Daftar Isi
Kajian Naskah, Sejarah, dan Arkeologi
Teks, Islam dan Sejarah: Setali Tiga Uang
Fuad Jabali 1 — 20
Perang dan Damai di Aceh: Kajian Manuskrip Aceh
Tentang Konflik dan Solusinya
Fakhriati 21 — 52
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali:
Sebuah Penelusuran Awal
Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam 53 — 90
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua dalam
Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau
Pramono dan Bahren 91 — 108
Peran Penting Pernaskahan dan Benda Khazanah Keislaman
Lainnya dalam Kajian Arkeologi Islam di Indonesia
Agus Aris Munandar 109 — 132
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara
Irmawati M-Johan 133 — 146
Tokoh
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual
Discourse, and His Work Collection
Usep Abdul Matin 147 — 164
Telaah Buku
Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Tinjauan Buku “Tarekat
Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks”, karya Oman
Fathurahman
Uka Tjandrasasmita 165 — 174
i
ISSN 1693-7139
*
Kulit depan: Naskah MS Serangan 01, h. 56, milik H. Baharuddin, Kampung Serangan,
Denpasar, Bali; dan Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut, Geulumpang
Miyeunk, Pidie, Aceh.
*
Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 1563/D/2006
tanggal 18 Desember 2006,
Jurnal Lektur Keagamaan telah terakreditasi A
ii
Pengantar Redaksi
Sejak tahun 2008, Jurnal Lektur Keagamaan telah memperluas
wilayah cakupannya yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi
Puslitbang Lektur Keagamaan. Cakupan tersebut meliputi Kajian
Naskah Klasik, Kajian Lektur Kontemporer, Khazanah Budaya
Keagamaan, Arkeologi dan Sejarah, Obituari/Tokoh, Telaah Doku-
men, dan Telaah Buku/Kitab serta materi yang berkaitan dengan
kebijakan.
Pada Nomor ini, redaksi menampilkan delapan tulisan. Tulisan
pertama menyajikan tentang Islam, teks dan sejarah. Tulisan ini
menjelaskan hubungan yang erat antara Islam sebagai sebuah sistem
nilai, teks dimana sistem nilai itu diekspresikan, dan sejarah (ruang
dan waktu) sebagai konteks dimana sistem nilai itu diturunkan
dalam teks. Islam, teks dan sejarah adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Secara garis besar, teks-teks yang lahir dalam
dunia Islam, setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori besar, yaitu: 1) teks-teks yang dilahirkan oleh kalangan
skripturalis/fundamentalis, dan 2) teks-teks yang dilahirkan oleh
kalangan esensialis. Golongan pertama lebih menekankan teks dan
cenderung menghasilkan teks yang stabil, sedangkan golongan
kedua lebih pada konteks tetapi teks yang dihasilkannya cenderung
labil. Di sinilah kejelian seorang filolog diuji; kepada kelompok
mana teks itu dihubungkan. Sampai batas tertentu, membaca teks-
teks dari Timur Tengah nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding mem-
baca dokumen sejenis di Indonesia.
Pada tulisan kedua diulas mengenai perang dan damai di Aceh
melalui kajian atas manuskrip Aceh tentang konflik dan solusinya.
Aceh adalah sebuah daerah yang memiliki penduduk yang kehi-
dupan mereka cukup berfluktuatif. Perang dan damai telah mewar-
nai daerah ini sepanjang sejarahnya. Konflik internal maupun
eksternal telah terjadi dalam periode-periode yang berbeda. Salah
satu sumber yang sangat penting digunakan untuk mengkaji sejarah
kehidupan orang Aceh adalah naskah kuno yang menjadi tulisan
iii
mereka sendiri, karena di dalamnya mengandung informasi asli
tentang Aceh, dan menjelaskan sikap dan tingkah laku orang Aceh
secara langsung. Karenanya, generasi sekarang dapat membaca dan
memahami langsung tentang tulisan orang Aceh yang menjadi
sumber utama. Makalah ini mencoba menemukan dan menganalisa
sumber-sumber primer ini dalam hubungannya dengan perang dan
damai yang terjadi dalam sejarah kehidupan orang Aceh, mulai dari
abad ke-17 hingga abad ke-20 M. Pertanyaan utama yang perlu
dibahas adalah bagaimana cara orang Aceh mengatasi konflik da-
lam kehidupan mereka, dan bagaimana karater serta sikap mereka
pada masa lalu.
Tulisan ketiga menyajikan hasil penelusuran awal tentang bebe-
rapa aspek kodikologi naskah keagamaan Islam di Provinsi Bali.
Tulisan ini merupakan hasil penelusuran naskah keagamaan Islam di
Bali tahun 2008 yang lalu. Naskah yang ditemukan sebanyak 38
buah dengan perincian sebagai berikut: 1) Naskah keagamaan
berbahan kertas sebanyak 12 naskah; 2) Naskah lontar sebanyak 12
naskah; dan 3) Naskah Al-Qur’an sebanyak 14 naskah. Kondisi
naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya sangat mempri-
hatinkan, tidak terawat dan kurang mendapat perhatian. Sebagian
besar naskah sudah rusak, dan bahkan tidak utuh lagi. Dari aspek
kodikologi, dapat dicatat beberapa hal: 1) bahan yang digunakan
beragam, yaitu dluang, kertas Eropa, kertas modern bergaris, dan
lontar; 2) Bahasa dan aksara yang digunakan meliputi Arab,
Melayu (Jawi), Bugis, dan Bali; 3) Waktu penyalinan antara abad
ke-17–19 M, dan yang tertua tahun 1035 H/1625 M; 4) Isi naskah
antara lain mencakup fikih, tasawuf, tauhid, doa, wirid, dan obat-
obatan, bahasa (nahwu-saraf), Al-Qur’an, dan geguritan (cerita).
Tulisan keempat tentang kepemimpinan Islam di kalangan Kaum
Tua dalam naskah-naskah Tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Tulisan ini berupaya memberikan penafsiran atas naskah-naskah
lokal di Minangkabau, khususnya terkait dengan Tarekat Syattariyah.
Secara kultural, naskah-naskah tersebut memiliki arti penting kare-
na berkaitan dengan kebutuhan keagamaan sehari-hari bagi para
pengikut Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Bagi para penganut
tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharu-
san karena bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada
guru, untuk kemudian menjadi teladan bagi kehidupannya. Para
iv
ulama pemimpin Kaum Tua berperan tidak hanya di bidang ke-
agamaan, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik. Suaranya
didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di dunia
bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan ajarannya
ditulis dan disebarkan.
Dua tulisan lain selanjutnya membahas hubungan naskah dengan
arkeologi. Tulisan pertama menyajikan peran penting pernaskahan
dan benda khazanah keislaman lainnya dalam kajian arkeologi
Islam di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang posisi penting
data tertulis, khususnya naskah klasik keagamaan (Islam) dalam studi
arkeologi religi (Islam). Peranan data dari sumber tertulis dalam
kajian arkeologi Islam antara lain sebagai berikut: (a) Pendukung
kajian terhadap data artefaktual; (b) Memperluas pemahaman
tentang kedudukan dan peranan artefak dalam masyarakat sezaman;
(c) Data dari sumber tertulis dapat menjadi dasar penelitian dan
kerangka acuan kajian arkeologi Islam; dan (d) Memperkaya
interpretasi untuk dapat mengembangkan historiografi.
Sedangkan tulisan kedua membahas peran arkeologi dalam
kajian Islam Nusantara. Tulisan ini menjelaskan bagaimana peran
arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja
yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, dikemukakan pula
berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait
dengan Islam di Nusantara.
Selanjutnya adalah tulisan tentang tokoh, yaitu K.H. Ahmad
Sanusi (1888-1950). Tulisan ini membahas wacana keagamaan dan
karya-karya K.H. Ahmad Sanusi. Menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan Lektur Agama (Skr. Puslitbang Lektur Keagamaan)
Badan Litbang dan Diklat, Departmen Agama RI tahun 1986, K.H.
Ahmad Sanusi telah menulis selama hidupnya 480 karya tulis.
Namun, sebagian besar dari karyanya tidak tersimpan di satu
tempat, bahkan sulit ditemukan. Dalam kesulitan itu, ditemukan
kurang lebih seratus dua puluh dua (122) karya K.H. Ahmad
Sanusi. Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pendapat tentang siapa
K.H. Ahmad Sanusi itu, dan apa saja kiranya buku-buku yang telah
beliau tulis.
Tulisan terakhir merupakan telaah buku yang judul “Tarekat
Syattariyah di Minangkabau Teks dan Konteks”, karya Oman
Fathurahman. Buku ini merupakan hasil kajian filologi dengan
v
pendekatan sejarah sosial-intelektual yang masih jarang dilakukan
di antara ahli filologi pribumi. Pembahasan dalam buku telah meng-
alami perluasan dengan tambahan analisis terhadap representasi
naskah Sunda “versi Kuningan” dan dua naskah Jawa “versi
Cirebon” dan “versi Girilaya”. Uraian yang didasarkan pada nas-
kah-naskah Syattariyah Minangkabau, menggambarkan adanya per-
bedaan paham antara Tarekat Syattariyah dengan Tarekat Naqsya-
bandiyah. Tarekat Syattariyah dianggap oleh kelompok masyarakat
penganut Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan hal-hal wujudiyah.
Padahal, kenyataannya, Tarekat Syattariyah yang diajarkan Syekh
Burhanuddin Ulakan sampai masa berikutnya bersikap lumer.
Terakhir, redaksi mengucapkan terima kasih secara khusus
kepada Lukman Hakim—Staf Ahli pada Jurnal Penamas, Balai
Litbang Agama, Jakarta—yang telah menerjemahkan semua abstrak
ke dalam bahasa Inggris, dan kepada Usep Abdul Matin—Dosen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—atas kontribusinya mengedit
abstrak berbahasa Inggris.
Demikian, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.
Redaksi
vi
Para Penulis
Agus Aris Munandar adalah Staf Pengajar Program Studi Arkeologi Indonesia,
Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB UI). Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FIB UI
(2008—sekarang). Menyelesaikan pendidikan S1 (Sarjana Sastra, bidang
Arkeologi) dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lulus tahun 1984 dengan
judul Skripsi “Beberapa Data Historis dari Parasasti Mula-Malurung”. S2
(Magister Humaniora), Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun
1990 dengan judul tesis “Kegiatan Keagamaan di Gunung Pawitra: Gunung
Suci di Jawa Timur Abad ke-14--15”. S3 (Doktor Arkeologi), Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), lulus tahun 1999 dengan judul
disertasi “Pelebahan: Upaya Pemberian Makna para Puri-puri Bali abad ke-
14—19”. Ia dapat dihubungi di Jalan Garuda IV Blok D.8/30, Sawangan Permai,
Sawangan Depok 16519. No. (021) 98284951, Ponsel 0816 1447887, atau e-
mail: agus.aris@ui.ac.id
Asep Saefullah lahir di Kuningan, Jawa Barat, 18 Oktober 1971, adalah Peneliti
di Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI. Ia menyelesaikan S1 pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN (skr.
UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997, dan S2 di perguruang tinggi yang
sama tahun 2000 pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam. Tahun 2006,
mengikuti International Course on the Handling and Cataloguing of Islamic
Manuscripts, di Kuala Lumpur Malaysia. Tahun 2007 mengikuti Diklat
Penelitian Naskah Keagamaan, Departemen Agama RI, Jakarta. Karya-karyanya
antara lain “Ibnul Muqaffa, Konstitusionalis Pertama yang Prosais”, Pelita, Jakarta
1993; “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum
Istiqlal, Jakarta” Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1, 2007, Renaisans
Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan, (terj.) karya
Joel L. Kraemer (Bandung: Mizan, 2003), Mukjizat Sabar, (terj.) karya Tallal
Alie Turfe (Bandung: Mizania, 2006), dan lain-lain. M. Adib Misbachul Islam
menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN
(skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001, dan S 2 di Program Studi
Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun
2005. Saat ini Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pernah menjadi fasilitator pada Pelatihan Filologi Nasional yang
diselenggarakan oleh Yayasan Naskah Nusantara (YANASSA) bekerja sama
dengan The Toyota Foundation dan PPIM UIN Jakarta, 11-25 Juli 2004. Pada
vii
bulan Maret-April 2006, selama tiga minggu mengikuti International Course in
the Handling and Cataloguing of Islamic Manuscripts di Kuala Lumpur,
Malaysia, yang diselenggarakan oleh al-Furqan Islamic Heritage Foundation,
London, bekerja sama dengan International Islamic University Malaysia (IIUM).
Karya tulisnya antara lain, “Relasi Tuhan dan Alam: Pandangan Sufistik Syaikh
Yusuf Makassar dalam Naskah Sirr al-Asrar”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 3,
No. 1, 2005; “Menguak Sufisme Tuang Rappang”, Jurnal Lektur Keagamaan,
Vol 6, No. 2, 2008.
Usep Abdul Matin memperoleh gelar MA di bidang Kajian Islam dari Duke
University pada tanggal 26 Mei 2008 di Amerika Serikat dan satu lagi dari
Leiden University di Belanda (cum laude) pada tanggal 22 Februari 2001. The
Foreign Fulbright Grant telah memberikan beasiswa kepadanya untuk program
S2 di Duke, sedangkan The Asian Foundation for Research and Consultancy
viii
(AFRC) representative for Islamic Studies (INIS) memberikan beasiswa
kepadanya untuk program S2 di Leiden. Beliau memperoleh Sarjana Agama
(S.Ag.) di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Februari 1996
(cum laude). Beliau sekarang dosen dan sekertaris jurusan untuk program SPI
FAH UIN Jakarta. Ia termasuk penulis yang produktif dan pernah menjadi chief
editor UIN News dalam bahasa Inggris dari 2005 sampai 2008, serta perna
menjadi staff rektor UIN Jakarta. Lebih dari itu, tulisannya dalam bahasa Inggris
yang berjudul “Suicide Bombing: A Sociological Approach to 9/11” sudah
diterbitkan oleh Penerbit Mitra dalam Sociologi: Sebuah Pengantar Tinjauan
Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (September 2008: 270-284). Tulisan-
tulisannya yang lain dalam bahasa Inggris juga sudah dimuat di koran The
Jakarta Post, seperti “Theorizing the 9/11 atrocity: Its ubiquitous persistence”
(09/15/2008), “We are religious but also corrupt” (08/14/2008), dan “Terrorists
ignore God, life to pursue heaven” (01/24/2006).
Fakhriati lahir di Pidie, Aceh, 14 Juni 1970, menyelesaikan studi S1 di IAIN Ar-
Raniry jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah pada tahun 1993, S2 di Leiden
University pada tahun 1998, dan S3 di Universitas Indonesia jurusan Filologi
pada tahun 2007. Tahun 1994, mengikuti program pembibitan calon dosen IAIN
se-Indonesia di Jakarta. Sejak tahun 1995 mengajar di IAIN Ar-Raniry dan mulai
tahun 1998 mengajar di IAIN Sumatera Utara. Pada tahun 2008 bergabung di
UIN Jakarta dan tahun 2009 bulan juni mulai aktif di Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Sejak S2 sampai
sekarang, penelitian tertuju pada naskah-naskah kuno khususnya naskah Aceh.
Dalam tahun ini, dua penelitian telah dilakukan; yaitu Identifying and Preserving
Acehnese Manuscripts Located in Pidie and Aceh Besar didanai oleh British
Library, dan Katalog Naskah Awe Geutah bekerjasama dengan Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama. Selain itu, untuk
tahun ini buku yang telah terbit adalah Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh
lewat Naskah.
ix
Purbakala dan Sejarah Kuno, selesai tahun 1960. Memperoleh gelar Doktor H.C.
dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998. Di
antara jabatan yang pernah didudukinya adalah Kepala Dinas Arkeologi Islam
pada Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K (1986-
1974); Direktur Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K (1974-1979);
Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Departemen P dan K (1979-1990). Pernah menjadi anggota (mewakili
pemerintah RI) International Commission for the Preservation of Islamic Cultural
Haritage (OKI) tahun 1982-1990, konsultan The Project of Cultural Tourism
Development in Central Java and Yogyakarta (UNESCO) tahun 1992, dan lain-
lain. Saat ini, di samping sebagai dosen tetap di Universitas Pakuan Bogor, juga
sebagai dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
x
Ketentuan Pengiriman Tulisan
xi
¾ Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud
tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan
pandangan Redaksi.
¾ Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail:
jurnal.lektur@depag.web.id
Atau melalui pos ke alamat:
Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat,
Departemen Agama RI, Gedung Bayt al-Qur’an & Museum
Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560
Telp./Faks. (021) 87794220
¾ Bagi lembaga yang ingin mendapatkan jurnal ini dapat
menghubungi alamat di atas.
xii
Judul-judul untuk back cover
xiii
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
*
Tulisan ini semula merupakan Makalah yang disampaikan pada Simposium
Internasional Pernaskahan Nusantara VIII, Wisma Syahida UIN Jakarta, 26-28
Juli 2004. Revisi terakhir 14 Juni 2009.
1
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
2
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
3
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
4
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
5
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
2
Ibn Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Sadir, n.t), 4:386.
3
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:343.
4
Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah (Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Arabi, n.d.), 1:125.
5
Ibn Hajar, al-Isabah, 1:130.
6
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
6
Al-Bukhari, Sahih (Cairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi, tt.), 1:
8, 9; 3: 171; 8: 91, 141-2.
7
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
7
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:383.
8
Ibn Sa’d, Tabaqat, 4:379.
8
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
9
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
10
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
11
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
hubungan Islam dengan teks tersebut juga bekerja pada level yang
lebih kecil dan detil: Al-Qur’an meminta penganutnya untuk
melakukan transaksi secara tertulis.
Memang benar, di dalam hukum Islam tradisional, kesaksian
lisan lebih penting dari kesaksian tulis, tetapi para ahli hukum Islam
memberikan perhatian yang serius terhadap cara membuat dan
menggunakan dokumen-dokumen tertulis untuk kepentingan hukum.
Mereka mengembangkan satu jenis literatur yang disebut syurut,
yaitu sejenis manual yang bisa dijadikan pegangan bagi para notaris
dalam melakukan fungsinya. Ia berisi berbagai jenis kontrak yang
bisa dipilih oleh para notaris sesuai dengan kebutuhan. Kontrak-
kontrak tersebut sebetulnya lebih berupa sebuah blanko atau
formulir yang dibuat sedetil mungkin sehingga semua syarat dan
tuntutan syariah Islam bisa dipenuhi. Yang dilakukan oleh para
notaris adalah memilih mana di antara blanko-blanko tersebut yang
cocok dengan kasus yang dia hadapi dan mengisi bagian-bagian
kosong yang sudah disediakan dan meminta dua saksi untuk
menandatanganinya (seperti tuntutan ayat Al-Qur’an di atas).9 Salah
satu blanko kontrak yang dibuat para ahli hukum Islam dalam
buku-buku syurut tersebut adalah blanko untuk membuat ikrar, 10
yaitu suatu bentuk pengakuan atau pernyataan yang dibuat oleh
seseorang yang secara hukum mengikat bagi orang tersebut. Dalam
manual syurut tersebut para ahli hukum lalu merinci dengan detil
apa syarat-syarat membuat ikrar dan kata-kata apa saja yang harus
dicantumkan dalam dokumen oleh si pembuat ikrar. Oleh karena
itu, bentuk dan isi ikrar relatif stabil.
Pada tanggal 19 Agustus 1974-5, di Museum Islam di al-Haram
al-Syarif di al-Quds ditemukan sekitar 900 lembar kertas transaksi
atau catatan pengadilan yang berasal dari abad ke-14 M di
Jerusalem. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan
terpenting dokumen Islam abad pertengahan, sejajar dengan
penemuan manuskrip di Geniza Cairo dan St Catherine bukit Sinai.
Donald P. Little, guru besar di Institute of Islamic Studies, McGill
9
Jeanette A. Wakin, The Function of Documents in Islamic Law (New York:
University of New York Press, 1972), 10.
10
Lihat Y. Linant de Bellefonds, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam
(Leiden: E.J. Brill, New Edition).
12
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
11
Huda Lutfi, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds
Relating to Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of
the Orient, 25: 246-294.
13
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
14
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
15
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
16
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
Catatan Pamungkas
Pertama, masyarakat Muslim dan, terutama, lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Islam memiliki peluang yang sangat besar untuk
menggali manuskrip dan dokumen yang berkenaan dengan
masyarakat Islam yang kini masih belum tersentuh baik yang
tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di dalam dan di luar negeri
maupun yang masih tersebar di kalangan masyarakat. Menjadi
Muslim berarti mereka terhubungkan dengan relitas dan ajaran
yang mendasari lahirnya teks dan dokumen. Hubungan model ini
sangat penting dimiliki filolog untuk bisa menghayati dan
memahami teks.
Kedua, sebuah teks harus ditempatkan dalam konteks besar
yang melahirkannya. Dalam tradisi Islam, teks, mulai dari yang
sangat stabil sampai ke yang sangat labil, dalam banyak hal men-
cerminkan sikap atau pandangan keagamaan tertetu. Bagi seorang
filolog adalah penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi teks
dengan kelompok-kelompok keberagamaan yang ada dalam Islam.
Secara umum bisa dikatakan bahwa teks yang diproduk oleh kalangan
skripturalis/fundamentalis, dan dalam kadar tertentu tradisionalis,
jauh lebih stabil dibanding teks yang ditulis oleh kalangan rasional.
Karya-karya yang ditulis oleh para ahli hukum Islam juga relatif
lebih stabil dibanding karya-karya yang ditulis para filosof atau sufi
misalnya.
Ketiga, walaupun sulit, membaca dokumen di Timur Tengah
nampaknya lebih ‘mudah’ dibanding membaca dokumen sejenis di
Indonesia. Pengetahuan saya tentang kekayaan manuskrip Melayu
sangat terbatas, tetapi saya punya kesan bahwa ada jenis-jenis
literatur yang sangat membantu dalam membaca dokumen (atau
17
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
18
Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang — Fuad Jabali
Daftar Pustaka
al-‘Asqalani, Ibn Hajar. T.t. al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi
Brockelmann, Carl. Geschichte der arabischen Litteratur. (Leiden: Brill, 1937-
42, 1943-1949), 2 jilid dan 3 jilid supplement;
Al-Bukhari. T.t. Sahih. Kairo: Maktabat ‘Abd al-Hamid Ahmad Hanafi.
de Bellefonds, Y. Linant, ‘Ikrar’ dalam The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J.
Brill, New Edition.
Ibn Sa’d. T.t. Kitab al-Tabaqat al-Kubra. Beirut: Dar al-Sadir.
Lutfi, Huda, “A Study of Six Fourteenth Century Iqrars from al-Quds Relating to
Muslim Women,” in Journal of the Economic and Social History of the
Orient, No. 25.
Sezgin, Fuat, Geschichte des arabischen Schrifttums (Leiden: Brill, 1967 - ), 9
jilid.
Wakin, Jeanette A. 1972. The Function of Documents in Islamic Law. New York:
University of New York Press.
19
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 1 - 20
Sumber: http://islamicbookstore.com/b7581.html
20
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Aceh is a region which has a number of populations with their life fluctuation.
Their life had been colorized by peace and war which can be regarded as part of their
life history. Internal and external conflicts were appeared in different period.
These situations have strong connection with character and behaviour of the
Acehnese. Fanatic in their religion is an important factor to push to the situation.
Afterward, protective to their ethnics and fatherland is another factor to motivate and
to defend themselves from any other threat come from. Apart from this, the way of the
Acehnese associated with the others becomes a factor to create peace in Aceh land.
One of the sources for those above life history of the Acehnese is manuscripts as
their own writing. These sources become by far the most important sources since they
provide the original information, behaviour and attitude from the Acehnese.
Consequently, the new generation can directly read and understand on the Acehnese
writings as primary sources. This paper tries to find and analyse these primary sources
in relation with war and peace occurred in the life history of the Acehnese, from 17th
to 20th centuries. The main question that should be answered is how the Acehnese
solve their conflict in life, and what their character and behaviour were in the past.
Pendahuluan
Sejarah Aceh adalah cerita panjang tentang perjalanan suatu
suku bangsa yang diwarnai pergolakan demi pergolakan di antara
cerita kebesaran dan kejayaan yang pernah dicapainya. Letak
1
Artikel ini telah dipresentasikan pada Konferensi International tentang
Aceh and Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, yang dikelola
oleh Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS)
bekerjasama dengan International Center for Aceh and Indian Ocean Studies
(ICAIOS), 23–24 Februari 2009, di Banda Aceh. Penulis mengucapkan terima
kasih banyak kepada Prof. Anthony Reid, sebagai koordinator konferensi ini
yang telah mengundang Penulis untuk hadir dan mempresentasikan paper ini
pada konferensi tersebut.
21
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
22
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
23
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
24
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
25
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
2. Lapisan Sosial
Masyarakat Aceh tidak dibangun di atas strata sosial berda-
sarkan tingkat kemuliaan keturunan dan penghormatan kepadanya.
Lapisan sosial pada masyarakat Aceh dibangun berdasarkan
nostalgia kesejarahan dan berdasarkan peran mereka dalam
masyarakat, yaitu;
a. Masyarakat umum, mereka adalah rakyat biasa.
b. Kaum hartawan (orang kaya), mereka yang memiliki banyak
harta. Mereka banyak berperan dalam hal penyumbangan dana
untuk kemaslahatan sosial.
c. Kaum bangsawan (uleebalang), yaitu orang Aceh yang
memiliki leluhur sultan dan uleebalang, dengan gelar teuku bagi
laki-laki dan cut bagi perempuan.
d. Keturunan Nabi (habib), keturunan dari Mekah, yaitu mereka
yang datang ke tanah Aceh menyebarkan Islam. Mereka dan
keturunannya bergelar habib dan syarifah.
e. Kaum cendikiawan agama (ulama), mereka berasal dari rakyat
biasa. Karena mereka berhasil mendapatkan ilmu agama selama
merantau, maka mereka mendapat gelar teungku. Peran mereka
sangat diharapkan masyarakat untuk dapat menyelesaikan
masalah masyarakat dalam kaitannya dengan agama
(Syamsuddin dkk, 1978:144; Sulaiman dkk, 1992:65-66; Tippe,
2000:3).
Selain susunan lapisan sosial di atas, masyarakat Aceh hidup
dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan gampong, yaitu
terdiri dari beberapa keluarga inti. Dalam gampong terdapat tiga
bentuk pemimpin, yaitu keuchik (kepala kampung), teungku, dan
ureung tuha (tuha peut). Keuchik memiliki peran sebagai pemimpin
yang memelihara akan adat, dan mengembangkan kehidupan
beragama di kalangan rakyat. Sedangkan teungku berperan dalam
menegakkan hukum Islam dan mengajarkan umat untuk ilmu-ilmu
agama. Sementara ureung tuha adalah sekelompok orang tua yang
2
Manuskrip, Cod. Or. 8184 (1), p. 57.
26
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
3. Agama
Islam telah masuk ke Aceh tidak lama setelah agama ini
berkembang di Arab. Masuknya Islam di wilayah ini dikenal jalan
damai melalui para pedagang. Kehadirannya yang selektif dan
adaptif atas unsur-unsur adat istiadat yang dinilai tidak menyalahi
ajaran Islam membuat masuknya agama ini cukup berhasil di Aceh.
Orang Aceh telah berhasil menyatukan agama dengan adat
sehingga dalam setiap adat selalu terdapat nilai-nilai keislaman.
Untuk menggambarkan kesatuan agama dan adat ini, orang Aceh
membuat pepatah:
3
Di samping nanggroe, terdapat sagoe di bawah pimpinan panglima sagoe
yang merupakan federasi dari beberapa nanggroe. Wewenang sagoe hanya
terbatas pada kepentingan bersama antara beberapa orang uleebalang. Fungsi
panglima saggoe hanya bersifat memberi masukan kepada uleeblang. Ia tidak
memimpin secara otonom, dalam arti wilayahnya tetap berada di bawah
kekuasaan uleebalang. Sagoe hanya dimiliki oleh daerah Aceh Besar. (Usman,
2003:45).
27
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
28
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
29
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kategori penyimpanan
manuskrip dilakukan oleh masyarakat setempat. Pertama peyimpan yang murni
menyimpan karena mengangap sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai untuk
kehidupan mereka. Seperti kasus di wilayah Samahani Aceh Besar, penyimpan
mengangap bahwa dengan keberadaan manuskrip di rumahnya menjadikan
rumahnya aman dari segala bahaya, terutama bahaya alamiyah, seperti gempa
bumi. Menurut penulis, penyimpan seperti ini perlu mendapat penanganan
khusus untuk dijadikan museum pribadi di rumah penyimpannya. Kedua adalah
kolektor yang tujuan mengoleksi manuskripnya adalah untuk menjual kembali
manuskrip yang dimilikinya. Dewasa ini, sebagian besar manuskrip dibeli oleh
orang Malaysia dengan harga yang tinggi untuk disimpan di negaranya.
(wawancara dengan beberapa kolektor di wilayah Pidie dan Aceh Besar).
Merupakan sesuatu yang sangat prihatin bagi kita semua, mengingat sejumlah
harta warisan kita dibawa ke luar negeri.
30
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
31
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
6
Kondisi kerajaan yang secara perlahan mulai melemah berikut masuknya
kekuatan asing yang berusaha meruntuhkan kekuatan kerajaan serta timbulnya
persoalan di dalam negeri antara ulama dan uleebalang memberi pengaruh
memudarnya semangat keilmuan. Perhatian lebih banyak tertuju pada usaha
menghimpun kekuatan membela diri dan mengusir penjajah.
32
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
33
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
9
Perlawanan secara individu juga terjadi di tempat lain selain di Aceh. di
Pilipina misalnya, kaum Muslim Tausug melaksanakan jihad yang dikenal
dengan Parrang Sabbil melawan kolonial Spanyol. Mereka melakukannya secara
individu. Sebelum melakukan jihad mereka harus melaksanakan upacara mandi
yang kelakukannya sama seperti mandi yang dilakukan untuk orang yang mau
dikuburkan. Persiapan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan jihad
adalah orang yang akan kembali ke Hari Akhir. (Kiefer, 1973: 109-123).
34
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
35
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
36
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
“Kesalahan diri sendiri tidak pernah nampak karena sangat jahat kafir
Belanda
Hatinya sudah gelap sehingga kapan saja jin dan syaitan dapat masuk ke
dalam dada mereka
Tidak mau mendengar pengajaran agama Tuhan pada Rasul Anbiya
Mereka tidak mau mematuhi kalam Tuhan, malah menyalahkan semua para
anbiya...”
37
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
38
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
2. Konflik Eksternal
Perang melawan orang asing yang datang ke tanah Aceh terjadi
pertama kali dengan pasukan Portugis yang ingin menguasai wila-
yah Aceh. Dengan kegigihannya, Aceh mencari bantuan ke Turki
untuk persiapan menghadapi mereka. Pada tahun 1509 M, pasukan
Aceh di bawah komando Kuemala Hayati telah berhasil mengalah-
kan Portugis yang berada di bawah pimpinan Admiral Die d’Lopez
Sequeira yang berusaha menguasai wilayah Aceh Besar, Pidie, dan
Pasai (Zainuddin 1961:267; Usman, 2003:115).
Kemudian perang kembali berkecamuk ketika Belanda melaku-
kan agresi pertama ke wilayah Aceh pada tahun 1873. Sangat
beruntung bagi orang Aceh, karena keberhasilan ada di tangan
mereka dan jendral Kohler tewas terbunuh oleh rencong Aceh.
Orang Aceh sangat senang atas kemenangan ini, sehingga lahir
hikayat tentang tewasnya jendral Kohler. Hikayat tersebut selain
menceritakan kemenangan pasukan Aceh dengan tewasnya jenderal
Kohler, juga berkisah tentang peristiwa berkecamuknya peperangan
serta menggambarkan bagaimana semangat juang pasukan bersama
rakyat Aceh dalam perang mengusir penjajah yang menelan banyak
korban di kedua belah pihak.
Perang melawan Jepang, (1942-1945) adalah perang lain yang
harus dihadapi orang Aceh. Pada awalnya, Jepang menjanjikan angin
surga untuk bersama orang Aceh melawan Belanda dan berada di
pihak orang Aceh untuk membangun Aceh. Para pemuda Aceh
direkrut untuk berada di tangga pemimpin negeri, menggantikan
posisi uleebalang. Para pemuda Aceh menyambut gembira harapan
yang diberikan Jepang. Mereka mengikutinya, namun mereka juga
tetap waspada apa yang akan terjadi ke depan. Sehingga gerak
mereka tidak lepas dari pantauan para petinggi ulama. Mereka tetap
menjadikan rujukan dan membina hubungan erat dengan para
ulama setempat.
Setelah merasa bahwa janji-janji Jepang hanyalah tipuan belaka,
maka rakyat Aceh mulai mengerakkan seluruh kemampuannya un-
tuk berperang menghadapi Jepang. Mereka melawan Jepang meski
dengan senjata yang tidak sebanding sekalipun. Semangat jihad
39
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
10
Manuskrip ini disimpan di Pusat Manuskrip Melayu dengan nomor kelas
MS 1314.
40
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Selain itu, dorongan kuat dari tokoh luar Aceh juga menjadi
kondisi membangkitnya semangat orang Aceh dalam menggerak-
kan perang melawan penjajah Belanda. Abdussamad al-Palembani
(w. Setelah tahun 1789 M) adalah tokoh dari Palembang (Sumatera
Selatan) yang telah membakar semangat jihad untuk wilayah Nusantara,
khususnya Aceh. Sebagai penganut dan penyebar tarekat Samaniyyah
di wilayah Nusantara, ia berjuang dengan giat melawan Belanda.
Bukunya tentang kewajiban melakukan jihad bagi setiap Muslim
yang sedang menghadapi musuh yang berjudul Na¡³¥ah al- Muslim³na
wa Ta©kirah al-Mu’min³na f³ fa«±’il al-Ji¥±di f³ Sab³lill±h wa
Kar±mah al-Muj±hid³na f³ Sab³lill±h 11 telah menjadi rujukan bagi
rakyat dalam berperang. Masyarakat Aceh menggunakan buku ter-
sebut sebagai pedoman mereka menulis. Salah satu manuskrip yang
mengambil rujukan pada buku tersebut adalah Nasihat Ureung
Meuprang dan Hikayat Prang Sabi. Karena itu, tidak heran kalau
sampai sekarang manuskrip al-Palembani masih disimpan dan
dikoleksi oleh orang Aceh.
Perkumpulan kaum Muslimin di Mekah juga menjadi kondisi
lain untuk mendorong orang Aceh bergerak lebih radikal terhadap
11
Buku ini berisi pahala yang dicapai oleh orang yang melakukan jihad, dan
penghapusan dosa selama di dunia. Kemudian, penjelasan tentang peraturan
berjihad yang terdiri dari jihad yang wajib dilakukan oleh setiap individu bila
orang kafir menguasai daerah orang Muslim, dan jihad yang hanya wajib
dilakukan secara berkelompok bila orang kafir masuk ke dalam wilayah mereka.
Di akhir buku ini tertulis doa yang berisi permohonan kepada Allah agar Allah
melindungi orang yang melakukan jihad. Kemudian dilanjutkan dengan anjuran
kepada orang yang melaksankan jihad agar membaca l± ¥awla wa l± quwwata
ill± bill±h tujuh kali. (Manuskrip, Cod. Or. A. 20. C).
41
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
12
Pergi ke Mekah khususnya untuk melaksakan haji telah menjadi suatu
tradisi bagi orang Aceh khususnya dan Nusantara pada umumnya. Mereka yang
memiliki cukup biaya pergi ke Mekah dan bahkan sebagian mereka menetap di
sana berpuluh-puluh tahun guna menuntut ilmu agama dari para guru di tanah
suci. (Bruinessen, 1990: 42-49). Teungku Muhammad Ali yang berdomisili di
daerah Leungputu, misalnya, adalah seorang intelektual yang selama dua puluh
tahun berada di Mekah untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Ia kemudian pulang ke
Aceh dan mengabdi kepada agama dan bangsanya dengan berbagai macam cara.
Di antaranya adalah dengan menuangkan ilmunya ke dalam tulisannya.
13
Lihat misalnya keberhasilan Mahdi Sudan dalam Dekmejian, 1972: 193-
210: Holt, 1980: 337-347.
14
Sampai sekarang, manuskrip-manuskrip tentang hal tersebut masih
disimpan oleh penduduk setempat. Salah satunya adalah simpanan Teungku
Ainal Mardhiah Teupin Raya. Isi manuskrip tersebut adalah penjelasan perang
yang terjadi di berbagai negara Muslim di dunia, seperti di Arab dan di Mesir.
Manuskrip ini ditulis dalam bahasa Aceh dan dalam bentuk hikayat.
42
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Upaya-Upaya Damai
Dalam manuskrip, terdapat upaya-upaya damai yang dapat dili-
hat agar setiap masyarakat dapat menikmati hidup dengan tenang
dan dapat melaksanakan segala aktivitas sehari-hari demi kemajuan
bangsa.
Untuk menciptakan perdamaian di kalangan masyarakat dan
juga di tingkat pemerintahan, Abdurrauf al-Fansuri dengan bijak-
sana menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan antara kaum sufi
yang sebelumnya telah mengarah kepada kekerasan. Ia memilih
bersikap moderat dan cukup hati-hati dalam menghadapi konflik
yang ada pada saat itu. Ia menulis kitab tasawuf dengan judul
Tanb³h al-Masy³ yang di antara isinya adalah upaya untuk menet-
ralkan pemahaman tasawuf yang telah simpangsiur pada saat itu. Di
satu sisi, ia tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan penya-
tuan makhluk dengan Tuhannya yang tidak ada perbedaan sama
sekali. Bahkan ia sangat takut bila seseorang akan menuduhnya
berada pada garis yang salah dalam tasawuf, tidak berdasarkan
ajaran dari gurunya.
Bismill±hirra¥m±nirra¥³m
Q±lal faq³ru ilall±hil malikil jal³lil syaykhi ‘abdur ra’µfi anna ‘alayya wa
lamma wa¡altu ila ar«il Asy³ wa k±na l³ f³h± rajulun yu¡±¥ibun³ wa
yataraddadu ilayya ka£³ran wa raaytu annahu yatakallamu f³ wa¥datil wujµdi
‘ala khil±fi m± qarrarahu sayyid³ wa syaykh³l ‘±limir rabb±niyyil munfaridi f³
aw±nihi bil± £±n³ A¥mad bin Mu¥ammadil Madan³l An¡±r³yyi¡ ¢amad±n³yyisy
Syah³ri bil Qusy±sy³ wa khal³fatul ‘±lamil ‘al±matil ¥ibril ba¥ril fahh±mati
wahua syaykhun± Burh±nudd³ni Mul± Ibrah³m ibni ¦asanil Kµr±n³
43
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
ra¥imanallahu bihim± wa ©±lika min ¥ay£u annar rajula lam yumayyiz baynal
mur±tibi wa lam yarji’ ila taqr³ril mu¯±biqi lisyar³‘ati faakh±fu ayyunsama
taqr³rur rajuli wa i‘tiq±duhu ila taqr³r³ wa i‘tiq±d³ ¥atta yukaffirun³ ba‘da
waf±t³ wa ana bar³un minhu fajami‘tu h±©ihir ris±lata mustaq³nan bill±hi wa
mu‘tarifan biqillatil bi«±‘ati wan na«±¥ati wa sammaytuh± bitanb³hil m±sy³
ala ¯ar³qatil qusy±syi wa faqultu bismill±hir ra¥m±nir ra¥³mi
44
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
...dan inilah bahaya mengkafirkan itu, berlindung kiranya kita kepada Allah
dari pada kufur itu. (Daq±’iq al-¦urµf, 392).
...dan lagi kata mereka itu: al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa
alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh
raja akan mereka itu membawa tobat daripada iktikad yang kufur itu. Maka
dengan beberapa kali disuruh raja akan mereka itu membawa tobat, maka
sekali-kali tiada ia mau tobat, hingga berperanglah mereka itu dengan
penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya
himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang
bernama Bayt Al-Rahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu.15
15
Ar-Raniri, al-Fath al-Mubin, MS dikutip dari Azra 1995:182.
45
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
menjaga diri dan berdoa agar mereka dapat hidup bersama lagi
membangun keluarga yang sakinah sepanjang hidup mereka.
Dalam masa penjajahan Belanda Teungku Id ibn Ustman masih
sempat menyelesaikan tulisannya tentang bagaimana memahami
tasawuf dengan benar. Menurutnya cara-cara tasawuf yang benar
adalah cara pelaksanaan yang ditawarkan oleh Hamzah Fansuri. Ia
sempat mendapat pengikut banyak untuk melaksanakan ajarannya.
(Manuskrip Laut Makrofat Allah). Namun ajarannya ini kemudian
ditentang oleh Teungku di Pulo dan kawan-kawannya. Sehingga
untuk meluruskan jalan pemahaman umat, ia kemudian diusir dan
bahkan dibunuh oleh masyarakat setempat. (Poerwa, 1961:16;
Ishak, 1993:4). Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan rakyat
dari perpecahan yang meluas akibat menyebarkan dua faham yang
saling bertentangan sebagaimana yang terjadi pada masa Sultan
Iskandar Tsani pada abad ke-17 M.
Karya Teungku Muhammad Ali Pulo Peub memancarkan ke-
inginan untuk berdamai dengan lawannya, yaitu uleebalang dan
Belanda. Kendatipun ia sangat tidak menyukai cara-cara uleebalang
dan Belanda, tetapi berusaha untuk tidak secara gamblang me-
nyebut perilaku uleebalang sebagai perilaku musuh yang perlu
diperangi. Ia lebih memilih jalan menjauhkan diri dari ancaman
mereka dan mengajak umatnya untuk tetap berada pada jalan yang
benar, yaitu jalan agama yang diridai Tuhan.
Dalam tulisan Teungku Muhammad Khatib Langgien, salah
seorang ulama yang cukup produktif pada masanya, dalam kitabnya
Mi‘r±j as-S±lik³n menyajikan ajaran yang mengandung unsur
perdamaian. Ia berusaha untuk tidak menciptakan konflik terhadap
pemahaman yang berbeda dari pemikirannya yang ia tuangkan
dalam tulisan. Ia menjelaskan segala hal yang menyangkut filosofi
tasawuf dengan sangat hati-hati. Ia juga membuat perumpamaan-
perumpamaan sebagai salah satu caranya untuk menjelaskan sesuatu
yang masih kurang jelas untuk pembacanya. Seperti menjelaskan
tentang perbedaan mengenal gajah dengan mengenal manusia
karena berbeda bentuk dan akal, demikian juga dalam hal mengenal
Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluknya. Dalam salah satu
tulisannya ia menyebutkan:
46
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu karena mustahil dikata umpama
barangsiapa mengenal ia akan gajah maka sanya ia mengenal akan manusia...
(Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 27).
Dalam menjelaskan hal-hal yang berbentuk filosofi seperti di
atas, ia juga menjelaskan bahwa tingkat ini diperuntukkan kepada
ahli sufi yang berada pada tingkat tinggi, dan ia memberi
peringatan kepada pembacanya agar hati-hati dalam menafsirkan
karena dapat menyesatkan pemahaman, seperti
...dan lagi yang demikian itu tempat tergelincir kebanyakan manusia yang tiada
makrifat baginya hai salik adalah segala alam makrifat yang telah kunyatakan
kepadamu ialah alam makrifat yang indah-indah dan ia yang terlebih sukar
paham segala orang awam...( Mi‘r±j as-S±lik³n, h. 28).
Selanjutnya, ia juga menulis tentang obat hati, yang perlu
diamalkan oleh pembacanya agar dapat hidup lebih tenang baik di
dunia maupun akhirat. Sifat-sifat yang tercela dihindarkan dan
sifat-sifat yang baik digunakan. Salah satu sifat yang perlu
dihindarkan adalah hubb ad-dunya, karena kasih akan dunia ibu
segala kejahatan (Dawa’ al-Qulµb, h. 28-29). Akibat dari sifat ini,
seseorang akan terlena dengan dunianya dan tidak mau bersegera
mencari bekal untuk akhirat.
Manuskrip Hiyakaye adalah sebuah manuskrip yang dikemas
untuk memberi semangat hidup bagi para pembacanya. Isi manuskrip
ini mengajak pembaca untuk selalu menghafal dan mengamalkan
ayat-ayat tertentu agar kehidupan di dunia selamat dari kecaman
apa pun, tenang dalam menjalani hidup dalam keadaan apapun.
Satu contoh lain adalah manuskrip Hikayat Abdurrahman.
Manuskrip ini menguraikan cerita fiksi berjudul Hikayat Abdur-
rahman. Isinya menjelaskan tentang kehidupan sebuah keluarga
yang bernama Abdurrahman dan seorang anak perempuan yang
salehah bernama Siti Hazanah. Kisah perjalanan hidup Siti Hazanah
setelah ditinggal mati keluarganya menjadi sorotan utama dalam
manuskrip ini. Ia mengalami berbagai cobaan dan penderitaan dalam
liku-liku hidupnya. Ia dicaci maki, dicemohi, dijauhi dan tidak
perlakukan sebagaimana karabat lain, karena tuduhan-tuduhan dari
sepihak yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Mengatasi masa-
lah ini, ia lebih memilih cara sabar, diam, dan hanya menyerahkan
diri kepada Allah. Ia mengadakan pembelaan terhadap dirinya, bila
47
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
“Wujud Tuhan yang terlihat Hati menjadi heran akan hadirnya Tuhan
Itulah iman dengan makrifat pertanda hasil takwa yang sangat tinggi”
Penutup
Catatan sejarah Aceh adalah bagian dari cerita panjang tentang
perang dan damai, di samping cerita tentang kemajuan dan kemun-
durannya. Orang Aceh sesungguhnya adalah manusia-manusia yang
ramah, terbuka, dan suka pada kedamaian dan ketenangan. Mereka
dapat menerima kehadiran siapapun tanpa memandang ras dan
agama selama ia sendiri tidak merusak hubungan baik dengan
penduduk dan masyarakat Aceh. Namun, di balik keramahtamahan
dan keterbukaan itu tersimpan sikap yang sangat tegas dan tidak
mau tunduk atas setiap kehendak asing yang ingin menguasai atau
merusak citra Aceh baik wilayah, harga diri, terlebih agamanya.
Sejarah perang Aceh selalu terkait dengan upaya mempertahan-
kan wilayah, agama, dan harga diri. Untuk urusan seperti ini, orang
Aceh memiliki semangat jihad atas nama agama yang sulit diredam,
kecuali apa yang mereka tuju telah tercapai.
Ulama bagi masyarakat Aceh memiliki posisi sentral sebagai
panutan dalam beragama, bermasyarakat, dan berjuang f³ sab³lill±h.
Selain komando untuk mengusir penjajah, pada umumnya ulama
yang menulis manuskrip-manuskrip Aceh mengajarkan agar men-
dorong terciptanya perdamaian dalam hidup, meskipun sedang
berada pada posisi menghadapi musuh. Permusuhan dan pertikaian
tidak boleh diciptakan dan dimulai, tapi mempertahankan diri dan
agama adalah wajib. Salah satu usaha mempertahankan diri adalah
48
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Daftar Pustaka
49
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
50
Perang dan Damai di Aceh... — Fakhriati
Lampiran:
Gambar 1:
Foto Halaman Awal Naskah Hiyakaye milik Syik Jah Amut,
Geulumpang Miyeunk, Pidie, Aceh
Gambar 2:
Foto Halaman Awal Naskah Teungku Khatib Langgien milik Teungku
Amir Meunasah Kruet Teumpeun, Teupin Raya, Pidie, Aceh
51
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 21 - 52
Gambar 2:
Foto Halaman Awal Naskah Sarakata milik Cut Manfarijah Dayah
Tanoh, Teupin Raya Aceh
52
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Pengantar
Keberadaan naskah tulisan tangan (manuskrip) di suatu wilayah,
dari satu sisi dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari
lokalitas dan kekhasan wilayah bersangkutan. Dari sisi lain, ia
dapat juga menjadi bukti adanya hubungan dengan wilayah lain jika
ditemukan bukti-bukti lain yang menunjukkan ke arah itu. Hal ini
*)
Tulisan ini semula merupakan Makalah disajikan dalam “Seminar Hasil Penelitian
Naskah Klasik Keagamaan” Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat,
Dep. Agama, Hotel Permata Alam, Cisarua-Bogor, 22-24 Desember 2008.
53
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
54
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
1
Beberapa yang dapat disebut antara lain Kodokologi Melayu di Indonesia,
karya Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994), Penelusuran penyalinan naskah-naskah
Riau abad XIX: Sebuah Kajian kodikologi, karya Mu'jizah dan Maria Indra
Rukmi (1998), Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX: Naskah
Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, karya Maria Indra Rukmi
(1997), atau beberapa tulisan berupa artikel atau tesis, seperti “Penyalinan
Naskah Melayu di Palembang”, karya Maria Indra Rukmi, makalah dalam
Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI (2005).
2
Pilihan ini dilakukan karena naskah-naskah lontar dipandang relatif
terpelihara dengan baik.
55
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Pernaskahan di Bali
Henri Chambert-Loir dan Fathurahman (1999:51) mengatakan,
“Pulau Bali terkenal sebagai gudang sastra Jawa Kuna karena sastra
Jawa yang ditulis di berbagai kerajaan beragama Hindu-Buddha di
3
Tentang kodikologi di Indonesia dapat dibaca antara lain dalam Sri Wulan
Rujiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, (Depok: Fakultas Sastra UI,
1994). Ada juga buku yang sangat menarik dan relatif baru tentang kodikologi
Islam, yaitu Francois Deroche, Islamic Codicology, An Introduction to the Study
of Manuscripts in Arabic Script, (London: Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation, 2006), dan ada juga dalam edisi Arabnya yang terbit tahun 2005.
56
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Jawa Tengah dan Jawa Timur antara abad ke-10 dan ke-15, dan yang
hampir punah setelah kedatangan agama Islam, masih berlanjut di
Bali, bahkan hidup sampai kini.” Pernyataan ini terbukti dengan
adanya sejumlah lembaga seperti museum dan perguruan tinggi di
wilayah ini yang memiliki ribuan koleksi naskah. Lembaga-lem-
baga tersebut antara lain Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali,
Denpasar mengoleksi sekitar 1.416 naskah, Museum Negeri Provinsi
Bali, Denpasar menyimpan 266 naskah, Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar memiliki 148 naskah, Kirtiya Liefrinck-van der Tuuk
(Gedong Kirtiya), Singaraja memiliki tidak kurang dari 3000 nas-
kah, Fakultas Sastra Universitas Udayana mempunyai 740 naskah,
dan Balai Penelitian Bahasa, Denpasar mempunyai 156 naskah, serta
Balai Arkeologi Denpasar juga menyimpan tiga naskah (Chambert-
Loir dan Fathurahman, 1999:54-60; terutama berdasarkan Katalog
Lontar yang Tersimpan pada Instansi Pemerintah dan Swasta yang
diterbitkan oleh Kantor Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali,
tahun 1998). Jumlah ini belum termasuk naskah yang tersimpan
pada koleksi pribadi yang diduga masih ribuan jumlahnya, terutama
di puri (kediaman keluarga keturunan raja), griya (kediaman kelu-
arga brahmana), dan kalangan ‘profesional’ (pemangku, dalang,
balian usada atau orang-orang terdidik) (Chambert-Loir dan
Fathurahman, 1999:56). Hampir seluruh naskah tersebut ditulis di
atas bahan lontar sehingga sering pula disebut naskah lontar.
Di tengah “samudra koleksi naskah lontar” tersebut, di daerah-
daerah tertentu di Bali ditemukan sejumlah naskah keagamaan
Islam dan Mushaf Al-Qur’an kuno. Beberapa di antaranya ditulis di
atas bahan dluang (kertas dari kulis kayu). Pada bulan Oktober 2008
yang lalu kami melakukan penelusuran ke pelosok-polosok pulau
dewata ini. Kami menemukan 24 naskah keagamaan Islam yang
terdiri atas 12 naskah ditulis di atas dluang, kertas Eropa, maupun
kertas bergaris modern, dan 12 naskah lontar (naskah lontar berben-
tuk geguritan; 9 naskah berisi cerita tentang tokoh Islam dan ajaran
moral Islam, 2 cerita Hindu, dan 1 tidak terbaca). Di samping itu,
ditemukan pula 14 Mushaf Al-Qur’an kuno, termasuk satu Mushaf
ditulis di atas dluang. Naskah-naskah tersebut tersebar di beberapa
kabupaten di Bali, antara lain Denpasar, Buleleng, Jembrana, dan
57
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
4
Beberapa informan awal yang kami datangi di Kanwil Departemen Agama
Provinsi Bali adalah Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Drs. Ida Bagus Nyana,
Staf Urusan Agama Hindu. Mereka menyarankan kami mendatangi Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali, Gedong Kirtya-Singaraja-Buleleng, Karang
Asem-Tradisi Tulis Lontar, Budakeling, Gianyar, dan Bangli. Informan lain Drs.
H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan
Islam dan Pemberdayaan Masjid. Selanjutnya kami mendapat banyak informasi
dari Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas. Wawancara, 28 Oktober 2008. Selanjutnya
penelusuran dilakukan sampai dengan 2 Nopember 2008.
58
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
1. Denpasar
Di Kampung Bugis Serangan, Denpasar ditemukan 3 (tiga)
naskah milik H. Burhanuddin, dekat Masjid Asy-Syuhada, dua di
antaranya beraksara dan berbahasa Bugis, dan 1 (satu) Al-Qur’an
Kuno milik Bapak Marjui.5 Di Kampung Bugis Kepaon, Denpasar
ditemukan 6 (enam) naskah milik H. Musthafa Amin, dan 1 (satu)
naskah Al-Qur’an kuno di Masjid Al-Muhajirin. 6 Di Masjid Al-
Mu’awanatul Khairiyah Kampung Bugis Suwung, Denpasar,
masing-masing satu naskah Al-Qur’an. 7
Di samping itu, di Yayasan An-Nur, Denpasar, ditemukan 12
naskah lontar. Menurut informasi salah seorang ustadz di PP al-
Hidayah, Bedugul,8 naskah lontar yang tersimpan di Yayasan An-
Nur, pada awalnya merupakan koleksi Prof. Dr. Shaleh Saidi, salah
seorang Guru Besar di Universitas Udayana, Bali. Meski sudah
tersimpan di Perpustakaan Yayasan, naskah-naskah lontar tersebut
belum dikaji secara kodikologis9. Oleh karena itu, dalam laporan
penelitian ini naskah-naskah lontar koleksi Yayasan Masjid An-Nur
penting untuk didata dan disampaikan.
2. Buleleng
Wilayah yang didatangi di Buleleng meliputi Pegayaman,
Singaraja, dan Kampung Jawa. Di Pegayaman, Kampung Islam di
pedalaman dekat Singaraja ditemukan 3 (tiga) naskah milik Drs.
Suharto. Di sini ditemukan pula 1 (satu) Al-Qur’an kuno milik I
5
Naskah ini telah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno
dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18.
6
Mushaf ini sangat tidak terawat. Kondisinya tidak lengkap lagi, dan
ditumpuk dengan Al-Qur’an lain cetakan zaman sekarang. Tetapi, mushaf ini
sangat menarik terutama dari segi iluminasinya yang indah dan, merujuk
identifikasi Annabel Teh Gallop (2004) termasuk tipe Pantai Timur Melayu,
Pattani atau Trengganu.
7
Kedua naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa
Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007.
h. 1-18. Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar.
Wawancara dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.
8
Hadiman, Wawancara, 29 Oktober 2008, di Bedugul.
9
Semua naskah lontar koleksi Yayasan an-Nur hanya disebutkan judulnya,
dan beberapa di antaranya dijelaskan juga ukuran lontarnya.
59
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
3. Jembrana
Di Masjid Bait al-Qadim, Loloan Timur, Negara, Jembrana,
ditemukan satu buah naskah Al-Qur’an. Naskah Al-Qur’an ini
konon merupakan wakaf dari Encik Ya’qub dari Trengganu.13
10
Menurut Bapak Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga
Ketua Ta’mir Masjid Agung Singaraja, dan beberapa Pengurus Masjid, antara
lain H. Abdurrahman Alawi, H. Abdurrahman Said, H. Hasyim Zaki, dan H.
Hidayat, bahwa masjid ini sering didatangi wartawan dari berbagai media massa
dan meliput salah satu Al-Qur’an kuno di sana, yang dipandang mushaf tertua di
Buleleng. Akan tetapi, sejauh ini koleksi lain yang tersimpan di dalam lemari
kaca belum pernah dilihat, yang ternyata seluruhnya Al-Qur’an kuno sebanyak
tujuh mushaf, sehingga seluruhnya ada delapan Al-Qur’an kuno. Wawancara, 30
Oktober 2008 di Masjid Agung Singaraja.
11
Bunyi kolofon tersebut: “tamma al-qur’±n f³ yaum al-kh±mis min syahr
al-mu¥arram f³ hil±li i¥d± wa ‘isyr³na ba‘da alfi sanah khamsin wa £al±£µna al-
hijrah an-nabawiyyah “ (Al-Qur’an ini selesai [ditulis] pada hari Kamis dari
bulan Muharram pada malam dua puluh satu pada tahun seribu tiga puluh lima
[21 Muharram 1035] Hijrah Nabi).
12
Para ustadz di Pesantren Al-Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober
2008.
13
Naskah ini juga sudah diteliti oleh E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf
Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1, 2007. h. 1-18.
Sebelumnya, naskah ini disimpan di rumah H. Husen Abdul Jabbar. Wawancara
dengan beliau pada 2 November 2008 di Loloan Timur.
60
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
4. Karang Asem
Di Karang Asem, peneliti hanya mendatangi Kampung Islam
Buitan—sebuah kampung kecil yang hanya berpenduduk 25 kelu-
arga. Konon di sini pernah ada naskah beraksara Bugis, tetapi
karena sudah hancur, naskah-naskah tersebut dibuang. Naskah yang
tersisa adalah kitab-kitab cetakan sekitar tahun 1300-an Hijriah,
antara lain:
1) Kitab Sabil al-Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-
Banjari, jilid 1 dan 2, dan di tepinya ada Kitab Sirat al-Mustaqim, tentang
ilmu fikih karangan Nuruddin Al-Raniri (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah
al-Miriyah al-Ka’inah, 1321 H/1903 M);
2) Kumpulan kitab dalam satu bundel terdiri dari empat kitab, a) Kitab Miftah
al-Jannah tentang Usuluddin karangan Muhammad Tayyib bin Mas’ud al-
Banjari, b) Kitab Usul al-Tahqiq juga tentang Usuluddin, c) Kitab Mau’i§ah
li al-N±s tentang tata cara sembahyang, dan f) Kitab Tajwid al-Qur’an,
pengarang ketiga kitab ini tidak disebutkan; dan pada pias halaman ada
Hamisy Kitab Asrar al-Dini, (diterbitkan di Mesir, Maktabah al-Kutub al-
Arabiyyah al-Kubra, t.t.);
3) Kitab Siraj al-Huda karangan Muhammad Zain al-Din bin Muhammad
Badawi al-Sumbawa’i, Syarah atas Matan Umm al-Barahin karya Sanusi;
dan di piasnya ada Hamisy Risalah Diya al-Murid, terjemahan Dawud bin
Abdullah Fatani, Cet. Ke-6 (diterbitkan di Mekah, al-Matba’ah al-Miriyah
al-Ka’inah, 1320 H/1902 M).
Ada yang menarik dari kitab-kitab ini, yaitu catatan pemiliknya,
antara lain pada sampul dalam Kitab Siraj al-Huda terdapat tulisan,
“Haza al-Kitab ini yang empunya Bapak Abd al-Rahman negeri
Bali, Karangsem, 14 Kampung Biutan As-Salam 15 adanya”. Teks ini
juga terdapat pada Kitab Sabil al-Muhtadin Juz I. Catatan kedua
pada Daftar Isi Kitab Miftah al-Jannah, h. 44, berbunyi, “Tanda
keterangan haza al-haq 16 Pak Muhammad Sa’id bin Mukhammad
Ali Kusamba, Kampung Islam Pasuruan, dan membeli pada bulan
Ramadan tanggal 15 hari Ahad pada tahun Zai Hijrah Nabi
14
Teks aslinya: kaf-ra-ng-syin-mim, bisa jadi maksudnya Karang Asem?
15
Sebagian orang Bali menyebut “Kampung Islam” dengan bunyi ucapan
yang terdengar adalah “Kampung Selam”. Teks dalam kitab ini juga bertuliskan
“al-salam” ()اﻟﺴﻼم, tapi bisa jadi dibaca “Selam”, yang maksudnya “Islam” seba-
gaimana kebiasaan sebagian orang Bali, atau bias juga tetap dibaca “as-Salam”
sebagaimana bahasa Arab.
16
Kata “¥aq” kadang diartikan “kepunyaan”, jadi “ha©a al-¥aq..” bisa
diartikan “ini kepunyaan…”
61
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
17
Wawancara, Kampung Islam Buitan, Karang Asem, 2 November 2008.
62
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
18
Geguritan adalah karya sastra Bali yang dibangun di atas pupuh.
Sementara itu, pupuh diikat oleh beberapa kaidah yang mencakup: banyaknya
baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir tiap-
tiap baris (Agastia, t.t.: 155).
19
Dari 12 naskah lontar, ada satu naskah yang tidak dapat dibaca.
Pembacaan naskah lontar oleh Made Suparta, dosen pada Program Studi Jawa,
FIB Universitas Indonesia.
63
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
a. Cerita Islam
1). Pepalihan Gama Selam Bali. Teks ini menceritakan proses islamisasi
di Bali.
2). Geguritan Semaun. Teks ini berisi cerita mengenai tokoh heroik yang
bernama Sema’un pada masa-masa awal islamisasi
3). Geguritan Bagendhali. Teks ini menceritakan tokoh Bagendhali yang
sangat sakti, beserta dua saudaranya: Bagenda Sulaiman dan
Bagendha Alah.
4). Kidung Tuwan Semeru. Teks ini berisi cerita tentang kehidupan Nabi.
5). Geguritan Krama Selam. Tidak banyak berbeda dengan teks
Pepalihan Gama Selam, teks ini juga berisi cerita tentang proses
islamisasi di Bali.
6). Geguritan Siti Badariyah. Teks ini tentang kehidupan keluarga
kerajaan di negeri Arab.
7). Geguritan Amir Hamzah. Teks ini berisi cerita tentang peran Amir
Hamzah dalam proses islamisasi di Nusantara.
8). Geguritan Jayengrana. Teks ini menceritakan sosok pahlawan
muslim dalam melawan raja kafir. Di samping itu, teks ini juga
banyak mengandung ajaran moral dan etika Islam.
9). Geguritan Jimat Teks ini berisi mistik Islam.
b. Cerita Hindu
1). Geguritan Sebun Bangkung. Teks ini berisi filsafat moral Hindu yang
disampaikan secara naratif.
2). Geguritan Pan Bongkling. Teks ini berisi konsep dharma dalam
agama Hindu.
20
Dari 12 naskah lontar di atas, empat di antaranya tidak bertanggal, yaitu:
Geguritan Siti Badariyah, Geguritan Amir Hamzah, geguritan Jayengrana, dan
satu naskah yang tidak dapat diidentifikasi baik judul maupun isinya karena
kondisi fisiknya yang sudah lapuk.
64
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
21
Wawancara dengan Drs. Muhlis Sanusi, Lurah Kampung Islam, Singaraja,
Buleleng, 30 Oktober 2008. Hadir pula beberapa pengurus Ta’mir Masjid Agung
yang lain, yaitu H. Abdurrahman Alawi, H. Hasyim Zaki, dan H. Hidayat.
65
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
2. Bahan
Bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah keagama-
an Islam di Bali dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis: a)
Dluang, b) Kertas Eropa, c) Kertas modern bergaris, dan d) lontar.
Dari 38 naskah, terdapat tiga naskah yang ditulis di atas dluang, yaitu:
dua naskah milik Drs. Suharto di Pegayaman dan satu mushaf Al-
Qur’an, lengkap 30 juz, milik M. Zen Usman di Kampung Jawa
Singaraja. Sebagian besar naskah lainnya ditulis di atas kertas Eropa.
Beberapa cap kertas (watermark) dan cap tandingan (countermark)
yang berhasil diidentifikasi antara lain kelompok Crescent, Pro
Patria, Britania, dan Horn (tertera angka tahun 1825 pada mushaf
di Masjid al-Muhajirin, Kepaon). Naskah yang ditulis di atas kertas
Eropa berjumlah tujuh naskah.
Naskah ditulis di atas kertas modern bergaris (Letjes) ada dua,
yaitu milik H. Musthafa Amin di Kepaon (MA 04) dan H. Burha-
nuddin di Serangan, keduanya di Denpasar, serta satu naskah lain
ditulis di atas kertas bergaris bukan Letjes milik H. Musthafa Amin.
Bahan lontar digunakan untuk menyalin 12 naskah geguritan; 11
naskah menggunakan bahasa dan aksara Bali, dan satu naskah
menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Bali. Semua naskah
lontar tersebut milik Yayasan An-Nur, Denpasar.
3. Usia Naskah
Dilihat berdasarkan usia naskah, naskah Al-Qur’an dari Kam-
pung Jawa, milik M. Zen Usman termasuk naskah yang paling tua,
bahkan ia merupakan naskah Al-Qur’an tertua ketiga di Asia
Tenggara. Berdasarkan kolofonnya, mushaf ini selesai ditulis pada
malam Ahad, 21 Muharram 1035 H atau sekitar tahun 1625 M. 22
Naskah-naskah lain pada umumnya ditulis pada abad ke-13 H atau
sekitar abad ke-18-19 M. Misalnya naskah Kitab Al-Nikah dan
Obat-obatan (MA 01) milik H. Musthafa Amin menyebutkan angka
22
Mushaf tertua konon mushaf nomor MS 12716 koleksi William Marsden
di Perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of
London, berangka tahun Jumadil Awwal 993/1585 dan kedua adalah mushaf dari
Ternate, Maluku Utara, yang ditulis oleh Al-Faqih al- Salih Afifuddin Abdul Baqi
bin Abdullah Al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H/1597 M. (Bafadal dan Anwar,
2005: vii-viii)
66
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
tahun 1287 H/1870 M dan 1288 H/1871 M. Kolofon yang agak tua
terdapat pada naskah Al-Qur’an MAJS/NQ/03 koleksi Masjid Agung
Jami’ Singaraja, yaitu bulan Zulqa’dah 1265 H/1848 M. Demikian
juga dilihat dari kertas Eropa yang digunakan. Kertas Eropa yang
memiliki cap kertas pada kelompok Pro Patria, Britania, Horn, atau
Crescent, pada umumnya diproduksi antara pertengahan abad ke-17
M sampai abad ke-19 M. Misalnya, dari daftar cap kertas yang
disusun Heawood diketahui bahwa kertas dengan cap kertas kelom-
pok Pro Patria diproduksi pertengahan abad ke-17 M (Heawood,
1986: 145-146). Cap kertas yang terlihat pada naskah MA 03 yang
termasuk kelompok Names dengan cap kertas berupa: tulisan nama
I Pigoizard, menurut Heawood (1986:140), diproduksi sekitar
tahun 1737 atau sesudahnya.
5. Kolofon
Dari 38 naskah yang diinventarisasi, tidak banyak ditemukan
naskah yang mempunyai kolofon. Setidaknya ada enam naskah
yang berkolofon, dan dalam naskah MA 01 milik H. Musthafa
Amin terdapat dua kolofon.
67
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
23
Ba-pa-alif ta-alif-ya-dal ()ﺑﻔﺄ ﺗﺎﻳﺪ
68
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
6. Penjilidan
Aspek lain dalam kodikologi adalah bagian penjilidan. Dari segi
penjilidan, kondisi naskah-naskah Bali beragam; ada yang masih
baik, ada yang sudah lapuk, dan ada juga yang sudah terlepas dari
24
sanah alfi taqw³m £al±£, bisa jadi berarti tahun seribu masuk ratusan
ketiga, artinya 1200-an lebih, dan angka tahun yang tertulis adalah 1265 H, sama
dengan 1848 M.
69
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
7. Kaligrafi
Selain naskah lontar, seluruh naskah ditulis dalam aksara Arab
dan Jawi. Oleh karena itu, menarik juga untuk dilihat model-model
tulisannya atau yang lazim disebut kaligrafi. Naskah-naskah Al-
Qur’an umumnya menggunakan jenis kaligrafi atau khat Naskhi,
walaupun masih sangat sederhana dan belum dapat dikatakan stan-
dar. 27 Berbeda dengan yang lainnya, Mushaf dari Kampung Jawa
Singaraja sudah menggunakan khat Naskhi yang indah dan mende-
kati standar apalagi jika dilihat masa penulisannya—walaupun belum
menggunakan pena khat untuk membentuk tipis-tebalnya huruf—,
yaitu tahun 1035 H/1625 M (Gambar 01). Pada masa ini,
khususnya di Nusantara, belum banyak ditemukan naskah yang
25
Kuras adalah istilah yang mengacu pada sejumlah lembar kertas/perkamen
yang dilipat dan dijahit untuk kepentingan penjilidan (Francois Deroche, 2005:
122).
26
Sampul seperti ini banyak ditemukan di Nusantara, misalnya beberapa
naskah di Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal TMII Jakarta (Saefullah, 2007: 47).
27
Kaligrafi Arab standar dalam bahasa Arab disebut Al-Kha¯¯ al-Mansµb
mempunyai tiga alat ukur, yaitu: Alif, titik belah ketupat, dan lingkaran. Pena
yang digunakan biasanya dimiringkan mata penanya sehingga ketika ditarik
menyamping miring kanan ke bawah akan membentuk titik belah ketupat ().
Tinggi alif pada jenis Naskhi standar, misalnya, lima titik belah ketupat.
Rumusan ini diciptakan oleh Ibnu Muqlah (Sirojuddin, 1992:86-99)
70
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
a. Ilustrasi
Ilustrasi terdapat pada naskah tasawuf dan masalah doa, wirid,
dan wifiq. Dalam naskah MA 03, h. 11r, terdapat ilustrasi tentang
sifat-sifat Allah berdasarkan kalimat L± Il±ha Ill± All±h yang dibagi
ke dalam empat kategori “L±”, “Il±ha”, “Ill±”, dan “All±h” (Gambar
05). Pada naskah MA 04, h. 17v, kata “Il±h” diletakkan dalam kotak
belah ketupat dan segi empat, dan di sekelilingnya terdapat penje-
lasan sehingga membentuk semacam concept map (peta konsep),
71
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
b. Iluminasi
Iluminasi hanya ditemukan dalam naskah-naskah Al-Qur’an.
Meskipun naskah Al-Qur’an terkadang dikhususkan dalam klasi-
fikasi kajian naskah klasik, tetapi karena pentingnya temuan ini,
dan juga dapat dikaji secara kodikologis, hasilnya disajikan di sini.
Iluminasi dalam mushaf-mushaf kuno yang ditemukan di Bali
sangat luar biasa. Desain hiasan yang menurut identifikasi Annabel
Teh Gallop (2004) sebagai tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur
Semenanjung Melayu atau Pattani dan Trengganu, dan Jawa,
ditemukan di Bali. Bahkan satu mushaf di Masjid Agung Singaraja
(MAJS/NQ/01) sangat khas, unik, dan menarik, yakni iluminasi
dalam bentuk arabesk (pola geometris yang disalin bersilangan)
dari kalimat L± Il±ha ill± All±h Mu¥ammad Rasµl Allah sebagai
bingkai hiasan yang mengelilingi bidang teks ayat-ayat Al-Qur’an,
yang terdapat pada bagian tengah mushaf.
Karakter kedaerahan iluminasi dapat juga dilihat dari penem-
patan halaman berhias pada awal, tengah, atau akhir; ada perbedaan
kedaerahan yang konsisten dan mencolok. Dalam hal penempatan
28
Wifiq: suatu formula yang terdiri atas susunan bilangan atau angka Arab
tertentu yang mengandung rahasia-rahasia spiritual. Bagi yang mempercayainya,
pengetahuan mengenai formula tersebut merupakan hikmah ilahiyah.
72
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
29
Tebal naskah 682 halaman, setiap halaman terdiri atas 14 baris, kecuali
halaman awal yang terdiri atas 7 baris. Naskah berukuran 27 X 21 cm, sementara
ukuran teksnya adalah 18 X 14, 5 cm. Pada naskah ini terdapat bingkai teks berupa
tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Sampul naskah berukuran 33,5 X22
cm yang terbuat dari kulit berwarna merah maron dengan motif floral. Bagian dalam
sampul naskah dilapisi kain saten. Sampul naskah memakai tutup (plop). Teks ditulis
dengan menggunakan khat naskhi. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Pada
bagian tertentu, seperti kepala surah, awal juz, atau tanda baca, digunakan tinta
berwarna merah. Pada halaman pelindung terdapat catatan yang tertulis: “h±©a al-
waqf mu¡¥af masjid jam³‘”. Menurut keterangan pengurus takmir masjid, naskah
mushaf ini ditulis oleh Gusti Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan
Raja Buleleng yang masuk Islam.
30
Tentang bahan kertas yang biasanya digunakan di Afrika, mengapa dapat
sampai ke Bali, dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa orang-orang Bugis pada
masa lalu telah banyak bermukim di Bali. Bahkan, desa di mana Masjid Agung
Singaraja berada pun bernama Kampung Bugis. Wawancara dengan H. Hasan
(penduduk setempat), H. Hasyim Zaki, dan H. Abdurrahman Alawi (Pengurus Ta’mir
Masjid), 30 Oktober 2008.
73
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
74
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
75
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
kadang terdiri dari dua ombak yang saling berpautan yang ditutup
dengan semacam kubah”. Sementara Trengganu lebih bercirikan
pembatas beriluminasi yang memenuhi tepi luar kertas. “Dari pem-
batas luar ini banyak garis atau sulur kecil mengarah ke dalam seakan-
akan bertemu dengan ‘ombak-ombak’ yang muncul dari lengkungan,
menimbulkan efek ‘stalagnit-stalaktit’. Ketika garis-garis dan ombak
disepuh, secara keseluruhan efeknya adalah pancaran emas yang
cemerlang. Pewarnaan hiasan bingkai Pantai Timur lebih luas
daripada yang ditemukan di Aceh, meliputi warna-warna muda
seperti biru dan hijau maupun warna-warna tua yang lebih
menggetarkan, dan emas sering digunakan” (Gallop, 2004:130).
Pola hiasan pada Al-Qur’an kuno dari Masjid Al-Muhajirin
Kepaon Denpasar32 memperlihatkan tipe Pantai Timur Semenanjung
Malaya. Dua buah bingkai diletakkan secara berhadapan di halaman
kiri-kanan, dan bingkai kedua halaman tersebut disatukan dalam
bingkai luar. Lengkungan-lengkungan dan riak-riak gelombang ter-
gambar dengan jelas dalam mushaf ini, yakni di atas-bawah dan
pinggir bingkai teks ayat. Bingkai teks ayat berupa empat persegi
panjang agak lebar mengelilingi bidang teks dan diisi dengan hiasan
bermotif daun dan dipadukan dengan lengkungan setengah ling-
karan. Pewarnaannya terdiri atas merah, merah muda, hijau, hitam,
dan kuning emas, di samping warna putih yang merupakan warna
dasar kertas (Gambar 13, bandingkan dengan Gambar 13a).
32
Naskah ini berukuran 30 X 19 cm, ukuran teksnya 19, 5 X 11, 5 cm. Bingkai
teks berupa tiga buah garis tipis berwarna hitam dan merah. Penomoran halaman
tidak ada. Di beberapa halaman verso terdapat kata alihan. Sampul naskah sudah
tidak ada. Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Dalam kertas ini terlihat
adanya garis bayang tebal dan garis tipis. Jarak garis tebal pertama sampai ke-6 13
cm. Jumlah garis tipis dalam 1 cm 9 buah. Selain itu, dalam kertas terdapat angka
1825. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Tinta yang digunakan berwarna
hitam. Teks ditulis dengan menggunakan garis panduan yang ditekan. Secara umum,
naskah sudah lapuk dan tidak lengkap. Teks yang masih ada dimulai bagian tengah
surat al-Baqarah dan berakhir pada surah al-Naba, awal Juz ke-30 (juz ‘amma)
76
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
33
Secara umum, mushaf ini masih baik; hanya beberapa halaman yang tampak
lapuk. Mushaf ini berukuran 24 X 16 cm, dan ukuran teksnya adalah 16 X 11 cm.
bingkai teks berupa tiga buah garis berwarna hitam. Tebal naskah 769 halaman yang
terdiri atas 754 halaman isi. Sampulnya terbuat dari kulit berwarna coklat motif
floral. Tulisan rapi dan jelas. Teks ditulis dengan menggunakan khat Naskhi. Jumlah
baris setiap halaman 13, kecuali halaman awal yang terdiri atas 7 baris dan halaman
akhir yang terdiri atas 10 baris. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Untuk bagian
yang berisi keterangan awal surah tinta dan awal juz digunakan berwarna merah.
77
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Penutup
1. Kesimpulan
a. Penelusuran awal naskah-naskah keagamaan Islam di Bali
berhasil menemukan 38 naskah yang tersebar di berbagai
daerah di pulau Dewata ini. Dari 38 naskah tersebut, 35 di
antaranya merupakan naskah keagamaan Islam. Walaupun
jumlahnya tidak begitu signifikan dibandingkan dengan nas-
kah non keislaman yang biasanya ditulis di atas lontar, keber-
adaan 35 naskah keislaman itu dapat menunjukkan mata
rantai Islamisasi di Indonesia dan jaringan keilmuan dan
keulamaan Islam Nusantara, misalnya tentang nama tokoh
al-Haj Muhammad Amin al-Din Palimbangi dan Muhammad
Sa’id bin Muhammad Ali Kusamba, atau tempat, seperti
Palembang dan Pasuruan, serta iluminasi mushaf yang
memperlihatkan empat tipe Aceh, Sulawesi, Pantai Timur
Malaya, dan Jawa.
b. 1) Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali pada umumnya
sangat memprihatinkan, tidak terawat dan kurang men-
dapat perhatian. Sebagian besar naskah sudah rusak, dan
bahkan tidak utuh lagi.
78
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
2. Rekomendasi
a. Kondisi naskah keagamaan Islam di Bali yang mempriha-
tikan perlu mendapatkan perhatian serius dan perlu segera
dilakukan upaya konservasi lebih lanjut, antara lain dengan
penelusuran naskah dan digitalisasi.
b. Keberadaan naskah keagamaan Islam di Bali yang tersebar
di berbagai kabupaten memungkinkan masih ada naskah-
naskah lain yang belum tersentuh sehingga penelusuran
lebih lanjut perlu segera dilakukan.
c. Analisis terhadap isi teks dan penjelasannya secara konteks-
tual perlu diteliti lebih lanjut, setidaknya untuk melihat
bagaimana hubungan Islam-Hindu di Bali, dan bagaimana
posisi Bali dalam proses Islamisasi maupun dalam jaringan
transmisi keilmuan dalam Dunia Islam.Lebih dari itu,
adanya naskah lontar yang mengandung unsur keislaman
membuktikan bahwa hubungan antarumat beragama, khu-
susnya Islam-Hindu di Bali terjalin dengan baik, dan untuk
itu perlu pembuktian melalui penelitian secara lebih
mendalam. Wa All±h a‘lam…[]
79
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Daftar Pustaka
Agastia, Ada Bagus Gede. tanpa tahun. “Jenis-jenis ‘Naskah Bali’” dalam
Soedarsono (Ed), Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika,
Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bafadal, Fadhal AR, dan Anwar, Rosehan. 2005. Mushaf-Mushaf Kuno di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Bafadal, Fadhal AR, dan Saefullah, Asep (Eds.). 2005. Naskah Klasik
Keagamaan Nusantara 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan
Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Ecole francaise
d’Extreme-Orient-Yayasan Obor Indonesia
Deroche, Francois. 2006. Islamic Codicology, An Introduction to the Study of
Manuscripts in Arabic Script. London: Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation. Edisi bahasa Arab diteritkan tahun 2005 oleh penerbit yang
sama dengan judul al-Madkhal ila ‘Ilm al-Kitab al-Makhtut bi al-Harf al-
‘Arabi, diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Ayman Fuad Sayyid.
Fathurahman, Oman. 2003. “Pentingnya Memelihara, Melestarikan, dan
Memanfaatkan Khazanah Naskah Islam: Sebuah Refleksi”, Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 1, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 1-10.
Gallop, Annabel Teh. 2004. “Seni Mushaf di Asia Tenggara”, Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 2, No. 2. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 121-
143.
Gallop, Annabel Teh. 2005. “Islamic Manuscript art of Southeast Asia”, dalam
James Bennett (Ed.), Crescent Moon: Islamic Art & Civilisation in Southeast
Asia, Adelaide: Art Gallery of South Australia. h. 156-183.
Heawood, Edward. 1986. Watermarks: Mainly of the 17th and 18th Centuries.
Hilversum: The Paper Publications Society. Cet. V.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok:
Fakultas Sastra UI.
Kumar, Ann dan McGlynn, John H. 1996. Illuminations, The Writing Traditions
of Indonesia. The Lontar Foundation, Jakarta, Weatherhill Inc., New York
dan Tokyo.
Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad
XIX: Naskah Algemeene Secretarie Kajian dari Segi Kodikologi, Depok:
Fakultas Sastra UI.
Rukmi, Maria Indra. 2005. “Penyalinan Naskah Melayu di Palembang”, makalah
dalam Seminar Tradisi Naskah, Lisan dan Sejarah di FIB UI , Depok.
80
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Saefullah, Asep. 2007. “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan
Museum Istiqlal Jakarta”, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, No. 1.
Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h. 39-62.
Sirojuddin AR. 1992. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi Singgasana.
Yunardi, E. Badri. 2007. “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal
Lektur Kegamaan, Vol. 5, No. 1. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan. h.
1-18.
Informan:
1. Ketut Ariawan, SH, Kasubag Umum, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
2. Drs. Ida Bagus Nyana, Staf Urusan Agama Hindu, Kanwil Dep. Agama
Prov. Bali
3. Drs. H. Musta’in, Kabid Bimas Islam & P. Haji, Kanwil Dep. Agama Prov.
Bali
4. Drs. H. M. Soleh, Kabid. Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masjid,
Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
5. Drs. H. Ghufron, Kasi. Penamas, Kanwil Dep. Agama Prov. Bali
(No. 1-5) Wawancara di ruang kerja masing-masing pada 28 Oktober 2008.
6. H. Husen Abdul Jabbar, Wawancara pada 2 Nopember 2008 di Loloan
Timur.
7. Drs. H. Muchlis Sanusi, Lurah Kampung Bugis dan juga Ketua Ta’mir
Masjid Agung Singaraja,
8. H. Abdurrahman Alawi, Ketua Dewan Penasehat MUI Singaraja.
9. H. Abdurrahman Said, Ketua MUI Singaraja
10. H. Hasyim Zaki, Pengurus Harian Masjid Agung Jami’ Singaraja
11. H. Hidayat, Sekretaris MUI Sngaraja
(No. 7-11) Wawancara, secara terpisah pada 29-30 Desember 2008 di
Masjid Agung Singaraja maupun di kantor MUI Singaraja.
12. Hadiman, Syafruddin, Gunawan, dan Agus, para ustadz di Pesantren Al-
Hidayah, Bedugul, Wawancara, 29 Oktober 2008.
13. Abdullah, yang dituakan di Kampung Islam Buitan, Karang Asem,
Wawancara, 2 Nopember 2008.
14. H. Hasan, penduduk Singaraja yang bekerja di Denpasar, Wawancara, 30
Oktober 2008.
81
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Lampiran:
1. Contoh Deskripsi Naskah Milik Musthafa al-Amin, Denpasar
Fk/Bali Kitab Nikah, Obat-obatan, Wirid dan Doa
MA 01 Bhs. Arab dan Melayu Aks. Arab dan Jawi Prosa
98 hlm. 19 baris/hlm. 24x16 cm Kertas Eropa
Naskah ini merupakan kumpulan teks yang terdiri atas beberapa bidang
kajian. Tebal naskah 98 halaman (49 lembar) dengan jumlah baris 19 per
halaman. Jarak antarbaris di setiap halaman 7 mm. Naskah berukuran 24 X 16
cm, sementara ukuran teksnya adalah 19 X 11 cm. Naskah sudah tidak bersampul
dan bagian awal teks yang berisi Kitab Nikah sudah tidak lengkap. Sepertinya
bagian awal teks dimulai dari “Had al-Qa©af”, yakni pembahasan tentang
tuduhan suami bahwa istrinya berzina. Adapun bunyi kalimat pertama (1r) adalah
sebagai berikut:
Terpelihara dirinya daripada had ta-waw-kaf-sin karena jikalau ia tia(da) mau
bersumpah maka dipukul ia delapan puluh kali demikian lagi disuruh bersumpah
istrinya di atas mimbar lima kali supaya terpelihara ia daripada had zina maka apabila
sudah bersumpah keduanya jatuhlah talaknya itu talak bain kubra …
Alas naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Akan tetapi cap kertas
hanya terlihat sebagian. Setelah dicocokkan dengan daftar cap kertas yang
disusun oleh Heawood (1986), tampaknya cap kertas ini mirip dengan contoh no.
860, yang termasuk kelompok Crescent. Menurut Heawood (1986: 84), kertas
dengan cap kertas nomor tersebut tidak bertanggal, namun dimungkinkan
diproduksi pada masa modern.
Teks ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu dan aksara Jawi dengan
menggunakan garis panduan yang ditekan. Tinta yang digunakan berwarna
hitam, sementara rubrikasi berwarna merah.
Sebagaimana disebutkan, naskah ini merupakan kumpulan teks, yang
terdiri atas:
1. Halaman 1r-33v: Teks kitab nikah; dalam kolofon teks ini disebutkan “Kitab
Nikah”. Bunyi kolofon tersebut sebagai berikut:
Haza [al-]Kitab al-Nikah [ter] Hijrah al-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam seribu
dua ratus delapan puluh tujuh (1287) pada tahun Ba alif(?) pada malam ahad waktu
jim(?) pada pukul delapan pada delapan hari bulan Rabi’ al-Awwal pada ketika
itulah hamba Pa Abdul A’raf sudah selesai menyuruh ini kitab di dalam negeri
Badung Bali Badung adanya Kampung Kepaon 1287.
Tamma wa sallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam.
2. Halaman 33v-41v: Teks obat-obatan, tetapi tidak disebutkan judulnya.
Kalimat pertama teks ini berbunyi:
Sebagai lagi (obat) supaya bincar(?) buang air seni ambil limau nipis tiga biji ditaruh
gula batu maka embunkan pagi2 minum insya Allah ‘afiyah berturut-turut tiga pagi.
82
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
83
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Gambar 01: Khat Naskhi pada Mushaf Gambar 02: Khat Naskhi pada
kuno dari Kampung Jawa, Singaraja naskah tauhid dari Pegayaman
Singaraja, milik Drs. Suharto
Gambar 03: Khat Riq’ah pada MS MA Gambar 04: Khat Farisi MS MA 01,
06, milik H. Musthafa Amin, Kepaon, koleksi H. Musthafa Amin, Kepaon,
Denpasar Denpasar
B. Ilustrasi
84
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Gambar 09:
MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman awal pada Mushaf Kuno
koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja
85
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Gambar 10:
MS MAJS/NQ/01. Iluminasi halaman tengah pada Mushaf Kuno
koleksi Masjid Jami’ Agung Singaraja
Gambar 10a:
Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Aceh., koleksi Perpustakaan Nasional
Jakarta, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h 46 dan 87.
86
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Gambar 12a:
Tipe Iluminasi halaman tengah tipe Sulawesi juga terdapat pada Tafsir Al-
Qur’an, sepertinya Tafsir Jalalain. Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta,
dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 59
87
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Gambar 13:
Iluminasi bagian tengah pada mushaf kuno dari Masjid Al-Muhajirin, Kepaon, Denpasar.
Gambar 13a:
Tipe Iluminasi mushaf seperti ini umum ditemukan di Pantai Timur Semenanjung Malaya,
tetapi Al-Qur’an ini berasal dari Cirebon; Iluminasi ini terdapat pada again awal surah al-
Fatihah dan awal al-Baqarah. Al-Qur’an kuno koleksi Museum Sri Baduga, Bandung, Jawa
Barat, dalam Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 114
88
Beberapa Aspek Kodikologi Naskah ... — Asep Saefullah dan Adib M. Islam
Gambar 14:
Iluminasi bagian awal pada mushaf kuno dari Kp. Jawa Singaraja, milik H. Zen Usman.
Gambar 14a:
Tipe Iluminasi mushaf halaman tengah dari Jawa. Mushaf disalin di Surakarta pada
1797-1798 M oleh Ki Atmaparwita, koleksi Widya Budaya, Kraton Yogyakarta, dalam
Ann Kumar dan John H. McGlynn, Illuminations, 1996, h. 35
89
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 53 - 90
Gambar 15:
Kolofon pada mushaf kuno dari Kampung Jawa, Singaraja,
milik H. Zen Usman. Ditulis di atas dluang, pada Kamis, 21
Muharram 1035 H/1625 M oleh Abd al-Shufi al-Din
90
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
Pendahuluan
Minangkabau merupakan suku bangsa di Indonesia yang men-
diami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat. Etnis ini
memiliki karakteristik yang unik, dalam hal hubungannya antara
sosio-kultural dan Islam, dibandingkan suku bangsa-suku bangsa
yang lain di Indonesia. Keunikan tersebut tampak pada penyatuan
antara adat dan agama Islam. Oleh karena itu, topik mengenai
hubungan sosial-kultural dan Islam di Minangkabau tetap menarik
untuk didiskusikan.
91
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
92
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
93
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
94
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
95
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
96
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
97
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
98
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
“Begini Inyik, adapun Beliau ini (Syekh Surau Baru–pen.) bukan orang
partai, bukan pula ziarah bersama ini (bersyafar) tidak atas nama partai.
Bersyafar ini adalah atas nama kaum muslimin, tidak dihitung partainya...
Kalau saya masuk Golkar berarti ziarah bersama (bersyafar) ini tentu Syafar
orang Golkar kata orang” (al-Khatib, 2002: 63).
99
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
100
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
“...sudah jelas oleh kita bahwa Nabi kita Muhammad S.M menyuruh kita
menghormati dan memuliakan ulama. Begitu pula ikan-ikan dalam laut,
yang kesimpulannya penghuni langit dan bumi menghormati ulama. Tentu
kita lebih menghormati ulama dari pada mereka. Mudah-mudahan dengan
menulis sejarah beliau, Syekh Paseban ini, maka saya termasuk orang yang
dianjurkan Nabi tadi, yaitu orang yang menghormati dan memuliakan ulama
dan mudah-mudahan Allah memberi berkat atas usaha saya. Amin, amin ya
rabbil ‘alamin. Saya yang menulis adalah salah seorang dari murid beliau
yang bernama Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Batang
Kabung, Padang” (al-Khatib, 2001: 12-13).
Ajaran guru adalah sesuatu yang benar dan tidak boleh diban-
tah. Jika ada golongan lain mengkritik ajaran guru, maka harus di-
luruskan. Berikut ini dapat dilihat gambaran tentang bantahan ter-
hadap kritikan dari pihak luar.
101
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
“...tetapi pelajaran [bang] yang [berikan] diberikan oleh Syekh Ahmad Qu-
syasyi hanya surah al-Baqarah saja, tidak birasak-birasak sekedar lamanya.
Artinya itu-itu saja pelajaran yang diberikan oleh Syekh Ahmad al-Qu-
syasyi hingga sampai kepada masa akan kembali pulang. Namun, begitu ha-
ti beliau terhadap guru tidak menaruh bosan dan berkecil hati. Malahan be-
liau terima hal yang demikian dengan hati yang ikhlas dan bertawakal ke-
pada Allah swt. Beliau tetap hormat dan khidmat serta patuh terhadap guru
beliau. Selain menuntut ilmu juga kerja beliau Syekh Abdurrauf di Madinah
adalah mengembalakan unta Tuan Syekh Ahmad al-Qusyasyi tiap-tiap hari.
Tambahan lagi, sebagai mengkhidmati guru beliau tetap mendukung guru
dari tempat tinggalnya kepada tempat dia mengajar ilmu di Masjid Nabawi.
Begitulah kerja beliau Syekh Abdurrauf tiap-tiap harinya, yaitu pagi-pagi
didukung guru di hulu dari tempat tinggalnya ke tempat dia mengajar. Su-
dah itu terus pergi gembala unta ke tengah padang. Begitu pula petang-pe-
tangnya setelah memasukkan unta ke kandanganya maka pergi pula men-
jemput guru ke mesjid, di dukung pula ke tempat tinggal beliau. Sangat pa-
tuh dan sangat hormat kepada guru apa yang diperintahkannya oleh guru ti-
102
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
dak pernah membantah dan waktu bersalam mencium tangan guru” (al-
Khatib, 1936:8-9).
“Adapun kaji yang diberikan yang diberikan oleh Syekh Abdurrauf ke-
pada Burhanuddin adalah surah al-Fatihah saja tidak berasak-asak sekedar
lamanya. Adapun adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syekh Ab-
durrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib
Syekh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syekh Ahmad al-Qusyasyi, yaitu
mendukung guru dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di mas-
jid. Selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak
Syekh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari, dan lagi menggali tebat (ko-
lam) ikan di sekeliling masjid. Begitulah kerja Burhanuddin selama menun-
tut ilmu di Aceh dalam masa tiga puluh tahun...” (al-Khatib, 1992: 20-21).
103
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
104
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
ninggal), Allah akan mencabut iman yang ada di dada murid, se-
hingga dia mati dalam keadaan tidak beriman (al-Khatib, 1992: 30).
Penutup
Pertemuan Islam dengan budaya lokal Minangkabau telah men-
jadikan corak kepemimpinan yang khas. Kekhasannya ini tampak
pada pola kepemimpinannya, khususnya pada golongan Kaum Tua.
Para ulama pemimpin Kaum Tua itu berperan tidak hanya di bidang
keagamaan saja, tetapi juga di bidang sosial-budaya dan politik.
Suaranya didengar, tingkah lakunya diikuti; sebagai penerang di
dunia bahkan sampai di akhirat. Mereka dihormati, riwayat dan
ajarannya ditulis dan disebarkan. Tulisan itu memberikan sum-
bangan yang sangat berarti bagi kemajuan ummat, khususnya
dalam membangun kepribadian dan moral.
Di antara sumbangannya yang dapat dicatat adalah sebagai ber-
ikut ini. Pertama, riwayat dan ajarannya dijadikan rujukan untuk
pengambil keputusan, tidak hanya masalah keagamaan tetapi juga
masalah sosial budaya serta politik yang mereka hadapi. Kedua,
penghormatan terhadap pemimpin memberikan tauladan agar murid
pun harus berperilaku (beribadah) seperti sang guru: pola hidup se-
derhana (zuhud)dan tidak ambisius (qan±’ah).[]
Daftar Pustaka
105
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
Manuskrip
al-Khatib, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. tt. Sejarah Ringkas Shaikh
Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru). naskah tulisan tangan koleksi Imam
Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang
Sumatra Barat.
------. 1936. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Abdurrauf
(Syekh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh. naskah tulisan tangan
koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah,
Padang Sumatra Barat.
------. 1992. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syekh Burhanuddin
Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau.
naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang
Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.
------. 2002. Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin. naskah
tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung,
Koto Tangah, Padang Sumatra Barat
------. 2001. Sejarah Ringkas Syekh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala.
naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang
Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.
106
Kepemimpinan Islam di Kalangan Kaum Tua... — Pramono dan Bahren
Lampiran:
Gambar 1:
Imam Maulana Abdul
Manaf Amin Al-Khatib
(w. 2006)
dan Naskah-naskah
Tulisannya
Gambar 2:
Naskah Sejarah Ringkas
Auliyaullah al-Salihin Syekh
Burhanuddin Ulakan yang
Mengembangkan Agama Islam
di Daerah Minangkabau (1992: 2)
107
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 91 - 108
Gambar 3:
Naskah Sejarah Ringkas Auliya’ullah al-Salihin, Syekh Abdurrauf (Syekh
Kuala), Pengembang Agama Islam di Aceh (1936: 1)
108
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
Pengantar
Perkembangan Islam di wilayah Nusantara berdasarkan bukti
arkeologis telah terjadi sejak abad ke-11 M. Hal itu didasarkan
dengan penemuan nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di
daerah Leran Gresik Jawa Timur, pada nisan itu dipahatkan angka
tahun 475 H atau 1082 (Tjandrasasmita 1986: 2). Berdasarkan hal
*
Tulisan ini pada mulanya merupakan makalah yang disampaikan dalam Diskusi
Pengembangan Wawasan SDM Tenaga Fungsional Puslitbang Lektur Keagamaan, 24
Februari 2009 di Ruang Sidang Badan Litbang Lektur Keagamaan, Jakarta.
109
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
110
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
SISTEM
KEPERCAYAAN
EMOSI PERALATAN
UMAT AGAMA RITUS &
KEAGAMAAN UPACARA
111
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
112
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
113
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
Wacana
Bentuk akulturasi ketika agama Islam sudah berkembang di Jawa dengan
tradisi yang telah dikenal sebelumnya, antara lain terlihat pada penggunaan
atap tumpang pada masjid-masjid kuna yang sebelumnya dipergunakan
untuk menaungi candi-candi zaman Majapahit. Penggunaan ragam hias dari
masa Hindu-Buddha seperti sulur-daun, bentuk meander, tapak dara, bunga
teratai dan lainnya lagi pada kepurbakalaan Islam seperti pada bangunan
cungkup makam, tubuh makam (jirat) dan juga pada nisannya. Ornamen-
ornamen masa Hindu-Buddha juga masih dipertahankan di kompleks keraton
Islam di Jawa.
114
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
115
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
116
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
(Putuhena, 1980)
117
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
118
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
119
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
Wacana
Dalam melakukan kajian jenis data ketiga, yaitu berita tradisi lisan
seringkali diabaikan. Tradisi lisan memang dipandang mutunya lebih rendah
daripada kedua data lainnya, walaupun demikian tetap perlu diperhatikan
mengingat di dalamnya -jika dicermati dengan baik- akan ditemukan data
yang dapat menyokong sumber tertulis dan data arkeologis. Contoh data
dalam bentuk tradisi lisan adalah dongeng, legenda, mitos, permainan rakyat,
teka-teki, peribahasa dan lainnya. Misalnya di Cirebon terdapat legenda
bahwa atap tumpang masjid Sang Cipta Rasa hanya dua; atap ketiga
(puncak) dahulu hancur karena tersambar oleh tongkat Sunan Gunung Jati.
120
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
121
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
122
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
123
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
124
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
125
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
126
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
127
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
128
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
129
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
Epilog
Kajian arkeologi Islam di Nusantara sudah pasti dapat dikem-
bangkan lagi, memang para peneliti Belanda telah merintis kajian
tersebut sejak awal abad ke-20 M, tetapi banyak temuan baru yang
terus bermunculan hingga kini dan menunggu untuk dikaji. Dalam
pada itu data arkeologi Islam yang terdahulu pun banyak yang
masih belum dikaji secara tuntas, atau perlu dilakukan kajian ulang
atau interpretasi baru. Misalnya kajian data arkeologi terhadap
monumen Gunongan yang dibangun dalam masa Kesultanan Aceh
telah cukup memadai, bahkan telah dipugar secara baik. Akan
tetapi kajian terhadap peranan dan fungsi monumen tersebut dalam
masanya masih dapat diperbincangkan lagi, mungkin terdapat
makna lain yang mendalam dan bukan sekedar bangunan untuk
melengkapi Taman Raja.
Dewasa ini terdapat kecenderungan masyarakat untuk memper-
baiki monumen-monumen kuno Islam yang dipandang sudah lapuk
atau rusak, misalnya terhadap masjid-masjid kuno, istana, makam,
dan gapura. Kecenderungan meluas justru terjadi “pemugaran”
terhadap masjid-masjid tua oleh masyarakat penggunanya sendiri.
Dalam melakukan perbaikan atau pemugaran tersebut kerapkali
kaidah keilmuan (ilmu arkeologi) diabaikan, oleh karena itu
hasilnya adalah bangunan baru sama sekali tanpa menyikan unsur-
unsur kunonya.
Hal ini sebenarnya merupakan permasalahan lama, para arkeolog
telah membagi dua macam munumen, yaitu (a) dead monument,
dan (b) living monument. Masjid kuno, istana, makam, dan
monumen lainnya dari masa perkembangan Islam masih dipergu-
nakan dan dirawat oleh para pendukungnya, oleh karena itu lumrah
saja apabila mereka melakukan perbaikan-perbaikan, penambahan,
bahkan pembangunan baru. Hal yang perlu dikemukakan kepada
masyarakat pendukung living monument adalah prinsip pelestarian
dan kepentingan ilmu pengetahuan yang juga harus dijaga. Kedua
prinsip itu jelas harus berjalan berdampingan dengan aspek peman-
faat dan aktualisasi zaman. Jadi apabila telah terjadi “pemugaran”
terhadap suatu masjid kuno oleh masyarakat dengan mengabaikan
130
Peran Penting Pernaskahan... — Agus Aris Munandar
Daftar Pustaka
131
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 109 - 132
132
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
Peran Arkeologi
dalam Kajian Islam Nusantara
Irmawati M-Johan
Universitas Indonesia, Depok
This article explains about how archeology has its own role in the study of
Islam in Indonesia. This article also explains the aspects that become the object
of the study of archeology. In addition to that, some researches that have been
conducted on Islam in Indonesia will be presented too. This archeological study
tries to dismantle the history of the past humankind by using material culture.
The material culture this writing means are the gravestones, the buildings of the
mosque, palaces, artefacts such as the coins, porcelains and so on. Bisides that,
some archeologists try to develop the study of Islamic sites as the branch or
archeolgy through excavation. Some researches that have ever been conducted
are dealing with Islamic epigraphy such as ancient gravestones, the building of
palaces, keraton (also palace) and ancient mosques as well as Islamic sites such
as the Old Banten (Banten Lama) and Lobu Tua.
Pendahuluan
Tujuan dari tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana peran
arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara dan hal-hal apa saja
yang menjadi kajian arkeologi. Selain itu, akan dikemukakan pula
berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini yang berkait
dengan Islam di Nusantara. Sebelum lebih jauh menyampaikan apa
peran arkeologi dalam kajian Islam di Nusantara, terlebih dahulu
akan dijelaskan apa yang menjadi perhatian arkeologi dan apa yang
sebenarnya dikaji dalam penelitian-penelitian arkeologi.
Sebagai ilmu, arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari
manusia dan masyarakat masa lalu melalui tinggalan budaya materi
133
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
Material Culture
Ada beberapa jenis material culture dari masa Islam yang
menjadi perhatian para arkeolog Indonesia, antara lain nisan-kubur,
bangunan masjid, bangunan istana, artefak seperti, mata uang,
tembikar dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang mengembangkan
kajian situs Islam sebagai kajian arkeologi melalui ekskavasi.
Untuk itu kita dapat melihat selintas kajian-kajian apa yang telah
dilakukan terhadap tinggalan budaya Islam.
1. Nisan Kubur
a. Epigrafi
Kajian tentang nisan sudah sejak awal telah dilakukan terutama
para ahli kebangsaaan Belanda.Di mulai pada tahun 1910 yang
dilakukan oleh Van Ronkel yang membaca nisan kubur Malik
Ibrahim di Gresik yang mencantumkan angka tahun wafatnya yaitu
1511 M (Ronkel, 1910: 596-600; Tjandrasasmita, 1977: 108).
Setelah itu, Moquette pada tahun 1912 mengkaji nisan kubur di
Samudra Pasai dan nisan kubur Malik Ibrahim di Gresik yang
dianggap memiliki persamaan dalam cara menuliskan huruf dan
kalimat-kalimat dengan nisan Umar bin Ahmad al-Kazaruni di
Cambay (Moquette, 1912: 536-548). Pendapatnya ditegaskan lagi
134
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
135
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
136
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
137
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
2. Masjid
Kajian tentang masjid kuno di Indonesia khususnya di Jawa
mulai dilakukan pada tahun 1920, oleh N.J Krom yaitu tentang
menara Kudus yang diperkirakan berasal dari abad ke 16M dan
dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan
Majapahit yang mengingatkan pada bangunan candi (Krom 1920:
294-295; Tjandrasasmita 1977: 111). Setelah itu penelitian di
Kudus di lanjutkan oleh J.E Jasper pada tahun 1922 yang mengkhu-
suskan pada penelitian seni ukir dan seni bangunan. Berdasarkan
penelitianya seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni
bangunan Jawa-Hindu Majapahit (Jasper 1922: 3-30; Tjandrasasmita,
1977: 112).
Steinmann pada tahun 1934 melakukan penelitian ornamen
yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kalinyamat.
Menurutnya, penelitian tentang jenis tanaman sangat penting untuk
mengetahui keragaman tumbuhan yang ada pada masa itu. Selain
itu ia melakukan penelitian pola-pola ornamennya dan dibanding-
kan dengan ornamen di candi-candi (Steinmann 1934: 89-97;
Tjandrasasmita 1977: 115).
Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia dilaku-
kan oleh Dr. G.F Pijper pada tahun 1947 dan Pijper menyampaikan
bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak memiliki
menara. Menara di masjid Kudus bukan menara asalnya melainkan
bagunan dari jaman Hindu yang digunakan kembali sebagai tempat
kulkul. Tentang bangunan masjid kuno ia menyampaikan bahwa
bentuknya mengikuti bentuk arsitektur lokal dengan beberapa ciri
138
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
139
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
3. Keraton
Keraton atau istana merupakan pusat kota dari sebuah kerajaan.
Tata letak keraton-keraton Islam di Jawa pada umumnya mengarah
ke utara, seperti Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon;
Keraton Surosowan di Banten. Demikian pula dengan keraton-
keraton dari abad ke 18 seperti Yogyakarta dan Surakarta di
arahkan ke utara. Keraton Samudera Pasai besar kemungkinan
menghadap ke utara yaitu menghadap ke Selat Malaka, Keraton
Banda Aceh dari masa Sultan Iskandar Muda abad ke 17 M,
140
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
4. Situs-Situs Islam
a. Banten Lama
Penelitian situs-situs Islam telah dilakukan di beberapa tempat
seperti: Kawasan Banten Lama, termasuk di dalamnya situs Kraton
Surosowan, Situs Karang Antu, Situs Kadiri, Situs Kraton Kaibon,
Situs Jembatan Rante, Situs Pamarican, Situs Pabean, dan lain-lain.
Banten lama berdasarkan sumber sejarah adalah pusat kota dan
bandar utama Kerajaan Banten yang berkembang sejak abad ke 16
hingga abad ke 19 M.
Kota Banten tumbuh sebagai pusat dagang dengan aneka ragam
komoditas perdagangan yang didatangkan dari berbagai wilayah
dan diperdagangkan di Banten. Banten juga berperan sebagai
tempat perdagangan antar bangsa. Untuk itu Sartono Kartodirdjo
mengkategorikan Banten sebagai emporium seperti juga Aceh,
Makasar dan Mataram (lihat Untoro, 2007: 9). Hasil penelitian
141
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
b. Lobu Tua
Pada tahun 1995 dan 1996 dilakukan penggalian di Situs Lobu
Tua dekat Barus oleh tim Indonesia Perancis dan ditemukan 600
pecahan tembikar berglasir asal Timur Dekat yang dikenal dengan
“later Sgraffiato ware”. Ciri-cirinya adalah bahannya berwarna
merah jambu, berslip terang berhiaskan goresan dan glasirnya
percikan-percikan. Pola hiasannya buga-bunga, geometris abstrak
atau kaligrafi dengan huruf kufi. Jenis “later Sgarffiato ware” Lobu
Tua memiliki persamaan dengan temuan sejenis di Makran (Iran),
Sohar (Oman) dan Kilwa (Tanzania) dapat dikaitkan dengan adanya
kelompok perdagangan dari Oman yang bernama Ibadi. Kelompok
ini Sangat berperan aktif di wilayah Teluk Persia, khususnya di
Basrah dan di pesisir lautan Hindia, termasuk Makran, Aden,
Bambhore dan pesisir Timur Afrika. Sumber tulisan kuno dari
Timur Dekat menyebut nama Barus serta adanya pedagang dari
Oman di Nusantara sekurang-kurangnya sejak abad ke 10 M.
Keberadaan tembikar Sgraffiato di Lobu Tua membuktikan bahwa
Labo Tua termasuk dalam jaringan perdagangan dari Teluk Persia
(Perret, 2002: 157-168).
Selain temuan tembikar ditemukan pula artefak kaca yang
kebanyakan dibuat dengan tehnik tiup, sebagian di udara terbuka
sebagian dalam cetakan. Warna kaca sebagian besar berwarna hijau
pucat, kuning pucat dan biru pucat, biru kobalt, hijau tua, coklat,
merah ungu dan turkuas. Bukan merupakan kaca yang berkwalitas
bagus tetapi lebih merupakan barang sehari-hari. Di duga bahwa
beberapa temuan menunjukan dua daerah asal yaitu Iran dan
142
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
Penutup
Beberapa contoh penelitian arkeologi sebagaimana diuraikan di
atas diharapkan dapat memberikan gambaran singkat bagaimana
arkeologi memberikan makna pada material culture Islam sebagai
usaha untuk memahami kehidupan dan perilaku manusia.
Contoh lain tentang penelitian epigrafi Islam yang sudah dilaku-
kan juga mengungkap cukup banyak hal penting tentang raja-raja
yang memerintah di kerjaan-kerajaan yang bercorak Islam yang
selama ini hanya diketahui atas dasar sumber tertulis berupa naskah
ataupun sebaliknya. Selain itu berdasarkan angka tahun yang terda-
pat pada nisan dapat pula diketahui bilamana orang-orang Islam
sudah datang dan menetap di Nusantara. Sebagaimana penemuan
angka tahun Tuhar Amisuri di Barus dengan angka tahun wafatnya
1203 M, 94 tahun lebih tua dari Malik as-Saleh di Pasai. Temuan
angka tahun ini bila dikaitkan dengan penelitian arkeologi di Lobu
Tua Barus berupa artefak kaca dan tembikar yang diduga berasal
dari abad ke 9-10 merupakan hal yang tidak mengejutkan.
Walaupun demikian penelitian tentang nisan-nisan kuno masih
menyisakan banyak hal yang perlu dilakukan. Seperti yang dikata-
kan Damais bahwa dari 1500 abkalts yang ada di Direktorat Sejarah
dan Purbakala baru terbaca 800 abklats. Artinya masih 700 abkltas
yang belum terbaca. Penelitian nisan-nisan kuna di pantai utara
Jawa sebagai tempat awal Islamisasi belum secara menyeluruh
dilakukan. Bagaimana perkembangan gaya tulisan dan ornamen
dalam nisan-nisan kunopun belum pernah dilakukan dalam skala
yang luas. Demikian pula dengan studi tentang masjid kuno dan
keraton, penelitian masih dilakukan secara parsial.
143
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
Daftar Pustaka
144
Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara — Irmawati M-Johan
Moquete, J.P. 1912. “De Grafsteen te Pase en Grissee vergeleken met dergelijke
Monumenten uit Hindoestan” TBG, 54,1912 hal:536-548 OV, 1912, kwt.4.
hal.86
Moquete, J.P. 1914. “Verslag van mijn voorlopig onderzoek deer
Mohammedaansche oudheden in Aceh en Onderhoogrigheden” OV, 1914,
kwt.2 bijlage, O, hal:73,80.
Perre, Daniel & Sugeng Riyanto. 2002. Tembikar Berslip,Berhiaskan goresa dan
Berglasir Percikan-Percikan Asal Timur Dekat di Lobu Tua.Tinjauan
Awal.hal:157-178,Lobu Tua Sejarah Awal Barus, ed.Claude Guillot. Jakarta:
EFEO,Pusat Penelitian Arkeologi,Yayasan Obor
Poesponegoro, Marwati Djuned. 1984. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III.
Depbudpar. Jakarta: Balai Pustaka
Ravaisse, Paul. 1925. L’inscription coufique de Leran a’ Java, Hal:668-703. TBG
1925, Deel LXI
Renfrew, Colin& Paul Bahn. 2003. Archaeology:Theories,Method and Practice.
Thames & Hudson
Ronkel, Ph.S.van. 1910. “Bij de afbeelding van het graf van Malik Ibrahim te
Gresik”. TBG,52,1910,hal:596-600
Sharer, Robert&Wendy Ashmore. 2003. Archaeology Discoveryng Our Past.
New York: Mc Graw Hill Company Inc.
Stutterheim,W.F. 1935. “De Islam en Zijn komst in den Archipel”, Grooningen-
Batavia, hal.135-140.
Tjandrasasmita, Uka. 1977. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di
Indonesia, hal:107-135, 50 tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasional, Jakarta: Puslit Arkenas
Tjandrasasmita, Uka. 1993. Majapahit dan kedatangan Islam Serta
Prosesnya,hal:275-290. 700 Tahun Majapahit Statu Bunga Rampai.
Surabaya: CV Bunga Rampai
Untoro, Heriyanti Ongkodharmo. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal. Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi, Jakarta: FIB.UI,komunitas
Bambu.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1961. “Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid
Indonesia”, Fadjar, tahun III, no. 21, hal: 7-8
145
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 133 - 146
Lampiran:
Gambar 1:
Sisa reruntuhan Keraton Surosowan. Keraton seluas lebih kurang 3,5 hektar itu
merupakan kediaman para sultan Banten yang dibangun sekitar tahun 1552.
Sumber: http://cetak.kompas.com
Gambar 2:
Pintu gerbang timur ‘Benteng
Keraton Surosowan’
Sumber: http://www.iai-banten.org/
146
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
Introduction
The network of `ulam± (Muslim learned men) in Haramayn
(Mecca and Medina) has been starting to exist since the sixteenth
century. They came from the various corners of the Muslim world.
The core of the network was the degree to which a number of the
famous `ulam± came to learn and to teach in the Haramayn. In the
second half of the seventeenth century, these Indonesian `ulam±--in
particular from Malay--were involved in the network. They
developed the nature of freedom of joining differences in theology,
in jurisprudence, and in mysticism. They handed down this nature
and their religious sciences to the later generation of `ulam± of
147
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
1
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan, Introd. by Taufik Abdullah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999), pp. 148-149.
2
M. Sipahoetar, Siapa?: Lukisan tentang Pemimpin-pemimpin, (Boenoet:
“Pemerintah” Soekaboemi, 19 Februari 1940), second edition, pp. 74-75; S.
Wanta, KH Ahmad Sanusi dan Perjoangannya, (Majalengka: Pengurus Besar
“Persatuan Ummat Islam” Majlis Penyiaran dan Da`wah, 1991), pp. 3, and 7. I
am grateful to Mr. Yosep Aspat Alamsyah, for lending me this book. The author
is still alive, and was the secretary to K.H. Ahmad Sanusi, said Josep. He told me
that in December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-Sukabumi; about the
Arabic thought in the liberal age dated from 1798 to 1939, see Rijk Universiteit
Leiden, Studiegids Islamologie 1998/1999, (Leiden: Rijk Universiteit Leiden,
1998), p. 54.
3
See Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Kyai dan Ulama
dalam Perubahan Sosial–Politik di Priangan c.a. 1900-1942, an unpublished
thesis, (Amsterdam: Vrije Universiteit, 1991), pp. 58-59, 90-91.
4
About Sanusi`s speech of Syarekat Islam, see his speech translated into
Dutch entitled “Dit Boek Nahratoe`ddhargam (De Gebiedende Leeuwenstem)
Dienende tot Wering van de Aanvallen Veragtelijke Menschen Gericht tegen de
S.I.” , in Proces Verbal, which is available in the KITLV Leiden University.
148
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
5
Mohammad Iskandar, Op. Cit., p. 91.
6
S. Wanta, Loc. Cit. According to my late father, K.H. Dudu Abdullah
Hamidi, Pekauman Corps were the religious leaders who worked in the mosques
in Sukabumi for benefit of the Dutch colonial government. Interview with late
K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in my house in Sukabumi December 12,
2001, when he was still with me.
7
.M. Sipahoetar, Loc. Cit.
8
Ibid.
149
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
9
“Ahmad Sanusi, KH.”, in Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1993),
p. 89. When Japan came to occupy Indonesia, they banned this association, see
ibid.
10
Muhammad Misybâh ibn Haji Syafe`i Sukabumi, Mindarat al-Islâm wa-al-
Îmân, (Sukabumi: Kantor Cetak Sukabumi, 1935), pp. 1-5. I am thankful to H.
Acep Zarkasih (about 80 years old) who lent me this book. He was the student of
Ahmad Sanusi. I wish also to thank him for allowing me to copy his Tamsyiyyah
numbered from 2 to 35, and I thank Ajengan Oyon Gunung Puyuh who allowed
me to copy his Tamshiyya number 28.
11
Ibid.
12
Sanusi wrote this fatwâ in Malay language and Arabic characters on two
wide and long pages of paper without title and year. This fatwâ was published by
Kantor Cetak al-Ittihad Sukabumi. I wish to thank to Hasan Husen Basri, and Dr.
Mohammad Iskandar who were willing to give my parents the copy of the fatwâ.
See also Ahmad Sanusi, Tahdîr al-Afkâr, (Sukabumi: al-Ittihâd, 1935), Vol. 1;
Abdullah ibn Husain, Tażkirat al-Ikhwân bi-mâ fî Âkhir al-Zamân, (Pabuaran
Sukabumi: no publisher`s name, 1955), Vol 3.
150
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
13
See his fatwâ in form of bulletin, H. Ahm. Sanoesi, “Zakat Fithrah”,
(Buitenzorg: Ang Tjio Drukkerij, s.a.), two pages. I wish to thank Mr Muflih for
lending me this bulletin. His father was a close friend of Sanusi.
151
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
14
Puslitbang Lektur Agama, Badan Litbang Agama, Op. Cit.,, pp. 31-33.
This work is in form of micro film which is available in KITLV library, Leiden
University, the Netherlands.
15
Interview with Ajengan Dadun in his house in Cibadak-Sukabumi, on
December 20, 2001.
16
Interview with Mr. Oking at his house in Cigunung-Sukabumi, December
12, 2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.
152
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
1998, his little brother, late Dadun Abdul Qahhar, campaigned for
shari`a in Sukabumi in West Java. One of Qahhar’s students was an
officer who was in charge of Cianjur regency (Bupati) in West
Java, Wasidi Swastomo. This man reinforced also the Islamic law
in this region (Cianjur).
153
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
154
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
17
I am grateful to my friend, Mr. Ujang Sholehuddin, for helping me find this
collection of late Ma`ruf.
155
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
18
I thank Mr. Iskandar Sanusi for introducing me to Mr. Oking.
156
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
19
I wish again to thank Mr. Ujang to introduce me to his father, Mr. Ahmad
Muflih.
157
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
20
I am once again grateful to Dr. Oman Fathurrahman for allowing me to
copy about 63 works from his collection. Thirty-seven of them are books written
by Ahmad Sanusi as listed above.
158
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
159
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
160
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
161
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
162
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
Conclusion
On the basis of the above-mentioned details, I could draw a
conclusion that KH. Ahmad Sanusi, who lived from the last
nineteenth to the first twentieth century, is a prolific writer whose
works are now dfficult to discover for the reason that the Dutch
colonial government regarded him as a dangerous man to them;
thereby prohibiting Indonesians from having and reading Sanusi’s
works. He was a Sundanese reformer Muslim whose ideas were
influenced very much by notorious Muslim reformers, such as
Muhammad `Abduh and Jamaluddin Al-Afghani, since he traveled
to the Haramayn (Mecca and Medina) to learn and to teach. On this
paper, I have a good luck to find more than one hundred writings
authored by Sanusi. I hope that this article inspires the readers, in
particular the students of Islamic History and Civilization, to study
further on Sanusi in a more deeply way. I dedicate this work to my
late parents, and my grandfa who became the adjutant to the late
father of K.H. Ahmad Sanusi: K.H. Abdurrahim. []
Bibliography
Alamsyah, Mr. Yosep Aspat. December 22, 2001 in his house, Gunung Jaya-
Sukabumi.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana &
Kekuasaan. Introd. by Taufik Abdullah. 1999. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
163
K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse ... — Usep Abdul Matin
Interview:
Interview with late Ajengan Dadun in his house in Cibadak, Sukabumi, West
Java, on December 20, 2001.
Interview with Mr. Oking in his house in Cigunung, Sukabumi, December 12,
2001. When I interviewed him, he was at the age of 80.
Interview with late K.H. Dudu Abdullah Hamidi, my father, in our house in
Sukabumi December 12, 2001.
164
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita
Uka Tjandrasasmita
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Pendahuluan
Kajian filologi dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual
masih jarang dilakukan oleh ahli filologi Indonesia. Kajian filologi
semacam ini mensyaratkan para filolog untuk memperkaya wawa-
sannya dengan pengetahuan tentang sejarah sosial-intelektual terse-
but. Buku karya Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
165
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174
166
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita
167
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174
168
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita
169
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174
170
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita
171
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174
Penutup
Hasil kajian yang telah dilakukan Oman Fathurahman melalui
bukunya ini, bagaimanapun, telah memberikan sumbangan besar
bagi perkembangan studi filologi dengan pendekatan sejarah sosio-
172
Tarekat Syattariyah di Minangkabau — Uka Tjandrasasmita
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII Melaacak Akar-Akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Chambert-Loir, Henri & Oman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah
Naskah Indonesia Sedunia/ World Guide to Indonesian Manuscript
Collections. Jakarta: E.F.E.O.-Yayasan Obor Indonesia.
Fathurahman, Oman. 1999. Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus
Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Jakarta dan Bandung: E.F.E.O. Centre
de Jakarta. Penerbit Mizan.
173
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 2009: 165 - 174
174