa orang tersebut tidak membedakan antara tingkatan-tingkatan
dan tidak merujuk kepada ketentuan syariat, saya khawatir ketentuan dan
keyakinan orang tersebut dinisbahkan kepada ketentuan dan keyakinan saya,
sehingga orang mengkafirkan saya setelah saya wafat, padahal saya tidak ada
hubungan dengan masalah tersebut. Maka saya buat risalah ini dengan
mengharap bantuan dari Allah dan menyadari akan sedikitnya perbendaharaan
dan banyak kelemahan dan saya namakan buku ini dengan Tanb³hul M±sy³ ala
Tar³qatil Qusy±sy³ dan saya mengucapkan Bismillahirra¥m±nirra¥³m”.
(Tanbih al-Masyi yang disimpan di Tanoh Abee, h.1).

Di sisi lain, ia melarang menuduh atau mengklaim dengan


kutukan yang menyakitkan si pendengar yang mengakibatkan akan
menjerumuskan diri sendiri ke dalam kata-kata yang pernah
diucapkan tersebut.
Wa¥fa§ lis±naka ‘anil g³bati wa takfir fa’innahu kha¯aran ‘a§³man ‘inda
rabbikal kab³r wa l± tula‘‘in akh±kal muslima fatakun minal mujrim³na
yaumal qiy±mati wa l± tamda¥¥uhu ay«an fatakun minal mabgµ«³na aw mina«
«±rib³na ‘unuqa akh³him. (Tanb³h al-M±sy³ versi Tanoh Abee, hlm. 32).
“Peliharalah lidahmu dari perbuatan g³bah dan mengkafirkan orang lain,
karena sesungguhnya pada keduanya terdapat kesalahan besar di sisi Tuhanmu,
dan jangan engkau mengutuk saudaramu yang Muslim, karena engkau akan
termasuk golongan orang-orang yang berdosa pada hari kiamat, dan jangan
pula engkau memujinya, karena engkau akan termasuk golongan orang yang
dimurkai Allah atau golongan orang yang memenggal leher saudaranya”.

Dalam karangannya yang lain, ia juga menulis:


Dan tiadalah harus kita mengkafirkan dia, karena jikalau ada ia kafir, maka
tiadalah perkataan dalamnya. Dan jikalau tiada ia kafir, niscaya kembali kata
itu kepada diri kita. (Daq±’iq al-¦uruf, 392).

44
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Seterusnya, pada halaman yang sama, Abdurrauf al-Fansuri


menjelaskan:

...dan inilah bahaya mengkafirkan itu, berlindung kiranya kita kepada Allah
dari pada kufur itu. (Daq±’iq al-¦urµf, 392).

Dari ungkapan-ungkapan Abdurrauf al-Fansuri yang dituangkan


dalam tulisannya seperti tersebut di atas, maka sungguh dapat
dilihat bahwa pandangan Abdurrauf al-Fansuri sangat jauh berbeda
dengan pandangan ar-Raniri yang pengikut Hamzah Fansuri seba-
gai pengikut wujudiyah yang sesat sehingga perlu dimusnahkan
berikut kitab-kitabnya karena menurutnya mereka sudah berada
pada jalan yang salah menurut agama. Sultan Iskandar Stani sangat
mendukung sikap ar-Raniri, sehingga ia memerintahkan pekerja-
pekerja kerajaan melakukan pembunuhan terhadap pengikut Hamzah
Fansuri. Dalam kitabnya Fath al-Mubin, ar-Raniri menjelaskan:

...dan lagi kata mereka itu: al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa
alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh
raja akan mereka itu membawa tobat daripada iktikad yang kufur itu. Maka
dengan beberapa kali disuruh raja akan mereka itu membawa tobat, maka
sekali-kali tiada ia mau tobat, hingga berperanglah mereka itu dengan
penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya
himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang
bernama Bayt Al-Rahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu.15

Pada abad selanjutnya, abad ke-18 M, tulisan Faqih Jalaluddin


Asr±r al-Sulµk juga mengandung unsur pemeliharan perdamaian
dan mencegah terjadi konflik di antara pengikut tarekat yang ia
dalami, yaitu dengan penguraian kata-kata sejelas mungkin dan
lebih hati, sehingga tidak ada kesalahpahaman di antara pembaca.
Ketika seorang prajurit Aceh pergi ke medan perang, ia selalu
mengharapkan agar dapat kembali dan bersama keluarganya lagi.
Dalam salah satu manuskrip yang disimpan oleh salah seorang
penduduk Pidie terdapat tulisan tentang uraian sebuah harapan dari
seorang pemuda yang pergi berjihad untuk dapat kembali hidup
bersama isterinya lagi. Ia sangat mengharapkan agar istrinya selalu

15
Ar-Raniri, al-Fath al-Mubin, MS dikutip dari Azra 1995:182.

45
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

menjaga diri dan berdoa agar mereka dapat hidup bersama lagi
membangun keluarga yang sakinah sepanjang hidup mereka.
Dalam masa penjajahan Belanda Teungku Id ibn Ustman masih
sempat menyelesaikan tulisannya tentang bagaimana memahami
tasawuf dengan benar. Menurutnya cara-cara tasawuf yang benar
adalah cara pelaksanaan yang ditawarkan oleh Hamzah Fansuri. Ia
sempat mendapat pengikut banyak untuk melaksanakan ajarannya.
(Manuskrip Laut Makrofat Allah). Namun ajarannya ini kemudian
ditentang oleh Teungku di Pulo dan kawan-kawannya. Sehingga
untuk meluruskan jalan pemahaman umat, ia kemudian diusir dan
bahkan dibunuh oleh masyarakat setempat. (Poerwa, 1961:16;
Ishak, 1993:4). Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan rakyat
dari perpecahan yang meluas akibat menyebarkan dua faham yang
saling bertentangan sebagaimana yang terjadi pada masa Sultan
Iskandar Tsani pada abad ke-17 M.
Karya Teungku Muhammad Ali Pulo Peub memancarkan ke-
inginan untuk berdamai dengan lawannya, yaitu uleebalang dan
Belanda. Kendatipun ia sangat tidak menyukai cara-cara uleebalang
dan Belanda, tetapi berusaha untuk tidak secara gamblang me-
nyebut perilaku uleebalang sebagai perilaku musuh yang perlu
diperangi. Ia lebih memilih jalan menjauhkan diri dari ancaman
mereka dan mengajak umatnya untuk tetap berada pada jalan yang
benar, yaitu jalan agama yang diridai Tuhan.
Dalam tulisan Teungku Muhammad Khatib Langgien, salah
seorang ulama yang cukup produktif pada masanya, dalam kitabnya
Mi‘r±j as-S±lik³n menyajikan ajaran yang mengandung unsur
perdamaian. Ia berusaha untuk tidak menciptakan konflik terhadap
pemahaman yang berbeda dari pemikirannya yang ia tuangkan
dalam tulisan. Ia menjelaskan segala hal yang menyangkut filosofi
tasawuf dengan sangat hati-hati. Ia juga membuat perumpamaan-
perumpamaan sebagai salah satu caranya untuk menjelaskan sesuatu
yang masih kurang jelas untuk pembacanya. Seperti menjelaskan
tentang perbedaan mengenal gajah dengan mengenal manusia
karena berbeda bentuk dan akal, demikian juga dalam hal mengenal
Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluknya. Dalam salah satu
tulisannya ia menyebutkan:

46
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu karena mustahil dikata umpama
barangsiapa mengenal ia akan gajah maka sanya ia mengenal akan manusia...
(Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 27).
Dalam menjelaskan hal-hal yang berbentuk filosofi seperti di
atas, ia juga menjelaskan bahwa tingkat ini diperuntukkan kepada
ahli sufi yang berada pada tingkat tinggi, dan ia memberi
peringatan kepada pembacanya agar hati-hati dalam menafsirkan
karena dapat menyesatkan pemahaman, seperti
...dan lagi yang demikian itu tempat tergelincir kebanyakan manusia yang tiada
makrifat baginya hai salik adalah segala alam makrifat yang telah kunyatakan
kepadamu ialah alam makrifat yang indah-indah dan ia yang terlebih sukar
paham segala orang awam...( Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 28).
Selanjutnya, ia juga menulis tentang obat hati, yang perlu
diamalkan oleh pembacanya agar dapat hidup lebih tenang baik di
dunia maupun akhirat. Sifat-sifat yang tercela dihindarkan dan
sifat-sifat yang baik digunakan. Salah satu sifat yang perlu
dihindarkan adalah hubb ad-dunya, karena kasih akan dunia ibu
segala kejahatan (Dawa’ al-Qulµb, h. 28-29). Akibat dari sifat ini,
seseorang akan terlena dengan dunianya dan tidak mau bersegera
mencari bekal untuk akhirat.
Manuskrip Hiyakaye adalah sebuah manuskrip yang dikemas
untuk memberi semangat hidup bagi para pembacanya. Isi manuskrip
ini mengajak pembaca untuk selalu menghafal dan mengamalkan
ayat-ayat tertentu agar kehidupan di dunia selamat dari kecaman
apa pun, tenang dalam menjalani hidup dalam keadaan apapun.
Satu contoh lain adalah manuskrip Hikayat Abdurrahman.
Manuskrip ini menguraikan cerita fiksi berjudul Hikayat Abdur-
rahman. Isinya menjelaskan tentang kehidupan sebuah keluarga
yang bernama Abdurrahman dan seorang anak perempuan yang
salehah bernama Siti Hazanah. Kisah perjalanan hidup Siti Hazanah
setelah ditinggal mati keluarganya menjadi sorotan utama dalam
manuskrip ini. Ia mengalami berbagai cobaan dan penderitaan dalam
liku-liku hidupnya. Ia dicaci maki, dicemohi, dijauhi dan tidak
perlakukan sebagaimana karabat lain, karena tuduhan-tuduhan dari
sepihak yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Mengatasi masa-
lah ini, ia lebih memilih cara sabar, diam, dan hanya menyerahkan
diri kepada Allah. Ia mengadakan pembelaan terhadap dirinya, bila

47
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

ia mendapat kesempatan. Ia tidak pernah menyakiti orang lain.


Akhirnya pembelaan dari pihak yang tidak diduga, yaitu dari
makhluk Allah selain manusia, untuk menyatakan bahwa dia adalah
orang benar dan tidak pernah bersalah. Dalam perjalanan hidupnya,
akhirnya, ia mencapai tingkat sufi yang paling tinggi, yaitu makrifat
Allah. Ia memperoleh kesenangan yang sangat tinggi dan selalu
diidam-idamkan selama hidupnya, yaitu melihat Tuhannya. Seperti
tersebut dalam teks;
Rupa po yang takalen Hate heran leumah Tuhan
yankeu iman dengan makrifat Yan alamat takwa hanban.
(Manuskrip Hikayat Abdurrahman, hlm. 45).

“Wujud Tuhan yang terlihat Hati menjadi heran akan hadirnya Tuhan
Itulah iman dengan makrifat pertanda hasil takwa yang sangat tinggi”

Penutup
Catatan sejarah Aceh adalah bagian dari cerita panjang tentang
perang dan damai, di samping cerita tentang kemajuan dan kemun-
durannya. Orang Aceh sesungguhnya adalah manusia-manusia yang
ramah, terbuka, dan suka pada kedamaian dan ketenangan. Mereka
dapat menerima kehadiran siapapun tanpa memandang ras dan
agama selama ia sendiri tidak merusak hubungan baik dengan
penduduk dan masyarakat Aceh. Namun, di balik keramahtamahan
dan keterbukaan itu tersimpan sikap yang sangat tegas dan tidak
mau tunduk atas setiap kehendak asing yang ingin menguasai atau
merusak citra Aceh baik wilayah, harga diri, terlebih agamanya.
Sejarah perang Aceh selalu terkait dengan upaya mempertahan-
kan wilayah, agama, dan harga diri. Untuk urusan seperti ini, orang
Aceh memiliki semangat jihad atas nama agama yang sulit diredam,
kecuali apa yang mereka tuju telah tercapai.
Ulama bagi masyarakat Aceh memiliki posisi sentral sebagai
panutan dalam beragama, bermasyarakat, dan berjuang f³ sab³lill±h.
Selain komando untuk mengusir penjajah, pada umumnya ulama
yang menulis manuskrip-manuskrip Aceh mengajarkan agar men-
dorong terciptanya perdamaian dalam hidup, meskipun sedang
berada pada posisi menghadapi musuh. Permusuhan dan pertikaian
tidak boleh diciptakan dan dimulai, tapi mempertahankan diri dan
agama adalah wajib. Salah satu usaha mempertahankan diri adalah

48
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

dengan doa-doa mujarabat, yaitu doa-doa yang ampuh untuk diba-


wa kemana saja dan dapat mengalahkan segala keinginan jahat
yang bertebaran di luar diri pemegang doa tersebut. Doa-doa
tersebut menjadi alat pelindung bagi pemegangnya bila ia dihafal,
diamalkan, dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku. Dan, ia tidak akan bermanfaat bila hanya tertulis dalam
secarik kertas untuk dikantongi dan dibawa-bawa si pemegang.[]

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan.
Bruinessen, Martin, 1990, “Seeking Knowledge and Merit: Indonesians on the
Hajj” dalam Ulumul Quran, Vol. II, No.5, Jakarta.
Dekmejian, H. Richard dan Margaret J. Wyszomirski, 1972, ‘Charismatic
Leadership in Islam: The Mahdi Sudan’ dalam Comperative Studies in
Society and Theory.
Djajadiningrat, Hoesein, 1934, Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek, Vol. 2,
Batavia: Landsdrukkerij.
Fakhriati, 2005, New Light on the Life and Work of Teungku di Pulo: An
Achehnese Intellectual in the Late 19th and Early 20th Centuries, Makalah
dipresentasikan pada SEASREP Conference, Chiang Mai, Thailand, 8-9
Desember 2005.
-----------, 2008, Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh Lewat Naskah, Jakarta:
Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Holt, P. M., 1980, ‘Islamica Milleniarism and the Fulfillment of the Prophecy’
dalam The Prophecy and Milleniarism, diedit oleh Ann Williams, London.
Hurgronje, Snouck, C., 1997, Aceh: Rakyat dan adat istiadatnya, INIS.
Ishak, Otto Syamsuddin, 1993, ‘Dinamika Pemikiran Keagamaan di Aceh’,
dalam Serambi Indonesia, Jum’at, 15 Januari 1993.
Iskandar, Teuku, 1958, ‘De Hikayat Atjeh’ dalam BKI XXVI.
Keifer, Thomas M., 1973, ‘Parrang Sabbil: Ritual Suicide among the Tausug of
Jolo’ dalam BKI, Vol. 129.
Kern Papieren, No. C. 234, Bajlagen 4, Weltevreden Desember 16, 1921,
Koleksi KITLV, No. 414.

49
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Kern, R. A., 1979, Hasil Penyelidikan Tentang Sebab Musabab Terjadinya


Pembunuhan, diterjemahkan oleh Aboe Bakar, Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Poerwa, Aziz, 1961, ‘Tumbuhnya Agama Baru Indonesia’ in Sketsmasa, No. 17,
Tahun IV.
Raliby, Osman, 1980, ‘Aceh, Sejarah, dan Kebudayaannya, dalam Bunga rampai
tentang Aceh, Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Reid, Anthony, 1979, The Blood of The People: Revolution and The End of
Traditional Rule in Northen Sumatra, Oxford University Press.
---------, 2007, Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera
hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Said, Mohammad, 1961, Atjeh Sepandjang Abad, Medan.
Sjamsuddin, Nazaruddin, 1999, Revolusi di Serambi Mekah; Perjuangan
Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, UI Press.
Syamsuddin, T., dkk, 1978, Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Sulaiman, Nasruddin, dkk, 1992, Aceh: Manusia, Masyarakat, Adat, dan
Budaya, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Tippe, Syarifudin, 2000, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pustaka
Cidesindo.
Usman, Rani, 2003, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Vleer, A. J., 1978, Kedudukan “Tuha Peut” dalam Susunan Pemerintahan
Negeri di Aceh, alih aksara oleh Aboe Bakar, Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Zainuddin, H. M., 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan, Penerbit Iskandar
Muda.

50
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati

Lampiran:

Gambar 1:
Foto Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut,
Geulumpang Miyeunk, Pidie, Aceh

Gambar 2:
Foto Halaman Awal Naskah Teungku Khatib Langgien milik Teungku
Amir Meunasah Kruet Teumpeun, Teupin Raya, Pidie, Aceh

51
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52

Gambar 2:
Foto Halaman Awal Naskah Sarakata milik Cut Manfarijah Dayah
Tanoh, Teupin Raya Aceh

52
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah


Keagamaan Islam di Bali:
Sebuah Penelusuran Awal*)
Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam
Puslitbang Lektur Keagamaan dan UIN Syahid, Jakarta

This paper is a result of our research of Islamic literature in Bali in 2008. We


have discovered thirty-eight manuscripts that we can classify into three
categories. The fitst category refers to tweleve manuscripts made of paper. The
second category is tweleve manuscripts made of palm leaf: nine of them deal
with Islam, two of them about Hinduism, and one of them is difficult to read. The
third category is about fourteen Qur’anic manuscripts. In regard to Islamic
literature in Bali, this category is unfortunately not taken care well. Most of this
category of manuscript was torn away. In terms of codicology, we can write four
important things as follows. First, this Islamic manuscript uses diverse tools, like
dluang, European paper, modern lined paper, and palm leaf. Second, this Islamic
manuscript adopts Arabic, Malay (Jawi), Bugese, and Balinese. Third, this
Islamic manuscrip was written between the seventeenth and nineteenth century,
and the oldest manuscript was written in 1625 AD (1035 AH). Fourth, this
manuscript includes jurisprudence, mysticism, divinity, prayer, remembrance of
God, medicines, Arabic grammar, Qur’an, and story.

Kata kunci: kodikologi, kertas Eropa, dluang, lontar, Bali

Pengantar
Keberadaan naskah tulisan tangan (manuskrip) di suatu wilayah,
dari satu sisi dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari
lokalitas dan kekhasan wilayah bersangkutan. Dari sisi lain, ia
dapat juga menjadi bukti adanya hubungan dengan wilayah lain jika
ditemukan bukti-bukti lain yang menunjukkan ke arah itu. Hal ini

*)
Tulisan ini semula merupakan Makalah disajikan dalam “Seminar Hasil Penelitian
Naskah Klasik Keagamaan” Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat,
Dep. Agama, Hotel Permata Alam, Cisarua-Bogor, 22-24 Desember 2008.

53
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

dapat ditelusuri dari berbagai informasi yang terkandung di dalam


naskah itu atau dari fisik naskah.
Dalam konteks kajian keislaman di Indonesia, keberadaan
naskah tersebut dapat dikaitkan dengan proses islamisasi atau
perkembangan Islam yang banyak melibatkan para ulama produktif
di zamannya. Dalam proses ini telah terjadi transmisi keilmuan,
yang menurut Oman Fathurahman (2003: 1-2) membentuk pola dua
kelompok bahasa naskah: Pertama, naskah-naskah yang ditulis da-
lam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis
dalam bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, tidaklah menghe-
rankan jika di Indonesia banyak ditemukan naskah-naskah berba-
hasa Arab dan juga bahasa daerah seperti Melayu, Sunda, Jawa,
Aceh, Bugis-Makassar, Bali, Batak, dan lain-lain. Sebagian naskah-
naskah tersebut sudah tersimpan dengan baik di berbagai perpus-
takaan dan museum, baik di dalam maupun di luar negeri, tetapi
sebagian besar lagi diduga masih tersebar di tangan masyarakat.
Sebagian besar naskah di luar negeri yang sudah terinventarisasi
antara lain tersimpan di Malaysia, Afrika Selatan, Srilangka,
Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan di berbagai negeri
yang lain. (Chambert-Loir dan Fathurahman: 1999).
Persoalannya, dengan demikian, adalah bagaimana kondisi nas-
kah-naskah yang masih di tangan masyarakat tersebut. Masalah ini
tergolong serius karena umumnya naskah-naskah tersebut kurang
terawat dan sangat tua, diperkirakan ditulis pada sekitar abad ke-17-
19 M dan umumnya terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan
tahan lama. Dengan demikian, upaya penelusuran naskah-naskah di
masyarakat mutlak diperlukan sebagai upaya konservasi untuk
kemudian dilestarikan dan dimanfaatkan, khususnya bagi penelitian
lebih lanjut atau dalam rangka mengkaji nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya untuk merajut budaya bangsa menuju kerukunan umat
beragama. Pentingnya upaya konservasi ini setidaknya disebabkan
oleh dua hal: Pertama, banyaknya data penting berkaitan dengan
fenomena keagamaan yang terdapat dalam naskah-naskah tersebut,
dan kedua, sudah semakin rapuhnya kondisi fisik naskah-naskah
tersebut seiring dengan berjalannya waktu (Bafadal dan Saefullah
[Eds.], 2005: vii). Jika hal ini terus berlarut, dikhawatirkan naskah-
naskah tersebut akan punah atau pindah tangan, yang pada akhirnya

54
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

hilang juga informasi dan sumber penting tentang khazanah kebu-


dayaan Indonesia.
Berdasarkan permasalahan di atas, Puslitbang Lektur Keaga-
maan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI melaku-
kan upaya penelusuran naskah klasik keagamaan khusus milik
perorangan. Hasil temuan naskah tersebut terutama dideskripsikan
dan dikaji beberapa aspek kodikologinya (istilah “kodikologi” akan
dijelaskan di bawah). Buku tentang kodikologi Nusantara, terlebih
naskah keagamaan, tergolong masih sedikit.1
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini merupakan
bagian dari grand design—jika dapat dikatakan demikian—prog-
ram konservasi naskah klasik keagamaan Indonesia yang sedang
digalakkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan. Penelitian dilaku-
kan di Provinsi Bali dan sasarannya adalah naskah-naskah keaga-
maan Islam.2 Dalam makalah ini akan dibahas dua masalah berikut:
1. Seberapa banyak naskah keagamaan Islam di Provinsi Bali yang
masih berada di tangan masyarakat atau milik perorangan?
2. Dari aspek kodikologi, bagaimana kondisi naskah-naskah terse-
but dan hal-hal apa saja yang dapat diungkapkan dari temuan
naskah-naskah tersebut?
Adapun tujuannya, pertama, untuk mengetahui jumlah naskah
keagamaan Islam di Provinsi Bali yang masih berada di tangan
masyarakat, khususnya milik perorangan, dan kedua, membuat
deskripsi naskah-naskah tersebut dan mengungkapkan beberapa
aspek kodikologinya serta sedapat mungkin mengungkapkan hal-
hal menarik dari temuan naskah tersebut. Dari segi kebijakan, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya penye-
lamatan naskah keagamaan di masyarakat dan selanjutnya dapat

1
Beberapa yang dapat disebut antara lain Kodokologi Melayu di Indonesia,
karya Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994), Penelusuran penyalinan naskah-naskah
Riau abad XIX: Sebuah Kajian kodikologi, karya Mu'jizah dan Maria Indra
Rukmi (1998), Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah
Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, karya Maria Indra Rukmi
(1997), atau beberapa tulisan berupa artikel atau tesis, seperti “Penyalinan
Naskah Melayu di Palembang”, karya Maria Indra Rukmi, makalah dalam
Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI (2005).
2
Pilihan ini dilakukan karena naskah-naskah lontar dipandang relatif
terpelihara dengan baik.

55
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

menjadi bahan penelitian lebih lanjut, terutama kajian terhadap isi


teks dan kontekstualisasinya.
Secara metodologis, penelitian ini sebagian besar bersifat pene-
litian lapangan, yakni berupa penelusuran atas naskah-naskah ke-
agamaan Islam di Provinsi Bali. Data primer dalam penelitian ini
berupa naskah-naskah kuno yang disimpan perorangan dan lemba-
ga-lembaga sosial keagamaan Adapun naskah-naskah koleksi per-
pustakaan, museum, maupun pusat dokumentasi dalam penelitian ini
tidak menjadi sasaran penelusuran karena naskah-naskahnya dipandang
relatif aman dan terpelihara. Penelusuran dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan naskah-naskah yang belum diinventarisasi.
Dalam menyajikan data digunakan pendekatan kodikologi.3 Secara
sederhana, kodikologi dapat dikatakan sebagai ilmu kodeks (bahan
tulisan tangan), yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk semua
aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perki-
raan penulis naskah (Mulyadi, 1994:2).
Dalam wilayah kajian kodikologi dikenal istilah deskripsi.
Secara ringkas, deskripsi adalah upaya menjelaskan seluk-beluk
naskah secara fisik. Dalam makalah ini akan disajikan pengklasifi-
kasian naskah-naskah yang ditemukan di lapangan, misalnya dari
segi pemilik dan tempat penyimpanan, bidang kajian (isi naskah),
bahan, usia naskah, kolofon, ilustrasi dan iluminasi, dan beberapa
ciri khusus yang dapat diidentifikasi. Dengan kata lain, makalah ini
hanya menyajikan beberapa aspek kodikologi dari naskah-naskah
keagamaan Islam yang ditemukan di Provinsi Bali.

Pernaskahan di Bali
Henri Chambert-Loir dan Fathurahman (1999:51) mengatakan,
“Pulau Bali terkenal sebagai gudang sastra Jawa Kuna karena sastra
Jawa yang ditulis di berbagai kerajaan beragama Hindu-Buddha di

3
Tentang kodikologi di Indonesia dapat dibaca antara lain dalam Sri Wulan
Rujiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, (Depok: Fakultas Sastra UI,
1994). Ada juga buku yang sangat menarik dan relatif baru tentang kodikologi
Islam, yaitu Francois Deroche, Islamic Codicology, An Introduction to the Study
of Manuscripts in Arabic Script, (London: Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation, 2006), dan ada juga dalam edisi Arabnya yang terbit tahun 2005.

56
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Jawa Tengah dan Jawa Timur antara abad ke-10 dan ke-15, dan yang
hampir punah setelah kedatangan agama Islam, masih berlanjut di
Bali, bahkan hidup sampai kini.” Pernyataan ini terbukti dengan
adanya sejumlah lembaga seperti museum dan perguruan tinggi di
wilayah ini yang memiliki ribuan koleksi naskah. Lembaga-lem-
baga tersebut antara lain Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali,
Denpasar mengoleksi sekitar 1.416 naskah, Museum Negeri Provinsi
Bali, Denpasar menyimpan 266 naskah, Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar memiliki 148 naskah, Kirtiya Liefrinck-van der Tuuk
(Gedong Kirtiya), Singaraja memiliki tidak kurang dari 3000 nas-
kah, Fakultas Sastra Universitas Udayana mempunyai 740 naskah,
dan Balai Penelitian Bahasa, Denpasar mempunyai 156 naskah, serta
Balai Arkeologi Denpasar juga menyimpan tiga naskah (Chambert-
Loir dan Fathurahman, 1999:54-60; terutama berdasarkan Katalog
Lontar yang Tersimpan pada Instansi Pemerintah dan Swasta yang
diterbitkan oleh Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali,
tahun 1998). Jumlah ini belum termasuk naskah yang tersimpan
pada koleksi pribadi yang diduga masih ribuan jumlahnya, terutama
di puri (kediaman keluarga keturunan raja), griya (kediaman kelu-
arga brahmana), dan kalangan ‘profesional’ (pemangku, dalang,
balian usada atau orang-orang terdidik) (Chambert-Loir dan
Fathurahman, 1999:56). Hampir seluruh naskah tersebut ditulis di
atas bahan lontar sehingga sering pula disebut naskah lontar.
Di tengah “samudra koleksi naskah lontar” tersebut, di daerah-
daerah tertentu di Bali ditemukan sejumlah naskah keagamaan
Islam dan Mushaf Al-Qur’an kuno. Beberapa di antaranya ditulis di
atas bahan dluang (kertas dari kulis kayu). Pada bulan Oktober 2008
yang lalu kami melakukan penelusuran ke pelosok-polosok pulau
dewata ini. Kami menemukan 24 naskah keagamaan Islam yang
terdiri atas 12 naskah ditulis di atas dluang, kertas Eropa, maupun
kertas bergaris modern, dan 12 naskah lontar (naskah lontar berben-
tuk geguritan; 9 naskah berisi cerita tentang tokoh Islam dan ajaran
moral Islam, 2 cerita Hindu, dan 1 tidak terbaca). Di samping itu,
ditemukan pula 14 Mushaf Al-Qur’an kuno, termasuk satu Mushaf
ditulis di atas dluang. Naskah-naskah tersebut tersebar di beberapa
kabupaten di Bali, antara lain Denpasar, Buleleng, Jembrana, dan

57
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Karang Asem. Dengan demikian, jumlah naskah yang kami


temukan sebanyak 38 naskah.
Perlu disebutkan bahwa dalam penelusuran naskah keagamaan
Islam di Bali, kami melakukan kontak dengan pihak yang dipan-
dang otoritatif dalam bidang keagamaan, yaitu Kanwil Departemen
Agama Provinsi Bali. Kami mendapatkan informasi awal, baik dari
pejabat maupun pegawai Departemen Agama Provinsi Bali tentang
lokasi-lokasi dan orang-orang yang diduga menyimpan dan atau
mempunyai naskah keagamaan Islam.4
Lokasi-lokasi yang selanjutnya didatangi adalah: Kampung
Bugis Kepaon Denpasar dengan Masjid Al-Muhajirin; Masjid
Agung Jami’ Singaraja Buleleng; Pesantren Al-Hidayah Bedugul;
Pegayaman Singaraja Buleleng; Masjid Asy-Syuhada Kampung
Bugis Serangan Denpasar; Kampung Islam Buitan Sidemen Karang
Asem; Kampung Islam Gelgel; dan Masjid Baitul Qadim, Loloan
Timur, Negara, Jembrana.

Temuan Naskah dan Tempat Penyimpanannya


Naskah keagamaan Islam di Bali yang berhasil ditelusuri terdiri
atas naskah pelajaran agama, seperti fikih, tasawuf, wirid dan doa,
dan juga obat-obatan yang disertai doa-doa, serta hikayat yang
terutama ditulis di atas bahan lontar yang disebut geguritan. Di
samping itu ditemukan juga naskah-naskah Al-Qur’an kuno yang
sejauh ini belum pernah didata.
Sebagaimana disebutkan, hasil penelusuran di lapangan ditemu-
kan 38 naskah, termasuk 14 naskah Al-Qur’an. Berikut temuan
naskah berdasarkan lokasi atau tempat ditemukannya naskah.

4
Beberapa informan awal yang kami datangi di Kanwil Departemen Agama
Provinsi Bali adalah Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Drs. Ida Bagus Nyana,
Staf Urusan Agama Hindu. Mereka menyarankan kami mendatangi Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali, Gedong Kirtya-Singaraja-Buleleng, Karang
Asem-Tradisi Tulis Lontar, Budakeling, Gianyar, dan Bangli. Informan lain Drs.
H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan
Islam dan Pemberdayaan Masjid. Selanjutnya kami mendapat banyak informasi
dari Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas. Wawancara, 28 Oktober 2008. Selanjutnya
penelusuran dilakukan sampai dengan 2 Nopember 2008.

58
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

1. Denpasar
Di Kampung Bugis Serangan, Denpasar ditemukan 3 (tiga)
naskah milik H. Burhanuddin, dekat Masjid Asy-Syuhada, dua di
antaranya beraksara dan berbahasa Bugis, dan 1 (satu) Al-Qur’an
Kuno milik Bapak Marjui.5 Di Kampung Bugis Kepaon, Denpasar
ditemukan 6 (enam) naskah milik H. Musthafa Amin, dan 1 (satu)
naskah Al-Qur’an kuno di Masjid Al-Muhajirin. 6 Di Masjid Al-
Mu’awanatul Khairiyah Kampung Bugis Suwung, Denpasar,
masing-masing satu naskah Al-Qur’an. 7
Di samping itu, di Yayasan An-Nur, Denpasar, ditemukan 12
naskah lontar. Menurut informasi salah seorang ustadz di PP al-
Hidayah, Bedugul,8 naskah lontar yang tersimpan di Yayasan An-
Nur, pada awalnya merupakan koleksi Prof. Dr. Shaleh Saidi, salah
seorang Guru Besar di Universitas Udayana, Bali. Meski sudah
tersimpan di Perpustakaan Yayasan, naskah-naskah lontar tersebut
belum dikaji secara kodikologis9. Oleh karena itu, dalam laporan
penelitian ini naskah-naskah lontar koleksi Yayasan Masjid An-Nur
penting untuk didata dan disampaikan.

2. Buleleng
Wilayah yang didatangi di Buleleng meliputi Pegayaman,
Singaraja, dan Kampung Jawa. Di Pegayaman, Kampung Islam di
pedalaman dekat Singaraja ditemukan 3 (tiga) naskah milik Drs.
Suharto. Di sini ditemukan pula 1 (satu) Al-Qur’an kuno milik I

5
Naskah ini telah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno
dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18.
6
Mushaf ini sangat tidak terawat. Kondisinya tidak lengkap lagi, dan
ditumpuk dengan Al-Qur’an lain cetakan zaman sekarang. Tetapi, mushaf ini
sangat menarik terutama dari segi iluminasinya yang indah dan, merujuk
identifikasi Annabel Teh Gallop (2004) termasuk tipe Pantai Timur Melayu,
Pattani atau Trengganu.
7
Kedua naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa
Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007.
h. 1-18. Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar.
Wawancara dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.
8
Hadiman, Wawancara, 29 Oktober 2008, di Bedugul.
9
Semua naskah lontar koleksi Yayasan an-Nur hanya disebutkan judulnya,
dan beberapa di antaranya dijelaskan juga ukuran lontarnya.

59
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Wayan Ma’ruf.10 Di Singaraja, ditemukan banyak naskah Al-Qur’an


kuno, yaitu di Masjid Agung Jami’. Di masjid ini ditemukan 8
(delapan) Al-Qur’an kuno (satu satu di antaranya merupakan
litograf yang iluminasinya diberi pewarnaan). Di Kampung Jawa,
tidak jauh dari Masjid Agung Singaraja, ditemukan 1 (satu) Al-
Qur’an Kuno milik Bapak M. Zen Usman. Mushaf ini sangat
menarik, karena selain ditulis pada bahan dluang, Al-Qur’an kuno
ini masih lengkap, ditulis dengan khat Naskhi yang indah, dan yang
terpenting mempunyai kolofon yang sangat tua, yaitu tahun 1035
H, sekitar 1625 M. 11 Sementara di Bedugul, antara Denpasar-
Singaraja, menurut Hadiman, Gunawan, Syarifuddin, dan Agus, 12
konon ada naskah semacam Barzanji, tapi tidak berhasil ditemukan
karena pemiliknya tidak ada di tempat dan tidak berhasil dijumpai.

3. Jembrana
Di Masjid Bait al-Qadim, Loloan Timur, Negara, Jembrana,
ditemukan satu buah naskah Al-Qur’an. Naskah Al-Qur’an ini
konon merupakan wakaf dari Encik Ya’qub dari Trengganu.13

10
Menurut Bapak Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga
Ketua Ta’mir Masjid Agung Singaraja, dan beberapa Pengurus Masjid, antara
lain H. Abdurrahman Alawi, H. Abdurrahman Said, H. Hasyim Zaki, dan H.
Hidayat, bahwa masjid ini sering didatangi wartawan dari berbagai media massa
dan meliput salah satu Al-Qur’an kuno di sana, yang dipandang mushaf tertua di
Buleleng. Akan tetapi, sejauh ini koleksi lain yang tersimpan di dalam lemari
kaca belum pernah dilihat, yang ternyata seluruhnya Al-Qur’an kuno sebanyak
tujuh mushaf, sehingga seluruhnya ada delapan Al-Qur’an kuno. Wawancara, 30
Oktober 2008 di Masjid Agung Singaraja.
11
Bunyi kolofon tersebut: “tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr
al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-
hijrah an-nabawiyyah “ (Al-Qur’an ini selesai [ditulis] pada hari Kamis dari
bulan Muharram pada malam dua puluh satu pada tahun seribu tiga puluh lima
[21 Muharram 1035] Hijrah Nabi).
12
Para ustadz di Pesantren Al-Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober
2008.
13
Naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf
Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18.
Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar. Wawancara
dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.

60
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

4. Karang Asem
Di Karang Asem, peneliti hanya mendatangi Kampung Islam
Buitan—sebuah kampung kecil yang hanya berpenduduk 25 kelu-
arga. Konon di sini pernah ada naskah beraksara Bugis, tetapi
karena sudah hancur, naskah-naskah tersebut dibuang. Naskah yang
tersisa adalah kitab-kitab cetakan sekitar tahun 1300-an Hijriah,
antara lain:
1) Kitab Sabil al-Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-
Banjari, jilid 1 dan 2, dan di tepinya ada Kitab Sirat al-Mustaqim, tentang
ilmu fikih karangan Nuruddin Al-Raniri (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah
al-Miriyah al-Ka’inah, 1321 H/1903 M);
2) Kumpulan kitab dalam satu bundel terdiri dari empat kitab, a) Kitab Miftah
al-Jannah tentang Usuluddin karangan Muhammad Tayyib bin Mas’ud al-
Banjari, b) Kitab Usul al-Tahqiq juga tentang Usuluddin, c) Kitab Mau’i§ah
li al-N±s tentang tata cara sembahyang, dan f) Kitab Tajwid al-Qur’an,
pengarang ketiga kitab ini tidak disebutkan; dan pada pias halaman ada
Hamisy Kitab Asrar al-Dini, (diterbitkan di Mesir, Maktabah al-Kutub al-
Arabiyyah al-Kubra, t.t.);
3) Kitab Siraj al-Huda karangan Muhammad Zain al-Din bin Muhammad
Badawi al-Sumbawa’i, Syarah atas Matan Umm al-Barahin karya Sanusi;
dan di piasnya ada Hamisy Risalah Diya al-Murid, terjemahan Dawud bin
Abdullah Fatani, Cet. Ke-6 (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah al-Miriyah
al-Ka’inah, 1320 H/1902 M).
Ada yang menarik dari kitab-kitab ini, yaitu catatan pemiliknya,
antara lain pada sampul dalam Kitab Siraj al-Huda terdapat tulisan,
“Haza al-Kitab ini yang empunya Bapak Abd al-Rahman negeri
Bali, Karangsem, 14 Kampung Biutan As-Salam 15 adanya”. Teks ini
juga terdapat pada Kitab Sabil al-Muhtadin Juz I. Catatan kedua
pada Daftar Isi Kitab Miftah al-Jannah, h. 44, berbunyi, “Tanda
keterangan haza al-haq 16 Pak Muhammad Sa’id bin Mukhammad
Ali Kusamba, Kampung Islam Pasuruan, dan membeli pada bulan
Ramadan tanggal 15 hari Ahad pada tahun Zai Hijrah Nabi

14
Teks aslinya: kaf-ra-ng-syin-mim, bisa jadi maksudnya Karang Asem?
15
Sebagian orang Bali menyebut “Kampung Islam” dengan bunyi ucapan
yang terdengar adalah “Kampung Selam”. Teks dalam kitab ini juga bertuliskan
“al-salam” (‫)اﻟﺴﻼم‬, tapi bisa jadi dibaca “Selam”, yang maksudnya “Islam” seba-
gaimana kebiasaan sebagian orang Bali, atau bias juga tetap dibaca “as-Salam”
sebagaimana bahasa Arab.
16
Kata “¥aq” kadang diartikan “kepunyaan”, jadi “ha©a al-¥aq..” bisa
diartikan “ini kepunyaan…”

61
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Sallallahu ‘alaihi wa sallam 1334 H”. Tahun 1334 H adalah sekitar


tahun 1915 M.
Nama-nama di atas, menurut Abdullah, 17 salah seorang yang
dituakan di Buitan, adalah para leluhurnya, dan sebagian keluarga
di sana, selain berasal dari Bugis, juga berasal dari Madura. Jika
demikian, bisa jadi Kitab Miftah al-Jannah khususnya dibeli di
Pasuruan.

Bidang Kajian (Isi Naskah)


Dilihat dari segi bidang kajiannya, kandungan isi naskah-naskah
keislaman di Bali setidaknya meliputi: Fikih, Tasawuf, Tauhid, doa,
wirid, obat-obatan, tata bahasa Arab (nashwu-saraf), Al-Qur’an,
dan geguritan (cerita).
1. Fikih: Dalam bidang fikih hanya ditemukan satu naskah, yaitu
“Kitab Nikah” milik H. Musthafa Amin (MA 01), dan ini pun
bagian pertama dari kumpulan teks lain yang berisi tentang
obat-obatan disertai doa dan wirid.
2. Tasawuf/Akhlak: Naskah dalam bidang ini ada empat, yaitu
Khazinah al-Asrar serta satu naskah beraksara dan berbahasa
Bugis milik H. Burhanuddin. Dua naskah lainnya milik H.
Musthafa Amin, no. MA 03 dan MA 04 yang dalam teksnya
tidak disebutkan judulnya. Naskah MA 04 ditulis dalam buku
Letjes.
3. Tauhid/Teologi: Dalam bidang ini ada empat naskah, satu
naskah milik H. Musthafa Amin, antara lain berisi tanya jawab
tentang Uluhiyah (ketuhanan), satu naskah beraksara dan
berbahasa Bugis milik H. Burhanuddin, dan dua naskah lainnya
milik Drs. Suharto di Pegayaman, yang berisi tentang sifat-sifat
Allah, wajib, mustahil, dan jaiz (satu dari dua naskah milik Drs.
Suharto juga berisi teks lain yang berisi masalah fikih, milsanya
tentang taharah [bersuci], tetapi naskah ini sudah bercerai berai
dan tidak berjilid).
4. Wirid, Doa, dan Obat-obatan: Naskah yang berisi doa, wirid,
dan obat-obatan, juga berisi wifiq, terdapat dua naskah, yaitu
milik H. Musthafa Amin, nomor MA 05 dan MA 06. Dalam

17
Wawancara, Kampung Islam Buitan, Karang Asem, 2 November 2008.

62
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

naskah MA 01 juga terdapat naskah jenis ini, yang terletak


setelah “Kitab al-Nikah”.
5. Bahasa: Dalam bidang bahasa ditemukan satu buah naskah
tanpa judul, milik Drs. Suharto, Pegayaman, ditulis di atas
dluang, berisi tentang morfologi bahasa Arab atau ilmu sharaf.
6. Al-Qur’an: Meskipun naskah Al-Qur’an tidak sepenuhnya
menjadi sasaran dalam penelitian ini, tetapi temuan ini penting
karena banyak naskah baru yang ditemukan. Dari 14 naskah Al-
Qur’an yang ditemukan, 11 di antaranya belum pernah diin-
ventarisasi. Ke-14 naskah tersebut adalah delapan naskah Al-
Qur’an di Masjid Agung Jami’ Singaraja, satu naskah di
Kampung Jawa Singaraja, satu naskah di Pegayaman, dan satu
naskah di Masjid Muhajirin Kapaon Denpasar, satu naskah di
Masjid Al-Mu’awanatul Khairiyah Kampung Bugis Suwung,
Denpasar, satu naskah milik Bapak Marjui, Kampung Serangan
Denpasar, dan satu naskah di Masjid Bait al-Qodim Loloan
Timur.
7. Geguritan: Sebagaimana yang dikenal secara luas oleh masya-
rakat, Bali memang identik dengan Hindu, dan karenanya
tradisi pernaskahan di sana pun dengan sendirinya juga tidak
dapat dilepaskan dari Hindu. Meskipun demikian, hasil pene-
litian lapangan terhadap naskah-naskah lontar di Bali berhasil
memberikan informasi lain terkait dengan tradisi pernaskahan
di Pulau Dewata tersebut. Ini dapat dilihat dari beberapa naskah
lontar yang ditemukan di lapangan. Dari 12 naskah lontar yang
berhasil ditemukan, dan semuanya dalam bentuk geguritan, 18
sembilan di antaranya menunjukkan adanya pengaruh Islam
dalam tradisi kesusastraan Bali. Berikut ini gambaran mengenai
isi 1119 naskah lontar yang berhasil ditemukan:

18
Geguritan adalah karya sastra Bali yang dibangun di atas pupuh.
Sementara itu, pupuh diikat oleh beberapa kaidah yang mencakup: banyaknya
baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir tiap-
tiap baris (Agastia, t.t.: 155).
19
Dari 12 naskah lontar, ada satu naskah yang tidak dapat dibaca.
Pembacaan naskah lontar oleh Made Suparta, dosen pada Program Studi Jawa,
FIB Universitas Indonesia.

63
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

a. Cerita Islam
1). Pepalihan Gama Selam Bali. Teks ini menceritakan proses islamisasi
di Bali.
2). Geguritan Semaun. Teks ini berisi cerita mengenai tokoh heroik yang
bernama Sema’un pada masa-masa awal islamisasi
3). Geguritan Bagendhali. Teks ini menceritakan tokoh Bagendhali yang
sangat sakti, beserta dua saudaranya: Bagenda Sulaiman dan
Bagendha Alah.
4). Kidung Tuwan Semeru. Teks ini berisi cerita tentang kehidupan Nabi.
5). Geguritan Krama Selam. Tidak banyak berbeda dengan teks
Pepalihan Gama Selam, teks ini juga berisi cerita tentang proses
islamisasi di Bali.
6). Geguritan Siti Badariyah. Teks ini tentang kehidupan keluarga
kerajaan di negeri Arab.
7). Geguritan Amir Hamzah. Teks ini berisi cerita tentang peran Amir
Hamzah dalam proses islamisasi di Nusantara.
8). Geguritan Jayengrana. Teks ini menceritakan sosok pahlawan
muslim dalam melawan raja kafir. Di samping itu, teks ini juga
banyak mengandung ajaran moral dan etika Islam.
9). Geguritan Jimat Teks ini berisi mistik Islam.

b. Cerita Hindu
1). Geguritan Sebun Bangkung. Teks ini berisi filsafat moral Hindu yang
disampaikan secara naratif.
2). Geguritan Pan Bongkling. Teks ini berisi konsep dharma dalam
agama Hindu.

Gambaran isi naskah lontar di atas secara jelas memperli-


hatkan adanya pengaruh Islam dalam tradisi kesusastraan Bali,
meskipun kapan dan dari mana awal mula masuknya pengaruh
Islam tersebut masih perlu diteliti lebih jauh lagi, sebab deskripsi
kodikologis terhadap naskah-naskah lontar di atas menunjukkan
bahwa naskah-naskah lontar tersebut memang masih muda.
Yang menarik, semua kolofon 20 yang terdapat dalam naskah
lontar itu menginformasikan adanya tahun penyalinan yang
sama, yakni 1923 isaka atau 2001.

20
Dari 12 naskah lontar di atas, empat di antaranya tidak bertanggal, yaitu:
Geguritan Siti Badariyah, Geguritan Amir Hamzah, geguritan Jayengrana, dan
satu naskah yang tidak dapat diidentifikasi baik judul maupun isinya karena
kondisi fisiknya yang sudah lapuk.

64
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Islam di Bali


1. Kondisi Naskah
Naskah keagamaan Islam di Bali kurang mendapat perhatian,
tidak seperti naskah lontar yang, di samping telah banyak dikaji,
juga terdokumentasi dengan baik sebagaimana dijelaskan di atas.
Naskah-naskah keagamaan Islam yang ditemukan pada masyarakat
umumnya tidak terpelihara dan bahkan tak terperhatikan sama
sekali, seperti Al-Qur’an kuno di Masjid Al-Muhajirin Kepaon.
Kondisi naskah lontar di Yayasan An-Nur memang mendapatkan
perawatan, tetapi naskah-naskah lontar itu termasuk baru, karena
sebagian di antaranya disalin ulang pada tahun 2000-an.
Naskah-naskah yang ditemukan di rumah H. Musthafa Amin, di
Kepaon Denpasar, dari enam naskah yang dimilikinya, ada empat
naskah yang relatif terbaca, tetapi hampir semuanya tidak ada yang
lengkap. Satu buah naskah berlubang dimakan rayap dan satu lagi
tinggal setengahnya. Demikian juga di Kampung Bugis Serangan,
dari empat naskah yang ditemukan, satu naskah di antaranya dari
bahan kertas modern bergaris, tetapi tidak utuh. Di Pegayaman pun
demikian, empat naskah yang ditemukan sudah lapuk semua; satu
naskah tercerai berai, satu naskah Al-Qur’an tidak lengkap lagi dan
tengahnya berlubang dimakan serangga, dan dua naskah lainnya
yang ditulis di atas dluang telah robek, terutama pada halaman
belakang.
Kondisi naskah di Masjid Singaraja dan milik M. Zen Usman
relatif baik. Meskipun telah disimpan dalam kotak kayu khusus,
seperti mushaf kuno milik M. Zen Usman, dan di dalam lemari
kaca, seperti mushaf koleksi Masjid Singaraja, di dalam tempat
penyimpanan naskah itu tidak terlihat ada bahan penangkal serang-
ga, seperti cengkih atau kapur barus. Sebagian besar mushaf itu
juga tidak lengkap dan banyak lembarannya yang sudah terlepas,
kecuali mushaf yang diduga ditulis oleh Gusti Ngurah Ketut
Jelantik Selagi, salah seorang keturunan Raja Buleleng yang masuk
Islam (MAJS/NQ/01), 21 dan mushaf milik M. Zen Usman yang
lengkap dan kondisinya bagus.

21
Wawancara dengan Drs. Muhlis Sanusi, Lurah Kampung Islam, Singaraja,
Buleleng, 30 Oktober 2008. Hadir pula beberapa pengurus Ta’mir Masjid Agung
yang lain, yaitu H. Abdurrahman Alawi, H. Hasyim Zaki, dan H. Hidayat.

65
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah keagama-
an Islam di Bali dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis: a)
Dluang, b) Kertas Eropa, c) Kertas modern bergaris, dan d) lontar.
Dari 38 naskah, terdapat tiga naskah yang ditulis di atas dluang, yaitu:
dua naskah milik Drs. Suharto di Pegayaman dan satu mushaf Al-
Qur’an, lengkap 30 juz, milik M. Zen Usman di Kampung Jawa
Singaraja. Sebagian besar naskah lainnya ditulis di atas kertas Eropa.
Beberapa cap kertas (watermark) dan cap tandingan (countermark)
yang berhasil diidentifikasi antara lain kelompok Crescent, Pro
Patria, Britania, dan Horn (tertera angka tahun 1825 pada mushaf
di Masjid al-Muhajirin, Kepaon). Naskah yang ditulis di atas kertas
Eropa berjumlah tujuh naskah.
Naskah ditulis di atas kertas modern bergaris (Letjes) ada dua,
yaitu milik H. Musthafa Amin di Kepaon (MA 04) dan H. Burha-
nuddin di Serangan, keduanya di Denpasar, serta satu naskah lain
ditulis di atas kertas bergaris bukan Letjes milik H. Musthafa Amin.
Bahan lontar digunakan untuk menyalin 12 naskah geguritan; 11
naskah menggunakan bahasa dan aksara Bali, dan satu naskah
menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Bali. Semua naskah
lontar tersebut milik Yayasan An-Nur, Denpasar.

3. Usia Naskah
Dilihat berdasarkan usia naskah, naskah Al-Qur’an dari Kam-
pung Jawa, milik M. Zen Usman termasuk naskah yang paling tua,
bahkan ia merupakan naskah Al-Qur’an tertua ketiga di Asia
Tenggara. Berdasarkan kolofonnya, mushaf ini selesai ditulis pada
malam Ahad, 21 Muharram 1035 H atau sekitar tahun 1625 M. 22
Naskah-naskah lain pada umumnya ditulis pada abad ke-13 H atau
sekitar abad ke-18-19 M. Misalnya naskah Kitab Al-Nikah dan
Obat-obatan (MA 01) milik H. Musthafa Amin menyebutkan angka

22
Mushaf tertua konon mushaf nomor MS 12716 koleksi William Marsden
di Perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of
London, berangka tahun Jumadil Awwal 993/1585 dan kedua adalah mushaf dari
Ternate, Maluku Utara, yang ditulis oleh Al-Faqih al- Salih Afifuddin Abdul Baqi
bin Abdullah Al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H/1597 M. (Bafadal dan Anwar,
2005: vii-viii)

66
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

tahun 1287 H/1870 M dan 1288 H/1871 M. Kolofon yang agak tua
terdapat pada naskah Al-Qur’an MAJS/NQ/03 koleksi Masjid Agung
Jami’ Singaraja, yaitu bulan Zulqa’dah 1265 H/1848 M. Demikian
juga dilihat dari kertas Eropa yang digunakan. Kertas Eropa yang
memiliki cap kertas pada kelompok Pro Patria, Britania, Horn, atau
Crescent, pada umumnya diproduksi antara pertengahan abad ke-17
M sampai abad ke-19 M. Misalnya, dari daftar cap kertas yang
disusun Heawood diketahui bahwa kertas dengan cap kertas kelom-
pok Pro Patria diproduksi pertengahan abad ke-17 M (Heawood,
1986: 145-146). Cap kertas yang terlihat pada naskah MA 03 yang
termasuk kelompok Names dengan cap kertas berupa: tulisan nama
I Pigoizard, menurut Heawood (1986:140), diproduksi sekitar
tahun 1737 atau sesudahnya.

4. Bahasa dan Aksara


Naskah-naskah keagamaan Islam di Bali setidaknya mengguna-
kan empat aksara dan empat bahasa. Aksara yang digunakan adalah
Arab, Jawi, Bugis, dan Bali, sedangkan bahasanya adalah Arab,
Melayu, Bugis, dan Bali. Selain Al-Qur’an yang berjumlah 14
naskah, naskah berbahasa Arab hanya dua, yaitu naskah tentang
morfologi Arab (saraf) dan sifat-sifat Allah dari Pegayaman. Nas-
kah yang menggunakan aksara dan bahasa Bugis ada dua, yaitu
milik H. Burhanuddin, Serangan Denpasar. Sementara aksara dan
bahasa Bali hanya digunakan pada 12 naskah lontar koleksi Yaya-
san An-Nur. Selebihnya, atau sekitar delapan naskah lainnya meng-
gunakan bahasa Melayu dengan aksara Jawi. Tentang istilah Jawi,
dalam naskah MA 02 disebut “bahasa Jawi”, misalnya ketika
mengartikan kata “uluhiyah” dan “ilah” pada h. 10r-10v disebutkan
demikian, “… dan arti uluhiyah pada bahasa Jawi ketuhanan dan
arti Ilah pada bahasa Jawi Tuhan…”

5. Kolofon
Dari 38 naskah yang diinventarisasi, tidak banyak ditemukan
naskah yang mempunyai kolofon. Setidaknya ada enam naskah
yang berkolofon, dan dalam naskah MA 01 milik H. Musthafa
Amin terdapat dua kolofon.

67
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Pada naskah MA 01, yang terdiri dari beberapa teks, h. 33v


bagian akhir teks pertama terdapat nama kitab, yakni “Kitab Nikah”
dan waktu penyalinannya. Bunyi kolofon tersebut sebagai berikut:
Haza [al-]Kitab al-Nikah [ter] Hijrah al-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam
seribu dua ratus delapan puluh tujuh (1287) pada tahun Ba alif(?) pada
malam ahad waktu jim(?) pada pukul delapan pada delapan hari bulan Rabi’
al-Awwal pada ketika itulah hamba Pa Abdul A’raf sudah selesai menyuruh ini
kitab di dalam negeri Badung Bali Badung adanya Kampung Kepaon 1287
Tamma wa sallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi
wa sallam

Pada teks kedua h. 41v, kolofonnya berbunyi:


Telah mengambil ijazah faqir a-haqir ila Allah Ta’ala Haji Hasan ibn al-
Marhum al-Haj Muhammad Amin al-Din Palimbangi akan mengamalkan
laqad ja’akum serta doa yang kemudian kepada Syaikhuna wa ustazuna wa
wasilatuna ila Allah Ta’ala al-Arif bi Allah sayyidi al-Syaikh Muhammad
Azhari ibn al-Mukarram al-Marhum Kemas Muhammad Haji Abdullah
Palimbangi Nafa’ana Allah bi barakatihi wa barakat ‘ulumihi. Amin 1288 H di
Ampenan Syahr [al-]Shafar.

Agak sulit menghubungkan kedua kolofon yang terdapat dalam


satu naskah ini. Kolofon pertama menyebutkan tempat penulisan di
negeri Badung, Kampung Kepaon, Bali, sedangkan kolofon kedua
menyebutkan Ampenan, yang bisa dipastikan di Palembang sebab
yang mengambil ijazah untuk amalan dalam teks ini adalah Haji
Hasan Palimbangi, orang Palembang. Satu hal yang dapat diduga
adalah telah terjadi hubungan antara Palembang dan Bali sekitar
tahun 1287-1288 H/1870-1871 M.
Nama Kepaon juga disebut dalam naskah MA 02. Naskah ini
tergolong masih baik karena tulisannya dapat dibaca, walaupun
jilidnya sudah lepas. Dalam kolofonnya disebutkan bahwa teks
ditulis oleh Haji Dawud, Badung, Kepaon, di Pabeyan. Berikut
bunyi kutipan kolofon pada h. 10v:
“…tammat, namanya orang menyurat ini Haji Dawud dari negeri Badung
Kepaon tatkala menyurat ini di negeri Pabeyan rumah bapak Tayid23 tamat al-
kalam”

23
Ba-pa-alif ta-alif-ya-dal (‫)ﺑﻔﺄ ﺗﺎﻳﺪ‬

68
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Kolofon lain ditemukan dalam mushaf Kuno nomor MAJS/NQ/03


koleksi Masjid Agung Jami’ Singaraja. Letak kolofon ini di pias
halaman bagian akhir mushaf setelah Surah al-Nas dan sebelum doa
khatm Al-Qur’an. Dalam kolofonnya, mushaf ini disebutkan selesai
ditulis oleh Haji Muhammad Ja’far pada waktu duha hari Rabu
bulan Zulqa’dah 1265 H/1848 M. Kolofon ini ditulis dalam bahasa
Arab. Berikut ini kutipan kolofon:
“kana al-farag al-kha¯¯ ¥ajj Mu¥ammad Ja‘far yauma arba‘ wa f³ waqti a«-
«u¥± f³ syahri ©i al-qa‘dah f³ sanah alfi taqw³m £al±£24 hijrah an-nab³ 1265 “
Penting dicatat, bahwa di Bali ditemukan juga kolofon yang
menyebutkan angka yang sangat tua, 1035 H/1625 M, yakni pada
Mushaf milik Zain Usman, Kampung Jawa Singaraja. Pada kolo-
fonnya disebutkan, mushaf ini ditulis oleh Abd Shafiyyuddin pada
hari Kamis tanggal 21 Muharram 1035 H. Kolofon ini juga ditulis
dalam bahasa Arab, bunyinya demikian:
“tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr al-mu¥arram f³ hil±li i¥d±
wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-hijrah an-nabawiyyah “
Pada naskah Litrograf beraksara Bugis milik H. Burhanuddin,
Serangan, ditemukan angka tahun 1373 H/1885 M pada halaman
sampul. Angka tahun ini menerangkan selesainya pencetakan naskah.
Selain itu disebutkan pula nama dan tempat percetakan serta pemilik
percetakannya; percetakan at-Taufiq milik Haji Muhammad Abduh,
Pare-pare, dalam bahasa Arab yang berbunyi sebagai berikut:
“tubi‘a bima¯ba‘ah al-Tauf³q li ¡±¥ibih± al-¥±jj Mu¥ammad ‘Abduh pepajah
bi Pare-pare 1373”

6. Penjilidan
Aspek lain dalam kodikologi adalah bagian penjilidan. Dari segi
penjilidan, kondisi naskah-naskah Bali beragam; ada yang masih
baik, ada yang sudah lapuk, dan ada juga yang sudah terlepas dari

24
sanah alfi taqw³m £al±£, bisa jadi berarti tahun seribu masuk ratusan
ketiga, artinya 1200-an lebih, dan angka tahun yang tertulis adalah 1265 H, sama
dengan 1848 M.

69
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

ikatan kuras naskah.25 Bahkan sebagian di antaranya lepas jilidan-


nya, seperti yang terlihat pada satu mushaf di Masjid asy-Syuhada,
Loloan Timur, dan satu mushaf di masjid al-Muhajirin, Kepaon.
Pada dua mushaf ini, jilidan aslinya sudah tidak ada, namun untuk
mushaf koleksi masjid asy-Syuhada sudah diganti dengan sampul
dari kertas karton.
Dari segi bahan sampul, naskah-naskah Bali cukup bervariasi;
ada yang bahan sampulnya terbuat dari kulit, dan ada juga yang
terbuat dari karton. Selain naskah mushaf, kebanyakan bahan
sampul naskahnya adalah kertas karton tipis. Adapun untuk naskah
mushaf, hampir semua bahan sampulnya terbuat dari kulit tebal
dengan motif floral serta menggunakan amplop. 26 Naskah lain
adalah yang ditulis di atas kertas bergaris dalam buku Letjes dengan
sampul kertas berwarna biru khas Letjes.

7. Kaligrafi
Selain naskah lontar, seluruh naskah ditulis dalam aksara Arab
dan Jawi. Oleh karena itu, menarik juga untuk dilihat model-model
tulisannya atau yang lazim disebut kaligrafi. Naskah-naskah Al-
Qur’an umumnya menggunakan jenis kaligrafi atau khat Naskhi,
walaupun masih sangat sederhana dan belum dapat dikatakan stan-
dar. 27 Berbeda dengan yang lainnya, Mushaf dari Kampung Jawa
Singaraja sudah menggunakan khat Naskhi yang indah dan mende-
kati standar apalagi jika dilihat masa penulisannya—walaupun belum
menggunakan pena khat untuk membentuk tipis-tebalnya huruf—,
yaitu tahun 1035 H/1625 M (Gambar 01). Pada masa ini,
khususnya di Nusantara, belum banyak ditemukan naskah yang

25
Kuras adalah istilah yang mengacu pada sejumlah lembar kertas/perkamen
yang dilipat dan dijahit untuk kepentingan penjilidan (Francois Deroche, 2005:
122).
26
Sampul seperti ini banyak ditemukan di Nusantara, misalnya beberapa
naskah di Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal TMII Jakarta (Saefullah, 2007: 47).
27
Kaligrafi Arab standar dalam bahasa Arab disebut Al-Kha¯¯ al-Mansµb
mempunyai tiga alat ukur, yaitu: Alif, titik belah ketupat, dan lingkaran. Pena
yang digunakan biasanya dimiringkan mata penanya sehingga ketika ditarik
menyamping miring kanan ke bawah akan membentuk titik belah ketupat ().
Tinggi alif pada jenis Naskhi standar, misalnya, lima titik belah ketupat.
Rumusan ini diciptakan oleh Ibnu Muqlah (Sirojuddin, 1992:86-99)

70
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

disalin dengan khat Naskhi yang indah, bahkan untuk naskah


keagamaan lainnya digunakan Khat Farisi atau Riq’ah, baik yang
cenderung ke Naskhi maupun Farisi.
Jika dikelompokkan ke dalam jenis-jenis khat, maka naskah-
naskah yang ditemukan dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis
khat, yaitu Naskhi, Farisi, dan Riq’ah. Jenis Naskhi yang ditemukan
memang sangat sederhana, misalnya naskah dari Pegayaman, tipis
tebal goresan aksaranya sudah nampak dan memperlihatkan bentuk
Naskhi yang cukup indah (Gambar 02). Sementara jenis Khat Riq’ah
yang biasanya tipis-tipis dan condong ke kiri ditemukan dalam
banyak naskah. Namun demikian, sapuan pada beberapa huruf,
khususnya sin dan kaf memperlihatkan gaya Farisi. Akan tetapi
secara umum dapat dikatakan Riq’ah, khususnya naskah MA 06
(Gambar 03). Jenis Farisi misalnya ditemukan pada Naskah MA
03 dari Kepaon. Karakter tulisannya condong ke kanan dan sapuan-
sapuan pada sin dan gigi ba, ta, £a, atau ya, yang agak meliuk-liuk
dan memanjang, walaupun masih sederhana dan ada kesan Riq’ah
karena sebagian hurufnya condong ke kanan (Gambar 04).

8. Ilustrasi dan Iluminasi


Ilustrasi adalah sebuah gambar atau hiasan yang ada hubungan-
nya dengan teks, dan biasanya digunakan untuk memberikan penje-
lasan lebih lengkap dari teks bersangkutan. Sedangkan iluminasi,
yang berasal dari kata illumination, yang berarti menerangi, biasa-
nya lebih berfungsi sebagai hiasan, dan tidak berkaitan langsung
dengan teks. Dalam naskah-naskah keagamaan Islam di Bali tidak
ditemukan iluminasi, kecuali dalam naskah Al-Qur’an. Ilustrasi yang
ditemukan pun hanya sedikit.

a. Ilustrasi
Ilustrasi terdapat pada naskah tasawuf dan masalah doa, wirid,
dan wifiq. Dalam naskah MA 03, h. 11r, terdapat ilustrasi tentang
sifat-sifat Allah berdasarkan kalimat L± Il±ha Ill± All±h yang dibagi
ke dalam empat kategori “L±”, “Il±ha”, “Ill±”, dan “All±h” (Gambar
05). Pada naskah MA 04, h. 17v, kata “Il±h” diletakkan dalam kotak
belah ketupat dan segi empat, dan di sekelilingnya terdapat penje-
lasan sehingga membentuk semacam concept map (peta konsep),

71
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

terkait dengan ilmu ma’rifah, dan disebut juga nama-nama malaikat,


sahabat, dan lain-lain (Gambar 06).
Pada naskah Serangan 01 yang berbahasa dan beraksara Bugis,
tentang tasawuf, terdapat ilustrasi lafa§ al-jal±lah, kata “All±h”,
yang diletakkan dalam blok hitam. Ada dua blok yang semuanya
berisi kata “All±h”, dan di atas-bawahnya terdapat penjelasan yang
diduga terkait dengan zikir (Gambar 07).
Contoh ilustrasi terakhir adalah tentang wifiq. 28 Dalam naskah
wirid dan doa MA 05, h. 12v-13r, terdapat simbol-simbol yang
diletakkan dalam bingkai garis, misalnya kata “Allah” dan
“Muhammad” dalam satu kotak, kata “Muhammad” dan “Ilah”,
kalimat L± Il±ha ill± All±h Mu¥ammad Rasµl Allah”, masing-
masing dalam satu kotak, dan simbol-simbol huruf hijaiah yang
dirangkai sedemikian rupa dan diletakkan dalam satu kotak
(Gambar 08).

b. Iluminasi
Iluminasi hanya ditemukan dalam naskah-naskah Al-Qur’an.
Meskipun naskah Al-Qur’an terkadang dikhususkan dalam klasi-
fikasi kajian naskah klasik, tetapi karena pentingnya temuan ini,
dan juga dapat dikaji secara kodikologis, hasilnya disajikan di sini.
Iluminasi dalam mushaf-mushaf kuno yang ditemukan di Bali
sangat luar biasa. Desain hiasan yang menurut identifikasi Annabel
Teh Gallop (2004) sebagai tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur
Semenanjung Melayu atau Pattani dan Trengganu, dan Jawa,
ditemukan di Bali. Bahkan satu mushaf di Masjid Agung Singaraja
(MAJS/NQ/01) sangat khas, unik, dan menarik, yakni iluminasi
dalam bentuk arabesk (pola geometris yang disalin bersilangan)
dari kalimat L± Il±ha ill± All±h Mu¥ammad Rasµl Allah sebagai
bingkai hiasan yang mengelilingi bidang teks ayat-ayat Al-Qur’an,
yang terdapat pada bagian tengah mushaf.
Karakter kedaerahan iluminasi dapat juga dilihat dari penem-
patan halaman berhias pada awal, tengah, atau akhir; ada perbedaan
kedaerahan yang konsisten dan mencolok. Dalam hal penempatan

28
Wifiq: suatu formula yang terdiri atas susunan bilangan atau angka Arab
tertentu yang mengandung rahasia-rahasia spiritual. Bagi yang mempercayainya,
pengetahuan mengenai formula tersebut merupakan hikmah ilahiyah.

72
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

iluminasi tengah: Aceh selalu bagian tengah Al-Qur’an, yaitu awal


juz 16 atau bagian tengah Surah al-Kahf; Pantai Timur Melayu
biasanya pada permulaan juz 15 atau awal Surah al-Isra’; dan di
Jawa hampir selalu ditemukan pada permulaan surah al-Kahf
(Gallop, 2004: 132). Penempatan ini dapat ditemukan pula pada
mushaf-mushaf Bali. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat
keempat tipe atau desain hiasan tersebut.

1). Tipe Aceh dan Istimewa: Iluminasi Kalimat L± Il±ha Ill±


All±h Mu¥ammad Rasµl All±h
Di Masjid Jami’ Agung Singaraja terdapat mushaf, kode
MAJS/NQ/0129 yang sejauh pengetahuan kami memiliki keistime-
waan yang luar biasa, yakni iluminasi bagian tengah. Rangkaian
dari kalimat L± Il±ha Ill± All±h Mu¥ammad Rasµl All±h yang
didekor sedemikian rupa sehingga menciptakan bingkai hiasan
berbentuk arabesq yang mengelilingi teks ayat Al-Qur’an. Belum
lagi desain hiasannya dan motif pewarnaannya yang memiliki
unsur-unsur daerah lain, yaitu Sulawesi dan Aceh. Demikian juga
dengan bahannya, meskipun berupa kertas Eropa tetapi berdasarkan
cap kertas (water mark)-nya yang termasuk kelompok Cressent,
adalah kertas yang umumnya digunakan di Afrika, “paper used by
Denham in Africa” (Heawood, 1986: 85). 30

29
Tebal naskah 682 halaman, setiap halaman terdiri atas 14 baris, kecuali
halaman awal yang terdiri atas 7 baris. Naskah berukuran 27 X 21 cm, sementara
ukuran teksnya adalah 18 X 14, 5 cm. Pada naskah ini terdapat bingkai teks berupa
tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Sampul naskah berukuran 33,5 X22
cm yang terbuat dari kulit berwarna merah maron dengan motif floral. Bagian dalam
sampul naskah dilapisi kain saten. Sampul naskah memakai tutup (plop). Teks ditulis
dengan menggunakan khat naskhi. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Pada
bagian tertentu, seperti kepala surah, awal juz, atau tanda baca, digunakan tinta
berwarna merah. Pada halaman pelindung terdapat catatan yang tertulis: “h±©a al-
waqf mu¡¥af masjid jam³‘”. Menurut keterangan pengurus takmir masjid, naskah
mushaf ini ditulis oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan
Raja Buleleng yang masuk Islam.
30
Tentang bahan kertas yang biasanya digunakan di Afrika, mengapa dapat
sampai ke Bali, dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa orang-orang Bugis pada
masa lalu telah banyak bermukim di Bali. Bahkan, desa di mana Masjid Agung
Singaraja berada pun bernama Kampung Bugis. Wawancara dengan H. Hasan
(penduduk setempat), H. Hasyim Zaki, dan H. Abdurrahman Alawi (Pengurus Ta’mir
Masjid), 30 Oktober 2008.

73
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Merujuk pada identifikasi yang pernah dibuat Annabel Teh


Gallop (2004) tentang ragam hias mushaf, salah satu mushaf Al-
Qur’an di Masjid Jami’ Agung Singaraja memiliki unsur-unsur
yang umumnya terdapat di Aceh dan Sulawesi. Ciri kedaerahan
pada umumnya dapat dilihat pada pola, pewarnaan dan detail hiasan
bingkai (Gallop, 2004: 129). Iluminasi mushaf Aceh mudah dike-
nali dengan “garis bingkai vertikal, yang mengapit bidang teks pada
masing-masing halaman, memanjang ke atas dan ke bawah, dan
miring ke dalam pada ujung atas dan bawah. Di ketiga sisi luar
bidang teks, ada garis melengkung sampai ke tepi, sementara
lengkungan pada sisi vertikal diapit oleh dua ‘sayap’ kecil, yang
dapat berbentuk sulur lembut yang tipis ataupun berukuran lebih
besar. Segi empat berhias di sekitar bidang teks sering diisi dengan
sulur ikal warna putih, dan di bagian-bagian tertentu sering terdapat
motif jalinan. Sepasang bingkai berhias dari Aceh ini dicirikan
dengan pewarnaan yang kuat, namun terbatas, terutama merah,
kuning dan hitam. Warna dasar keempat dalam naskah beriluminasi
dari Aceh adalah warna putih, namun menampilkan latar belakang
kertas itu sendiri, yang memang berwarna putih.
Desain seperti diuraikan di atas jelas sekali terlihat pada ilumi-
nasi bagian awal mushaf ini (MAJS/NQ/01).31 Sedangkan iluminasi
yang istimewa terdapat pada bagian tengah mushaf, di satu sisi
memperlihatkan pola Aceh dengan “sepasang garis tegak kiri-
kanan”, tetapi di bagian kiri dan kanan garis tegak tersebut terdapat
bentuk segitiga, yang dekat ke Sulawesi, walaupun tidak terlalu
jelas sebab salah satu ciri kedaerahan iluminasi Sulawesi adalah
garis lurus. Dari segi teks ayat pada bagian tengah yang berilu-
minasi, mushaf ini sama dengan mushaf-mushaf dari Aceh yang
selalu menempatkan awal juz 16 atau bagian tengah Surah al-Kahf,
dan mushaf ini menempatkan awal juz 16. Segi empat berhias di
sekitar bidang teks pada pola Aceh yang sering diisi dengan sulur
31
Bagaimana pola Aceh terdapat dalam mushaf ini? Berdasarkan keterangan
pengurus Ta’mir masjid dan penduduk setempat, bahwa di wilayah ini pernah
kedatangan orang-orang dari Aceh, hanya saja tidak diketahui siapa dan kapan hal itu
terjadi. Akan tetapi, jejaknya bisa ditemukan bahwa salah seorang pengurus ta’mir
masjid sendiri, Bapak H. Hasyim Zaki, adalah seorang Muslim Bali yang memiliki
darah Aceh. Menurut kakaknya, H. Hasan, leluhur mereka ada yang berasal dari
Aceh. Wawancara dengan H. Hasan (penduduk setempat), H. Hasyim Zaki, dan H.
Abdurrahman Alawi (Pengurus Ta’mir Masjid), 30 Oktober 2008.

74
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

ikal warna putih, dan di bagian-bagian tertentu sering terdapat motif


jalinan, dalam mushaf MAJS/NQ/01, berupa jalinan kalimat L±
Il±ha Ill± All±h Mu¥ammad Rasµl All±h yang membentuk pola
arabesq dan sedikit motif floral. Warna yang dominan adalah merah
dan hitam (Gambar 09 dan 10; bandingkan dengan Gambar 10a).

2). Tipe Sulawesi


Tipe Sulawesi ditemukan pada mushaf dari Pegayaman, milik
Bapak I Wayan Ma’ruf. Mushaf ini sudah tidak lengkap lagi dan
sebagian besar sudah dimakan serangga. Akan tetapi, dari iluminasi
yang masih bisa dilihat pada bagian awal dan bagian tengah, desain-
nya sama dengan desain yang umumnya ditemukan di Sulawesi,
yakni dua bingkai yang diletakkan secara berhadapan dengan ciri
khas garis-garis tegak. Iluminasi hiasan mushaf dari Sulawesi yang
menurut Gallop (2005) “Sulawesi Diaspora”, bercirikan bentuk-
bentuk geometris yang kuat, yakni garis-garis vertikal, horizontal
dan diagonal, dan tidak memiliki garis-garis lengkung bergelom-
bang. Dua buah garis vertikal di kiri-kanan paling luar, dua bidang
empat persegi panjang yang mengapit teks ayat, dua bidang persegi
panjang di atas membingkai kepala surah dan di bawah mem-
bingkai keterangan surah, dan keduanya mengapit teks ayat di atas
dan di bawah, segitiga di tengah bagian pinggir menghadap keluar,
dan beberapa bentuk setengah lingkaran di atas, bawah, dan pinggir
luar bingkai. Sedikit berbeda, bahwa di bagian luar bingkai pada
mushaf Pegayaman ini, bukan segi tiga tetapi lengkungan-
lengkungan yang membentuk semi segitiga yang di dalamnya
dihiasai desain floral dengan pewarnaan merah, hitam, dan kuning,
di samping putih yang merupakan warna dasar kertas. Di bagian
akhir mushaf, masih terdapat surah Al-Fatihah yang diletakkan
dalam bingkai berhias melengkapi sepasang hiasan akhir mushaf
(Gambar 11; Gambar 12, bandingkan dengan Gambar 12a).

3). Tipe Pantai Timur Semenanjung Malaya


Ciri khas iluminasi mushaf dari Pantai Timur Semenanjung
Malaya adalah “Lengkungan luar bingkai berhias sering ditutup
dengan rangkaian ‘ombak-ombak’ atau ‘dedaunan’ kecil”, misalnya
dari Pattani dan Trengganu (Gallop, 2004:130). Iluminasi mushaf
dari Pattani bercirikan, “lengkungan pada bingkai berhias kadang-

75
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

kadang terdiri dari dua ombak yang saling berpautan yang ditutup
dengan semacam kubah”. Sementara Trengganu lebih bercirikan
pembatas beriluminasi yang memenuhi tepi luar kertas. “Dari pem-
batas luar ini banyak garis atau sulur kecil mengarah ke dalam seakan-
akan bertemu dengan ‘ombak-ombak’ yang muncul dari lengkungan,
menimbulkan efek ‘stalagnit-stalaktit’. Ketika garis-garis dan ombak
disepuh, secara keseluruhan efeknya adalah pancaran emas yang
cemerlang. Pewarnaan hiasan bingkai Pantai Timur lebih luas
daripada yang ditemukan di Aceh, meliputi warna-warna muda
seperti biru dan hijau maupun warna-warna tua yang lebih
menggetarkan, dan emas sering digunakan” (Gallop, 2004:130).
Pola hiasan pada Al-Qur’an kuno dari Masjid Al-Muhajirin
Kepaon Denpasar32 memperlihatkan tipe Pantai Timur Semenanjung
Malaya. Dua buah bingkai diletakkan secara berhadapan di halaman
kiri-kanan, dan bingkai kedua halaman tersebut disatukan dalam
bingkai luar. Lengkungan-lengkungan dan riak-riak gelombang ter-
gambar dengan jelas dalam mushaf ini, yakni di atas-bawah dan
pinggir bingkai teks ayat. Bingkai teks ayat berupa empat persegi
panjang agak lebar mengelilingi bidang teks dan diisi dengan hiasan
bermotif daun dan dipadukan dengan lengkungan setengah ling-
karan. Pewarnaannya terdiri atas merah, merah muda, hijau, hitam,
dan kuning emas, di samping warna putih yang merupakan warna
dasar kertas (Gambar 13, bandingkan dengan Gambar 13a).

4). Tipe Jawa dan Mushaf Tertua Ketiga di Nusantara: Tahun


1035 H/1625 M
Mushaf lain yang menarik, unik, dan luar biasa adalah mushaf
yang ditemukan di Kampung Jawa Singaraja milik M. Zen

32
Naskah ini berukuran 30 X 19 cm, ukuran teksnya 19, 5 X 11, 5 cm. Bingkai
teks berupa tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Penomoran halaman
tidak ada. Di beberapa halaman verso terdapat kata alihan. Sampul naskah sudah
tidak ada. Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Dalam kertas ini terlihat
adanya garis bayang tebal dan garis tipis. Jarak garis tebal pertama sampai ke-6 13
cm. Jumlah garis tipis dalam 1 cm 9 buah. Selain itu, dalam kertas terdapat angka
1825. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Tinta yang digunakan berwarna
hitam. Teks ditulis dengan menggunakan garis panduan yang ditekan. Secara umum,
naskah sudah lapuk dan tidak lengkap. Teks yang masih ada dimulai bagian tengah
surat al-Baqarah dan berakhir pada surah al-Naba, awal Juz ke-30 (juz ‘amma)

76
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Usman. 33 Dikatakan demikian karena beberapa alasan: Pertama,


mushaf ini ditulis di atas dluang. Alas tulis dari bahan dasar kulit
kayu ini pada umumnya tergolong tua karena kertas ini umumnya
telah ada sebelum kertas Eropa masuk ke Nusantara. Kedua, naskah
ini memiliki kolofon yang menunjukkan waktu penyalinannya pada
Kamis, 21 Muharram 1035 H (23 Oktober 1625 M), sebuah masa
yang tua, oleh Abd al-Sufi al-Din, dan kolofonnya dalam bahasa
Arab, yang berbunyi: “tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min
syahr al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah
khamsin wa £al±£µna al-hijrah an-nabawiyyah “. Ketiga, dari segi
kaligrafinya, mushaf ini memperlihatkan goresan seorang khattat
(ahli kaligrafi) Arab dengan khat Naskhi yang indah walaupun
tidak dengan kalam khat yang tipis-tebal, dan untuk kepala surah
masih berupa Sulus sederhana. Keempat, iluminasinya memperli-
hatkan unsur Jawa, jika merujuk identifikasi Gallop (2004), tetapi
lengkungan-lengkungan yang mengelilingi teks ayat lazim
ditemukan di Turki Usmani.
Iluminasi pada mushaf ini terdapat pada bagian awal yang
membingkai Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah. Desain
hiasan ini menunjukkan salah satu karakter khas Jawa, yakni pada
pewarnaan yang cenderung menggunakan warna biru (Gallop,
2004: 130). Bidang teks ayat diapit di kiri-kanan oleh blok empat
persegi panjang yang dihiasi dengan pola arabesq, dan di atas-
bawahnya diapit juga oleh blok empat persegi panjang; blok atas
membingkai nama surah Al-Fatihah, dan blok bawah mengbingkai
keterangan surah. Sementara itu, di tiga sisinya, atas-bawah dan
pinggir, terdapat segi tiga yang juga berhiaskan bentuk arabesq.
Selanjutnya, kedua bingkai yang berhadapan pada dua halaman
kiri-kanan ini disatukan oleh bingkai garis yang memotong setiap
ujung segitiga pada setiap sisinya. Bagian dalam bingkai ini pun

33
Secara umum, mushaf ini masih baik; hanya beberapa halaman yang tampak
lapuk. Mushaf ini berukuran 24 X 16 cm, dan ukuran teksnya adalah 16 X 11 cm.
bingkai teks berupa tiga buah garis berwarna hitam. Tebal naskah 769 halaman yang
terdiri atas 754 halaman isi. Sampulnya terbuat dari kulit berwarna coklat motif
floral. Tulisan rapi dan jelas. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Jumlah
baris setiap halaman 13, kecuali halaman awal yang terdiri atas 7 baris dan halaman
akhir yang terdiri atas 10 baris. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Untuk bagian
yang berisi keterangan awal surah tinta dan awal juz digunakan berwarna merah.

77
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

diberi hiasan berbentuk arabesq yang dipadukan dengan pola


dedaunan (Gambar 14, bandingkan dengan Gambar 14a).
Pemiliknya tidak mengetahui secara pasti asal usul mushaf ini
kecuali bahwa ia mendapatkannya dari orang tuanya dan konon
telah dimilikinya secara turun temurun. Namun demikian, kebera-
daan mushaf ini di sebuah tempat yang disebut Kampung Jawa,
bisa diduga bahwa asal-usulnya berkaitan dengan Pulau Jawa,
terutama dari beberapa unsur yang terdapat pada pola hiasannya.
Lebih dari itu, mushaf ini menambah koleksi dan informasi mushaf
tertua di Nusantara, yakni ditulis pada Kamis, 21 Muharram 1035
H/1625 M (Gambar 15). Setidaknya mushaf ini menjadi mushaf
tertua ketiga setelah Mushaf kode MS 12716 di University of
London yang ditulis Jumadil Awwal 993/1585 dan mushaf dari
Ternate yang ditulis pada 7 Zulqa’dah 1005 H/1597 M (Bafadal dan
Anwar, 2005: vii-viii).

Penutup
1. Kesimpulan
a. Penelusuran awal naskah-naskah keagamaan Islam di Bali
berhasil menemukan 38 naskah yang tersebar di berbagai
daerah di pulau Dewata ini. Dari 38 naskah tersebut, 35 di
antaranya merupakan naskah keagamaan Islam. Walaupun
jumlahnya tidak begitu signifikan dibandingkan dengan nas-
kah non keislaman yang biasanya ditulis di atas lontar, keber-
adaan 35 naskah keislaman itu dapat menunjukkan mata
rantai Islamisasi di Indonesia dan jaringan keilmuan dan
keulamaan Islam Nusantara, misalnya tentang nama tokoh
al-Haj Muhammad Amin al-Din Palimbangi dan Muhammad
Sa’id bin Muhammad Ali Kusamba, atau tempat, seperti
Palembang dan Pasuruan, serta iluminasi mushaf yang
memperlihatkan empat tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur
Malaya, dan Jawa.
b. 1) Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya
sangat memprihatinkan, tidak terawat dan kurang men-
dapat perhatian. Sebagian besar naskah sudah rusak, dan
bahkan tidak utuh lagi.

78
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

2. Dari aspek kodikologi, dapat dicatat beberapa hal: a) bahan


yang digunakan beragam, yaitu dluang, kertas Eropa,
kertas bergaris modern, dan lontar; b) Bahasa dan aksara
yang digunakan meliputi Arab, Melayu (Jawi), Bugis,
dan Bali; c) Waktu penyalinan antara abad ke-17–19 M,
dan yang tertua tahun 1035 H/1625 M; 4) Isi naskah
antara lain mencakup fikih, tasawuf, tauhid, doa, wirid,
dan obat-obatan, bahasa (nahwu-saraf), Al-Qur’an, dan
geguritan (cerita).

2. Rekomendasi
a. Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali yang mempriha-
tikan perlu mendapatkan perhatian serius dan perlu segera
dilakukan upaya konservasi lebih lanjut, antara lain dengan
penelusuran naskah dan digitalisasi.
b. Keberadaan naskah keagamaan Islam di Bali yang tersebar
di berbagai kabupaten memungkinkan masih ada naskah-
naskah lain yang belum tersentuh sehingga penelusuran
lebih lanjut perlu segera dilakukan.
c. Analisis terhadap isi teks dan penjelasannya secara konteks-
tual perlu diteliti lebih lanjut, setidaknya untuk melihat
bagaimana hubungan Islam-Hindu di Bali, dan bagaimana
posisi Bali dalam proses Islamisasi maupun dalam jaringan
transmisi keilmuan dalam Dunia Islam.Lebih dari itu,
adanya naskah lontar yang mengandung unsur keislaman
membuktikan bahwa hubungan antarumat beragama, khu-
susnya Islam-Hindu di Bali terjalin dengan baik, dan untuk
itu perlu pembuktian melalui penelitian secara lebih
mendalam. Wa All±h a‘lam…[]

79
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Daftar Pustaka
Agastia, Ada Bagus Gede. tanpa tahun. “Jenis-jenis ‘Naskah Bali’” dalam
Soedarsono (Ed), Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika,
Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bafadal, Fadhal AR, dan Anwar, Rosehan. 2005. Mushaf-Mushaf Kuno di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Bafadal, Fadhal AR, dan Saefullah, Asep (Eds.). 2005. Naskah Klasik
Keagamaan Nusantara 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan
Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Ecole francaise
d’Extreme-Orient-Yayasan Obor Indonesia
Deroche, Francois. 2006. Islamic Codicology, An Introduction to the Study of
Manuscripts in Arabic Script. London: Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation. Edisi bahasa Arab diteritkan tahun 2005 oleh penerbit yang
sama dengan judul al-Madkhal ila ‘Ilm al-Kitab al-Makhtut bi al-Harf al-
‘Arabi, diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Ayman Fuad Sayyid.
Fathurahman, Oman. 2003. “Pentingnya Memelihara, Melestarikan, dan
Memanfaatkan Khazanah Naskah Islam: Sebuah Refleksi”, Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 1, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 1-10.
Gallop, Annabel Teh. 2004. “Seni Mushaf di Asia Tenggara”, Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 2, No. 2. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 121-
143.
Gallop, Annabel Teh. 2005. “Islamic Manuscript art of Southeast Asia”, dalam
James Bennett (Ed.), Crescent Moon: Islamic Art & Civilisation in Southeast
Asia, Adelaide: Art Gallery of South Australia. h. 156-183.
Heawood, Edward. 1986. Watermarks: Mainly of the 17th and 18th Centuries.
Hilversum: The Paper Publications Society. Cet. V.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok:
Fakultas Sastra UI.
Kumar, Ann dan McGlynn, John H. 1996. Illuminations, The Writing Traditions
of Indonesia. The Lontar Foundation, Jakarta, Weatherhill Inc., New York
dan Tokyo.
Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad
XIX: Naskah Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, Depok:
Fakultas Sastra UI.
Rukmi, Maria Indra. 2005. “Penyalinan Naskah Melayu di Palembang”, makalah
dalam Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI , Depok.

80
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Saefullah, Asep. 2007. “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan
Museum Istiqlal Jakarta”, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1.
Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 39-62.
Sirojuddin AR. 1992. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana.
Yunardi, E. Badri. 2007. “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal
Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h.
1-18.

Informan:
1. Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
2. Drs. Ida Bagus Nyana, Staf Urusan Agama Hindu, Kanwil Dep. Agama
Prov. Bali
3. Drs. H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Kanwil Dep. Agama Prov.
Bali
4. Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masjid,
Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
5. Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
(No. 1-5) Wawancara di ruang kerja masing-masing pada 28 Oktober 2008.
6. H. Husen Abdul Jabbar, Wawancara pada 2 Nopember 2008 di Loloan
Timur.
7. Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga Ketua Ta’mir
Masjid Agung Singaraja,
8. H. Abdurrahman Alawi, Ketua Dewan Penasehat MUI Singaraja.
9. H. Abdurrahman Said, Ketua MUI Singaraja
10. H. Hasyim Zaki, Pengurus Harian Masjid Agung Jami’ Singaraja
11. H. Hidayat, Sekretaris MUI Sngaraja
(No. 7-11) Wawancara, secara terpisah pada 29-30 Desember 2008 di
Masjid Agung Singaraja maupun di kantor MUI Singaraja.
12. Hadiman, Syafruddin, Gunawan, dan Agus, para ustadz di Pesantren Al-
Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober 2008.
13. Abdullah, yang dituakan di Kampung Islam Buitan, Karang Asem,
Wawancara, 2 Nopember 2008.
14. H. Hasan, penduduk Singaraja yang bekerja di Denpasar, Wawancara, 30
Oktober 2008.

81
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Lampiran:
1. Contoh Deskripsi Naskah Milik Musthafa al-Amin, Denpasar
Fk/Bali Kitab Nikah, Obat-obatan, Wirid dan Doa
MA 01 Bhs. Arab dan Melayu Aks. Arab dan Jawi Prosa
98 hlm. 19 baris/hlm. 24x16 cm Kertas Eropa

Naskah ini merupakan kumpulan teks yang terdiri atas beberapa bidang
kajian. Tebal naskah 98 halaman (49 lembar) dengan jumlah baris 19 per
halaman. Jarak antarbaris di setiap halaman 7 mm. Naskah berukuran 24 X 16
cm, sementara ukuran teksnya adalah 19 X 11 cm. Naskah sudah tidak bersampul
dan bagian awal teks yang berisi Kitab Nikah sudah tidak lengkap. Sepertinya
bagian awal teks dimulai dari “Had al-Qa©af”, yakni pembahasan tentang
tuduhan suami bahwa istrinya berzina. Adapun bunyi kalimat pertama (1r) adalah
sebagai berikut:
Terpelihara dirinya daripada had ta-waw-kaf-sin karena jikalau ia tia(da) mau
bersumpah maka dipukul ia delapan puluh kali demikian lagi disuruh bersumpah
istrinya di atas mimbar lima kali supaya terpelihara ia daripada had zina maka apabila
sudah bersumpah keduanya jatuhlah talaknya itu talak bain kubra …
Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Akan tetapi cap kertas
hanya terlihat sebagian. Setelah dicocokkan dengan daftar cap kertas yang
disusun oleh Heawood (1986), tampaknya cap kertas ini mirip dengan contoh no.
860, yang termasuk kelompok Crescent. Menurut Heawood (1986: 84), kertas
dengan cap kertas nomor tersebut tidak bertanggal, namun dimungkinkan
diproduksi pada masa modern.
Teks ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi dengan
menggunakan garis panduan yang ditekan. Tinta yang digunakan berwarna
hitam, sementara rubrikasi berwarna merah.
Sebagaimana disebutkan, naskah ini merupakan kumpulan teks, yang
terdiri atas:
1. Halaman 1r-33v: Teks kitab nikah; dalam kolofon teks ini disebutkan “Kitab
Nikah”. Bunyi kolofon tersebut sebagai berikut:
Haza [al-]Kitab al-Nikah [ter] Hijrah al-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam seribu
dua ratus delapan puluh tujuh (1287) pada tahun Ba alif(?) pada malam ahad waktu
jim(?) pada pukul delapan pada delapan hari bulan Rabi’ al-Awwal pada ketika
itulah hamba Pa Abdul A’raf sudah selesai menyuruh ini kitab di dalam negeri
Badung Bali Badung adanya Kampung Kepaon 1287.
Tamma wa sallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam.
2. Halaman 33v-41v: Teks obat-obatan, tetapi tidak disebutkan judulnya.
Kalimat pertama teks ini berbunyi:
Sebagai lagi (obat) supaya bincar(?) buang air seni ambil limau nipis tiga biji ditaruh
gula batu maka embunkan pagi2 minum insya Allah ‘afiyah berturut-turut tiga pagi.

82
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Kalimat terakhir berbunyi:


Telah mengambil ijazah faqir a-haqir ila Allah Ta’ala Haji Hasan ibn al-Marhum
al-Haj Muhammad Amin al-Din Palembangi akan mengamalkan laqad ja’akum serta
doa yang kemudian kepada Syaikhuna wa ustazuna wa wasilatuna ila Allah Ta’ala
al-Arif bi Allah sayyidi al-Syaikh Muhammad Azhari ibn al-Mukarram al-Marhum
Kemas Muhammad Haji Abdullah Palimbangi Nafa’ana Allah bi barakatihi wa
barakat ‘ulumihi. Amin 1288 H di Ampenan Syahr [al-]Shafar.
3. Halaman 41v-47r: Teks berisi berbagai macam masalah, antara lain kitab
waris, wirid dan doa, penanggalan, dan teks khutbah nikah.
4. Halaman 47v-48v: Teks Li °³bat Aqli al-Ins±n.
Pemilik Naskah: H. Musthofa Amin, Kampung Bugis, Kepaon, Denpasar,
Bali.

2. Contoh Deskripsi Naskah Lontar Milik Yayasan An-Nur, Denpasar


Gg/Bali Pepalihan Gama Selam Bali
YN 02 Bhs. Bali Aks. Bali Puisi
9 lempir 4 baris/lempir 40,5 x 3,5 cm Lontar

Berdasarkan informasi di luar teks, naskah ini berjudul Pepalihan Gama


Selam Bali. Tebal naskah 9 lempir dengan jumlah baris 4 per lempir. Jarak
antarbaris tiap lempir adalah 0,5 cm. Naskah berukuran 40,5 X 3,5 cm,
sedangkan ukuran teksnya adalah 34 X 2, 5 cm. Pias kanan berukuran 3 cm, pias
kiri berukuran 3 cm. Naskah di tempatkan dalam kotak yang terbuat dari kayu
jati berwarna coklat. Ukuran kotak tempat menyimpan naskah ini adalah 46 X
8,5 cm.
Teks ditulis di atas lontar dengan menggunakan bahasa dan aksara Bali.
Tinta yang digunakan berwarna hitam. Di bawah setiap baris teks terdapat garis
panduan tipis berwarna hitam. Teks dibagi dalam dua kolom. Kondisi lontar
masih baik. Tulisan tampak rapi dan jelas. Teks ini berisi cerita proses islamisasi
di Bali.

Pemilik naskah: Yayasan An-Nur, Denpasar

83
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Lampiran II: Gambar-Gambar


A. Beberapa Jenis Kaligrafi

Gambar 01: Khat Naskhi pada Mushaf Gambar 02: Khat Naskhi pada
kuno dari Kampung Jawa, Singaraja naskah tauhid dari Pegayaman
Singaraja, milik Drs. Suharto

Gambar 03: Khat Riq’ah pada MS MA Gambar 04: Khat Farisi MS MA 01,
06, milik H. Musthafa Amin, Kepaon, koleksi H. Musthafa Amin, Kepaon,
Denpasar Denpasar

B. Ilustrasi

Gambar 05: MS MA 03, h. 11r. Gambar 06: MS MA 04, h. 17v.


naskah koleksi H. Musthafa Amin, naskah koleksi H. Musthafa Amin,
Kepaon, Denpasar Kepaon, Denpasar

84
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Gambar 07: MS Serangan 01, Gambar 08:


h. 56, milik H. Baharuddin, MS MA 03, h. 12v-13r. naskah milik
Kp. Serangan, Denpasar. H. Musthafa Amin, Kepaon, Denpasar

C. Iluminasi pada Mushaf

Gambar 09:
MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman awal pada Mushaf Kuno
koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja

85
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Gambar 10:
MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman tengah pada Mushaf Kuno
koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja

Gambar 10a:
Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Aceh., koleksi Perpustakaan Nasional
Jakarta, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h 46 dan 87.

86
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Gambar 11: Gambar 12:


Iluminasi bagian akhir pada mushaf kuno dari Iluminasi bagian awal pada
mushaf kuno dari Pegayaman,
Pegayaman, milik I Wayan Ma’ruf; milik I Wayan Ma’ruf.
pada di halaman kiri terdapat surah Al-Fatihah. Tampak tidak utuh lagi kerena
dimakan serangga.

Gambar 12a:
Tipe Iluminasi halaman tengah tipe Sulawesi juga terdapat pada Tafsir Al-
Qur’an, sepertinya Tafsir Jalalain. Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta,
dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 59

87
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Gambar 13:
Iluminasi bagian tengah pada mushaf kuno dari Masjid Al-Muhajirin, Kepaon, Denpasar.

Gambar 13a:
Tipe Iluminasi mushaf seperti ini umum ditemukan di Pantai Timur Semenanjung Malaya,
tetapi Al-Qur’an ini berasal dari Cirebon; Iluminasi ini terdapat pada again awal surah al-
Fatihah dan awal al-Baqarah. Al-Qur’an kuno koleksi Museum Sri Baduga, Bandung, Jawa
Barat, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 114

88
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam

Gambar 14:
Iluminasi bagian awal pada mushaf kuno dari Kp. Jawa Singaraja, milik H. Zen Usman.

Gambar 14a:
Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Jawa. Mushaf disalin di Surakarta pada
1797-1798 M oleh Ki Atmaparwita, koleksi Widya Budaya, Kraton Yogyakarta, dalam
Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 35

89
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90

Gambar 15:
Kolofon pada mushaf kuno dari Kampung Jawa, Singaraja,
milik H. Zen Usman. Ditulis di atas dluang, pada Kamis, 21
Muharram 1035 H/1625 M oleh Abd al-Shufi al-Din

90
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua


dalam Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di
Minangkabau
Pramono dan Bahren
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang

This article focus on discussing efforts to intreprate local Islam manu-


scripts of Minangkabau, particularly the order of Syattariyah in Minangkabau.
The manuscripts are culturally important that is related to the daily religious
needs of the disciples of the order of Syattariyah in Minangkabau. This is
related to the beliefs that to know about the guru, to posses the book, or to
listen to the stories about the ulama, the guru of the order of Syattariyah are
essential. The ideological perspective is influenced by the surau teaching
system based on the doctrines and books of the teachers. By means of social
context analyses of the texts, it is found that one way to reflect the disciples’
respect for the guru(-s) has been done through writing the biography of the
respective teachers and understanding their teaching. Because the guru is
considered holy man, his story can not be written in Latin texts, otherwise it
will be considered blasphemy or haram.

Kata Kunci: Surau, Manuskrip, Tarekat Syattariyah, Minangkabau

Pendahuluan
Minangkabau merupakan suku bangsa di Indonesia yang men-
diami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat. Etnis ini
memiliki karakteristik yang unik, dalam hal hubungannya antara
sosio-kultural dan Islam, dibandingkan suku bangsa-suku bangsa
yang lain di Indonesia. Keunikan tersebut tampak pada penyatuan
antara adat dan agama Islam. Oleh karena itu, topik mengenai
hubungan sosial-kultural dan Islam di Minangkabau tetap menarik
untuk didiskusikan.

91
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Dalam konteks hubungannya dengan Islam, diketahui bahwa


pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di Minangkabau
timbul dua macam aliran keagamaan, yaitu Kaum Tua dan Kaum
Muda. Akan tetapi, sekarang ini kedua istilah tersebut mungkin su-
dah terasa asing dalam pendengaran kita. Sedang istilah yang ba-
nyak dipakai sekarang ini adalah “Kaum Tradisional” untuk Kaum
Tua dan “Kaum Modernis” untuk Kaum Muda.
Dalam praktik pengamalan ajaran Islam, Kaum Tua di Minang-
kabau memiliki empat kriteria atau hakikat. Pertama, dalam bidang
aqidah, mereka adalah penganut aliran Ahlu Sunah wal Jama’ah.
Kedua, dalam bidang syari’ah, mereka menganut mazhab Imam
Syafi’i semata-mata. Ketiga, mereka membenarkan dan merasa berke-
wajiban untuk mempertahankan aliran-aliran tarekat yang mu’tabarah
(sah dan boleh diamalkan, menurut penilaian mereka). Keempat,
mereka ingin tetap mempertahankan tradisi, adat kebiasaan yang
telah melekat dalam berbagai macam amalan keagamaan (Latief,
1988: 135).
Paham keagamaan tersebut berbeda dengan paham keagamaan
yang diyakini oleh kalangan Kaum Muda. Para ulama golongan ini
memiliki pandangan bahwa hanya Alquran dan hadits Nabi yang
sahihlah yang benar. Oleh karena itu, kedua sumber itulah yang
boleh dijadikan pedoman umat Islam dalam menjalankan praktik-
praktik keagamaannya. Golongan ini juga berpendapat bahwa tidak
ada ulama, termasuk para ulama mazhab sekali pun, yang luput dari
kekeliruan, dan oleh karenanya pandangan keagamaannya tidak
dapat diikuti secara mutlak. Apalagi, Tuhan telah menganugerah-
kan akal kepada setiap manusia untuk dapat berijtihad setiap saat
(Fathurahman, 2003: 99).
Perbedaan-perbedaan dalam berbagai amalan dan perilaku keaga-
maan di antara kedua kelompok itu hingga sekarang masih tetap ada.
Organisasi-organisasi serta lembaga-lembaga pendidikan agama
yang didirikan oleh masing-masingnya pun masih ada. Hal ini menun-
jukkan bahwa perbedaan pendapat antara kedua golongan itu masih
tetap hidup dan berpengaruh dalam masyarakat Minangkabau.
Akan tetapi, bukan masalah perbedaan itu yang akan diulas da-
lam tulisan ini. Persoalan lain yang menarik dan kurang mendapat
perhatian adalah persoalan pola kepemimpinan Kaum Tua. Pem-

92
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

bicaraan akan difokuskan pada peran pemimpin Kaum Tua dan


bentuk penghormatan terhadap mereka.

Peranan Ulama Pemimpin Kaum Tua


Bagi masyarakat Minangkabau, “menjadi orang Minang berarti
menjadi Muslim”. Jika ada orang Minang yang tidak memeluk, atau
keluar dari, agama Islam misalnya, maka secara sosial mereka
dapat dikucilkan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, masyara-
kat Minang berusaha menyesuaikan adat dan tradisi kemasyarakat-
annya dengan Islam. Upaya penyesuaian berbagai nilai Islam de-
ngan adat di kalangan masyarakat Minangkabau ini tampaknya te-
lah dimulai sejak orang Minang menerima Islam sebagai agamanya
(Hamka, 1984: 138). Persesuaian Islam dengan adat tersebut awal-
nya terjadi secara bertahap, ketika Islam mulai masuk dari wilayah
pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek). Dalam kosa-kata Mi-
nang, masuknya Islam dari wilayah rantau ke darek ini digambar-
kan dalam pepatah: syarak mandaki, adaik manurun ‘syarak men-
daki, adat menurun’, atau seperti yang ditulis Yusuf (2004: 4), ada-
ik dibao turun, syarak dibao naik ‘adat dibawa turun, syarak diba-
wa naik’.
Kondisi seperti itu mempengaruhi masyarakat Minangkabau
tentang persepsinya terhadap sosok ulama. Ulama bagi mereka ti-
dak hanya penerang masa hidup di dunia, tetapi juga penyelamat
untuk kehidupan di akhirat. Dalam perjalanan sejarahnya, sosok
ulama Minangkabau, khususnya ulama pemimpin Kaum Tua tidak
hanya memiliki peran keagamaan saja. Akan tetapi, ulama pemim-
pin Kaum Tua di Minangkabau juga berperan di bidang sosial-bu-
daya dan politik. Besarnya peran ulama pemimpin Kaum Tua di
Minangkabau sempat mendapat perhatian khusus oleh pemerintah
Belanda pada masa penjajahan.
Pada masa penjajahan, pemerintah Belanda mengerahkan bebe-
rapa orang sarjananya untuk mengadakan penelitian tentang tarekat
yang ada di Sumatera Barat. Salah seorang di antaranya adalah Ph.
S. Van Ronkel. Ronkel (dalam Latief, 1988: 210) antara lain me-
nyebutkan dalam laporannya pada tahun 1916 bahwa, bahaya dari
aliran-aliran tarekat bukanlah terletak pada unsur fanatismenya, me-
lainkan terletak pada kepatuhan yang mutlak dari para anggotanya
kepada pada syekh yang memang menuntut kepatuhan itu sebagai

93
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

haknya. Khusus mengenai kaum Syattariyah, ia menyebutkan bah-


wa para pemimpin tarekat Syattariyah itu biasanya adalah orang-
orang yang tangguh pengetahuannya, menjadi lawan bagi setiap
aliran lainnya, suka mengejar-ngejar kekuasaan. Dengan demikian,
tidak jarang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi pemerin-
tahan Belanda. Apabila terdapat kejadian-kejadian tertentu yang
mereka cetuskan, dapat mengganggu kelancaran pemerintahan Be-
landa nantinya.
Dengan adanya ancaman tersebut, kemudian pemerintah Belan-
da membuat strategi khusus untuk mengantisipasi potensi perla-
wanan dari kaum tarekat di Sumatera Barat. Dalam konteks ini, se-
tidaknya ada dua strategi yang dibuat oleh pemerintah Belanda.
Pertama, mengadakan pengawasan yang ketat terhadap segala ak-
tivitas yang dilakukan oleh kaum tarekat (Syattariyah). Dalam hal
ini pemerintah Belanda menempatkan seorang pengawas kelas tiga
yang punya latar belakang ilmu budaya. Belanda menempatkan se-
orang posthouder di Ulakan sejak tahun 1844 (Suryadi, 2004: 117
dan 92).
Kedua, dengan mendekati, membujuk dan memuji-muji para
guru tarekat, dengan harapan agar mereka lebih memusatkan perha-
tian pada aktivitas kesufian, menjauhi urusan dunia. Dengan demi-
kian, semangat jihad mereka yang sering menggangu kolonial akan
dapat diredam. Sedang tokoh-tokoh tarekat yang dianggap berbaha-
ya dan tidak mempan dibujuk, lalu diusir dari daerah ini atau di-
bunuh dengan berbagai cara yang licik (Latief, 1988: 213-214).
Untuk kasus pusat tarekat Syattariyah di Ulakan Pariman, agak-
nya strategi Belanda ini berhasil. Hal ini dapat dicermati pada paroh
pertama abad ke-19, di mana banyak pengikut tarekat Syattariyah di
Ulakan Pariaman terpengaruh oleh gerakan pembaharu Islam di Su-
matera Barat. Golongan penganut tarekat Syattariyah yang terpe-
ngaruh oleh ide-ide pembaharuan itu karena tidak puas dengan ula-
ma Ulakan yang dinilai tidak memiliki komitmen untuk memerangi
Belanda. Apalagi dalam kenyataanya Ulakan sebagai salah satu pu-
sat tarekat Syattariyah tidak pernah benar-benar menunjukkan pe-
nentangannya atau setidaknya bersikap tegas terhadap Belanda
yang dianggap kafir. Boleh jadi karena sifat tarekat Syattariyah (di
Ulakan) yang suka pada harmoni, menyebabkan mereka cenderung
menghindari konfrontasi dengan Belanda (Suryadi, 2004: 117).

94
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

Dalam konteks itu, menarik jika dilihat dengan perspektif post-


kolonial. Di mana, perspektif postkolonial mencoba mengungkap
akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Akibat-
akibat yang ditimbulkan lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas
dibandingkan dengan kerusakan material. Oleh karena itulah, aki-
bat-akibat yang dimaksud tidak berhenti secara serta merta setelah
kolonialisme berakhir, melainkan berlangsung sampai sekarang,
bahkan mungkin puluhan atau ratusan tahun (Ratna, dkk., 2006:
74). Politik Belanda terhadap ulama tarekat Syattariyah di Ulakan,
Padang Pariaman dengan cara memberikan penghargaan dan ba-
nyak pujian telah membuat mereka bersikap kompromi dengan Be-
landa. Secara mentalitas berbekas hingga hari ini, misalnya kekuat-
an Golkar yang telah mampu mendekati para ulama itu untuk ber-
afiliasi ke dalam partai tersebut. Hal ini akan diterangkan lebih jauh
di bagian selanjutnya.
Kondisi di atas sangat berbeda dengan ulama-ulama tarekat
Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Di wilayah ini Belanda men-
dapat perlawanan yang tajam dari mereka. Gambaran perlawanan
ulama tarekat Syattariyah tersebut dapat ditemui dalam naskah Se-
jarah Surau Baru dan naskah Sejarah Syekh Paseban karya Imam
Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib.
Dalam naskah Sejarah Syekh Surau Baru misalnya, diceritakan
tentang pemberontakan rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang ke-
pada Belanda di bawah pimpinan Pakih Mudo. Pakih Mudo adalah
murid Syekh Surau Baru yang diutus untuk mengislamkan rakyat
Pauh, Lubuk Begalung dan sekitarnya. Ketika rakyat Koto Tangah
dan Pauh, Padang berperang dengan Belanda yang dibantu oleh
orang Kota Padang, maka Pakih Mudo mengomando rakyat Koto
Tangah dan Pauh dalam peperangan itu.
Peperangan itu menyebabkan Syekh Surau Baru ditawan Belan-
da. Penawanan itu dilaksanakan dengan alasan bahwa Pakih Mudo
adalah murid Syekh Surau Baru. Perang terjadi atas komando dan
dorongan Syekh Surau Baru. Dalam masa tawanan itulah Syekh Su-
rau Baru wafat dan tidak ada lagi yang melawan Belanda hingga
ratusan tahun kemudian, yakni perlawanan ke Belanda yang di-
namakan Perang Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Kisah ini
dapat ditemukan dalam kutipan teks berikut ini.

95
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Beginilah riwayat ringkas perjalanan hidup beliau Tuan Syekh Surau


Baru yang telah mengislamkan Koto Tangah, Pauh, dan sekitarnya. Juga be-
liaulah, Syekh Surau Baru yang mula-mula melawan penjajah Belanda yang
akan menginjakkan telapak kakinya di Pantai Minangkabau pada tahun
1658 Masehi (1076 Hijrat) yang bermaksud menjajah Minangkabau... ter-
jadi berkali-kali peperangan di Pauh dan Koto Tangah antara rakyat dengan
tentara Belanda yang dibantu oleh laskar Padang yang telah takluk di bawah
kekuasaan kompeni Belanda. Setelah Syekh Surau Baru wafat ditawan
kompeni Belanda barulah habis perlawanan rakyat terhadap kompeni Belan-
da. Maka amanlah Belanda di Padang sampai 170 tahun kemudian barulah
ada kembali perlawanan terhadap Belanda yang (di)kepalai oleh Tuanku
Imam Bonjol yang dinamai Perang Paderi mulai tahun 1803 berakhir tahun
1837 (al-Khatib, t.t.: 51-52).

Selain Syekh Surau Baru, perlawanan terhadap Belanda juga di-


lakukan oleh ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang
yaitu, Syekh Paseban. Perlawanan Syekh Paseban. pada waktu itu
adalah dengan tidak bersedia membayar pajak kepada pemerintahan
Belanda di Kota Padang. Oleh karena perbuatannya tersebut, ia di-
tangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Selain itu, pernah suatu ka-
li Belanda dengan taktiknya akan memberikan penghargaan kepada
Syekh Paseban. Penghargaan tersebut berupa bintang jasa yang
oleh Belanda dikatakan bahwa Syekh Paseban berhak menerima ka-
rena ia adalah ulama besar yang telah banyak berjasa bagi kaum-
nya. Akan tetapi, penghargaan itu ditolak oleh Syekh Paseban.
“Yang akan memberi saya bintang adalah Tuhan, tidak Belanda,
“kata Syekh Paseban (al-Khatib, 2001: 29, 34).
Dalam konteks perlawanan tersebut, dalam naskah Sejarah
Ringkas Syekh Paseben Asyattari Rahimahullah Taala Anhu, penu-
lisnya kembali menegaskan tentang kepahlawanan Syekh Surau Ba-
ru. Dalam salah satu bagian teks disebutkan bahwa, Syekh Paseban
selalu mengadakan ziarah ke makam Syekh Surau Baru di Batu-
singka, Air Dingin, Koto Tangah, Padang. Ziarah tersebut ia laku-
kan karena, (kedua) adalah di suatu makam Syekh Muhammad Nat-
sir (Syekh Surau Baru). Syekh Surau Baru ini adalah orang Kota
Panjang, Kota Tengah, Padang. Beliau sama pergi menuntut ilmu
dengan Syekh Burhanuddin ke Aceh kepada Syekh Abdurrauf
(Syekh Kuala). Beliaulah, Syekh Surau Baru inilah yang meng-
islamkan Negeri Kota Tengah, Pauh, Lubuk Bagalung (Negeri yang
dua puluh) dan Negri Padang. (ketiga) Jasa beliau Syekh Surau Ba-

96
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

ru, beliaulah yang mulanya melawan Belanda di Minangkabau ini,


170 tahun (seratus tujuh puluh tahun) sebelum Tuanku Imam Bon-
jol. Syekh Surau Baru melawan Belanda waktu Belanda akan men-
jejakkan kakinya di Pantai Padang sedangkan Tuanku Imam Bonjol
mengusir Belanda yang telah menduduki Minangkabau. Itu perbe-
daan perjuangan Syekh Surau Baru dengan Syekh Paseban. Beliau
Syekh Surau Baru dapat ditawan Belanda dimasukkannya ke dalam
rajam dan wafat di situ dan Tuanku Imam Bonjol ditawan Belanda
dibuangnya ke Manado dan wafat di situ (al-Khatib, 2001: 39).
Agaknya penulis naskah ingin mempertegas bahwa Syekh Su-
rau Baru, ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang adalah
benar-benar berjiwa pahlawan. Hal ini juga sekaligus mempertegas
bahwa ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang selain
orang alim juga anti penjajah. Oleh karenanya, pengikutnya harus
menghormatinya, agar beroleh berkah.
Setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Republik Indonesia,
M. Hatta, memaklumatkan agar menumbuhkan berbagai organisasi
dan partai. Hal ini untuk menolak tudingan Belanda bahwa Indone-
sia bukanlah negera yang sah. Setelah adanya maklumat ini, maka
banyaklah lahir parta-partai di negeri ini, termasuk juga di Suma-
tera Barat (Nasution, 2002: 899). Salah satu organisasi sosial yang
berikutnya menjadi sebuah partai di Sumatera Barat adalah Persa-
tuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pada awalnya, Perti adalah organisasi sosial yang didirikan pa-
da tanggal 5 Mei 1930 di Candung, Bukittinggi. Pendirinya adalah
para ulama yang terdiri dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung,
Syekh Muhammad Abbas al-Kadi Bukittinggi, Syekh Muhammad
Jamil Jaho Padangpanjang dan Syekh Abdul Wahid Tabekgadang.
Perti mengikuti aliran Ahlul Sunnah wal Jamaah dalam itikad dan
mazhab Syafi’i dalam syariat dan ibadat. Sejak 22 Nopember orga-
nisasi sosial ini berubah menjadi partai politik dengan nama Partai
Politik Islam Perti (Nasution, 2002: 899).
Kondisi seperti itu juga ikut mempengaruhi pandangan ideolo-
gis tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Dalam naskah oto-
biografi Sejarah Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib dise-
butkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum pertama 1955, pendu-
duk Koto Tangah sudah tujuh puluh lima persen masuk ke dalam
Partai Islam Perti. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang berwiba-

97
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

wa—termasuk Imam Maulana Abdul manaf Amin al-Khatib—tare-


kat Syattariyah di Koto Tangah telah masuk ke dalam partai itu (al-
Khatib, 2002: 47).
Dalam konteks kepartaian tersebut, Imam Maulana Abdul Ma-
naf Amin al-Khatib pernah giat memperjuangkan Partai Islam Perti
di Koto Tangah, Padang. Menurut penuturannya, pada waktu men-
jelang Pemilihan Umum pertama 1955, ia giat mengampanyekan
Partai Islam Perti. Poster-poster dan simbol-simbol partai ia buat
sendiri dan dengan biaya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga menem-
pelkan poster-poster itu di berbagai tempat di Koto Tangah, Padang
yang dilakukannya sendiri. Hal ini ia lakukan tidak lain karena me-
nginginkan pilihan penduduk Koto Tangah, Padang tidak salah,
yakni partai Islam yang sesuai dengan paham tarekat Syattariyah.
Hal ini memang terlihat agak berlebihan, padahal ia bukanlah pe-
ngurus atau pejabat dalam tubuh Partai Islam Perti itu.
Hal itu dimungkinkan karena Imam Maulana Abdul Manaf
Amin al-Khatib benar-benar terhimbau oleh anjuran pemerintah pa-
da waktu itu. Pada waktu itu pemerintah melalui Wakil Presiden
Muhammad Hatta menganjurkan bahwa setiap warga masyarakat
untuk masuk ke dalam salah satu partai. Jika tidak masuk ke dalam
salah satu partai, maka orang tualang ‘orang lepas, orang yang tan-
pa ikatan sebuah sistem aturan (pemerintah)’ namanya, dan peme-
rintah tidak menjamin keamanan orang seperti itu.
Oleh karena itu, dengan banyak pertimbangan dan dari hasil
pengamatan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Partai
Islam Perti-lah yang sesuai dengan paham tarekat Syattariyah.
Dalam hal ini ia mengatakan bahwa:

“...setelah saya selidiki beberapa partai Islam seperti Masyumi, Nah«atul


Ulama, Partai Sarikat Islam, dan Partai Islam Perti, maka jatuhlah pilihan
saya kepada Perti. Sebab partai ini berdasarkan mazhab Syafi’i dan
beritikad ahlu sunah waljamaah” (al-Khatib, 2002: 6).

Menarik dikemukakan bahwa, menjelang Pemilihan Umum per-


tama tahun 1955—saat di mana masing-masing partai gencar ber-
kampanye mencari dukungan—terjadi ketegangan hubungan antara
Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib dengan Angku Ta-
laok akibat perbedaan pilihan partai di antara mereka (al-Khatib,
2002: 47-57). Di satu sisi, Angku Talaok bergabung dengan Partai

98
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

Islam Indonesia (PII), sementara di sisi lain, Imam Maulana Abdul


Manaf Amin menjadi anggota Partai Islam Perti. Pada awal tahun
1950-an, Angku Talaok pernah diminta oleh para penganut tarekat
Syattariyah di Batang Kabung dan sekitarnya untuk membantu me-
ngajar di beberapa surau mereka. Saat itu, yang telah lebih dahulu
mengajar di surau Batang Kabung, dan beberapa surau lain di se-
kelilingnya, adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin.
Polemik tentang partai juga dialami oleh Imam Maulana Abdul
Manaf Amin al-Khatib di era Orde Baru. Ia pernah bersilang pen-
dapat dengan Angku Inyik Adam, khalifah tarekat Syattariyah dari
Syekh Paseban, yang sebetulnya merupakan kawan seperguruan
Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib sendiri ketika belajar
dengan Syekh Paseban. Saat itu, Angku Inyik Adam mengajaknya
untuk masuk ke dalam Partai Golkar, agar mudah mendapat ban-
tuan dari pemerintah untuk renovasi makam Syekh Surau Baru di
Batusingka, Koto Tangah, Padang. Akan tetapi, ajakan itu ditolak
oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam hal ini menarik di-
simak penolakan ajakan untuk masuk ke partai Golkar oleh Angku
Inyik Adam berikut ini:

“Begini Inyik, adapun Beliau ini (Syekh Surau Baru–pen.) bukan orang
partai, bukan pula ziarah bersama ini (bersyafar) tidak atas nama partai.
Bersyafar ini adalah atas nama kaum muslimin, tidak dihitung partainya...
Kalau saya masuk Golkar berarti ziarah bersama (bersyafar) ini tentu Syafar
orang Golkar kata orang” (al-Khatib, 2002: 63).

Penting dikemukakan di sini bahwa, banyak dan bahkan sebagi-


an besar pengikut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat yang ma-
suk ke partai Gokar setelah Perti kembali berstatus organisasi non-
politik. Perti mengalami perpecahan di dalam tubuh organisasinya
dengan adanya pro dan kontra terhadap gagasan Nasakom yang di-
cetuskan oleh Soekarno. Kemelut yang kurang terbenahi ini sangat
merugikan bagi tujuan semula organisasi. Pengelolaan bidang pen-
didikan dan dakwah seolah-olah terlupakan kalau tidak dapat dika-
takan terabaikan sama sekali. Maka pada tahun 1969, Syekh Sulai-
man ar-Rasuli, pendiri organisasi ini yang masih hidup pada waktu
itu, mendekritkan agar kembali kepada khitah semula, yaitu status
nonpolitik, bergerak di bidang sosial. Dekrit ini hanya diterima oleh
sebagian saja yang dipimpin oleh putranya K.H. Burhanuddin ar-

99
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Rasuli, dan kemudian dalam menyalurkan aspirasi politiknya berga-


bung dengan Golkar.
Berbagai argumen muncul dari ulama-ulama tarekat Syattariyah
yang bergabung ke dalam partai Golkar. Bagi orang awam, menurut
mereka pilihan guru kepada Golkar adalah petunjuk Allah yang ha-
rus diterima. Bagi yang sedikit maju dan cerdas, mereka mengaju-
kan dalil, daripada kita menumpang kapal kecil lebik baik naik ka-
pal besar, yakni Golkar. Ada lagi alasan ulama bahwa merubah dan
memperbaiki dari dalam jauh lebih mudah daripada memperbaiki
dari luar. Dengan masuk ke dalam Golkar, menurut mereka, akan
lebih mudah untuk memberikan pelajaran tarekat kepada orang-
orang yang berada di dalam Golkar, yang banyak sekuler dan ber-
campur agamanya (Samad, 2003: 266).
Akan tetapi, ada juga ulama tarekat Syattariyah yang dengan te-
gas menolak bergabung dengan Golkar. Misalnya, almarhum Tuan-
ku Salif dari Sungai Sarik, Padang Pariaman yang lama mengajar di
Batang Kabung, Koto Tangah, Padang. Menurut ulama ini, ulama
yang mencampuradukkan diri dengan politik itu adalah khianat pa-
da tugas keulamaannya (Samad, 2003: 268). Sangat dimungkinkan
bahwa Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib yang juga me-
nolak ajakan masuk ke Golkar karena terpengaruh sikap Tuanku
Salif ini. Hal ini jika dikaitkan dengan kecenderungan pendapat ula-
ma dalam tarekat Syattariyah yang besar pengaruhnya terhadap si-
kap kaumnya.

Penghormatan terhadap Ulama Pemimpin Kaum Tua


Di kalangan Kaum Tua di Minangkabau, penghormatan kepada
ulama-ulama pemimpin mereka terlihat pada gelar-gelar yang dibe-
rikan, misalnya sebutan Tuanku, Inyiek, Syekh dan Maulana. Ben-
tuk penghargaan yang lain terlihat juga dalam pelestarian cita-cita
dan perjuangan ulama terdahulu, penulisan riwayat hidupnya, pe-
nyebaran buku-buku hasil karyanya. Bentuk penghargaan yang ter-
akhir ini sangat menarik dan penting untuk dijelaskan.
Dalam konteks penghargaan ulama pemimpin Minangkabau da-
lam bentuk penulisan riwayat hidupnya dan penyebaran buku-buku
hasil karyanya banyak ditemukan di Minangkabau. Salah satu ben-
tuk penghargaan itu adalah naskah-naskah karya Imam Maulana
Abdul Manaf Amin al-Khatib. Ia banyak menulis sejarah para

100
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

syekh dan ajaran-ajarannya. Dalam teks yang terdapat dalam ham-


pir seluruh naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-
Khatib menempatkan guru sebagai orang yang harus dihormati.
Dengan menulis sejarah guru atau syekh, maka akan mendapat ber-
kah dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini:

“...sudah jelas oleh kita bahwa Nabi kita Muhammad S.M menyuruh kita
menghormati dan memuliakan ulama. Begitu pula ikan-ikan dalam laut,
yang kesimpulannya penghuni langit dan bumi menghormati ulama. Tentu
kita lebih menghormati ulama dari pada mereka. Mudah-mudahan dengan
menulis sejarah beliau, Syekh Paseban ini, maka saya termasuk orang yang
dianjurkan Nabi tadi, yaitu orang yang menghormati dan memuliakan ulama
dan mudah-mudahan Allah memberi berkat atas usaha saya. Amin, amin ya
rabbil ‘alamin. Saya yang menulis adalah salah seorang dari murid beliau
yang bernama Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Batang
Kabung, Padang” (al-Khatib, 2001: 12-13).

Ajaran guru adalah sesuatu yang benar dan tidak boleh diban-
tah. Jika ada golongan lain mengkritik ajaran guru, maka harus di-
luruskan. Berikut ini dapat dilihat gambaran tentang bantahan ter-
hadap kritikan dari pihak luar.

“...dengan adanya ketiga buku sejarah ini dapatlah saudara-saudara yang


menjadi pengikut dan pencinta Syekh Abdurrauf dan Syekh Burhanuddin
mengetahui bagaimana beliau-beliau ini mengembangkan agama Islam dan
dapat kejelasan apakah mazhab beliau, apakah bilangan yang beliau pakai
untuk menentukan tanggal satu hari bulan Arab. Sebab, akhir-akhir ini ba-
nyak pula keluar di surat-surat kabar dan majalah-majalah yang memutar-
balikkan sejarah beliau yang berdua ini yang jauh berbeda dengan yang
dalam buku ini. Tidak surat-surat kabar dan majalah saja yang memutar-
balikkan sejarah beliau-beliau ini. Tetapi juga guru-guru tarekat kampung
memutarbalikkan pula sejarah Syekh Abdurrauf dan sejarah Syekh Burhan-
uddin, supaya tarekatnya diterima oleh orang kampung yang buta ilmu
pengetahuan agama. Demikianlah supaya kita berhati-hati menerima sejarah
dan menerima tarekat dari guru tarekat, jangan asal dimasuki saja” (al-Kha-
tib, 1936: 5).

Perlu dijelaskan di sini bahwa, yang dimaksud dengan “ketiga


buku sejarah ini” dalam kutipan di atas oleh Imam Maulana Abdul
Manaf Amin al-Khatib adalah teks sejarah Syekh Abdurrauf, Syekh
Burhanuddin, dan Syekh Surau Baru. Penulisnya mengharapkan

101
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

bahwa dengan adanya ketiga sejarah syekh tersebut, maka pengikut


tarekat Syattariyah akan memahami bagaimana ketiganya beramal
ibadah, bagaimana mereka menentukan awal bulan Arab, dan se-
terusnya.
Oleh karena suatu paham tidak sesuai atau berlainan dengan fat-
wa guru yang diterimanya, maka tidak boleh mengikut paham ter-
sebut, paham gurulah yang benar. Misalnya, sebagian besar peng-
ikut tarekat Syattariyah tidak akan salat Jumat apabila khutbah di-
laksanakan tidak menggunakan bahasa Arab. Mereka tidak akan
ikut salat tarawih di bulan Ramadan, jika salatnya dilakukan seba-
nyak sebelas rakaat, karena menurut fatwa gurunya yang benar ada-
lah mengerjakan salat tarawih itu dua puluh tiga rakaat. Untuk me-
nentukan awal bulan Ramadan dilakukan dengan ru’yah (melihat
bulan) terlebih dahulu, walaupun pemerintah telah mengumumkan
awal memasuki puasa Ramadan.
Menghormati guru juga diyakini berimplikasi terhadap cepatnya
pemahaman ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Jika patuh dan
hormat terhadap guru, maka pemahaman ilmu akan datang dengan
tidak disangka-sangka. Dalam teks sejarah Syekh Abdurrauf Sing-
kil misalnya, dikisahkan tentang bagaimana bentuk penghormatan-
nya kepada gurunya, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, seperti berikuit
ini:

“...tetapi pelajaran [bang] yang [berikan] diberikan oleh Syekh Ahmad Qu-
syasyi hanya surah al-Baqarah saja, tidak birasak-birasak sekedar lamanya.
Artinya itu-itu saja pelajaran yang diberikan oleh Syekh Ahmad al-Qu-
syasyi hingga sampai kepada masa akan kembali pulang. Namun, begitu ha-
ti beliau terhadap guru tidak menaruh bosan dan berkecil hati. Malahan be-
liau terima hal yang demikian dengan hati yang ikhlas dan bertawakal ke-
pada Allah swt. Beliau tetap hormat dan khidmat serta patuh terhadap guru
beliau. Selain menuntut ilmu juga kerja beliau Syekh Abdurrauf di Madinah
adalah mengembalakan unta Tuan Syekh Ahmad al-Qusyasyi tiap-tiap hari.
Tambahan lagi, sebagai mengkhidmati guru beliau tetap mendukung guru
dari tempat tinggalnya kepada tempat dia mengajar ilmu di Masjid Nabawi.
Begitulah kerja beliau Syekh Abdurrauf tiap-tiap harinya, yaitu pagi-pagi
didukung guru di hulu dari tempat tinggalnya ke tempat dia mengajar. Su-
dah itu terus pergi gembala unta ke tengah padang. Begitu pula petang-pe-
tangnya setelah memasukkan unta ke kandanganya maka pergi pula men-
jemput guru ke mesjid, di dukung pula ke tempat tinggal beliau. Sangat pa-
tuh dan sangat hormat kepada guru apa yang diperintahkannya oleh guru ti-

102
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

dak pernah membantah dan waktu bersalam mencium tangan guru” (al-
Khatib, 1936:8-9).

Dalam teks sejarah Syekh Burhanuddin juga dikisahkan tentang


bentuk penghormatan yang dilakukan kepada gurunya, Syekh Ab-
durrauf Singkil, seperti berikut ini:

“Adapun kaji yang diberikan yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf ke-
pada Burhanuddin adalah surah al-Fatihah saja tidak berasak-asak sekedar
lamanya. Adapun adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syekh Ab-
durrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib
Syekh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, yaitu
mendukung guru dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di mas-
jid. Selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak
Syekh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari, dan lagi menggali tebat (ko-
lam) ikan di sekeliling masjid. Begitulah kerja Burhanuddin selama menun-
tut ilmu di Aceh dalam masa tiga puluh tahun...” (al-Khatib, 1992: 20-21).

Kedua kutipan di atas, menggambarkan sekaligus mendorong


kepatuhan murid kepada guru. Kepatuhan itu akan membawa ber-
kah, sehingga pelajaran diperoleh dengan mudah dan sempurna. Di
samping itu, kedua kutipan tersebut juga berpesan kepada pembaca-
nya bahwa sebuah ilmu tidaklah diperoleh dengan mudah. Ia harus
diperoleh dengan perjuangan yang sungguh-sungguh tidak kenal
menyerah. Amanat “tidak kenal menyerah” itu senantiasa terwaris
dari guru yang satu ke guru berikutnya.
Teks-teks yang terkandung dalam naskah-naskah karya Imam
Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, banyak sedikitnya memper-
lihatkan pandangan tentang hubungan guru-murid yang secara eks-
plisit mengarahkan agar para murid dan pengikut tarekat Syattari-
yah merasa (ataupun diwajibkan) mengenal riwayat syekh yang
menjadi gurunya atau guru dari gurunya. Bagi para penganut tare-
kat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharusan
karena itu bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru,
untuk kemudian menjadi suri teladan bagi kehidupannya. Oleh ka-
rena itu orang berusaha untuk memiliki, membaca ataupun men-
dengar orang membacakan riwayat gurunya, memuliakan guru agar
mendapat syafaatnya (limpahan rahmat), agar ilmu yang didapat
beroleh berkah.

103
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Oleh karena merasa “wajib” untuk mengetahui riwayat dan ajar-


an para syekh tersebut, maka banyak kalangan penganut tarekat
Syattariyah, khususnya di Koto Tangah, Padang yang ingin memili-
ki naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Kha-
tib. Perihal banyaknya peminat naskah-naskah karyanya itu, mena-
rik untuk dipaparkan tentang sejarah teks yang menceritakan seja-
rah Syekh Abdurrauf, Syekh Burhanuddin, dan Syekh Surau Baru.
Dari naskah-naskah itu jelas bahwa syekh sebagai pemimpin
menjadi sentral dalam pembentukan ideologi penganut tarekat Syat-
tariyah Kaum Tua) di Minangkabau. Seorang guru melalui prosesi
bai’ah yang sudah dilakukan sebelumnya, sebagai sumpah setia
murid kepada gurunya, dapat memperlakukan muridnya sesuai de-
ngan aturan yang ditetapkan. Perintah dan larangan guru bersifat
mutlak dan mengikat. Sebaliknya, murid secara sukarela harus me-
nerima dan mematuhi segala bentuk aturan yang telah ditetapkan
guru kepadanya. Murid tidak boleh banyak mempertanyakan ten-
tang “mengapa” dan “apa sebabnya”, apalagi membantah guru.
Oleh karena itu, di kalangan Syattariyah berlaku ungkapan bahwa
”seorang murid di hadapan guru ibarat sesosok mayat di tangan
orang yang memandikannya” (Samad, 2003: 147-148).
Selain itu, penghormatan dan penghargaan terhadap guru, da-
lam pengajian tarekat Syattariyah dilakukan atas dasar pandangan
bahwa guru adalah orang yang suci dan dekat kepada Allah. Bah-
kan penghormatan yang demikian masih terus berlangsung meski-
pun guru yang bersangkutan telah meninggal dunia. Dalam pan-
dangan mereka roh seorang syekh yang sudah meninggal masih da-
pat memberikan pertolongan kepada murid-muridnya. Karena itu,
mereka selalu berziarah mengunjungi makam untuk mendapatkan
berkah sekaligus sebagai bukti kesetiaan terhadap guru tersebut.
Sebaliknya, kedurhakaan terhadap syekh akan menimbulkan
malapetaka bagi murid-murid. Kedurhakaan terhadap syekh akan
berakibat luas terhadap kehidupan murid, baik secara duniawi mau-
pun setelah ia meninggal. Setidaknya menurut keyakinan mereka,
ada tiga hal yang akan terjadi bagi seorang murid yang durhaka ke-
pada gurunya, yaitu: 1) Allah akan menyempitkan rezekinya di du-
nia; 2) Allah akan mencabut berkat ilmu yang telah dipelajarinya
dari sang guru; 3) Tatkala jiwa akan berpisah dengan badan (me-

104
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

ninggal), Allah akan mencabut iman yang ada di dada murid, se-
hingga dia mati dalam keadaan tidak beriman (al-Khatib, 1992: 30).

Penutup
Pertemuan Islam dengan budaya lokal Minangkabau telah men-
jadikan corak kepemimpinan yang khas. Kekhasannya ini tampak
pada pola kepemimpinannya, khususnya pada golongan Kaum Tua.
Para ulama pemimpin Kaum Tua itu berperan tidak hanya di bidang
keagamaan saja, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik.
Suaranya didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di
dunia bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan
ajarannya ditulis dan disebarkan. Tulisan itu memberikan sum-
bangan yang sangat berarti bagi kemajuan ummat, khususnya
dalam membangun kepribadian dan moral.
Di antara sumbangannya yang dapat dicatat adalah sebagai ber-
ikut ini. Pertama, riwayat dan ajarannya dijadikan rujukan untuk
pengambil keputusan, tidak hanya masalah keagamaan tetapi juga
masalah sosial budaya serta politik yang mereka hadapi. Kedua,
penghormatan terhadap pemimpin memberikan tauladan agar murid
pun harus berperilaku (beribadah) seperti sang guru: pola hidup se-
derhana (zuhud)dan tidak ambisius (qan±’ah).[]

Daftar Pustaka

Fathurahman, Oman. 2003. “Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-Indonesia:


Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di
Sumatera Barat”. Desertasi. Depok: Pascasarjana UI.
Hamka. 1984. Islam dan adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Latief, M. Sanusi. 1988. “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”. (Disertasi S3).
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Nasution, Prof. Dr. H. Harun (Ketua Tim). 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia
(Jilid 3 O-Z). Jakarta : Djambatan.
Ratna, Nyoman Kutha, dkk. 2006. “Postkolonialisme Indonesia”. Laporan
Penelitian. Denpasar : Program Pascasarjana Program Doktor (S3) Kajian
Budaya Universitas Udayana.

105
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Samad, Duski. 2003. “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme: Kajian


Tentang Kontinuitas, Perubahan, dan Dinamika Tarekat di Minangkabau”
(disertasi). Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.
Suryadi. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama
Minangkabau Abad Ke-19. Padang : Citra Budaya.
Yusuf, M dkk. 2004. “Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Laporan
Penelitian Kelompok Kajian Puitika Fakultas Sastra Unand.

Manuskrip
al-Khatib, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. tt. Sejarah Ringkas Shaikh
Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru). naskah tulisan tangan koleksi Imam
Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang
Sumatra Barat.
------. 1936. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Abdurrauf
(Syekh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh. naskah tulisan tangan
koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah,
Padang Sumatra Barat.
------. 1992. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Burhanuddin
Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau.
naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang
Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.
------. 2002. Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin. naskah
tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung,
Koto Tangah, Padang Sumatra Barat
------. 2001. Sejarah Ringkas Syekh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala.
naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang
Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

106
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren

Lampiran:

Gambar 1:
Imam Maulana Abdul
Manaf Amin Al-Khatib
(w. 2006)
dan Naskah-naskah
Tulisannya

Gambar 2:
Naskah Sejarah Ringkas
Auliyaullah al-Salihin Syekh
Burhanuddin Ulakan yang
Mengembangkan Agama Islam
di Daerah Minangkabau (1992: 2)

107
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108

Gambar 3:
Naskah Sejarah Ringkas Auliya’ullah al-Salihin, Syekh Abdurrauf (Syekh
Kuala), Pengembang Agama Islam di Aceh (1936: 1)

108
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

Peran Penting Pernaskahan dan Benda


Khazanah Keislaman Lainnya dalam Kajian
Arkeologi Islam di Indonesia *
Agus Aris Munandar
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok

This writing is studying the important position of the written data,


particularly related to the Islamic classical manuscripts in Islamic archeology.
The written data from the written sources in the study of Islamic archeology
are as follow: (a) It functions as the supporting study toward the artefactual
data; (b) To widen good understanding on the position and the role of the
artefact in society at the period; (c) Data from written sources could be the
basic of the research and a framework for the study of Islamic archeology;
and (d) To encrich interpretation to develop historiography. The position of
the written sources is getting more and more important in the stage of
historiography as some parts of the archeological studies which are remain
unknown can be helped by the study from the written sources. In the end, this
effort will be able to open new insight and interpretation and to widen
historiographical narration in order to make the study of archeology to be
more and more dynamics.

Kata kunci: Arkeologi-religi, artefak, naskah, khazanah, historiografi

Pengantar
Perkembangan Islam di wilayah Nusantara berdasarkan bukti
arkeologis telah terjadi sejak abad ke-11 M. Hal itu didasarkan
dengan penemuan nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di
daerah Leran Gresik Jawa Timur, pada nisan itu dipahatkan angka
tahun 475 H atau 1082 (Tjandrasasmita 1986: 2). Berdasarkan hal
*
Tulisan ini pada mulanya merupakan makalah yang disampaikan dalam Diskusi
Pengembangan Wawasan SDM Tenaga Fungsional Puslitbang Lektur Keagamaan, 24
Februari 2009 di Ruang Sidang Badan Litbang Lektur Keagamaan, Jakarta.

109
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

itu terdapat dua kemungkinan yang mengemukan, yaitu: (1) tokoh


Fatimah yang dimakamkan itu adalah orang Jawa yang telah
memeluk Islam, atau (2) ia muslimah pendatang yang karena suatu
sebab meninggal dan dimakamkan di Gresik. Selain nisan, dalam
kajian para ahli Belanda dahulu tidak melaporkan adanya temuan
serta lainnya dari situs nisan Fatimah binti Maimun. Akibatnya
tidak ada lagi data yang dapat menyokong terjadinya interpretasi
baru atas kasus temuan nisan Fatimah binti Maimun.
Masalah nisan Fatimah binti Maimun sebenarnya hanya salah
satu contoh saja dari banyak permasalahan kajian arkeologi Islam
di Indonesia.
Suatu kajian terhadap bentuk religi harus pula menjelaskan 4
hal yang berkenaan dengan eksistensi religi tersebut, yaitu:
a. Historical explanations, yaitu usaha untuk menjelaskan keber-
adaan suatu agama pada suatu masa sejak agama itu mulai ada,
bertahan, dan berkembang dalam tahap selanjunya.
b. Structural explanations, upaya untuk menjelaskan keberadaan
suatu agama berkenaan dengan para penentu perkembangan
agama, menjelaskan hal-hal penting yang menjadi dasar ter-
bentuknya masyarakat pemeluk agama.
c. Causal explanations, upaya menjelaskan keadaan agama dalam
masyarakat dengan mengacu kepada kondisi dan suasana ma-
syarakat sebelum agama itu timbul.
d. Functional explanations, menjelaskan suatu keadaan sehingga
agama tersebut mempunyai fungsi dalam masyarakat (Spiro
1977: 99—101).
Keempat fokus utama kajian agama tersebut kiranya dapat
dikerjakan secara baik bilamana berkenaan dengan keadaan agama
yang masih hidup di masa sekarang, yang masih ada masyarakat
pemeluknya, dan dalam pertalian kekinian. Akan sukar kiranya jika
keempat kajian tersebut diterapkan untuk meneliti kehidupan agama
yang pernah berkembang di masa silam. Walaupun agama yang
dimaksudkan itu sampai sekarang masih ada pemeluknya, namun
pemeluk agama masa lalu tentu sudah tiada dan juga secara
sosiologis akan berbeda kondisi mereka dengan pemeluk agama
masa sekarang.
Oleh karena itu kajian keagamaan masa lalu niscaya tidak akan
sempurna lengkap, pasti ada yang rumpang. Hal itu bukan karena

110
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

ketidakmampuan peneliti menarik sintesa dan tafsiran, melainkan


memang datanya yang terbatas. Data kajian perkembangan agama
Islam pada tahap awalnya, tentu bertumpu kepada sumber-sumber
tertulis dan data artefaktual yang bersifat fisik. Jika kedua macam
data itu dalam kondisi bagus tentu akan membantu memperlancar
proses kajian, tetapi seringkali kondisi data yang ada itu telah rusak
sebagian, atau hilang. Begitupun dari data yang ada dan masih
bertahan hingga kini belum tentu juga dapat dipergunakan dalam
kajian, karena memang tidak sesuai dengan permasalahan yang
akan dipecahkan.
Dalam membahas perkembangan agama dari suatu lingkup
kebudayaan, menurut disiplin antropologi sebaiknya harus memper-
hatikan lima butir unsur agama yang saling berkaitan satu sama
lain. Kelima butir itu selayaknya diperhatikan sesuai dengan pro-
porsi data yang tersedia, tergantung pada zamannya serta kualtitas
dan kuantitas data yang tersedia. Bagan yang memperlihatkan lima
butir unsur religi adalah sebagai berikut:

Bagan I: Unsur-Unsur Religi

SISTEM
KEPERCAYAAN

EMOSI PERALATAN
UMAT AGAMA RITUS &
KEAGAMAAN UPACARA

SISTEM RITUS &


UPACARA

[Koentjaraningrat, 1980: 80—3]

Apabila dikembalikan kepada ketersediaan data sudah tentu


tidak semua butir tersebut dapat dikaji secara baik. Jika membica-
rakan perkembangan agama di masa silam, tentunya yang masih
dapat diamati secara langsung adalah sisa peralatan ritus dan
upacara. Sistem kepercayaan yang mungkin termaktub dalam
kitab-kitab keagamaan, dan sedikit tentang sistem ritus dan upacara

111
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

yang dalam penafsirannya harus meminta bantuan analogi pada


masyarakat masa kini; masih mungkin untuk dikaji. Bantuan
analogi itu dilakukan dengan syarat masyarakat yang dijadikan
bahan komparasi masih melaksanakan praktek keagaaman yang
mirip dengan agama-agama masa silam, apabila tidak maka tiada
mungkin dilakukan.
Sedangkan gambaran umat agama, apalagi emosi keaagamaan
agak sukar untuk dikemukakan dan dikaji, sebab masyarakatnya
telah tiada, emosi keagamaannya pun sukar digali kembali. Walau-
pun demikian ahli para peminat sejarah kebudayaan harus berupaya
semampunya dengan --berdasarkan data yang ada-- untuk tetap
mencoba menjelaskan pula butir-butir tersebut.

Babakan Perkembangan Kebudayaan di Indonesia


Perkembangan kebudayaan Indonesia diawali dan didasari pada
kebudayaan prasejarah. Tahapan prasejarah yang paling penting di
Indonesia adalah masa bercocok tanam tingkat lanjut yang ber-
samaan dengan berkembangnya kepandaian perundagian. Masa
tersebut sangat mungkin dimulai sekitar tahun 500 SM hingga
ditemukannya aksara pertama dalam prasasti di wilayah Indonesia
(sekitar abad ke-4 atau 5 M).
Dalam periode tersebut mulailah terbentuk komunitas-komu-
nitas yang teratur dipimpin oleh ketua kelompok. Sang pemimpin
didampingi oleh seseorang yang dituakan, dianggap mempunyai
banyak pengalaman, dan luas wawasannya, kepada tokoh itulah
masyarakat bertanya perihal berbagai hal, fenomena alam, langkah
kehidupan dan lain-lain. Kemudian terdapat masyarakat biasa yang
menjadi rakyatnya. Penduduk kepulauan Indonesia masa itu telah
menetap dan membentuk perkampungan, rumah-rumah mereka
panggung. Kontak-kontak dengan para musafir dari India dan Cina
sangat mungkin mulai terjadi di awal tarikh Masehi. Agaknya para
niagawan dari India atau Cina tersebut berkunjung ke komunitas-
kominitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dianggap
berinteraksi. Jadi mereka tidak mungkin datang ke wilayah-wilayah
yang sepi penduduknya.
Dalam kondisi peradaban masyarakat yang relatif maju seperti
itulah pengaruh kebudayaan luar mulai diperkenalkan oleh para
musafir India. Nenek moyang bangsa Indonesia merasa tertarik dan

112
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

perlu untuk menerima kebudayaan dari India oleh karena itu


mereka menerimanya. Hanya tiga anasir budaya saja yang sebe-
narnya diterima dari kebudayaan India, yaitu (1) agama Hindu-
Buddha, (2) aksara Pallava, dan (3) sistem penghitungan tahun
Saka. Ketiganya benar-benar merupakan sesuatu yang baru, artinya
tidak pernah dimiliki sebelumnya oleh masyarakat masa itu. Zaman
berkembangnya pengaruh India dalam masyarakat Indonesia kuna
lazim dinamakan dengan zaman Hindu-Buddha atau zaman Klasik
Indonesia.
Berlandaskan ajaran agama Hindu-Buddha berkembanglah sistem
pemerintahan kerajaan, dalam hal ini raja dianggap sebagai dewa
yang menjelma ke dunia. Kemajuan arsitektur bangunan suci juga
didasarkan pada kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, dalam hal
ini bentuk-bentuk arsitektur candi yang tidak pernah sama antara
satu bangunan dengan lainnya (unikum), bangunan pe-tirtha-an
(bangunan air suci), dan bangunan pahat batu (rock-cut) yang
digarap secara baik.
Sekitar pertengahan abad ke-13 M, di wilayah Sumatra bagian
utara telah berdiri kerajaan Islam pertama di Nusantara, bernama
Samudra Pasai. Seraya itu di Pulau Jawa masih berdiri kerajaan
Singhasari yang bercorak Hindu-Buddha, dan di bagian-bagian lain
Indonesia mungkin masih dalam zaman proto-sejarah (beberapa
daerah telah dicantumkan dalam kakawin Nāgarakrtāgama yang
selesai digubah oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M). Islam tidak
berkembang dalam kurun waktu yang bersamaan di Nusantara,
namun perkembangannya semakin merata mulai abad ke-15 M.
Berdasarkan sumber-sumber tradisi dapat diketahui bahwa wilayah
Indonesia Timur (Nusa Tenggara dan Maluku) menerima Islam
karena upaya para mubalig dari pesantren-pesantren di Jawa Timur.
Sumber tradisi juga menyebutkan adanya peranan para ulama dari
wilayah Sumatra Barat yang aktif menyebarkan Islam di Sulawesi
Selatan, dan wilayah Kalimantan Timur. Hubungan niaga yang
ramai antara wilayah Indonesia barat dan timur turut mempercepat
proses penyebaran agama Islam.Dalam jalur niaga tersebut turut
serta para ulama penyebar Islam, bahkan niagawan itu sendiri
adalah ulama penyebar Islam.
Sebelum kedatangan Islam di wilayah-wilayah tersebut telah
ada komunitas-komunitas membentuk sistem pemerintahan tradi-

113
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

sional yang masih bercorak tradisi perundagian. Religi yang ber-


kembang pun secara hipotetis masih merupakan pemuliaan terhadap
arwah nenek moyang. Dengan demikian perkembangan kebudaya-
annya dapat dinyatakan dari masa prasejarah Æ protosejarah Æ
sejarah dengan masuknya Islam, tanpa melalui sistem kerajaan
yang bercorak Hindu-Buddha sebagaimana halnya di Jawa.
Cukup banyak peradaban Nusantara yang mendapat pembaha-
ruan dalam zaman awal perkembangan agama Islam, selain ajaran
agama itu sendiri terdapat beberapa perolehan lainnya, misalnya
digunakannya huruf Arab, dikenalnya tahun Hijriah, cara berpakai-
an yang hampir menutup seluruh tubuh, diperkenalkannya sistem
persenjataan dengan mesiu, dan terbentuknya kota-kota pelabuhan
baru tempat bermukimnya masyarakat yang telah memeluk agama
Islam. Di beberapa wilayah Nusantara terdapat masyarakat yang sam-
pai sekarang memeluk agama Islam secara taat, tanpa adanya bentuk
akulturasi dengan kebudayaan yang berkembang sebelumnya.
Lain halnya di Jawa, tempat merebaknya kebudayaan Hindu-
Buddha yang relatif lama, maka terdapat fenomena adanya bentuk-
bentuk akulturasi antara Islam dengan tradisi yang telah dikenal
dalam agama Hindu-Buddha. Walaupun demikian di Jawa juga ter-
dapat daerah-daerah yang keislamannya relatif menonjol dengan
sedikitnya pengaruh dari tradisi lama. Di beberapa wilayah terdapat
pula masyarakat yang masih mempertahankan aspek-aspek kebuda-
yaan Hindu-Buddha yang telah dipadukan dengan anasir dari
agama Islam. Aspek kebudayaan hasil perpaduan tersebut dirasakan
sangat dominan dalam masyarakat tertentu, sehingga hampir-hampir
menutupi agama Islam yang secara resmi dipeluk dalam masya-
rakat. Dalam proses dinamika kebudayaan bentuk-bentuk akulturasi
tersebut sebenarnya turut memperkaya khazanah peradaban yang ada.

Wacana
Bentuk akulturasi ketika agama Islam sudah berkembang di Jawa dengan
tradisi yang telah dikenal sebelumnya, antara lain terlihat pada penggunaan
atap tumpang pada masjid-masjid kuna yang sebelumnya dipergunakan
untuk menaungi candi-candi zaman Majapahit. Penggunaan ragam hias dari
masa Hindu-Buddha seperti sulur-daun, bentuk meander, tapak dara, bunga
teratai dan lainnya lagi pada kepurbakalaan Islam seperti pada bangunan
cungkup makam, tubuh makam (jirat) dan juga pada nisannya. Ornamen-
ornamen masa Hindu-Buddha juga masih dipertahankan di kompleks keraton
Islam di Jawa.

114
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

Dalam bidang kesusastraan masa Islam juga cukup maju, karya


sastra-karya sastra umumnya ditulis dengan aksara Arab atau aksara
Jawa dengan bahasa Melayu, Jawa, dan Arab. Di Jawa selain
dikenal bentuk kidung (puisi karya etnis Jawa), juga dikenal bentuk
suluk yang berisikan ajaran-ajaran tasawuf, babad kisah sejarah
dari sudut pandang tradisional, tentang berdirinya suatu kota, kera-
jaan, peperangan, dan lain-lain. Di luar Jawa dikenal karya sastra
dalam bentuk hikayat, tambo, salasilah, lontara, dan lain-lain lagi.
Hampir seluruh wilayah Nusantara mempunyai lapisan kebuda-
yaan yang dipengaruhi oleh agama Islam, hanya beberapa saja yang
dalam perkembangan kebudayaannya tidak mendapat pengaruh
Islam, atau kalaupun ada hanya bersifat tipis saja.
Setelah pertumbuhan kebudayaan Hindu-Buddha menyusul ke-
mudian masuk dan berkembangnya Islam yang berbeda-beda di tiap
wilayah. Masa pertumbuhan kerajaan Islam terentang antara abad
ke13 hingga 17 M, dalam masa itu banyak kerajaan Islam di
kepulauan Indonesia yang silih berganti tumbuh dan berkembang.
Di wilayah Jawa Tengah perkembangan Islam ditandai dengan
berdirinya kerajaan Islam pertamanya, yaitu Demak (sekitar tahun
1500 M) yang menurut sumber tradisi merupakan penerus kerajaan
Majapahit. Akan halnya di wilayah Jawa bagian barat, masuk dan
berkembangnya Islam terjadi lebih kemudian, mungkin ditandai
dengan berdirinya Kesultanan Cirebon, dan jatuhnya istana Pakuwan
Pajajaran sebagai ibu kota kerajaan Sunda pada sekitar tahun
1579/1580 M.
Begitupun masuknya kekuatan kolonial Belanda di wilayah-
wilayah Indonesia tidak dalam periode yang sama, ada daerah yang
lebih dahulu berkenalan dengan orang-orang Belanda, tetapi Bali
adalah daerah terakhir yang diduduki kekuatan Belanda setelah
puputam Klungkung 1906 M. Dengan demikian proses akulturasi
yang terjadi antara peradaban Eropa barat yang dibawa Belanda
dengan kebudayaan daerah-daerah setempat tentunya berbeda dalam
hal rentang waktu dan intensitasnya. Akibatnya dapat dipahami
apabila di wilayah tertentu Indonesia pengaruh kebudayaan Eropa
(Belanda) jauh lebih kentara.
Dengan demikian diskusi tentang pembabakan dalam sejarah
kebudayaan Indonesia merupakan hal yang agak rumit, tidak
seluruh wilayah Indonesia mengalami perkembangan kebudayaan

115
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

dalam tahap-tahap yang sama. Wilayah-wilayah tertentu mempu-


nyai corak kebudayaan yang berbeda dari yang lainnya, hal itu
sangat mungkin terjadi karena:
1. Sedikitnya pengaruh kebudayaan luar, pengaruh itu terjadi baru
awal abad ke-20 M.
2. Masa “pergaulan” dengan kebudayaan luar berlangsung cukup
lama.
3. Intensitas “pergaulan” yang relatif mendalam.
4. Terdapatnya etnis yang secara sadar menolak adanya pemba-
ruan akibat pergaulan dengan kebudayaan luar tersebut.
Berdasarkan adanya macam perbedaan tersebut, maka garis
perkembangan kebudayaan di wilayah-wilayah Indonesia menjadi
bervariasi, walaupun terdapat beberapa daerah yang memiliki per-
kembangan yang hampir mirip. Sebagai contoh berikut diuraikan
bagan perkembangan kebudayaan di Jawa.
Bagan II : Perkembangan Kebudayaan di Jawa

Garis tersebut akan berbeda apabila dibandingkan dengan


kebudayaan yang berkembang di Pulau Bali, sebab Bali mempu-
nyai perkembangan kebudayaan yang tidak banyak dipengaruhi
anasir budaya luar. Perkembangan kebudayaan di Bali terlihat
dalam bagan berikut:
Bagan III : Perkembangan Kebudayaan di Bali

Apabila menelisik data sejarah dan arkeologi, maka di Pulau


Dewata masa proto-sejarahnya relatif lebih lama daripada yang
berlangsung di Jawa. Pulau Bali telah disebut-sebut keberadaannya
oleh berita Cina dinasti T’ang dan prasasti-prasasti di Jawa dalam
abad ke-8, namun prasasti yang ditemukan di Bali sendiri baru

116
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

dijumpai dalam tahun 835 S (913 M) dalam masa pemerintahan Sri


Kesari Warmadewa (Goris 1965: 9). Begitupun di Bali tidak pernah
berdiri kerajaan Islam sebagaimana di Jawa atau Sulawesi selatan,
pada waktu yang bersamaan dengan tumbuh kembangnya kesul-
tanan-kesultanan Islam, di Bali berkembang kerajaan-kerajaan kecil
dengan latar belakang Hindu-Bali, seperti Klungkung, Karangasem,
Buleleng, Mengwi dan lain-lain.
Di wilayah Maluku utara perkembangan kebudayaannya pun
berbeda pula dengan daerah lainnya, secara ringkas dapat terlihat
pada bagan berikut:

Bagan IV : Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Maluku Utara

(Putuhena, 1980)

Masa protosejarah di wilayah Maluku utara agaknya berlang-


sung cukup lama (antara awal tarikh Masehi hingga sekitar abad ke-
14 M), ketika daerah tersebut telah dikenal dalam catatan para
pendatang dan sumber-sumber tertulis etnis lain di Indonesia.
Sementara itu bukti tertulis lokal yang menceritakan perihal daerah
itu sendiri baru didapatkan pada paruh pertama abad ke-15 M,
sebab tercatat penguasa pertama di Ternate ialah Sultan Zainal
Abidin (1486-1500 M), tokoh inilah yang mengalami masa transisi
dalam sistem pemerintahannya, semula dari sistem tradisional
kolano ke bentuk kesultanan (Putuhena 1980: 268). Tahapan per-
kembangan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha tidak dimiliki di
wilayah Maluku Utara. Masa kolonial lebih awal terjadi di daerah
tersebut, karena politik perdagangan cengkeh bangsa-bangsa barat
yang berebutan untuk menguasai Maluku Utara.
Sudah tentu wilayah-wilayah lainnya di Indonesia akan mempu-
nyai tahapan perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda pula,
hal itulah yang sebenarnya menjadi salah satu masalah yang harus
diperhatikan manakala hendak disusun suatu historiografi tentang
kebudayaan. Walaupun demikian tahap perkembangan kebudayaan

117
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

seperti itu harus dijadikan acuan kronologis demi untuk


memudahkan penulisan dan agar pembicaraan tidak berkembang
menjadi tidak terarah. Semua aspek kebudayaan yang ditelaah
dalam suatu historiografi kebudayaan sudah sewajarnya apabila
mengikuti kronologi yang dapat dianggap “seragam” sejak masa
prasejarah hingga zaman Kemerdekaan. Sebab kronologi seperti itu
merupakan kerangka besar yang dapat dijadikan patokan untuk
penulisan sejarah kebudayaan Indonesia secara garis besar.

Nilai-nilai Penting dalam Kebudayaan Indonesia


Sutan Takdir Alisjahbana (1982) pernah mengemukakan bebe-
rapa diagram yang berkenaan dengan perkembangan kebudayaan di
Indonesia dipandang dari segi nilai-nilai. Beberapa nilai yang dija-
dikan sudut pandang adalah: (1) nilai teori, (2) nilai agama, (3) nilai
seni, (4) nilai ekonomi, (5) nilai kuasa, dan (6) nilai solidaritas.
Berdasarkan data yang ada, diagram perkembangan kebudayaan di
wilayah Indonesia sebelum masuknya pengaruh asing (baca: India)
adalah sebagai berikut:
Bagan V: Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Indonesia sebelum
Masuknya Pengaruh Asing

Dalam diagram yang memperlihatkan masa prasejarah dan


protosejarah tersebut terlihat nilai kuasa cukup rendah bersebrangan
dengan nilai solidaritas yang tinggi. Maklum masa itu rasa
kebersamaan dari masyarakat manusia yang menghuni suatu
permukiman sangat nyata, keputusan diambil dengan musyawarah
warga, pemimpin hanya melaksanakannya saja. Nilai teori (ilmu

118
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

pengetahuan) masih rendah, sedangkan nilai religi tinggi sebab


masyarakat manusia masa itu kehidupannya masih diliputi oleh
suasana religius, kebudayaan manusia berada dalam tahapan mitos.
Nilai seni belum begitu berkembang, walaupun bentuk-bentuk awal
berkesenian telah dirintis oleh masyarakat manusia. Gagasan
berestetika sudah barangtentu telah mulai muncul, karena itu
bentuk-bentuk kesenian awal yang mengandung anasir estetika
telah dibuat. Nilai ekonomi pun rendah, karena manusia masa itu
mungkin belum mengerti tentang konsep untung dan rugi, yang ada
adalah ekonomi barter yang setara.
Diagram itu berbeda bentuknya ketika diterapkan dalam
kebudayaan masa perkembangan dan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, sebab data yang tersedianya pun berbeda pula.
Gambarannya sebagai berikut:
Bagan VI: Perkembangan Kebudayaan di Wilayah Indonesia pada Masa
Kearajaan-Kerajaan Islam

Dalam Bagan VI diperlihatkan bahwa nilai seni tidak terlalu


berkembang, bahkan ada beberapa pembatasan berkesenian, se-
dangkan nilai ekonomi pada masa perkembangan Islam di Nusan-
tara cukup tinggi. Banyak niagawan Islam yang berlalu-lalang
membawa barang dagangan dalam kapal-kapal niaga mereka, berla-
buh di berbagai bandar antara India, Nusantara, Asia Tenggara, dan
Cina selatan.
Diagram-diagram itu pada dasarnya hendak menunjukkan seca-
ra visual bahwa perkembangan kebudayaan di Indonesia berbeda
pada tiap periode. Oleh karena itu tiap periode dalam mempunyai

119
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

kekhasan dan fokus perhatian yang berbeda-beda apabila hendak


dituangkan dalam suatu kajian ilmu masa lalu, baik sejarah ataupun
arkeologi.
Data yang sudah sewajarnya diperhatikan dalam mengkaji
arkeologi-religi masa perkembangan Islam di Indonesia dapat
dibagi dalam tiga jenis, yaitu :
1. Data arkeologis seperti bangunan masjid, mushalla, kolam
wudu, menara, sisa istana, goa pertapaan, berbagai ornamen dan
sebagainya.
2. Data yang tersirat dalam berbagai sumber tertulis, misalnya
dalam prasasti (piagem) karya-karya sastra, berita asing, dan
lain-lain.
3. Tradisi lisan yang masih mungkin mengendap dan merupakan
ingatan bersama (collective memory) dalam masyarakat baik di
Jawa ataupun di Bali.

Wacana
Dalam melakukan kajian jenis data ketiga, yaitu berita tradisi lisan
seringkali diabaikan. Tradisi lisan memang dipandang mutunya lebih rendah
daripada kedua data lainnya, walaupun demikian tetap perlu diperhatikan
mengingat di dalamnya -jika dicermati dengan baik- akan ditemukan data
yang dapat menyokong sumber tertulis dan data arkeologis. Contoh data
dalam bentuk tradisi lisan adalah dongeng, legenda, mitos, permainan rakyat,
teka-teki, peribahasa dan lainnya. Misalnya di Cirebon terdapat legenda
bahwa atap tumpang masjid Sang Cipta Rasa hanya dua; atap ketiga
(puncak) dahulu hancur karena tersambar oleh tongkat Sunan Gunung Jati.

Para peneliti hendaknya mampu menggunakan ketiga macam


data tersebut sesuai dengan tujuan studi, dan bangun penafsiran
yang diharapkannya. Sebab tidak semua macam data itu tersedia
dalam bobot yang sama, pastinya akan berbeda-beda dalam setiap
masa, dan dalam setiap perkembangan masyarakat yang mengusung
kebudayaan sezaman.

Arkeologi Islam Indonesia Sebagai Arkeologi-Sejarah


Dalam kajian arkeologi terdapat data utama yang penting, yaitu
data kebendaan yang lazim disebut artefak. Artefak secara seder-
hana dapat diberi batasan sebagai benda hasil karya manusia masa

120
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

lalu, dan bentuknya bermacam-macam sesuai dengan keperluan


manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu arkeologi terbagi dalam dua
ranah besar, yaitu Arkeologi-Prasejarah dan Arkeologi-Sejarah
(historical archaeology). Apabila kajian prasejarah sepenuhnya
mempelajari artefak melalui berbagai metode untuk menelaah
artefak, maka kajian arkeologi-sejarah selain bertumpu kepada
kajian artefak, juga memanfaatkan data informasi sumber tertulis
berbentuk prasasti, naskah-naskah kuno, piagem, berita asing
dokumen, surat-surat kerajaan atau pribadi, arsip, peta kuno, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, dinamakan arkeologi sejarah yang
berarti kajian arkeologi yang memanfaatkan juga sumber-sumber
sejarah, yaitu berbagai berita tertulis.
Kajian arkeologi-sejarah di Indonesia meliputi masa perkem-
bangan agama Hindu-Buddha dan juga masa perkembangan Islam,
dan sudah barang tentu masa kolonial dan masa selanjutnya dalam
era Republik Indonesia. Jadi pada prinsipnya kajian arkeologi-
sejarah berada dalam periode ketika di suatu bangsa telah mengenal
bukti-bukti tertulis. Walaupun telah ada bukti tertulis kajian
arkeologi-sejarah tetap mendasarkan data utamanya kepada objek-
objek kebendaan (artefak), lalu untuk pemahaman lebih lanjut
tentang sesuatu artefak, dipergunakanlah data dari berbagai sumber
tertulis sezaman yang mungkin mendukung kajian terhadap artefak.

Bagan VII: Unsur-Unsur Arkeologi Islam

121
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

Secara prinsipil terdapat beberapa kepurbakalaan masa silam


yang dapat dihubungkan dengan periode perkembangan dan kera-
jaan-kerajaan Islam Nusantara. Kepurbakalaan itulah yang merupa-
kan data kajian utama arkeologi Islam, untuk mengungkapkan
pencapaian peradaban yang telah direngkuh oleh masyarakat pada
masanya. Peninggalan khazanah keislaman itu antara lain berupa:
1. Monumen terbagi menjadi:
a. Masjid kuno.
b. Gapura dan pagar keliling.
c. Menara masjid.
d. Cungkup makam.
e. Makam dan kompleks makam.
f. Istana dan bangunan-bangunan di dalamnya.
g. Sistem perbentengan.
h. Taman dan bangunan air.
i. Tugu peringatan.
2. Artefak bergerak, terdiri dari:
a. Hiasan bangunan.
b. Furniture: meja, kursi. sketsel, dipan, rak, dan lain-lain.
c. Senjata.
d. Mimbar kayu.
e. Maksurah.
f. Bedug, kentongan dan waditra lainnya.
g. Alat transportasi: palangka, kereta, perahu.
h. Hasil seni kriya: ukiran, pahatan stilasi, wayang, topeng,
batik, tenun.
i. Heraldik: panjí-panji, lambang, dan benda-benda penanda
kebesaran raja/sultan.
j. Keramik asing ataupun lokal.
3.Tata Kota & Penataan Istana
a. Alun-alun sebagai pusat kota.
b. Jalan sebagai acuan kota.
c. Penataan istana yang linear, konsentris, dan menyebar.
Dalam kajian arkeologi Islam banyak data yang berupa keben-
daan, artefaktual merupakan data utama yang penting, jadi bukan-
nya data tertulis. Apabila data tertulis yang digarap terlebih dahulu,

122
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

maka kajian itu bukan lagi arkeologi, melainkan sejarah atau


filologi. Dalam telah arkeologi, maka sang peneliti harus mampu
mengungkapkan kehadiran data arkeologis dalam konteks sejarah
kebudayaan Islam di suatu daerah dan pada suatu masa tertentu.
Kajian secara umum terhadap kepurbakalaan monumental dari
masa awal perkembangan Islam dan masa kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia dapat membawa kepada pemahaman akan:
1. Bentuk arsitektur masjid, menara, gapura, istana, makam dan
lainnya
2. Langgam arsitektur bangunan masjid, menara, gapura, istana,
dan lain-lain
3. Bahan yang digunakan pada bangunan-bangunan tersebut.
4. Kelompok pengguna yang memanfaatkan dan mengapresiasi
bangunan-bangunan tersebut.
Demikianlah beberapa pemahaman umum yang mungkin diha-
silkan dalam ranah arkeologi-sejarah, apabila melakukan studi terh-
adap suatu monumen. Selain pemahaman umum tersebut, terdapat
pula pemahaman yang lebih khusus lagi, terutama dalam hal latar
belakang pembangunan monumen dan juga beberapa keistime-
waannya.
Misalnya kajian terhadap Masjid Demak, maka dapat diketahui
tentang (a) bentuk arsitektur, (b) bahan, (c) sejarah dan peranannya
dalam proses penyebaran Islam, (d) keistimewaannya: antara lain
adanya figur bulus (kura-kura) pada dinding belakang mihrab yang
berbobot angka tahun 1401 Saka; salah satu dari keempat soko
gurunya merupakan tatal (serpihan kayu yang disatukan); terdapat
relief yang menggambarkan sepasang “halilintar” pada daun pintu
tengah masjid; adanya penggunaan tiang-tiang dengan gaya ukiran
Majapahit pada serambi depan masjid.
Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon mempunyai keistimewaan
sebagai berikut:
1. Sebagaimana masjid kuno lainnya, masjid ini mempunyai empat
Soko Guru
2. Dinding tembok hanya berfungsi sebagai penyekat antara ruang
dalam dan ruang serambi masjid, tidak sebagai penopang atap.
3. Pada dinding penyekat tersebut terdapat sembilan pintu rendah
(tiga pintu di sisi utara, timur, dan selatan).

123
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

3. Pada bagian bingkai atas ceruk (ruang) mihrab terdapat orna-


men yang merupakan stilasi dari bentuk kala-makara.
4. Semula di bagian depan pintu masjid yang terletak di sisi timur
terdapat kolam untuk mengambil air wudlu.
Adapun kajian terhadap keraton di Jawa dapat diungkap ada-
nya beberapa pengetahuan lain di luar pengetahuan utama, antara
lain, yaitu:
1. Keraton umumnya terbagi ke dalam tiga penataan halaman,
yaitu halaman depan, tengah, dan belakang.
2. Bangunan-bangunan penting terdapat di halaman paling
belakang, mislanya bangunan persemayaman raja dan keluar-
ganya dan bangunan induk keraton (Keraton Kasepuhan dan
Kanoman di Cirebon, Kasultanan di Yogjakarta dan Kasunanan
di Surakarta).
3. Keraton-keraton luar Jawa umumnya berupa bangunan pang-
gung dengan ukuran besar.
4. Terdapat beberapa keraton yang dikelilingi tembok benteng
(Surasowan di Banten dan Kuto Besak di Palembang)
Kajian terhadap pintu gerbang (gapura): (1) dapat diketahui
bahwa gapura yang berbentuk Candi Bentar (di Cirebon disebut
Lawang Seketeng) selalu terletak di halaman paling depan, adapun
gapura beratap (di Bali dinamakan Kori Agung, di Cirebon disebut
Lawang Bledeg) terdapat di lingkungan dalam, mengarah ke daerah
inti istana atau kompleks makam; (2) Kedua bentuk gapura tersebut
merupakan kelanjutan bentuk-bentuk pintu gerbang yang telah
dikenal dalam zaman perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di
Jawa.
Kompleks makam tokoh-tokoh yang berhubungan dengan
penyebaran agama Islam (para wali) dan juga pemakaman keluarga
raja, memilih dataran tinggi, bukit, atau lereng pegunungan sebagai
lokasinya. Hal ini dapat diketahui berkat adanya kajian arkeologi
Islam terhadap kompleks-kompleks makam yang masih ada hingga
sekarang. Kompleks makam yang terletak di lokasi ketinggian
antara lain adalah:
1. Kompleks makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung.
2. Kompleks makam Sunan Drajat di Gunung Muria.
3. Kompleks makam Sunan Bayat di Klaten.
4. Kompleks makam Sunan Giri di Gresik.

124
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

5. Kompleks makam Imogiri di Yogjakarta.


6. Kompleks makam Sunan Sendang di Bojonegoro.
Secara konsepsi hal ini agaknya dapat dijelaskan bahwa adanya
kesinambungan penghormatan kepada tempat-tempat tinggi yang
dianggap sebagai tempat keramat. Dalam zaman prasejarah ada
penjelasan yang menyatakan bahwa tempat-tempat tinggi adalah
lokasi yang layak bagi persemayaman arwah leluhur (Parahyangan,
Di-Hyang, Iyang). Konsep itu terus bertahan ketika agama Hindu-
Buddha berkembang, apa lagi diperkuat dengan kepercayaan bahwa
tempat tinggi adalah simbol Gunung Mahameru yang dipuncaknya
bersemayam para dewa dalam Swarloka. Konsepsi itu agaknya
terus bertahan ketika Islam berkembang di Tanah Jawa, oleh karena
itu tokoh-tokoh yang telah wafat dimuliakan dalam kompleks
makam yang terletak di ketinggian.
Kajian kepada kepurbakalaan yang berupa artefak bergerak
akan membawa kepada pemahaman:
1. Bentuk dan bahan artefak bergerak.
2. Pembuat artefak tersebut, setidaknya bukan nama diri seniman,
namun nama kelompok pengrajinnya.
3. Penggunaan dalam masyarakat pendukungnya.
4. Asal gaya seni artefak tersebut.
Telaah arkeologi terhadap senjata yang dipergunakan dalam
masa perkembangan Islam menghasilkan kepada bentuk-bentuk
senjata tajam yang pernah digunakan masyarakat. Tentu saja di
Jawa senjata yang paling populer adalah keris, keris juga dikenal di
berbagai etnik lain di Nusantara dan telah banyak buku yang
dihasilkan para peneliti dan peminat tentang keris. Selain keris
senjata tajam lainnya misalnya tombak bermata tunggal, bermata
ganda (dwisula), bermata tiga (trisula), perisai, golok, pedang, dan
sebagainya
Dalam masa perkembangan Islam di Indonesia, senjata api telah
pula digunakan, khususnya meriam. Maka dikenal adanya meriam
buatan local seperti meriam Pancawura yang ada di keraton
Kasunanan Solo, meriam Si Jagur di Museum Fatahillah, dan
meriam Ki Amuk di Banten Lama. Studi terhadap berbagai meriam
dari era kerajaan Islam di Nusantara di masa mendatang akan
membawa kepada pengetahuan tentang sistem persenjataan berat

125
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

dari kerajaan-kerajaan itu. Adakah jumlah meriam yang dimiliki


menandakan kebesaran dan kejayaan kerajaan tersebut?
Dari masa perkembangan Islam di Jawa banyak dihasilkan
karya seni, baik seni rupa ataupun seni pertunjukan. Sebenarnya
dalam kesenian dapat dinyatakan sebenarnya terdapat lima unsur
yang saling berkaitan sebagai berikut:
Bagan VIII: Unsur-Unsur Kesenian

Kelima unsur itu saling berkaitan dan mengisi dalam mengha-


silkan suatu karya seni, jadi tidak ada satu unsurpun yang diabaikan.
Dalam bagan terlihat gagasan berada di bagian tengah, karena
memang gagasan itu yang mendasari keempat unsur lainnya, misal-
nya antara seniman dan masyarakat harus berada dalam “satu
bahasa dan satu gagasan” apabila hendak mengapresiasi suatu karya
seni, jika tidak karya seni tidak mendapat penghargaan dalam
masyarakat. Demikian pula dalam mengekspresikan gagasan berke-
seniannya seniman harus memilih bahan/media apa yang diguna-
kan, sehingga ada keterkaitan antara seniman, gagasan, media dan
hasil karya seni. Keutuhan lima unsur kesenian dalam karya seni
keislaman agaknya cukup diperhatikan oleh para penghasil karya
seni keislaman di masa silam, terutama dalam sejarah perkem-
bangan Islam di Nusantara.
Salah satu bentuk seni rupa yang sederhana namun memerlukan
kecermatan adalah seni kriya. Bentuk seni kriya dalam masa per-

126
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

kembangan Islam banyak yang bertahan hingga sekarang, contoh


yang baik adalah figur-figur wayang kulit dan wayang golek Cepak
gaya Cirebonan. Sebagaimana telah diketahui bahwa bentuk wayang
kulit sekarang ini adalah gubahan Sunan Kali Jaga, figur wayang
kulit gaya lama dari era Majapahit telah “dirombak” dan distilirisasi
untuk disesuaikan dengan kaidah kesenian Islam. Wayang kulit itu
lebih mirip kepada simbol-simbol yang tidak sesuai dengan figur
manusia sebenarnya, dan ceritanya pun telah direkaulang untuk
keperluan Islamisasi.
Seni kriya lainnya yang sering menjadi data kajian arkeologi
Islam adalah pahatan kayu baik dalam bentuk relief atau ornamen
lainnya. Dari lingkup kesenian Islam masa Kesultanan Cirebon
dikenal adanya bentuk-bentuk pahatan kayu yang mengambil figur
dewa-dewa Hindu atau tokoh wayang yang telah sangat distilasi
dengan gabungan bentuk mega mendung dan juga bentuk-bentuk
wadasan (karang laut). Bentuk hiasan khas Cirebon yang meru-
pakan gabungan antara motif awan mendung dan batu-batu karang
tersebut dikenal meluas dalam bermacam karya seni rupa, dapat
dijumpai sebagai komponen hiasan keraton, Taman Sunyaragi,
batik, kereta milik sultan, lukisan kaca, bahkan sebagai iluminasi
pada naskah-naskah Cirebon.
Mengenai tata kota dan penataan kompleks istana terdapat
kajian tersendiri dalam bidang arkeologi Islam. Penataan kota-kota
Islam di Jawa agaknya mempunyai pola yang telah baku. Prototipe
penataan kota Islam di Jawa itu sangat mungkin terjadi di kota
Demak kuno (Adrisijanti M. Romli 2008: 19-20). Dalam penataan
itu pusat kota adalah tanah lapang (alun-alun), di sisi selatannya
terdapat bangunan kedaton atau istana, sisi barat alun-alun berdiri
masjid agung, bagian utara terdapat pasar tempat orang berniaga,
dan di tepi bagian timur alun-alun berdirilah bangunan-bangunan
peradilan seperti kejaksan, dan penjara. Pola seperti ini terus diikuti
oleh kota-kota kerajaan lainnya seperti Cirebon, Banten, Surakarta,
dan Jogjakarta. Bahkan kota-kota kabupaten di Jawa dalam masa
kolonial pun banyak yang tetap mempertahankan pola penataan
pusat kota demikian.
Bangunan dalam kompleks istana umumnya digambarkan
linear, dimulai dari sisi paling utara merupakan bangunan-bangunan
penyongsong tamu, kemudian bangunan bagian tengah kompleks

127
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

yang merupakan pendukung aktivitas istana, dan paling dalam


adalah bangunan-bangunan utama dan tempat tinggal raja dan
kerabatnya sehari-hari. Pola seperti ini terlihat di kompleks keraton
Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, keraton Surakarta dan
Yogjakarta dan juga di kompleks Keraton Sumenep di Madura.
Pola penataan bangunan keraton memusat misalnya terdapat di
kompleks keraton Surasowan dan keraton Kaibon, Banten Lama.
Semua bangunan keraton dilingkungi tembok benteng dan semua-
nya terintegrasi dalam suatu area kedaton. Adapun pola penataan
menyebar atau menghadap ke sungai terjadi pada istana-istana
kerajaan Islam yang terdapat di luar Jawa, misalnya di Kutai
Kertanegara, Sambas, dan Pontianak.
Dalam hal khazanah naskah Islam di Nusantara, bentuk dan
ragamnya sangat beraneka, begitupun juga mengenai isinya. Beri-
kut data penting tentang manuskrip masa Islam:
Aksara yang digunakan antara lain: (a) Arab dan keturunannya,
(b) Jawa, (c) Lampung, (d) Bugis, (e) dan lainnya. Bahasa juga
beraneka, antara lain (a) Jawa, (b) Sunda, (c) Melayu, (d) Bugis, (e)
dan berbagai bahasa daerah lainnya. Isi yang dikandung tentang (a)
ajaran agama Islam, (b) tarikh nabi-nabi dan sahabatnya, (c)
babad/sejarah tradisional (d) kisah wayang, (e) kisah binatang (f)
kisah penglipur lara/jenaka (g) undang-undang, (h) obat-obatan, (i)
uraian tentang mistik dan tasawuf, (j) dan lainnya. Bentuknya
dalam prosa ataupun puisi dengan aturan prosodi tertentu.
Tujuan penulisan naskah-naskah Nusantara itu antara lain
untuk:
1. Pengungkapan ekspresi estetika para penggubahnya.
2. Memberikan legitimasi tentang kuasa yang dimiliki oleh para
raja, sultan, dan kaum kerabatnya.
3. Mengingat dan mengakumulasi pengetahuan tertentu yang telah
diketahui oleh penggubah atau masyarakat sekitarnya.
4. Sebagai upaya untuk menyebarkan ajaran keagamaan Islam.
5. Penyusunan kisah sejarah tradisional dengan berbagai sebutan-
nya (Babad, Hikayat, Tambo, Legenda, Sajarah).
Peranan data dari sumber tertulis dalam kajian arkeologi
Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

128
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

(a) Pendukung kajian terhadap data artefaktual


Dalam hal ini data dari sumber tertulis tersebut dijadikan bahan
untuk membantu “menjelaskan” artefak dari masa perkembangan
Islam. Contohnya dalam kajian arkeologi Islam ditemukan makam
Islam kuno, menurut uraian penduduk adalah makam putri Champa.
Dalam naskah Babad Tanah Jawi terdapat penjelasan bahwa salah
seorang Raja Majapahit masa akhir telah menikah dengan putri
Champa yang memeluk Islam.
(b) Memperluas pemahaman tentang kedudukan dan peranan
artefak dalam masyarakat sezaman
Merupakan suatu keniscayaan yang terjadi, jika kajian hanya
menyandarkan diri kepada data arkeologi, maka pemahaman pun
terbatas. Dengan menelisik sumber-sumber tertulis maka diperoleh
lagi pemahaman yang lebih luas tentang sesuatu artefak. Contoh:
dapat dipahami bahwa di situs Trowulan peninggalan Majapahit
terdapat kompleks pemakaman Islam Troloyo, sebab menurut berita
Cina dalam masa kejayaan Majapahit pun telah banyak orang-orang
Islam yang bermukim dan berniaga di kota itu.
(c) Data dari sumber tertulis dapat menjadi dasar penelitian
dan kerangka acuan kajian arkeologi Islam
Uraian dari sumber tertulis ada yang dapat dijadikan pegangan
bagi kajian arkeologi di lapangan. Temuan dari naskah dapat juga
menjadi kerangka acuan yang harus dibuktikan oleh para arkeolog.
Misalnya dari Babad Demak diuraikan bahwa di kota Kerajaan
Demak terdapat pula kedaton tempat bersemayamnya para pe-
nguasa, namun kajian arkeologi hingga sekarang masih belum
dapat membuktikan di mana lokasi tepatnya kedaton tersebut,
kecuali masjid agungnya yang masih berdiri megah hingga kini.
(d) Memperkaya interpretasi untuk dapat mengembangkan
historiografi
Kajian arkeologi-sejarah atau pun sejarah diakhiri dengan tahap
historiografi, tahapan ini sudah tentu memadukan data dari berbagai
sumber. Peranan data dari sumber tertulis menjadi penting dalam
tahap historiografi, karena bagian-bagian yang berdasarkan telaah
arkeologi masih gelap, dapat dibantu diterangi lewat kajian dari
sumber tertulis. Pada akhirnya dapat membuka interpretasi baru dan

129
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

memperluas narasi historiografi untuk dapat dijadikan bahan


diskusi lebih lanjut.

Epilog
Kajian arkeologi Islam di Nusantara sudah pasti dapat dikem-
bangkan lagi, memang para peneliti Belanda telah merintis kajian
tersebut sejak awal abad ke-20 M, tetapi banyak temuan baru yang
terus bermunculan hingga kini dan menunggu untuk dikaji. Dalam
pada itu data arkeologi Islam yang terdahulu pun banyak yang
masih belum dikaji secara tuntas, atau perlu dilakukan kajian ulang
atau interpretasi baru. Misalnya kajian data arkeologi terhadap
monumen Gunongan yang dibangun dalam masa Kesultanan Aceh
telah cukup memadai, bahkan telah dipugar secara baik. Akan
tetapi kajian terhadap peranan dan fungsi monumen tersebut dalam
masanya masih dapat diperbincangkan lagi, mungkin terdapat
makna lain yang mendalam dan bukan sekedar bangunan untuk
melengkapi Taman Raja.
Dewasa ini terdapat kecenderungan masyarakat untuk memper-
baiki monumen-monumen kuno Islam yang dipandang sudah lapuk
atau rusak, misalnya terhadap masjid-masjid kuno, istana, makam,
dan gapura. Kecenderungan meluas justru terjadi “pemugaran”
terhadap masjid-masjid tua oleh masyarakat penggunanya sendiri.
Dalam melakukan perbaikan atau pemugaran tersebut kerapkali
kaidah keilmuan (ilmu arkeologi) diabaikan, oleh karena itu
hasilnya adalah bangunan baru sama sekali tanpa menyikan unsur-
unsur kunonya.
Hal ini sebenarnya merupakan permasalahan lama, para arkeolog
telah membagi dua macam munumen, yaitu (a) dead monument,
dan (b) living monument. Masjid kuno, istana, makam, dan
monumen lainnya dari masa perkembangan Islam masih dipergu-
nakan dan dirawat oleh para pendukungnya, oleh karena itu lumrah
saja apabila mereka melakukan perbaikan-perbaikan, penambahan,
bahkan pembangunan baru. Hal yang perlu dikemukakan kepada
masyarakat pendukung living monument adalah prinsip pelestarian
dan kepentingan ilmu pengetahuan yang juga harus dijaga. Kedua
prinsip itu jelas harus berjalan berdampingan dengan aspek peman-
faat dan aktualisasi zaman. Jadi apabila telah terjadi “pemugaran”
terhadap suatu masjid kuno oleh masyarakat dengan mengabaikan

130
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar

prinsip pelestarian dan ilmu pengetahuan, mungkin hal itu bukan


akibat kesalahan masyarakat semata, hal itu terjadi karena
ketidaktahuan masyarakat tentang studi arkeologi Islam.
Langkah-langkah di masa mendatang untuk memajukan kajian
arkeologi Islam dan menjaga data khazanah artefak serta manuskrip
keislaman lainnya, tidak hanya harus dilakukan oleh pemerintah
dan pihak-pihak terkait. Perhatian dan apresiasi terhadap pengem-
bangan arkeologi Islam itu harus juga ditularkan kepada warga
masyarakat oleh siapapun yang berminat dalam arkeologi Islam,
sehingga bukti-bukti masa awal perkembangan Islam di wilayah
Nusantara tidak terkikis habis oleh pembangunan dan modernisasi.
Jika saja hal itu terjadi, maka bangsa Indonesia telah melupakan
jatidiri sejarah keislaman dan bukti-bukti kehadiran agama Islam
pada awalnya, padahal dunia telah mengakui bahwa Indonesia
adalah negara Islam dengan penduduk terbesar di dunia.[]

Daftar Pustaka

Adrisijanti M. Romli. 2008. “Puncak-puncak Prestasi Kesultanan Demak dalam


Bidang Budaya”, dalam Majalah Budaya Bende Vol.4 No.2, Desember.
Halaman 18—21. Jakarta: Sekar Budaya Nusantara & FIB UI.
Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Dilihat dari Segi
Nilai-nilai. Jakarta: Dian Rakyat.
Goris, R.. 1965. Ancient History of Bali. Denpasar: Faculty of Letters, Udayana
University.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogjakarta: Tiara Wacana.
Putuhena, M. Shaleh A. 1980. “Sejarah Agama Islam di Ternate”, dalam Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISI). Maret, Jilid VIII. No. 3: 263—76.
Jakarta: Bhratara.
Spiro, Melford E. 1977. “Religion: Problems of Definition and Explanation”,
dalam Michael Bunton (Penyunting), Antropological Approaches to the
Study of Religion. London: Tavistock Publications. Halaman 85—126.

131
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132

Tjandrasasmita, Uka. 1986. Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalaan


Islam di Pesisir Utara Jawa. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 3. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

132
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

Peran Arkeologi
dalam Kajian Islam Nusantara
Irmawati M-Johan
Universitas Indonesia, Depok

This article explains about how archeology has its own role in the study of
Islam in Indonesia. This article also explains the aspects that become the object
of the study of archeology. In addition to that, some researches that have been
conducted on Islam in Indonesia will be presented too. This archeological study
tries to dismantle the history of the past humankind by using material culture.
The material culture this writing means are the gravestones, the buildings of the
mosque, palaces, artefacts such as the coins, porcelains and so on. Bisides that,
some archeologists try to develop the study of Islamic sites as the branch or
archeolgy through excavation. Some researches that have ever been conducted
are dealing with Islamic epigraphy such as ancient gravestones, the building of
palaces, keraton (also palace) and ancient mosques as well as Islamic sites such
as the Old Banten (Banten Lama) and Lobu Tua.

Kata kunci: Arkeologi, material culture, situs, nisan, ornamen, efigrafi,


mesjid kuno, keraton

Pendahuluan
Tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana peran
arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja
yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, akan dikemukakan pula
berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait
dengan Islam di Nusantara. Sebelum lebih jauh menyampaikan apa
peran arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara, terlebih dahulu
akan dijelaskan apa yang menjadi perhatian arkeologi dan apa yang
sebenarnya dikaji dalam penelitian-penelitian arkeologi.
Sebagai ilmu, arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari
manusia dan masyarakat masa lalu melalui tinggalan budaya materi

133
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

(material culture) seperti bangunan-bangunan, alat-alat dan artefak


lainnya. Colin Renfrew dan Paul Bahn (2003) menyebut arkeologi
sebagai bentuk past-tense dari antropologi budaya yang juga mem-
pelajari masyarakat dan kebudayaan manusia. Karena mempelajari
masa lalu maka arkeologi juga merupakan bagian dari sejarah, yaitu
sejarah manusia secara luas yang dimulai sejak tiga juta tahun yang
lalu. Selain itu arkeologi juga merupakan bagian dari science karena
menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan metode yang
scientific dalam menganalisis dari penggunaan carbon dating hing-
ga studi tentang residu makanan (Renfrew & Bahn, 2003: 12-3).
Dalam usahanya memahami kehidupan manusia masa lalu,
arkeologi mencoba menganalisa data yang diperoleh dari peneli-
tiannya untuk merekonstruksi berbagai hal. Menurut Sharer &
Ashmore (2003) ada tiga hal yang direkonstruksi oleh arkeologi,
yaitu sistem teknologi dan lingkungan, sistem sosial dan sistem
simbol dan ideologi (Sharer & Ashmore, 2003: 456-552).

Material Culture
Ada beberapa jenis material culture dari masa Islam yang
menjadi perhatian para arkeolog Indonesia, antara lain nisan-kubur,
bangunan masjid, bangunan istana, artefak seperti, mata uang,
tembikar dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang mengembangkan
kajian situs Islam sebagai kajian arkeologi melalui ekskavasi.
Untuk itu kita dapat melihat selintas kajian-kajian apa yang telah
dilakukan terhadap tinggalan budaya Islam.

1. Nisan Kubur
a. Epigrafi
Kajian tentang nisan sudah sejak awal telah dilakukan terutama
para ahli kebangsaaan Belanda.Di mulai pada tahun 1910 yang
dilakukan oleh Van Ronkel yang membaca nisan kubur Malik
Ibrahim di Gresik yang mencantumkan angka tahun wafatnya yaitu
1511 M (Ronkel, 1910: 596-600; Tjandrasasmita, 1977: 108).
Setelah itu, Moquette pada tahun 1912 mengkaji nisan kubur di
Samudra Pasai dan nisan kubur Malik Ibrahim di Gresik yang
dianggap memiliki persamaan dalam cara menuliskan huruf dan
kalimat-kalimat dengan nisan Umar bin Ahmad al-Kazaruni di
Cambay (Moquette, 1912: 536-548). Pendapatnya ditegaskan lagi

134
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

dalam penelitiannya pada tahun 1920 dan mengatakan bahwa nisan-


nisan di Samudra Pasai dan Gersik berasal dari Cambay (Gujarat )
(Moquette, 1920: 44-47, Tjandrasasmita, 1977: 111).
Paul Ravaisse (1925) telah melakukan kajian tentang makam
Malik Ibrahim dengan melakukan pembacaan inskripsi yang terda-
pat pada nisan serta mencoba untuk “membaca” beberapa ornament
lampu yang terdapat pada nisan tersebut dan mengatakannya bahwa
ornament ini adalah symbol dari surat An-Nur (cahaya) (Ravaisse,
1925: 668-703).
Pada tahun 1919 Moquette menyampaikan hasil penelitiannya
tentang makam tertua di Jawa yaitu Fatimah binti Maimun bin
Hibatullah yang wafat 495 H (1102 M) berhuruf Kufi (Moquette,
1921: 391-399; Tjandrasasmita, 1977: 111).
Pembacaan nisan-nisan yang terdapat di Samudra Pasai juga
dilakukan oleh J.P Moqutte pada tahun 1913 yaitu pada nisan
Sultan Malik as-Salih yang mencantumkan angka tahun wafatnya
pada tahun 696 H (1297 M ) dan nisan Sultan Malik az-Zahir putra
Sultan Malik as-Salih yang wafat pada tahun 726 H (1326 M).
Sumbangan penelitian Moquette yang penting adalah mengidentifi-
kasikan bahwa Sultan Malik As-saleh adalah Sultan pertama di
Samudra Pasai yang dikaitkan dengan Sejarah Melayu dan Hikayat
Raja-Raja Pasai (Moquette, 1913; Tjandrasasmita, 1977: 108). Sum-
bangan J.P Moquette yang lain adalah penelitiannya tahun 1914 ke
Kuta-Raja Aceh, dan menemukan makam raja-raja yang pernah
memerintah Aceh seperti Sultan Ali Mughayat Syah yang wafat
936 H (1530 M), Sultan Ala’udin al-Khahar (979 H/1571 M), Sultan
Ali Ri’ayat Syah (987 H/1579 M), dan lain-lain yang dikaitkan
dengan sumber tertulis Kitab Bustanus-Salatin dan Tajus-Salatin
(Moquette, 1914: 73,80).
Penelitian pada tahun 1955 selanjutnya di lakukan L.C. Damais
tentang nisan-nisan di Troloyo, Jawa Timur. Ia membaca ulang
hasil pembacaan para ahli terdahulu N.J Krom dan memberikan
penafsiran baru terhadap nisan-nisan yang ada. Menurut hasil
penelitiannya angka tahun yang tertua adalah 1296 S (1376 M) dan
yang angka tahun termuda adalah 1533 S (1611 M). Keberadaan
makam-makam ini membuktikan bahwa pada masa Majapahit yaitu
pada masa kejayaan Hayam Wuruk di Jawa sudah ada orang-orang
Islam yang dimakamkan dalam lingkungan yang dekat dengan

135
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

keraton. Lebih lanjut Damais mengatakan bahwa mengingat


stratifikasi sosial pada masyarakat Jawa Kuno yang sangat hiarakis
maka bukanlah tidak mungkin bahwa mereka adalah keluarga istana.
Peneliti terdahulu antara lain N.J. Krom yang telah meneliti nisan
Trowulan enggan mengakui bahwa sudah ada orang-orang Islam
yang berhak dimakamkan dekat dengan lingkungan istana pada
akhir abad ke 13 Saka di Jawa. Keengganan Krom menurut Damais
mungkin juga karena Nagarakartagama tidak berbicara tentang
agama baru tersebut. Menurut Damais ketika mengunjungi makam
Putri Cempa di Trowulan ia menemukan dua makam lain yang
berprasasti, satu di antaranya dapat langsung dibaca angka tahun-
nya yang berangka tahun 1290 S (1368 M). Untuk itu Damais
mengatakan bahwa harus dilakukan penelitian yang sistematis
tentang makam-makam kuno yang ada di Trowulan agar dapat
diperoleh data baru tentang penyebaran agama Islam di Jawa Timur
(Damais, 1995: 223-289; catatan kaki no.129).
Berdasarkan penelitian epigrafi pada nisan-nisan kubur dapat
diketahui bahwa Sultan Malik as-Saleh adalah Sultan pertama di
Samudra Pasai dan atas dasar angka tahun pula maka dapat
dikatakan bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama.
Hal ini merupakan data penting bagi perkembangan sejarah Islam
di Indonesia (Ambary, 1988: 174)
Penelitian di Barus telah memperoleh data penting yaitu makam
dari Tuhar Amisuri yang wafat pada 602 H (1203 M) memper-
lihatkan bahwa makam ini lebih tua dari makam Sultan Malik as-
Saleh (1297 M). Keberadaan makam ini merupakan bukti bahwa di
Barus telah ada pemukiman Islam (Ambary, 1998: 57).
Penggunaan huruf Kufi hanya terdapat pada nisan-nisan yang
diimport dari luar Nusantara, terutama dari Gujarat sebagaimana
yang terdapat pada nisan Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun.
Huruf yang lebih banyak dipakai di Nusantara adalah gaya sulus
atau gaya naskh (Ambary, 1998: 174).
Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang ditulis dalam
huruf Kufi ornamental yang bagian ujungnya dibentuk ikal di Leran
telah dibaca oleh Paul Ravaisse memiliki penanggalan 475 H (1082
M). Nisan ini merupakan data penting bahwa di Leran pada abad
ke-11 sudah terdapat masyarakat muslim yang kemungkinan
merupakan masyarakat pedagang yang diterima oleh masyarakat

136
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

setempat yang berada di bawah kerajaan Hindu-Buddha sebelum


Kadiri (Tjandrasasmita, 1993: 278).

b. Bentuk Nisan dan Ornamen


Studi tentang nisan tidak hanya dilakukan berdasarkan unsur
tulisan saja, tetapi unsur bentuk dan juga ornamennya. Hasan
Muarif Ambary (1984) dalam disertasinya telah melakukan peneli-
tian tentang bentuk-bentuk nisan di Nusantara dan menggolongkan-
nya menjadi 4 tipe yaitu tipe Demak-Troloyo, tipe Aceh, tipe Bugis
Macasar dan tipe Ternate. Atas dasar tipe –tipe tersebut ditelusuri
persebarannya di Nusantara dan Asia Tenggara. Tipe Aceh
(bucrane) misalnya selain terdapat di Pasai dan Aceh ditemukan
juga di situs kubur di Barus dan beberapa situs lain di Sumatra
Barat hingga Lampung. Di Semenanjung Malaysia, Bintan, Jawa
Timur (terutama pantai utara), Banten dan Yakarta. Setelah abad ke
17, bentuk nisan Aceh ditemukan di Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan. Perkembangannya dimulai dari bentuk bucrane pada abad
16-17 M, lalu berkembang bentuk persegí panjang dan silindrik
pada fase ke dua abad 17M-19M (Ambary, 1998: 239-241).
Berdasarkan pendapat Paul Ravaisse tentang nisan Leran dari
Fatimah binti Maimun bahwa ornamen lampu yang tergantung di
dalam mihrab adalah simbol dari Surah An-Nur, maka dilakukan
penelitian bahwa nisan-nisan impor seperti Malik Ibrahim, Naina
Hisamuddin di Aceh, nisan papan Tinggi di Barus hampir semua
memiliki ornamen ini. Di dalam peninggalan budaya materi di
Nusantara motif atau jenis lampu yang tergantung dalam mihrab
tidak pernah dikenal. Bentuk lampu seperti itu adalah lampu-lampu
dari dunia Islam di Timur Tengah, Persia, India. Dengan demikian
hal ini dapat memperkuat bahwa nisan-nisan yang memiliki ornament
ini memang bukan berasal dari Nusantara (Marwoto, 1996: 1-8 ).
Pada nisan-nisan di Troloyo telah dikaji pula ornamen medalion
sinar Majapahit yang disinggung pertama kali oleh Knebel yag
disebutnya sebagai Cap Matahari. Menurut Damais, Medalion Sinar
Majapahit mirip dengan halo pada patung-patung yang dianggap
tokoh suci pada agama Kristen,. Lingkaran cahaya ini di Jawa dan
Bali melingkari seluruh tubuh tokoh atau benda yang dianggap
memiliki sifat supernatural (Damais, 1995: 242,243, cat. kaki no. 68:
301). Yang menarik bahwa motif surya Majapahit ini ternyata

137
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

penggunaannya terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sebagai-


mana kita temukan pada nisan-nisan di sepanjang pantai utara Jawa,
sampai ke Madura bahkan saat ini Muhammadiah juga menggu-
nakan lambang surya Majapahit.
Penelitian dalam bentuk skripsi tentang bentuk-bentuk nisan dan
ornamen telah dilakukan di berbagai situs seperti Jakarta, Troloyo,
Blora, Cirebon, Jasinga, Samudra Pasai, Palembang, Sumatera
Barat, Kalimantan Timur, Brunai, dan telah menghasilkan sembilan
buah skripsi Program Studi Arkeologi S1, tesis lima buah dan satu
buah disertasi.

2. Masjid
Kajian tentang masjid kuno di Indonesia khususnya di Jawa
mulai dilakukan pada tahun 1920, oleh N.J Krom yaitu tentang
menara Kudus yang diperkirakan berasal dari abad ke 16M dan
dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan
Majapahit yang mengingatkan pada bangunan candi (Krom 1920:
294-295; Tjandrasasmita 1977: 111). Setelah itu penelitian di
Kudus di lanjutkan oleh J.E Jasper pada tahun 1922 yang mengkhu-
suskan pada penelitian seni ukir dan seni bangunan. Berdasarkan
penelitianya seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni
bangunan Jawa-Hindu Majapahit (Jasper 1922: 3-30; Tjandrasasmita,
1977: 112).
Steinmann pada tahun 1934 melakukan penelitian ornamen
yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kalinyamat.
Menurutnya, penelitian tentang jenis tanaman sangat penting untuk
mengetahui keragaman tumbuhan yang ada pada masa itu. Selain
itu ia melakukan penelitian pola-pola ornamennya dan dibanding-
kan dengan ornamen di candi-candi (Steinmann 1934: 89-97;
Tjandrasasmita 1977: 115).
Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia dilaku-
kan oleh Dr. G.F Pijper pada tahun 1947 dan Pijper menyampaikan
bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak memiliki
menara. Menara di masjid Kudus bukan menara asalnya melainkan
bagunan dari jaman Hindu yang digunakan kembali sebagai tempat
kulkul. Tentang bangunan masjid kuno ia menyampaikan bahwa
bentuknya mengikuti bentuk arsitektur lokal dengan beberapa ciri

138
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

seperti denah segi empat dan pejal, atapnya bertingkat-tingkat


(Pijper, 1947: 274-283).
Tentang asal usul bangunan masjid kuno telah dibahas oleh
beberapa ahli seperti H.J de Graaf yang mengatakan bahwa masjid
kuno di Jawa mendapat pengaruh bentuk masjid dari Sumatera
yaitu masjid Taluk di Sumatera Barat yang merupakan prototipo
masjid Malabar (Graaf, 1947-48: 289). D.R. W.F Stutterheim
mengajukan pendapatnya bahwa masjid kuno di Indonesia menda-
pat pengaruh dari bangunan tempat menyambung ayam di Bali
(Stutterheim 1935: 135-140). Pendapat Stutterheim disangkal oleh
Prof Sutjipto Wiryosuparto, bentuk denah masjid Taluk adalah segi
empat dan dikelilingi air sedangkan masjid Malabar denahnya
persegipanjang tidak dikelilingi air, jadi berbeda dan yang sama
hanya pada bentuk atap. Selanjutnya jika bagunan tempat menyam-
bung ayam sebagai bangunan yang semiprofan tidak mungkin
dijadikan dasar pembuatan masjid dan yang lainnya adalah tidak
memiliki loteng. Sutjipto lalu mengajukan bangunan mandapa atau
pendapa yang menjadi asal mula bentuk masjid kuno (Wiryosuparto
1961-62:7-8).
Penelitian di Aceh dilakukan oleh J Kreemer di Masjid Raya di
Kutaraja yang menurut penelitiannya bahwa Masjid Raya itu
asalnya bernama masjid Bait ar-Rahman yang didirikan pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636M). Masjid ini
dibangun dengan bentuk yang baru pada tanggal 9 Oktober 1879
yang dibuat oleh seorang arsitek Belanda bernama Bruins (Kreemer
1920-21: 69-87; Tjandrasasmita 1977:112).
Pada perkembangan selanjutnya studi tentang masjid kuno terus
dilakukan baik dalam bentuk paper ataupun skripsi kurang lebih
berjumlah 23 buah di Progam studi Arkeologi UI yang mencakup
masjid kuno di Palembang, Banten, Cirebon, Jakarta, Padang,
Sumenep, Banyumas, Manonjaya, Taluk,dan Medan.
Atas dasar penelitian terhadap bangunan masjid kuno di
Indonesia Maka dapat diketahui pola-pola bangunan seperti denah
masjid, arah hadap dan pola keletakan untuk masjid Istana berada
di sebelah barat alun-alun. Pada sisi barat laut terdapat mihrab yang
umumnya menjadi tempat yang paling raya ornamennya, di sisi
kanan mihrab terdapat mimbar yang umumnya berbentuk seperti
kursi dan memiliki anak tangga. Ornamen pada bagian atas mimbar

139
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

biasanya motif kala terkadang dengan makara. Atap masjid meru-


pakan atap tumpang yang bertingkat-tingkat dalam jumlah yang
ganjil. Pada masjid-masjid tertentu selain ada tempat bedug juga
terdapat makam-makam raja atau tokoh-tokoh penting seperti
Masjid Demak dan Masjid Banten. Bentuk bangunan masjid yang
telah mengikuti gaya bangunan Timur Tengah dengan kubah di
tengahnya adalah masjid-masjid yang kemudian dibanguan oleh
Belanda seperti masjid Raya Aceh dan Masjid Agung Medan.
Penelitian mengenai ornamen masjid memperlihatkan bahwa
masih banyak digunakan motif-motif yang berasal dari masa sebe-
lum Islam seperti kala makara, sulur-suluran, antefiks dan binatang
yang distilir seperti di masjid Mantingan. Ornamen-ornamen makh-
luk hidup yang selama ini dianggap tidak boleh dilakukan tidak
sepenuhnya dihindari sebagaimana terdapat pada Masjid Trusmi di
Cirebon yang mengambarkan berbagai bentuk binatang seperti
binatang anjing, ular, kambing pada soko guru dan Masjid Demak
dengan tempelan porselin yang memiliki berbagai motif binatang
seperti anjing dan burung dan kura-kura. Selain penggunaan motif-
motif dari masa sebelum Islam dan berbagai motif binatang
ternyata ditemukan pula penggunaan motif-motif Islam seperti
Interlace atau yang dikenal dengan Arabesque terdapat di Masjid
Sang Ciptarasa Cirebon) dan Masjid Mantingan. Motif Interlace ini
bila kita amati menyebar sampai ke Madura terutama pada makam-
makam kuno (Marwoto 2003:152-312).
Ornamen pada masjid-masjid di luar Jawa memperlihatkan
bahwa ornamen banyak menggunakan motif-motif lokal sehingga
dapat dilakukan studi yang mendalam tentang motif-motif lokal
dari seluruh masjid Indonesia.

3. Keraton
Keraton atau istana merupakan pusat kota dari sebuah kerajaan.
Tata letak keraton-keraton Islam di Jawa pada umumnya mengarah
ke utara, seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon;
Keraton Surosowan di Banten. Demikian pula dengan keraton-
keraton dari abad ke 18 seperti Yogyakarta dan Surakarta di
arahkan ke utara. Keraton Samudera Pasai besar kemungkinan
menghadap ke utara yaitu menghadap ke Selat Malaka, Keraton
Banda Aceh dari masa Sultan Iskandar Muda abad ke 17 M,

140
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

berdasarkan berita asing diarahkan ke barat Laut, jadi hampir ke


utara (Poesponegoro 1984:219).
Kompleks bangunan keraton pada umumnya memiliki tembok
keliling yang memisahkan keraton dari bangunan lainnya. Bagian
yang merupakan tempat tinggal raja biasa disebut “dalem”. Di
Keraton Aceh, Samudra Pasai, Banten, Cirebon. Mataram dan
Samboapu sebagaimana diberitakan oleh sumber tulis asing
susunan halaman untuk sampai ke bagian “dalem” adalah tiga yang
mengingatkan akan bangunan halaman candi dan pura di Bali
(Poesponegoro, 1984: 221).
Penelitian tentang makna ruang pada situs keraton Kasepuhan
yang melihat antara penempatan ruang bagi yang hidup dan yang
mati memperlihatkan bahwa Cirebon memisahkan dengan tegas
ruang antara yang hidup (di Keraton) dan yang mati (di Gunung Jati).
Selain itu juga memperlihatkan pembagian ruang antara yang
profan dan yang sakral (Johan, 2007: 238-246).
Penelitian tentang Keraton dalam bentuk skripsi di program
studi S1 Arkeologi ada 11 buah, meliputi Keraton Kasepuhan,
Kanoman, Yogyakarta, Maimun dan Sumenep.
Berdasarkan penelitian tentang keraton maka dapat diketahui
pola tata letak keraton, bagian-bagian keraton dan fungsinya dan
ornamen yang digunakan di keraton.

4. Situs-Situs Islam
a. Banten Lama
Penelitian situs-situs Islam telah dilakukan di beberapa tempat
seperti: Kawasan Banten Lama, termasuk di dalamnya situs Kraton
Surosowan, Situs Karang Antu, Situs Kadiri, Situs Kraton Kaibon,
Situs Jembatan Rante, Situs Pamarican, Situs Pabean, dan lain-lain.
Banten lama berdasarkan sumber sejarah adalah pusat kota dan
bandar utama Kerajaan Banten yang berkembang sejak abad ke 16
hingga abad ke 19 M.
Kota Banten tumbuh sebagai pusat dagang dengan aneka ragam
komoditas perdagangan yang didatangkan dari berbagai wilayah
dan diperdagangkan di Banten. Banten juga berperan sebagai
tempat perdagangan antar bangsa. Untuk itu Sartono Kartodirdjo
mengkategorikan Banten sebagai emporium seperti juga Aceh,
Makasar dan Mataram (lihat Untoro, 2007: 9). Hasil penelitian

141
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

arkeologi di Banten yang dimulai pada tahun1977 antara lain


adalah ditemukannya situs industri logam dan industri tembikar
serta temuan barang-barang perdagangan seperti keramik Asing
dari berbagai negara, mata uang cina, mata uang VOC. Selain itu
memugar sisa-sisa Kraton Surosowan, Kraton Kaibon, Benteng
Spelwijk, Menara Pacinan (Ambary 1998:124). Banten lama adalah
satu-satunya kawasan perkotaan Islam yang tersisa hingga saat ini,
penelitian arkeologis banyak menghadapi kendala terutama dengan
makin penuhnya penduduk yang menempati kawasan sehingga
tidak lagi dapat dikendalikan. Keadaan keraton Surosowan dan
Kaibon yang telah dipugar sekarang terbengkalai.

b. Lobu Tua
Pada tahun 1995 dan 1996 dilakukan penggalian di Situs Lobu
Tua dekat Barus oleh tim Indonesia Perancis dan ditemukan 600
pecahan tembikar berglasir asal Timur Dekat yang dikenal dengan
“later Sgraffiato ware”. Ciri-cirinya adalah bahannya berwarna
merah jambu, berslip terang berhiaskan goresan dan glasirnya
percikan-percikan. Pola hiasannya buga-bunga, geometris abstrak
atau kaligrafi dengan huruf kufi. Jenis “later Sgarffiato ware” Lobu
Tua memiliki persamaan dengan temuan sejenis di Makran (Iran),
Sohar (Oman) dan Kilwa (Tanzania) dapat dikaitkan dengan adanya
kelompok perdagangan dari Oman yang bernama Ibadi. Kelompok
ini Sangat berperan aktif di wilayah Teluk Persia, khususnya di
Basrah dan di pesisir lautan Hindia, termasuk Makran, Aden,
Bambhore dan pesisir Timur Afrika. Sumber tulisan kuno dari
Timur Dekat menyebut nama Barus serta adanya pedagang dari
Oman di Nusantara sekurang-kurangnya sejak abad ke 10 M.
Keberadaan tembikar Sgraffiato di Lobu Tua membuktikan bahwa
Labo Tua termasuk dalam jaringan perdagangan dari Teluk Persia
(Perret, 2002: 157-168).
Selain temuan tembikar ditemukan pula artefak kaca yang
kebanyakan dibuat dengan tehnik tiup, sebagian di udara terbuka
sebagian dalam cetakan. Warna kaca sebagian besar berwarna hijau
pucat, kuning pucat dan biru pucat, biru kobalt, hijau tua, coklat,
merah ungu dan turkuas. Bukan merupakan kaca yang berkwalitas
bagus tetapi lebih merupakan barang sehari-hari. Di duga bahwa
beberapa temuan menunjukan dua daerah asal yaitu Iran dan

142
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

Mesopotamia, serta bagian timur Laut Tengah. Barang-barang dari


Laut Tengah nampaknya diimpor sejak awal abad 11 M. Setelah
direkonstruksi artefak kaca, maka dapat dikemukakan beberapa
bentuk utuhnya yaitu: Karaf (botol kaca dengan bibir bulat datar)
dari abad 9-10 M, Tempayan Miniatur jenis Serahi dari Timur
Tengah, fungsinya belum jelas, piala silinder diduga berasal dari
Iran abad 9-10 M, Serahi kecil (kaca merah jingga berhias gaya
bulu) berasal dari Mesir abad 11 dan awal 12 M, Kaca berhias garis
yang diukir diduga dari Iran abad ke 10 dan awal abad 11 M
(Guillot, 2002: 179-195).

Penutup
Beberapa contoh penelitian arkeologi sebagaimana diuraikan di
atas diharapkan dapat memberikan gambaran singkat bagaimana
arkeologi memberikan makna pada material culture Islam sebagai
usaha untuk memahami kehidupan dan perilaku manusia.
Contoh lain tentang penelitian epigrafi Islam yang sudah dilaku-
kan juga mengungkap cukup banyak hal penting tentang raja-raja
yang memerintah di kerjaan-kerajaan yang bercorak Islam yang
selama ini hanya diketahui atas dasar sumber tertulis berupa naskah
ataupun sebaliknya. Selain itu berdasarkan angka tahun yang terda-
pat pada nisan dapat pula diketahui bilamana orang-orang Islam
sudah datang dan menetap di Nusantara. Sebagaimana penemuan
angka tahun Tuhar Amisuri di Barus dengan angka tahun wafatnya
1203 M, 94 tahun lebih tua dari Malik as-Saleh di Pasai. Temuan
angka tahun ini bila dikaitkan dengan penelitian arkeologi di Lobu
Tua Barus berupa artefak kaca dan tembikar yang diduga berasal
dari abad ke 9-10 merupakan hal yang tidak mengejutkan.
Walaupun demikian penelitian tentang nisan-nisan kuno masih
menyisakan banyak hal yang perlu dilakukan. Seperti yang dikata-
kan Damais bahwa dari 1500 abkalts yang ada di Direktorat Sejarah
dan Purbakala baru terbaca 800 abklats. Artinya masih 700 abkltas
yang belum terbaca. Penelitian nisan-nisan kuna di pantai utara
Jawa sebagai tempat awal Islamisasi belum secara menyeluruh
dilakukan. Bagaimana perkembangan gaya tulisan dan ornamen
dalam nisan-nisan kunopun belum pernah dilakukan dalam skala
yang luas. Demikian pula dengan studi tentang masjid kuno dan
keraton, penelitian masih dilakukan secara parsial.

143
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

Seiring dengan perkembangan jaman maka kajian-kajian arkeologi


Islam tentunya harus diperluas dengan mengembangkan isue-isue
yang relevan dengan masa kini dan menggunakan pendekatan atau
teori-teori baru dan yang lebih penting untuk dilakukan adalah
menyampaikan hasil-hasil penelitian tentang Islam di Indonesia
kepada masyarakat luas.[]

Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Mu’arif. 1988. Menemukan Peradaban,Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia, Ciputat : P.T Logos Wacana Ilmu
Damais,L.C. 1955. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Pilihan Karya L.C Damais.
Jakarta:EFEO
De Graaf, H.J. 1947-1949. “De Oorsprong der Javaanse Moskee”
Indonesie,tweeman delijks Tijdschrift Gewijd aan het Indonesisch
Cultuurgebied,1e Jrg,NV Uirgeverij W.van Hoeve-s’ Gravenhage,hal:291-
299
Guillot,Claude& Sonny Ch.Wibisono. 2002. Temuan Kaca di Lobu Tua:Tinjauan
Awal.Hal:179-214, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, ed.Claude Guillot.
Jakarta: EFEO,Pusat Penelitian Arkeologi,Yayasan Obor.
Jasper,J.E. 1922. “Het Stadje Koedoes en zijn oude Kunst “NION,7e jaargang,
afl.1,1922,hal:3-30.
Johan, Irmawati M. 2007. Boundedness dan Polusi pada Situs Islam Cirebon
Abad XVI-XVIII, Wacana vol9 no.2 Oktober.,Hal: 238-246.
Kreemer,J. 1920-1921. “De Groote Moskee te Koeta-Radja” NION,1920-
1921,vifde jaargang, hal:69-87.
Krom,N.J. 1920. Inleideng tot de Hindoe-Javaansce Kunst” S’Gravenhage,
hal.294-295.
Marwoto, Irmawati. 1996. “Ornamen Mihrab dan Lampu pada beberapa Makam.
Sebuah Tinjauan Simbolik”, PIA VII, Cipanas
------- 2003. Seni Dekoratif pada Bangunan di Pantai Utara Jawa Abad 15-17,
Statu Masalah Penenda KeIslaman. Disertasi Program Pascasarjana FIB-UI.
Moquete, J.P. 1912. “De Datum op den grafsteen van Malik Ibrahim te Gresik”
TBG 54,1912, hal:208-214

144
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan

Moquete, J.P. 1912. “De Grafsteen te Pase en Grissee vergeleken met dergelijke
Monumenten uit Hindoestan” TBG, 54,1912 hal:536-548 OV, 1912, kwt.4.
hal.86
Moquete, J.P. 1914. “Verslag van mijn voorlopig onderzoek deer
Mohammedaansche oudheden in Aceh en Onderhoogrigheden” OV, 1914,
kwt.2 bijlage, O, hal:73,80.
Perre, Daniel & Sugeng Riyanto. 2002. Tembikar Berslip,Berhiaskan goresa dan
Berglasir Percikan-Percikan Asal Timur Dekat di Lobu Tua.Tinjauan
Awal.hal:157-178,Lobu Tua Sejarah Awal Barus, ed.Claude Guillot. Jakarta:
EFEO,Pusat Penelitian Arkeologi,Yayasan Obor
Poesponegoro, Marwati Djuned. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III.
Depbudpar. Jakarta: Balai Pustaka
Ravaisse, Paul. 1925. L’inscription coufique de Leran a’ Java, Hal:668-703. TBG
1925, Deel LXI
Renfrew, Colin& Paul Bahn. 2003. Archaeology:Theories,Method and Practice.
Thames & Hudson
Ronkel, Ph.S.van. 1910. “Bij de afbeelding van het graf van Malik Ibrahim te
Gresik”. TBG,52,1910,hal:596-600
Sharer, Robert&Wendy Ashmore. 2003. Archaeology Discoveryng Our Past.
New York: Mc Graw Hill Company Inc.
Stutterheim,W.F. 1935. “De Islam en Zijn komst in den Archipel”, Grooningen-
Batavia, hal.135-140.
Tjandrasasmita, Uka. 1977. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di
Indonesia, hal:107-135, 50 tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasional, Jakarta: Puslit Arkenas
Tjandrasasmita, Uka. 1993. Majapahit dan kedatangan Islam Serta
Prosesnya,hal:275-290. 700 Tahun Majapahit Statu Bunga Rampai.
Surabaya: CV Bunga Rampai
Untoro, Heriyanti Ongkodharmo. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal. Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi, Jakarta: FIB.UI,komunitas
Bambu.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1961. “Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid
Indonesia”, Fadjar, tahun III, no. 21, hal: 7-8

145
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146

Lampiran:

Gambar 1:
Sisa reruntuhan Keraton Surosowan. Keraton seluas lebih kurang 3,5 hektar itu
merupakan kediaman para sultan Banten yang dibangun sekitar tahun 1552.
Sumber: http://cetak.kompas.com

Gambar 2:
Pintu gerbang timur ‘Benteng
Keraton Surosowan’
Sumber: http://www.iai-banten.org/

146
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950):


His Religio-Intellectual Discourse, and His Work Collection
Usep Abdul Matin
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama (Skr.


Puslitbang Lektur Keagamaan) Badan Litban dan Diklat, Departmen Agama
Republik Indonesia (1986), K.H. Ahmad Sanusi telah menulis selama
hidupnya sekitar 480 karya tulis. Namun, sebagian besar dari karyanya tidak
tersimpan di satu tempat, bahkan sulit ditemukan. Dalam kesulitan itu,
penulis telah berhasil mencari dan menemukan kurang lebih seratus dua
puluh dua (122) karya K.H. Ahmad Sanusi. Karena itu, tulisan ini bertujuan
untuk berbagi pendadapat tentang siapa K.H. Ahmad Sanusi itu, dan apa saja
kiranya buku-buku yang telah beliau tulis.

Kata kunci: Ahmad Sanusi, Sukabumi, Haramain, Islam dan negara,


syariah Islam, fatwa.

Introduction
The network of `ulam± (Muslim learned men) in Haramayn
(Mecca and Medina) has been starting to exist since the sixteenth
century. They came from the various corners of the Muslim world.
The core of the network was the degree to which a number of the
famous `ulam± came to learn and to teach in the Haramayn. In the
second half of the seventeenth century, these Indonesian `ulam±--in
particular from Malay--were involved in the network. They
developed the nature of freedom of joining differences in theology,
in jurisprudence, and in mysticism. They handed down this nature
and their religious sciences to the later generation of `ulam± of

147
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Indonesia. Later on, this later group started establishing a Southeast


Asian Connection in the beginning of the nineteenth century.1

K.H. Ahmad Sanusi’s Religio-Intellectual Discourse


In the beginning of the twentieth century, precisely 1910, a
santri (religious student) from Sukabumi, West Java, K.H. Ahmad
Sanusi, went to Mecca together with his wife to perform hajj
(pilgrimage) and to deepen his Islamic studies under the `ulam±
from Malay. During his stay in Mecca, he studied not only the
religious sciences but the general ones, like physics. The religious
sciences, which Sanusi studied, included the intellectual currents of
the Arabic thought in the liberal age (1798 – 1939),2 such as those
of Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho. In
1913, when Sanusi was still in the Haramayn, he became a member
of the Party of Syarekat Islam.3 These facts signify Sanusi’s
involvement in the Southeast Asian Connection.
In 1915, Sanusi went back to his home country, Indonesia,
where he returned to his home town, Cantayan in Sukabumi. Here
was he appointed to be the adviser of the Party of Syarekat Islam.4

1
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan, Introd. by Taufik Abdullah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999), pp. 148-149.
2
M. Sipahoetar, Siapa?: Lukisan tentang Pemimpin-pemimpin, (Boenoet:
“Pemerintah” Soekaboemi, 19 Februari 1940), second edition, pp. 74-75; S.
Wanta, KH Ahmad Sanusi dan Perjoangannya, (Majalengka: Pengurus Besar
“Persatuan Ummat Islam” Majlis Penyiaran dan Da`wah, 1991), pp. 3, and 7. I
am grateful to Mr. Yosep Aspat Alamsyah, for lending me this book. The author
is still alive, and was the secretary to K.H. Ahmad Sanusi, said Josep. He told me
that in December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-Sukabumi; about the
Arabic thought in the liberal age dated from 1798 to 1939, see Rijk Universiteit
Leiden, Studiegids Islamologie 1998/1999, (Leiden: Rijk Universiteit Leiden,
1998), p. 54.
3
See Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Kyai dan Ulama
dalam Perubahan Sosial–Politik di Priangan c.a. 1900-1942, an unpublished
thesis, (Amsterdam: Vrije Universiteit, 1991), pp. 58-59, 90-91.
4
About Sanusi`s speech of Syarekat Islam, see his speech translated into
Dutch entitled “Dit Boek Nahratoe`ddhargam (De Gebiedende Leeuwenstem)
Dienende tot Wering van de Aanvallen Veragtelijke Menschen Gericht tegen de
S.I.” , in Proces Verbal, which is available in the KITLV Leiden University.

148
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

In the following year, he withdrew from this political organization5


and turned to assist his father, K.H. Abdurrahim, to teach his santris
in his own pesantren (Islamic School) in Cantayan; therefore,
people are used to calling it Pesantren Cantayan. Nevertheless,
Sanusi was not able to break himself free from political affairs;
therefore, he did not want to cooperate with the colonial Dutch
government to make Indonesia independent. This political role of
Sanusi was unlike the other indigenous `ulam± who supported the
Dutch colonial authority; these `ulam± were the members of the
Politiesche Economisch Bond (PEB) and Pekauman Corps.6 For
their support, the Dutch government gave them money. In contrast,
the colonial government regarded Sanusi to be their enemy.
Therefore, the Dutch had often put him in jail from 1919 to 1939.
According to A.M. Sipahoetar, who interviewed Sanusi face to
face, during eleven years of his exile (in Indonesian, diinterner:
1928-1939), Ahmad Sanusi had been a very productive writer.
During that exile, he had written two hundred (200) books both in
small and big pieces (in Indonesian, 200 boekoe ketjil dan besar).7
Sanusi’s intellectual productivity is also discernible in his
establishment of a pesantren at Genteng, which is also located in
Sukabumi, in 1922. His students in this pesantren came not only
from Sukabumi but also from outside of West Java. Hence, since
1922, he had been known as a famous religious teacher, especially
in West Java, and attracted some twenty thousand (20.000) followers.8
His fame increased after he had established a religious association
(in Indonesian, perkoempoelan agama), viz., al-Ittih±diyyat al-
Isl±miyyah (A.I.I/Islamic Association) in 1931. To advocate this
organization, Sanusi substituted its name with Persatuan Umat

5
Mohammad Iskandar, Op. Cit., p. 91.
6
S. Wanta, Loc. Cit. According to my late father, K.H. Dudu Abdullah
Hamidi, Pekauman Corps were the religious leaders who worked in the mosques
in Sukabumi for benefit of the Dutch colonial government. Interview with late
K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in my house in Sukabumi December 12,
2001, when he was still with me.
7
.M. Sipahoetar, Loc. Cit.
8
Ibid.

149
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Islam (PUI/The Association of Muslim Community).9 Moreover, he


published a Qur`anic exegesis entitled Tamshiyyat al-Muslimin fi
Tafsir Kalam Rabb al-`±lamin, in October 1934. This book was
famous in Indonesia i.e Java, Madura, Sumatra, Borneo, Celebes,
Menado, Ambon, Flores, Bangka, Sumbawa, as well as Johor and
Singapore. Sanusi published the Qur`anic verses in this Tamshiyya
not only in the Arabic language but also in the Latin characters, and
no one argued against this typescript.10
This explains to us why Sanusi`s fame all over Nusantara grew
after the publication of his Tamshiyya in 1934. Nevertheless, the
colonial government considered this book to be a threat to their
power. It was also deemed by the PEB and the `ulam±s of Pekauman
in Sukabumi, West Java, as a threat to their influence among their
religious students (in Indonesian, santris). Such sentiment was
resulted in a way that the`ulam±s of Pekauman published their legal
formal opinion (fatw±) that discourages from using of the
Tamshiyya by reasoning that Latin characters were prohibited from
writing the Qur`anic verses. One of these `ulam± was Haji Oesman
Perak from Bogor, West Java. On the basis of Perak`s fatw±, the
`ulam±s of Pekauman discouraged the people from using the
Tamshiyya.11 To argue against this fatw±, Sanusi depended his
Tamshiyya by giving a fatw± that encouraged its use, including the
advantage of the Latin characters.12

9
“Ahmad Sanusi, KH.”, in Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1993),
p. 89. When Japan came to occupy Indonesia, they banned this association, see
ibid.
10
Muhammad Misybâh ibn Haji Syafe`i Sukabumi, Mindarat al-Islâm wa-al-
Îmân, (Sukabumi: Kantor Cetak Sukabumi, 1935), pp. 1-5. I am thankful to H.
Acep Zarkasih (about 80 years old) who lent me this book. He was the student of
Ahmad Sanusi. I wish also to thank him for allowing me to copy his Tamsyiyyah
numbered from 2 to 35, and I thank Ajengan Oyon Gunung Puyuh who allowed
me to copy his Tamshiyya number 28.
11
Ibid.
12
Sanusi wrote this fatwâ in Malay language and Arabic characters on two
wide and long pages of paper without title and year. This fatwâ was published by
Kantor Cetak al-Ittihad Sukabumi. I wish to thank to Hasan Husen Basri, and Dr.
Mohammad Iskandar who were willing to give my parents the copy of the fatwâ.
See also Ahmad Sanusi, Tahdîr al-Afkâr, (Sukabumi: al-Ittihâd, 1935), Vol. 1;
Abdullah ibn Husain, Tażkirat al-Ikhwân bi-mâ fî Âkhir al-Zamân, (Pabuaran
Sukabumi: no publisher`s name, 1955), Vol 3.

150
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Sanusi’s intellectual debate with the `ulam± of Pekauman in


Sukabumi, West Java, is also noticeable in the case of zakat fitrah
viz., tithe in rice or money paid on first day of fasting month. In this
case, he gave a fatw± in 1936, which prohibited the official collectors
of the tithe from collecting it forcefully from common people.13
When Japan occupied Indonesia in the beginnings of 1940s, like
other Indonesian political leaders, Sanusi collaborated with Japan.
This colaboration helped him strengthen Indonesian Muslim community
that he established in 1934 to drive the Ducth occupation out of
Indonesia. In this colaboration, he agreed with Japan to establish
Pembela Tanah Air (PETA/Fatherland Protector) organization. As a
result, the Japanese administrator in Indonesia appointed Sanusi to
become a Japanese vice resident in Bogor, in West Java, in 1944.
Sanusi was also a member of Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI/Committee
Inspecting to Organize the Independence of Indonesia). However, due
to Sanusi’s strong leaning to Islam, the Japanese administrator
disqualified him from this BPUPKI. In turn, Sanusi keept
encouraging PETA to drive out not only the occupation of Dutch
but also that of Japan. After the Indonesian independence, he
empowered Indonesian Muslim youths, in particular those who
became AII members, and in general other Indonesian youths, to
become soldiers of Hizbullah (Troop of God) and National Army of
Indonesia (Tentara Nasional Indonesia/TNI).
Likewise, Sanusi motivated all Muslim people in West Java, in
particular those who lived in Sukabumi, and unified them into
Hizbullah to expel the English Nicagurkha soldiers from Indonesia.
When the Nicagurkha occupied Sukabumi in West Java, Sanusi
moved to Jakarta to cooperate with Muslim leaders in Jakarta to
arrange a more stronger military power. In the beginning of 1950,
Sanusi returned to Gunung Puyuh in Sukabumi, where he died in
the same year. He left three wives and seventeen children. According
to the Puslitbang Lektur of the Department of National Religious

13
See his fatwâ in form of bulletin, H. Ahm. Sanoesi, “Zakat Fithrah”,
(Buitenzorg: Ang Tjio Drukkerij, s.a.), two pages. I wish to thank Mr Muflih for
lending me this bulletin. His father was a close friend of Sanusi.

151
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Affairs in Jakarta, After he died, Sanusi left four hundred and


eighty (480) pieces of works that he compiled by himself.14
These works are now scattered and difficult to discover.
According to deceased Ajengan Dadun Abdul Qahar, a little brother
of Ahmad Sanusi, before his death, Sanusi had given him a dying
exhortation (in Sundanese: wasiat) to suppress his works on
masalah-masalah furu` (cases of ethics based on different principles
of Islam).15 In addition, a student of Ahmad Sanusi, Mr. Oking
(about 80 years old), said to me that, in the colonial period of
Indonesia, Oking had ever put some works written by Ahmad
Sanusi into a bamboo in his house, then he buried them into a
ground. Oking explained to me that he did so because “if the Dutch
administrators found someone possessing Sanusi’s works, they
would put him or her into a jail” (in Sundanese, bakal dibui).16
Perhaps, the dying exhortation of Ahmad Sanusi given to late
Ajengan Dadun and the fear as felt by Mr. Oking just mentioned are
the reasons of why his books are now disappearing and extremely
difficult to find.
However, I had been working for five years to look for Sanusi’s
writings; as a result, I found about one hundred and twenty-two
(122) of Sanusi’s works from some generous people.
To me, the study on Sanusi is worthy conducting. The reason is
the degree to which he is a Muslim who is not only a productive
writer, but also an active leader in diverse debates on religion,
society, politics, and intellectualism in his time. Therefore, this
article of mine may give us a portrait of his social, political, and
intellectual discourse, in particular his work collection. In addition,
the study on Sanusi has its significant information of the
relationship between Islam and state in Sanusi’s period. It has
probably connection to such link in Indonesia today. For instance,
Sanusi was advocating to reinforce Islamic law in Indonesia. In

14
Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama, Op. Cit.,, pp. 31-33.
This work is in form of micro film which is available in KITLV library, Leiden
University, the Netherlands.
15
Interview with Ajengan Dadun in his house in Cibadak-Sukabumi, on
December 20, 2001.
16
Interview with Mr. Oking at his house in Cigunung-Sukabumi, December
12, 2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.

152
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

1998, his little brother, late Dadun Abdul Qahhar, campaigned for
shari`a in Sukabumi in West Java. One of Qahhar’s students was an
officer who was in charge of Cianjur regency (Bupati) in West
Java, Wasidi Swastomo. This man reinforced also the Islamic law
in this region (Cianjur).

K.H. Ahmad Sanusi’s Work Collection


I will mention K.H. Ahmad Sanusi`s works which I have
collected so far as follows.
1. The fatw± of K.H. Ahmad Sanusi [on the use of Latin letters in
his Qur`anic Exegesis, Tamshiyya], without title and year of
publication. It was published by Kantor Cetak al-Ittih±d
Sukabumi.
Bulletin and Magazine:
2. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, (Batavia: Hoefd Bestuur A.I.I,
January, 1932) [four pages].
3. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 2 di
kaloearkeun koe Hoefd Bestuur A.I.I. 1 bulan skali bulan
Februari 1932 di Batavia [2 pages].
5. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 3 telat dua
bulan lantaran nunggu kantor cetakna di kaloearkeun koe Hoefd
Bestuur A.I.I. 1 bulan sakali bulan Februari 1932 di Batavia [2
pages].
6. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 5 tahun 1932
[four pages].
7. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran nomor 7 Oktober
tahun 1932 [four pages].
8. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran al-Ittihad ka 17
Oktober 1933 no 4 [four pages].
9. “Al-Ittih±diyyat al-Isl±miyyah”, pangajaran al-Ittihad nomor 18
19 Janwari [probably, 1932, sambungan nomer 17] [four
pages].
10. Without title, and without identity of publication [four pages].
11. Al-Isy±rah f³-al-Farq bayn al-Şadaqah wa-al-Diy±fah. Hartina
Nuduhken kana Bedana antara Aya Şadaqah rejeng diy±fah
dina Syara1, dinukil jisim kuring Ahmad Sanusi bin Haji `Abd
al-Rahim, dicetak di kantor cetak “al-Ittih±d” Punjul Tanah

153
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Tinggi Senin Batavia Centrum. Maanblad Januari Februari no


30-31 1934.
12. Tafs³r Boechori dikloearken 1 boelan sekali oleh H. Ahmad
Sanoesi bin Hadji Abdoerrahim, Tanah Tinggi, Senen, no 19,
Jilid tahun ka I kanggi nomor 1 September 1931 September
1931, Batavia Kramat.
13. Tafs³r Bahasa Soenda Februari 1932 Tahoen ka II diterbitkan
saboelan sekali oleh Hadji Ahmad Sanoesi bin Hadji Ahmad
Sanoesi bin Hadji Abdurrahim Tanah Tinggi Senen no 191
Batavia Kramat Harga langganan 2 boelan f 1.20.
14. Pangadjaran [Tafsir ku, my note] Bahasa Soenda oleh H.
Ahmad Sanoesi bin H. Abdurrahim T. Tinggi Senen no 191. No
23 24 Maanblad Juni (year is not clear, probably 1934, because
no 29 is dated to that year).
15. Ris±lat Tahd³r al-`Aw±m min Muftaray±t Cahaya Islam Hartina
Mere Inget ka sakabeh Jalma Awam Kudu Sien tina sakabeh
Jijieunan Bohongna kaom Surat Kabar Cahaya Islam
dikumpulken ku jisim kuring anu kacida do`ifna Haji Ahmad
Sanusi ibn Haji Abd al-Rahman di Tanah Tinggi Senen nomor
191 Weltevreden Batavia Kantor Cetak Harun ibn `Ali Ibrahim
3 Pakojan Betawi Telepon 1850 [72 pages].
16. Ris±lat Tashq³q al-Awham f³-al-Radd `an al-Tugam li-n±qil³h±,
Ahmad Sanusi Gang Kampung Bali Kecil 6 Tanah Abang
Weltevreden Betawi, 27 Jumada al-Ula 1347, Weltevreden 8
november 1928 (Dicetak di Kantor Sayyid Yahya ibn Usman
Tanah Abang).
17. Ris±lat Tashq³q al-Awham f³-al-Radd `an al-Tagam Artinya
Inilah Suatu Pembelah segala Sangkaan yang Salah di dalam
Menolak Tukang Menyesatkan kepada Orang-orang Bodo
karangan hamba yang doif Haji Ahmad Sanusi ibn Haji `Abd
al-Rahim Gunung Puyuh Sukabumi Tercetak atas usaha Sayyid
`Ali al-`Idrus Kampung Bali Keramat nomor 38 Batavia, akhir
Bulan Syawwal 1347 (dan Haknya menyetak pun sudah jadi
miliknya) (Cetakan ketigakalinya) Tercetak di kantor cetak dan
toko kitab al-Sayyid `Ali al-`Idrus Keramat 38 Batavia
Centrum).
18. Fada`il Kasb al-Ikhtiy±r f³ Ilz±m Afwah al-Wu`az al-Gid±r
Artinya Menyatakan segala Kelebihan Mencahari dan Berusaha

154
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Kehidupan di dalam […/not clear] segala Mulut si Tukang


Ngajar yang selalu Menipu Orang dikeluarkan oleh hamba yang
[ …/not clear] Haji Ahmad Sanusi bin Haji `Abd al-Rahim di
Tanah Tinggi 191 Batavia Centrum. Tercetak diterbitkan al-
Ittihad Tanah Tinggi 191 Punjul Batavia Centrum. No. 29
Maanblad December (year is not clear, probably 1934, because
no 31 is dated to 1934).
From the beginning of December to the beginning of January
2002, I had copied a number works composed by Ajengan Ahmad
Sanusi as follows.
There are tweleve works of Sanusi that I found from deceased
Ahmad Djunaedi Ma`ruf17:
1. Kanz al-Rahmah wa-al-Lutf f³ Tafs³r Sµrat al-Kahf, (Tanah
Abang:Sayyid Yahya, s.a.).
2. Al-Tamshiyyath al-Isl±miyyah f³ Man±qib Im±m al-Sh±fi`i,
(without place of the publisher, without the name of the
publisher, s.a.).
3. Tarbiyyat al-Isl±m, (Sukabumi: al-Ittih±d, s.a).
4. Tamshiyyat al-Muslimin f³ Kalami Rabb al-`Alam³n, Number 47.
5. Al-Mufhim±t fi Daf`i al-Khayal±t, (Tanah Abang-Weltevreden
Batavia: Sayyid Yahya bin `Usman, 20 Romadhan 1347).
6. Tażkirat al-Th³libin fi Bayan Sunniyat al-Talq³n, (Panarakan
Kaler-Bogor: Ikhtiyar, s.a.).
7. Al-Kalimat al-Mabniyyah f³ Qasy³dat ibn Hajjah, (Batavia
Centrum: al-Sayyid al-`Idrµs, s.a.).
8. Kit±b Mift±h al-Jannah f³ Bay±n Firqat Ahl al-Sunnah wa-al-
Jam±`ah, (without place of the publication, without the name of
publisher, s.a.).
9. Shir±j al-Ażkiy±` f³ Tarjamat al-Azkiy±`, (Gunung Puyuh-
Sukabumi: without the name of publisher, and s.a.).
10. Nµr al-Yaq³n f³ Mahw Madzhab al-La`³n min al-Mutanabbiyy³n
wa-al-Mutabaddi`³n, (Tanah Tinggi-Senen-Batavia Centrum:
al-Ittihad, s.a).

17
I am grateful to my friend, Mr. Ujang Sholehuddin, for helping me find this
collection of late Ma`ruf.

155
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

11. Lujj±m al-Gudd±r al-Qa`ilin bi-anna Abaway al-Nabiyy min


Ahl al-N±r, (without place of the publication, without the name
of publisher, s.a.).
12. Al-Aqw±l al-Muf³dah f³-al-Umµr al-Muwhamah, (Sukabumi: al-
Ittih±d, s.a.).
There are nineteen (19) works of Sanusi that I found from Mr.
Oking18:
1. Kashf al-Sa`±dah f³ Tafs³r Sµrat al-W±qi`ah, (Cibadak
Sukabumi: without the name of publisher, s.a.).
2. Al-Sh±fiyat al-W±fiyah f³ Fadh±`il Sµrat al-F±tihah, (Babakan
Sirna-Karang Tengah Cibadak-Sukabumi, no name of the
publisher, nor year of the publication).
3. Al-Kaw±kib al-Durriyah fi-al-Ad`iyyah al-Nabawiyyah, (Tanah
Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, s.a.).
4. Ǐq±d al-himam f³ ta`l³q al-hikam
5. Min majmµ`at durµs al-`ulµm (Tanah Abang: Kantor Cetak
Sayyid Yahya, s.a), Vol. 1.
6. Al-Sh±fiyat al-w±fiyah f³ fad±`il sµrat al-F±tihah
7. Al-Kaw±kib al-Durriyyah f³ al-Ad`iyyat al-nabawiyyah
(Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, s.a.).
8. Tawh³d al-muslim³n wa `aq±`id al-mu`min³n (Bg [Bandung]:
Sukma Rat, s.a).
9. T³j±n al-gilm±n f³ tafs³r al-Qur’±n (Petamburan-Batavia: al-
Sayyid `Abdullah putra al-Sayyid `Ushman, s.a).
10. Hilyat al-`aql wa-al-fikr (Tanah Abang: Kantor Cetak Sayyid
Yahya, s.a).
11. Hid±yat al-siby±n f³ fad±’il sµrat tab±rak al-mulk min al-
Qur’±n (Tanah Abang: Sayyid Yahya, s.a).
12. Jawharat al-wah³d (Pekojan-Betawi: Kantor cetak sareng Toko
Buku Harun bin Ali Ibrahim, Jumad al-Awwal 1352).
13.`Tawh³d al-muslim³n wa`aq±`id al-mu`min³n (Tanah Tinggi-
Punjul-Batavia: Kantor Cetak al-Ittihad, s.a). It includes the list
of Sanusi`s works.
14. Bahr al-madad f³ tarjamat ayyuh± al-walad (Vogelweg-
sukabumi: no publisher, s.a).

18
I thank Mr. Iskandar Sanusi for introducing me to Mr. Oking.

156
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

15. Hilyat al-siby±n f³ bay±n sawm ramaz±n (No place of


publication: no publisher`s name, s.a). This piece of work is
printed in 16 combined pages.
16. Al-Muf³d (Vogelweg Sukabumi: no publisher`s name, s.a).
17. “Kabagjaan Islam”, no. 1. (no place of the publication: no
publisher`s name, s.a).
18. “Mu`±hadah Perjanjian Allah Ta`ala ka Nabi Adam”, in
“Kabagjaan Islam”, no. 2, (no place of publication: no
publisher`s name, s.a).
19. “Kabagjaan Islam”, no. 3. (no place of publication: no
publisher`s name, s.a).
There are nine (9) works of Sanusi that I obtained from H. Acep
Zarkasyih in Sukabumi, West Java:
1. Tanw³r al-dal±m fi Furuq al-Isl±m, (Gunung Puyuh-Sukabumi:
al-Ittihad, October 1935).
2. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Pekojan-Betawi: Toko Buku Harun
bin `Ali Ibrahim, 28 January 1931/9 Ramadlan 1349), Vol 1.
3. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: Kantor Cetak
Al-Ittih±d, 1 November 1931), Vol. 3.
4. Tafs³r Malja` al-T±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: Kantor Cetak
Al-Ittih±d, s.a.), Vol. 18.
5. “Al-Tabl³g al-Isl±m³ (Embaran Kaislaman)”, (Sukabumi: al-
Ittihad, 1935).
6. Al-mutahhir±t min al-Mukaffir±t, (Gunung Puyuh-Sukabmi, no
publisher`s name, s.a).
7. Ǐq±d al-himam f³ ta`l³q al-hikam, (Gunung Puyuh-Sukabumi:
without publisher`s name, s.a).
8. Al-Jaw±hir al-B±hiyyah f³ Adab al-Mar`ah al-Mutazawwijah,
(no place of publication, no name of publisher, and s.a.). 3rd edition.
9. Min majmµ`at durµs al-`ulµm, (Tanah Abang Weltevreden:
Sayyid Yahya, s.a.).
There is one (1) book of Sanusi that I gained from Mr. Ahmad
Muflih19:

19
I wish again to thank Mr. Ujang to introduce me to his father, Mr. Ahmad
Muflih.

157
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

1. Manzµmat al-Rij±l li-Sayyid `Al³ Zayn al-`±bid³n, (Vogelweg-


Gunung Puyuh-Sukabumi: no publisher, s.a.).
There are thirty-seven (37) books of Sanusi that I copied from
Dr. Oman Fathurrahman20:
1. Al-Lu`lu` al-Nadlid fi Masa`il al-Tauhid, (Pekojan-Betawi: Ahl
al-Sunnah wa-al-Jam±`ah, s.a), 2nd edition. On the title-page of
this work, the author mentioned that he asked the pardons of his
pardons if they find his bad expressions of his words (kirang
sae prak-prakannana), because the writer “just started to learn
how to write to follow the footsteps of professional writers”
(diajar tutulisan tuturuti ka anu tukang ngarang).
2. Malja` al-T±lib³n f³ Tafsir Kal±m Rabb al-`±lamin, (no place of
publication: no name of publisher, 28 January 1931/9 Ramadhan
1349), Vol.1.
3. Tafr³h Sudµr al-Mu`minin f³ Mawlid Sayyid al-Mursal³n,
(Gunung Puyuh-Sukabumi: no publisher, s.a).
4. Qal±`id al-Durar f³ Bay±n `Aqd al-Jauhar, (Tanah Abang
Weltevreden: Sayyid Yahya, s.a).
5. Hilyat al-Siby±n f³ Bay±n Saum Ramad±n, (Cantayan: no
publisher, s.a).
6. Tafs³r Sµrat al-Mulk: Hid±yat Qulµb al-Siby±n f³ Fad±`il Sµrat
Tab±rak al-Mulk min al-Qur`±n, (Babakan Sirna: no publisher,
s.a).
7. Al-Ad±wiyyah al-S±fiyah f³ Bay±n S±l±t al-H±jah wa-al-
Istikh±rah wa Daf`i al-Kurb±t, (no place of publication: no year
of publication, 22 Rabi` al-Awwal 1348). On the title-page of
this book, the author says that he asks the pardons of his readers
if they find some some mistakes in this book because the writer
was still learning (anu nulisna diajar).
8. Jawharat al-Marfiyyah fi Mukhtasar Ma©hab al-Sh±fi`iyyah,
(Kampung Petamburan-Tanah Abang-Betawi: Tuan Sayyid
`Abd All±h bin Sayyid `U£m±n, s.a).
9. “Al-Mufid: `Ilm al-Tawh³d”, (Vogelweg 100 Sukabumi: no
publisher, s.a.).

20
I am once again grateful to Dr. Oman Fathurrahman for allowing me to
copy about 63 works from his collection. Thirty-seven of them are books written
by Ahmad Sanusi as listed above.

158
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

10. “Tuntunan Budi”, (Jatinegara: no publisher, s.a.), number 1,


Vol. 2.
11. “Miftahoelmadad: Kaifiat Ngajarken Zoebad Ilmoe Tauhid
Fiqih Tashaoef”, (De Vogelweg no 100 Soekaboemi: al-Ittihad,
Mei 1936), No. 1, mandblad.
12. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen Batavia Kramat:
al-Ittihad, February 1932), no 191.
13. Al-Matlab al-Aśna f³-al-Asm±` al-Husna, (Gunung Puyuh-
Sukabumi: no publisher, s.a.). On the title page, the author
mentioned the right of the publication: Pasal (section) 11 tina
undang-undang (of the law) dated to 1912 number 600. The
author is Ahmad Sanusi, the scriber is al-Sayyid Muhammad
bin Yahya.
14. Tawh³d al-Muslim³n wa `Aqa`id al-Mu`min³n, (Gunung Puyuh-
Sukabumi: without publisher, s.a.).
15. Tafsir Boechari, (Pekojan-Betawi No. 191: Harun bin `Ali, 1
October 1931), No. 2.
16. Kashf al-Awham wa-al-Zunµn f³ Bay±n Qaulih Ta`±l± l±
Yamassuhµ ill± al-Mutahharµn, (Tanah Abang Weltevrede:
Sayyid Yahya, 26 Rajab 1347).
17. Tafsir Bahasa Soenda, (Senen: Pak Haji Harun bin `Ali
Ibrahim, 28 August 1931), No. 8.
18. Mift±¥ al-Mad±d, (Vogelweg-Sukabumi: without publisher,
s.a.), Vol. 3.
19. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia
Kramat: no publisher, 28 March 1931), No. 3.
20. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia
Kramat: no publisher, 28 May 1931/10 Muharram 1350), No. 5.
21. Tafsir Bahasa Soenda, (Senen-Batavia Centrum: Harun bin `Ali
Nur, 28 July 1931), No. 7.
22. Tafsir Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No 191 Batavia
Kramat: no publisher, without publisher, 28 April 1931), No. 4.
23. Pangajaran dengen Bahasa Soenda, (Tanah Tinggi-Senen No
191 Batavia Kramat: al-Ittihad, January-February, year III), No.
19-20, maanblad.
24. Qaw±n³n al-D³niyyah wa-al-Duny±wiyyah f³ Umµr al-Zak±h
wa-al-Fitrah, (Vogelweg-Sukabumi: without publisher, s.a.).

159
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

25. Hid±yat Qulµb al-Shiby±n f³ Fad±`il Sµrat Tab±raka al-Mulk


min al-Qur`±n, (Babakan Sirna: without publisher, s.a.).
26. Tahdir al-Afk±r min al- Igtir±r bi-Żal±lat wa-Iftir±y±t
Tasyfiyyat al-Afk±r, (Sukabumi: Al-Ittih±d, 1935).
27. Ris±lat Tahd³r al-`Aw±m min Muftaray±t Cahaya Islam, (Pekojan-
Betawi: Harun Ibn `Ali Ibrahim, 8 Rabi`u al-Akhir 1349).
28. Sir±j al-Ummah f³ Khasy±`isy al-Jum`ah, (Pekojan-Betawi:
Harun ibn `Ali Ibrahim, s.a.).
29. Tanb³h al-Hayr±n f³ Tafs³r Sµrat al-Dukh±n, (Tanah Abang:
Sayyid Yahya, s.a).
30. Tamshiyyat al-Wild±n f³ Tafs³r al-Qur`±n, (no place of
publisher: without the name of publisher, s.a).
31. Al-Fiqh al-Akbar Im±m Hanaf³, (Tanaha Abang Weltevreden
Betawi: Sayyid Yahya bin Ustman, 16, 2, 1929/6 Ramadhan
1347).
32. Sillah al-B±sil fi-al-Darb `al± Taz±hiq al-B±til, (Tanah Abang
Weltevreden: Sayyid Yahya, 24 Ramadhan 1347).
33. Ris±lat al-Jawharah al-Mardiyyah f³ Mukhtasyar al-Furµ`iyyah
al-Sh±fi`iyyah, (Cantayan-Sukabumi: without publisher, s.a.).
34. Al-Suyµf al-Sy±rimah f³-al-Radd `al± al-Fat±w± al-B±tilah, (8
Rab³` al-±khir 1348/3 October 1929).
35. J±mi`u al-Durar f³ Tabd³d Awham Haji Bodor, (Tanah Tinggi
Punjul 65 Batavia Kramat: al-Ittihad, [1931]).
36. Hilyat al-`Aql wa-al-Fikr f³ Bay±n Muqtaday±t al-Shirk wa-al-
Fikr, (Tanah Abang: Sayyid Yahya, s.a).
37. Al-Sir±j al-Wahh±j fi-al-Isr±` wa-al-Mi`r±j, (without the place
of publisher: without the publisher`s name, 20 Muharram 1348).
There are nine (9) books of Sanusi that I received from Mrs.
Epon (the wife of late Haji Tamim, my grandfa). She gave them to
me as a gift. This collection belonged to her late husband, Mr.
Ujang Suhud. It is as follows:
1. Tafr³h sudµr al-mu`min³n f³ mawlid sayyid al-mursal³n, (Gunung
Puyuh Sukabumi: no publisher`s name, s.a.).
2. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Sukabumi: Kutamas,
1912), Vol. 6.
3. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Sukabumi: Kutamas,
1912), Vol. 16.

160
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

4. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (Djl. Tjagak Tjisaat –


Sukabumi: H. M. Zainal Abidin Toko kitab dan Petji Merk
“Sedjati”, 1912), Vol. 30.
5. Jawharat al-mardiyyah f³ mukhtasar maż±hib al-Sh±fi`iyyah,
(Tanah Abang Weltevreden Betawi: Kantor Cetak Sayyid
Yahya bin `Usman, s.a.). I found the cover of this book from
Mr. Uking`s collection.
6. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Betawi: no publisher`s
name, 10 Syawwal 1349/28 February 1931), Vol. 2.
7. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Senen Keramat No. 4
Pekojan Betawi: Kantor Cetak Harun bin `Ali, 1 September
1931, tahun ka 1), Vol. 1.
8. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (no place of publication: no publisher`s
name, 28 March 1931), Vol. 3. On the last page of the book,
there is a list of the people who died, and some corrections of
the author of some words mentioned in previous volumes of this
exegesis.
9. Tafs³r malja` al-t±lib³n, (Tanah Tinggi Senen 191 Batavia Keramat:
no publisher`s name, 28 April 1931), Vol. 4. On the last page of
the book there is the list of the people who just died.
There are three (3) books of Sanusi that I received from my late
father, K.H. Dudu Abdullah Hamidi:
1. Tamshiyyat al-dar±r³, (De Vogelweg Sukabumi: No publisher`s
name, s.a.), 3rd edition.
2. Rawdat al-`irf± f³ ma`rifat al-Qur’±n, (no place of publication:
no publisher`s name, s.a.). This book starts from the verse al-
Naba` to the verse al-N±s and ends at the Du`a` Khatm al-
Qur`±n.
3. Rawdat al-`irf±n f³ ma`rifat al-Qur’±n, (no place of publication:
no publisher`s name, s.a.). It contais the Quranic exegesis of the
verse Al `Imr±n.
There are eleven (11) books of Sanusi that I received from Mrs.
Mamih Ijong.
I write them in the Arabic script as follows:
1. ‫ت‬١‫اﻟﻤﻄﻬﺮات ﻣﻦ اﻟﻤﻜﻔﺮ‬, (De Vogelweg No. 100 Sukabumi: no
publisher`s name, s.a.).

161
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

2. ‫ا ﻟﺸﺮاج اﻟﻮهﺎج ﻓﻰ اﻷﺳﺮاء واﻟﻤﻌﺮاج‬, (Tanah Abang Kecil No. 5:


Percetakan “al-`Usmaniyyah” Sayyid Hasan bin Usman bin …,
Friday, 20 Muharram 1348).
3. ‫اﻳﻘﺎظ اﻟﻬﻤﻢ ﻓﻲ ﺗﻌﻠﻴﻖ اﻟﺤﻜﻢ‬, (No place of the publication: no
publisher`s name, s.a.).
2. ‫ دار ﻷﺳﻼم دﻧﺎ آﺎﺑﻜﺠﺎ‬: ‫اﻟﺪﻳﺎر اﻷﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﺴﻌﺎدة اﻷﺑﺪﻳﺔ‬, ‫” اﻧﺎﻧﻮ ﻣﻌﻤﻮر‬
(Kramat 38 Jakarta: Sd. Ali Alaydroes, s.a.).
3. ‫اﻟﺴﻼح اﻟﻤﺎﺣﻴﺔ ﻟﻄﺮق اﻟﻔﺮق اﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ‬, (Gunung Puyuh Sukabumi: no
publisher`s name, 13 Jumadi al-Awwal 1361/29 Mei 2602
Nippon (1942).
4. ‫ﺟﻮهﺮة اﻟﻤﺮﺿﻴﺔ ﻓﻲ ﻣﺨﺘﺼﺮ ﻣﺪاهﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ‬, (No place of the
publication: no publisher`s name, s.a.).
5. ‫ ﻣﻨﻈﻮﻣﺔ اﻟﺮﺟﺎل ﻟﺴﻴﺪى ﻋﻠﻰ زﻳﻦ اﻟﻌﺎﺑﺪﻳﻦ‬: Ieu Nadlam Qashidah
Tawassul kalawan Sakabeh Awliya` Allah, (De Vogelweg
Sukabumi: Al-Ittihad, s.a.).
6. ‫ﺗﺎج اﻟﻤﻔﺎﺧﺮ ﻓﻲ ﺗﻔﺮﻳﺢ اﻟﺨﺎﻃﺮ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻗﺐ اﻟﺴﻴﺪ ﻋﺒﺪ اﻟﻘﺎدر ﺟﻴﻼﻧﻰ‬, Tanah
Abang Weltevereden: Kantor Cetak Sayyid Yahya, 1 Rajab
1347/13 December 1928). On the last page of this book, the
author warned the readers that his works entitled: 1. Tafsir
Yasin (Tafrih Qulub al-Mu`minin), 2. Tafsir Dukhan (Tanbih
al-Hayran), were published by Musa bin `Ali Patekwan Betawi
without the author`s permission.
7. ‫آﺸﻒ اﻟﺴﻌﺎدة ﻓﻲ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺳﻮرة اﻟﻮاﻗﻌﺔ‬, Babakan Sirna Sukabumi, (Tanah
Abang Weltevreden: Boekhandel en Steendrukkerij Sajid Yahya,
s.a.). On the back-cover title-page of this book, there is
announcement of the publisher, sayyid Yahya, which says that
he received anything to publish this book in a cheap cost.
8. ‫آﺸﻒ اﻷوهﺎم واﻟﻈﻨﻮن ﻓﻲ ﺑﻴﺎن ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻻﻳﻤﺴﻪ اﻻ اﻟﻤﻄﻬﺮون‬, (Tanah
Abang: Kantor Cetak Sayyid Yahya, 26 Rajab 1347).
9. ‫ﺗﻴﺠﺎن اﻟﻐﻠﻤﺎن ﻓﻲ ﺗﻔﺴﻴﺮ اﻟﻘﺮأن‬, Cantayan Sukabumi, (Petamburan
Betawi: Cetakan Sayyid `Abdullah putra Sayyid Usman, s.a.).
10. ‫هﺪاﻳﺔ اﻟﺼﻤﺪ ﻓﻰ ﻣﺘﻦ اﻟﺰﺑﺪ‬, (Gunung Puyuh Sukabumi: No publisher`s
name, s.a.).
11. ‫اﻟﻤﻄﻬﺮات ﻣﻦ اﻟﻤﻜﻔﺮات‬, (no place of the publication: No publisher`s
name, s.a.). On the title-page of this book, there is a stample
named by Muhammad Sanusi. He said that Tafsir Raudhat al-
`Irfan is worth reading for both old people (sepuh) and teenagers
(murangkalih). In addition, he prohibited the readers from
reading the fake works (kitab-kitab tiruan), like al-Wajiz by

162
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Haji Muhammad Juwayni bin Haji `Abdurrahim Parakan Salak


published by Sayyid `Ali al-`Idrusiy in the Keramat Batavia
Centrum. He warned them that whoever was involved in this
case would be expelled by God from Islam. Then, he qouted the
prophet`s statement: “Man Gassana fa laysa minna” (whoever
performed a back bitting is not from us).
There is one book of Sanusi that I found from a santri of Syams
al-`Ulum in Gunung Puyuh, Sukabumi:
Misb±h al-Fal±h f³ Awrad al-Mas` wa-al-Syab±h, (Gunung
Puyuh Sukabumi: no publisher`s name, s.a.).

Conclusion
On the basis of the above-mentioned details, I could draw a
conclusion that KH. Ahmad Sanusi, who lived from the last
nineteenth to the first twentieth century, is a prolific writer whose
works are now dfficult to discover for the reason that the Dutch
colonial government regarded him as a dangerous man to them;
thereby prohibiting Indonesians from having and reading Sanusi’s
works. He was a Sundanese reformer Muslim whose ideas were
influenced very much by notorious Muslim reformers, such as
Muhammad `Abduh and Jamaluddin Al-Afghani, since he traveled
to the Haramayn (Mecca and Medina) to learn and to teach. On this
paper, I have a good luck to find more than one hundred writings
authored by Sanusi. I hope that this article inspires the readers, in
particular the students of Islamic History and Civilization, to study
further on Sanusi in a more deeply way. I dedicate this work to my
late parents, and my grandfa who became the adjutant to the late
father of K.H. Ahmad Sanusi: K.H. Abdurrahim. []

Bibliography
Alamsyah, Mr. Yosep Aspat. December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-
Sukabumi.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan. Introd. by Taufik Abdullah. 1999. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

163
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin

Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: PT Intermasa.


Ibn Haji Syafe`i Sukabumi, Muhammad Misbah. Mindharat al-Islam wa-al-
Iman. 1935. Sukabumi: Kantor Cetak Sukabumi.
Iskandar, Mohammad. Para Pengemban Amanah: Kyai dan Ulama dalam
Perubahan Sosial – Politik di Priangan c.a. 1900-1942. An unpublished
thesis. 1991. Amsterdam: Vrije Universiteit.
Leiden, Rijk Universiteit. Studiegids Islamologie 1998/1999. 1998 Leiden: Rijk
Universiteit Leiden.
Sanusi, KH. Ahmad. Fatw±. Kantor Cetak al-Ittihad Sukabumi.
---------, Tahdîr al-Afk±r. 1935. Vol. 1. Sukabumi: al-Ittih±d. ibn Husain,
Abdullah. 1955. Vol. 3. Tadhkirat al-Ikhw±n bi-m± fî ±khir al-Zam±n.
---------, [Fatw±] “Zakat Fithrah.” s.a. Buitenzorg: Ang Tjio Drukkerij.
---------, [Sanusi`s speech of Syarekat Islam] “Dit Boek Nahratoe`ddhargam (De
Gebiedende Leeuwenstem) Dienende tot Wering van de Aanvallen
Veragtelijke Menschen Gericht tegen de S.I.” , in Proces Verbal. KITLV.
Leiden University.
Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama. Biografi K.H. Ahmad Sanusi.
1986. Proyek Penelitian Keagamaan. Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan
Pengembangan Lektur Agama Departemen Agama. [This work is in form of
micro film which is available in the KITLV library, Leiden University, The
Netherlands].
Sipahoetar, M., Siapa?: Lukisan tentang Pemimpin-pemimpin. 19 Februari 1940.
Second edition. Boenoet: “Pemerintah” Soekaboemi.
Wanta. KH Ahmad Sanusi dan Perjoangannya. 1991. Majalengka: Pengurus
Besar “Persatuan Ummat Islam” Majlis Penyiaran dan Da`wah.

Interview:
Interview with late Ajengan Dadun in his house in Cibadak, Sukabumi, West
Java, on December 20, 2001.
Interview with Mr. Oking in his house in Cigunung, Sukabumi, December 12,
2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.
Interview with late K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in our house in
Sukabumi December 12, 2001.

164
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

Tarekat Syattariyah di Minangkabau:


Tinjauan Buku “Tarekat Syattariyah di Minangkabau:
Teks dan Konteks”, karya Oman Fathurahman

Uka Tjandrasasmita
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

This writing is an overview of the book written by Oman Fathurahman,


Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks. An interesting thing is
that this book is a result of the philological study with the approach of socio-
intellectual history which the local philologists are still rare to use. Therefore, this
study is hoped to motivate other local philologist to conduct such study. The
study of the book has been extended by additional analysis on the representation
of the Sundanese manuscript with Kuningan version dan two other Javanese
manuscripts – Cirebon version and Girilaya version. The explanation which is
based on the manuscripts of the Syattariyah Minangkabau, illustrate the existing
difference between the order of Syattariyah and the order of Naqsyabandiyah.
The order of Syattariyah is considered by a group of Naqsyabandiyah to teach
the wujudiyah (monism or unity of being), In fact, the order of Syattariyah
Syekh Burhanuddin Ulakan tought in the following period was flexible.
Moreover, with its seven grades teaching, it was clear that the teaching of
monisme or unity of being was eliminated and the teaching was adjusted to the
teaching of Islam which is based on the creed of Ahlus Sunnah wal Jamaah

Kata kunci: Filologi, tarekat Syattariyah, Burhanuddin Ulakan, Minangkabau

Pendahuluan
Kajian filologi dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual
masih jarang dilakukan oleh ahli filologi Indonesia. Kajian filologi
semacam ini mensyaratkan para filolog untuk memperkaya wawa-
sannya dengan pengetahuan tentang sejarah sosial-intelektual terse-
but. Buku karya Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di

165
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

Minangkabau: Teks dan Konteks, merupakan karya yang berasal


dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor pada Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia tahun 2003. Buku
yang akan kita tinjau ini merupakan kajian filologis dengan
pendekatan sejarah sosial-intelektual. Diharapkan kehadiran buku
ini dapat mendorong para ahli filologi Indonesia lainnya untuk
mengadakan kajian semacam itu.

Naskah dan Pendekatan Interdisipliner


Buku karya Oman Fathurahman ini dapat dikatakan telah teruji
bobot keilmiahannya karena merupakan hasil disertasi yang dinya-
takan lulus dengan pujian cumlaude oleh dewan pengujinya. Cakupan
pembahasan dalam buku ini sudah mengalami perluasan, tidak
sebatas Minangkabau, melainkan juga analisis terhadap representasi
naskah Sunda “versi Kuningan” dan dua naskah Jawa “versi
Cirebon” dan “versi Girilaya”. Ketiga naskah tersebut menurut
Oman Fathurahman, dipakai sebagai bahan perbandingan untuk
melihat sejauh mana kekhasan dinamika dan perkembangan tarekat
Syattariyah di Sumatera Barat yang tetap menjadi perhatian
utamanya.
Betapa pentingnya buku karya Oman Fathurahman ini telah di-
tandaskan oleh Azyumardi Azra dalam Kata Pengantarnya, ”Apre-
siasi Warisan Intelektual Islam di Surau Minangkabau”. Azra
mengatakan bahwa dari segi kajian naskah-naskah (manuscripts)
keislaman yang tersebar di Nusantara, untuk kasus di Minangkabau
(Sumatera Barat), surau merupakan pusat penulisan dan penyalinan
naskah-naskah keislaman tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
surau merupakan pusat pewarisan intelektual Islam. Naskah-naskah
lokal di Minangkabau menunjukkan ekspresi Islam lokal. Jika
diadakan perbandingan dengan naskah-naskah yang mengandung
keagamaan Islam di daerah lainnya di Nusantara atau dengan
naskah-naskah Islam yang berkembang di wilayah asalnya di Tanah
Arab, naskah-naskah Minangkabau memperlihatkan kekhasannya
tersendiri yang menunjukkan ekpresi Islam di Indonesia di mana
terdapat unsur-unsur budaya lokal.

166
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

Hal yang menarik perhatian kita adalah bahwa buku Oman


Fathurahman ini merupakan hasil kajian filologi dengan pendekatan
sejarah sosial-intelektual yang masih jarang dilakukan di antara ahli
filologi pribumi. Buku ini diharapkan mendorong para ahli filologi
pribumi lainnya untuk mengadakan kajian semacam itu. Sebenar-
nya kajian terhadap naskah dengan pendekatan sejarah sosio-inte-
lektual telah dipelopori oleh Azyumardi Azra melalui disertasinya
untuk memperoleh Ph.D. di Columbia University tahun 1992 de-
ngan judul The Transmission of Islamic Reformation to Indonesia
Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries. Disertasi yang sangat
penting artinya bagi pengembangan sejarah pemikiran keagamaan
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia. Karyanya telah saya contoh untuk membedakan ahli-ahli
filologi masa lampau yang menggunakan kajiannya dengan pende-
katan sejarah-politik konvensional sempit seperti R.A. Hoesein
Djajadiningrat, Hans Overbeck, A.A. Cense, bahkan H.J. de Graaf
dan lain-lain (Uka Tjandrasasmita: Kajian Naskah-Naskah Klasik...,
2006: 43-52). Kecuali dapat dimanfaatkan bagi penulisan sejarah,
kajian naskah dapat juga memberikan kontribusi pada kajian
arkeologi. Mengenai hal ini pernah saya kemukakan dalam suatu
risalah sebagai kontribusi memperingati usia ke-80 tahun R.P.
Soejono, Contribution of Islamic Manuscripts for the Study of
Islamic Archaeology (Uka Tjandrasasmita, 2006: 459-.471).
Mengingat naskah-naskah atau manuskrip khazanah budaya
bangsa Indonesia, baik yang bernuansa keagamaan Islam maupun
yang bukan, pada umumnya mengandung informasi berlimpah yang
meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, adat, dan ke-
budayaan bahkan perobatan, maka selayaknya filologi juga mema-
kai pernaskahan itu dengan pendekatan sejarah dan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Saya sendiri telah mencoba menguraikan permasalahan ini
dalam buku yang baru saya sebutkan di atas. Kecuali itu, secara
khusus kami juga telah menyampaikan makalah tentang bagaimana
hubungannya antara Filologi dan Pendekatan Interdisipliner di

167
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada tanggal 14


Nopember 2008, mengingat begitu luasnya kandungan pernaskahan
kuno yang dapat dikaitkan dengan kajian berbagai ilmu. Bahkan
naskah-naskah yang membicarakan hal-hal pengobatan tradisional
dengan bermacam tumbuhan dapat dikaji dari segi ilmu kedokteran
modern.

Pribumisasi Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat


Kembali mengenai tinjauan terhadap buku karya Oman Fathu-
rahman, dapat dikatakan bahwa cakupan yang dibicarakannya
cukup banyak dan sangat bermanfaat bagi siapapun yang memba-
canya, khususnya tentang Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Isi
pokoknya dapat dibaca dalam ringkasannya yang antara lain
mengemukakan tentang sumber primernya yang berdasarkan 10
judul naskah-naskah Syattariyah dari Sumatera Barat. Naskah-
naskah tersebut merupakan karya tulis tiga orang ulama yaitu:
Imam Maulana Abdul Manaf Amin (1922-2006), H. K. Deram (w.
2000), dan Tuanku Bagindo Abbas Ulakan. Untuk mengukur
sampai dimana dinamika tarekat Syattariyah yang dibentangkan
dalam naskah-naskah dari Sumatera Barat atau Minangkabau itu,
Oman Fathurahman dalam penelitiannya menggunakan dua sumber
Arab yaitu kitab al-Sim¥ al-Majīd sebuah karangan tasawuf Syekh
A¥mad al-Qusyāsyī dan It¥āf al-ª±ki bi Syar¥ al-Tu¥fah al-
Mursalah ilā Rū¥ al-Nabī karangan Ibrāhīm al-Kūrānī. Kedua ahli
tasawuf ini adalah guru Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri,
sehingga tidak mengherankan kalau karya-karya Abdurrauf meru-
juk pada kitab-kitab kedua ahli tasawuf tersebut. Karya Abdurrauf
kemudian ditransmisikan kepada Syekh Burhanuddin Ulakan yang
meneruskan dan mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah di
Sumatera Barat. Selanjutnya juga diturunkan kepada murid-
muridnya di Minangkabau sampai pada tiga orang ahli tarekat
Syattariyah abad ke-20 yang namanya telah disebut di atas dan
karangannya menjadi sumber primer bagi penelitian tarekat di
Sumatera Barat/Minangkabau.
Karya guru Syekh Burhanuddin Ulakan, yaitu Abdurrauf ibn
Ali al-Jawi al-Fansuridi antaranya ialah Tanbīh al-Māsyī al-

168
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

Mansūb il± °arīq al-Qusyāsyī (Pedoman bagi orang yang menem-


puh tarekat al-Qusyāsyī). Kitab Abdurrauf ini sebenarnya pernah
dikaji dan diterbitkan Oman Fathurahman dengan judul Menyoal
Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17
(Fathurahman, 1999). Persoalan yang diangkat dalam karangan
tersebut ialah masalah Wujudiyah yang pada abad ke-17 menjadi
ajang pertentangan antara Hamzah al-Fansuri dan muridnya as-
Sumatrani, serta dianggap ajaran yang sesat oleh lawannya, yaitu
Nuruddin al-Raniri sehingga atas anjurannya kitab-kitab karangan
kedua ahli tasawuf Wujudiyah itu dibakar. Bila Nuruddin al-Raniri
yang pada waktu itu menjadi penentang keras terhadap Wujudiyah
maka Abdurrauf al-Singkili bersikap moderat yang dapat kita simak
dari kitab Tanbīh al-Māsyī dan kitab-kitab lainnya.
Oman Fathurahman menyebutkan tidak kurang dari 23 buah
karya Abdurrauf di bidang tasawuf, 10 buah di bidang fikih, dan
satu buah di bidang tafsir. Kitab tafsirnya yang berjudul Tarjumān
al-Mustafīd merupakan tafsir Al-Qur’an pertama di dunia Islam
dalam bahasa Melayu. Kitab-kitab di bidang hadis yang dicatat
Oman Fathurahman ada dua buah, sedangkan untuk kitab yang
menjadi objek kajiannya, yaitu Tanbīh al-Māsyī, dijumpai empat
salinan naskah yang disalin dalam rentang waktu berbeda. Pada bab
IV, teks Tanbīh al-Māsyī yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kata Azyumardi
Azra, sayang dalam buku ini ajaran-ajaran zikir Syattariyah
Abdurrauf yang terdapat dalam teks itu, khususnya mengenai
amalan-amalan Syattariyah yang mengandung rumus-rumus atau
simbol-simbol zikir dan cukup penting, belum mendapat porsi yang
cukup memadai dalam pembahasannya karena baru diungkap
secara sepintas.
Meskipun demikian, menurut pembacaan saya, hal tersebut su-
dah dibahas dengan teliti dalam subjudul “Zikir Tarekat Syattariyah
dalam Tanbīh al-Māsyī dan Kifāyah al-Muhtājīn” (h. 64-69 dan 70-
72). Ada perbedaan antara tujuan zikir Abdurrauf dalam Tanbīh al-
Māsyī yang merujuk kepada karya Syekh al-Qusyāsyī dengan
Syattariyah di Sumatera Barat. Dalam naskah-naskahnya, Abdurrauf
mewacanakan bahwa tujuan akhir zikir tarekat Syattariyah ialah

169
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

konsep fana, sedangkan dalam teks-teks di Sumatra Barat lebih


banyak disebutkan bahwa, tujuan akhir zikir hanya “sekadar” untuk
membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan dan
untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian
akan hakikat dan wujud-Nya. Sikap dari para penganut tarekat
Syattariyah di Sumatera Barat/Minangkabau tersebut oleh Oman
dibahas berdasarkan naskah-naskah primer yang ditulis, disalin dan
diwariskan oleh para guru tarekat Syattariyah dari surau sebagai
skriptorium pernaskahan.
Hal lain yang juga menarik perhatian kita adalah uraian yang
didasarkan pada naskah-naskah dari Minangkabau/Sumatera Barat
yang mengandung gambaran adanya perbedaan paham antara tarekat
Syattariyah dengan tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Syattariyah
dianggap oleh kelompok masyarakat penganut tarekat Naqsyaban-
diyah mengajarkan doktrin Wujudiyah yang dianggap berlebihan
dan menyimpang, padahal kenyataannya tarekat Syattariyah yang
diajarkan Syekh Burhanuddin Ulakan sampai masa berikutnya
senantiasa mendasarkan pada prinsip-prinsip al-Quran dan Hadis
Nabi. Dalam level tertentu, sejumlah naskah Minangkabau menje-
laskan adanya upaya pelucutan doktrin Wujudiyah dari keseluruhan
ajaran tareakat Syattariyah, dengan alasan bertentangan dengan
prinsip-prinsip ahlussunnah wal-jamaah. Jelas ini merupakan
bagian dari dinamika tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, yang
dalam buku ini dikemukakan pada bagian keenam (h. 111-129). Di
dalamnya dibahas serta diberikan contoh pula adanya pribumisasi
tarekat Syattariyah yang antara lain berwujud dalam kesenian
upacara ritual kesenian yang disebut Basapa dan kesenian Salawat
Dulang (h. 130-149).
Ritual Basapa ialah upacara berziarah ke makam Syekh Burha-
nuddin Ulakan sebagai ulama besar tarekat Syattariyah di Sumatera
Barat yang dilakukan setiap tahun pada tanggal 10 Safar. Orang
yang mengikuti upacara ritual ini bukan hanya penganut tarekat
Syattariyah tetapi juga penganut Islam pada umumnya. Bulan Safar
tersebut dikaitkan dengan anggapan masa wafatnya Syekh Bur-
hanuddin Ulakan sendiri. Ada pertanyaan yang perlu dikemukakan,
yaitu apa bedanya dengan upacara tabuik yang biasanya dilakukan

170
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

oleh penganut Syiah di Pariaman dan tempat lainnya? Ini bisa


bersamaan atau hampir bersamaan, karena hal itu mungkin dise-
babkan adanya hubungan silsilah guru-guru tarekat Syattariyah
yang juga sering mencantumkan tokoh Ali bin Abu Thalib panutan
utama aliran Syiah. Kecuali itu pribumisasi tarekat Syattariyah
terekspresi dalam upacara kesenian Salawat Dulang, yaitu kesenian
yang menggunakan antara lain dulang atau talam dengan cara
dipukul-pukul sambil membacakan salawat Nabi. Menurut tradisi,
pertama kalinya upacara itu dilakukan pada masa hidupnya Syekh
Burhanuddin Ulakan yang pernah menyaksikan upacara kesenian di
Aceh dengan menggunakan rebana. Salawat Dulang atau Salawat
Talam sampai kini dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat. Dalam upacaya ini biasanya terdiri dari dua grup
yang dilaksanakan dengan cara berdialog tentang keagamaan Islam.
Selain itu disisi pula dengan khutbah, dan berbagai lagu-lagu
lainnya. Demikian di antaranya pribumisasi tarekat Syattariyah di
Sumatera Barat.

Tarekat Syattariyah versi “Kuningan”, “Cirebon”, dan “Girilaya”


Untuk melengkapi disertasinya, sebelum diterbitkan dalam
bentuk buku, Oman Fathurahman telah memperluas pembahasan
tentang dinamika tarekat Syattariyah di Minangkabau melalui
perbandingan dengan “versi Kuningan”, “versi Cirebon”, dan “versi
Girilaya”. Berbeda dengan tarekat Syattariyah Sumatera Barat,
tarekat Syattariyah ketiga versi tersebut dikatakannya, tarekat di
Kuningan, Cirebon, dan Girilaya cenderung kepada tarekat Syatta-
riyah Abdurrauf dari Aceh dengan tidak menolak sama sekali
tasawuf Wujudiyah walaupun tetap mengajarkan Martabat Tujuh
yang diterima oleh Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan) dari gurunya
Abdurrauf al-Singkili. Kalau Oman Fathurahman mengambil con-
toh naskah versi Kuningan, naskah yang berasal dari Kiai Maolani,
penelusurannya akan semakin lengkap jika dikaitkan pula dengan
ajaran tarekat Syattariyah yang semula dianut oleh Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah. Karena berdasarkan pemberitaan
dalam naskah, baik dari Kuningan maupun dari Mertasinga Cirebon
yang ditulis pada abad 18-19 M, Sunan Gunung Jati atau Syekh

171
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

Syarif Hidayatullah berguru tasawuf tarekat Kubrawiyah, Naqsya-


bandiyah, dan Satoriyah (Syattariyah). Masalah tarekat-tarekat ini
dapat dibaca dalam Amman N. Wahyu, Sejarah Wali: Syekh Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga, 2005) dan
(Naskah Kuningan, 2007).
Dalam naskah Kuningan lebih rinci lagi ajaran tasawuf dengan
tarekat-tarekatnya terutama tarekat Syattariyah seperti disebut da-
lam silsilah Mursyidnya: dari mulai Nabi Muhammad, Sayidina
Ali, ke Sayidina Husein, Sayidina Zainal Abidin, Sayidina Muham-
mad al-Baqir, Imam Ja’far as-Sidik, Abi Yazid al-Bisthami, Mu-
hammad Magrib dan seterusnya secara turun temurun sampai pada
ulama-ulama di Jawa, Cirebon dan Kuningan, sampai terakhir pada
Kiai Mas Demang wedana pensiun Atmawijaya. Hal ini perlu
diadakan penelitian lebih jauh, apakah ada hubungannya dengan
naskah tarekat Syattariyah dari Haji Maolani-Lengkong-Kuningan-
Jawa Barat yang diasingkan Pemerintah Hindia-Belanda semasa
Perang Diponegoro ke Menado. Kini, makamnya ada di kompleks
makam Kiai Mojo di Kampung Jawa, Kecamatan Tondano, Kabu-
paten Minahasa. Oleh karena itu, masyarakat Kuningan menyebut
Kiai Maolani atau Lengkong itu dengan Embah Manado.
Kecuali itu bagaimana kaitan ajaran tarekat Syekh Abdul Muhyi
dari Pamijahan dengan yang berada di Cirebon. Sebab, menurut ce-
rita, ia pernah ke Cirebon dan mengajarkan tarekat Syattariyah.
Tambahan lain yang perlu dimasukkan adalah bagaimana hubungan
tarekat Syattariah dengan Martabat Tujuh yang ditulis oleh Haji
Hasan Mustafa, yang terkenal sebagai pujangga besar Sunda
dengan banyaknya karangan mengenai adat istiadat dan lain
sebagainya. Juga bagaimana kelak jika telah dipelajari tarekat
Syattariyah yang diajarkan di Buton dan mungkin tempat-tempat
lainnya yang sudah tentu akan memberikan gambaran yang luas
sekali tentang keberadaan tarekat Syattariyah di Nusantara ini.

Penutup
Hasil kajian yang telah dilakukan Oman Fathurahman melalui
bukunya ini, bagaimanapun, telah memberikan sumbangan besar
bagi perkembangan studi filologi dengan pendekatan sejarah sosio-

172
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita

intelektual atau pemikiran Islam karya cendekiawan Muslim masa


lampau di Indonesia. Hasil kajian seperti itu akan mendorong
semangat terutama bagi siapapun yang berkecimpung, baik dalam
bidang filologi maupun di bidang ilmu-ilmu lainnya, terutama yang
termasuk ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu-ilmu lainnya seperti
kedokteran dan teknologi. Demikian pula bagi para mahasiswa
yang tengah menuntut ilmu di berbagai jurusan dengan bidangnya
masing-masing dapat menyentuh nuraninya untuk mempelajari
filologi atau pernaskahan. Lebih-lebih bagi mahasiswa-mahasiswa
Fakultas Adab dan Humanaiora, baik UIN Syarif Hidayatullah atau
di perguruan tinggi agama lainnya, perlu menyadari untuk
mengadakan penelitian naskah-naskah yang bernuansa keagamaan.
Melalui kajian semacam itu dapat diyakini betapa tingginya nilai-
nilai keintelektualan para ulama kita di masa lampau yang telah me-
wariskan ratusan bahkan ribuan naskah sebagai warisan khazanah
budaya bangsa.
Buku karya Oman Fathurahman ini dapat semakin menegaskan
bahwa naskah kuno keagamaan memiliki arti yang sangat penting
untuk studi-studi keagamaan, yang tidak terbatas pada kajian
filologi. Semoga buku ini mencapai tujuannya untuk menambah
wawasan para pembacanya dan juga untuk memperkaya khazanah
kepustkaan Indonesia pada umumnya dan kepustakaan Islam Indo-
nesia pada khususnya. []

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Melaacak Akar-Akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Chambert-Loir, Henri & Oman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah
Naskah Indonesia Sedunia/ World Guide to Indonesian Manuscript
Collections. Jakarta: E.F.E.O.-Yayasan Obor Indonesia.
Fathurahman, Oman. 1999. Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus
Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Jakarta dan Bandung: E.F.E.O. Centre
de Jakarta. Penerbit Mizan.

173
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174

Tjandrasasmita, Uka. 1998. Kajian Sejarah dan Arkeologi Islam di Indonesia:


Pemanfaatan: Hasil Kajian Filologi. Jakarta: Pidato Penganugerahan Gelar
Doktor Honoris Causa oleh IAIN Syarif Hidayatullah.
----------. 2006. Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian
Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama R.I.
----------. 2006. “The Contribution of Islamic Manuscripts for the Study of
Islamic Archaeology”. Archaeology Indonesia Perspective. R.P. Soejono’s
Fest Script. Indonesian Institute for Sciences: International Center for
Prehistoric and Austronesian Studies. h. 459-471
----------. 2008. “Pendekatan Interdisipliner Dalam Kajian Filologi”.
Disampaikan dalam Diklat Penelitian Naskah Keagamaan Pusdiklat Tenaga
Teknis Keagamaan Departemen Agama RI. Tgl. 4 November.
Wahju, Amman N. 1426 H/1995 M. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga).Alih aksara dan bahasa. Bandung:
Penerbit Pustaka
----------. 2007. Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.
(Naskah Kuningan). Alih aksara dan bahasa. Bandung: Penerbit Pustaka.

174

Anda mungkin juga menyukai